"Vanderson Raymondo, aku yakin kalian mengenal pemuda ini sebagai arsitek yang namanya kini melambung tinggi karena karya-karya yang luar biasa. Tak banyak dari kalian yang tahu Vanderson sebelum mencapai karirnya sekarang. Dia yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan di Catania," lanjut Arthur ketika melirik Ray, pemuda itu tampak menahan kesal.
"Di usia 12 tahun ibu panti meminta Vanderson mengurus sebuah toko kecil, dalam satu tahun berhasil membuat toko menjadi yang terbesar di Catania. Namun, cita-cita sebagai arsitek telah ia pendam sejak usia 8 tahun. Karena melihat kecerdikannya mengelola uang, saat usia 15 tahun aku memintanya bekerja di Bank Swasta milikku di kota itu," sambung Arthur. Ada jeda beberapa detik ketika mata Ray membidik tajam padanya, tetapi tidak membuat Arthur menghentikan pidatonya.
"Vanderson tak paham apapun soal perbankan. Dia belajar dari bagian kliring, cash dan checking account sebulan penuh. Pemuda ini akhirnya mengerti proses
Max menyunggingkan senyum tipis sebelum menjawab, "Meski aku tak mengenal Leticia dengan baik, aku yakin dia pasti menunggu!""Ray, apa kau akan mengakui dirimu pada wanita itu?" tanya Alex dari kursi belakang."Ya!" Ray menjawab singkat"Kau tertarik padanya, Kawan?" tanya Max tersenyum sambil fokus mengemudi.Ray memicingkan mata lalu menyandarkan kepala. Dengan penuh keyakinan dia berkata, "Entahlah, Max. Tiap kali menatap Leticia, aku merasa ada luka yang menganga di kedalaman matanya. Semoga dugaanku salah, Max."Selain langit hitam tertutup kabut tebal dan cuaca dingin, Ray terlambat dari waktu yang dijanjikan. Saat itu waktu menunjukkan pukul 22.00, dan pria itu ragu apakah Leticia menunggunya atau tidak. Sehingga, Ray meminta Max mengantar ke apartemen terlebih dulu. Kedua sahabatnya pergi setelah Ray memerintahkan untuk menemani Marco.Setelah tiga kali mengetuk pintu dan memastikan wanita itu tidak ada, Ray membal
Leticia acuh, tak mengindahkah perkataan Ray. Dia berjalan cepat menaiki tangga. Pria itu cukup membuatnya kecewa hingga dia mengambil keputusan untuk tidak lagi berurusan dengannya. Terlalu sakit bagi Leticia jika kembali menaruh kepercayaan pada orang-orang pendusta. Mereka dari awal memang asing, dan Leticia memilih tak ingin mengenal pria itu.Ray menarik tangan Leticia ketika wanita itu hendak membuka pintu apartemennya. "Kumohon, dengarkan aku," kata Pria itu sambil menggenggam jemari Leticia. "Semalam aku ter-""Saya tak mengenal Anda, Tuan! Tak ada yang harus kudengar, dan tak ada yang harus Anda jelaskan!" Leticia memotong ucapan Ray sambil menarik tangannya dari genggaman pria itu."Jangan pernah sekalipun menyentuhku dengan tangan kotormu! Anda bermain begitu liar dengan wanita di tempat terbuka, haruskah aku biarkan tangan itu menyentuhku? Tidak! Aku takkan mengizinkan tangan pria manapun menjamah tubuhku!" Wanita itu menatap Ray penuh kebencian. Mat
"Kau yakin?" tanya Fico memastikan. Tak lama kemudian dia keluar dari mini bar lalu duduk di samping Leticia. Sambil melipat kedua tangan di depan dada, matanya menelusuri penampilan wanita itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Kau tak bisa berpenampilan seperti ini saat jadi wanita penghibur," kata Fico. "Kau harus bermake up sedikit tebal untuk menyamarkan memar di wajahmu, Leticia." Pria itu memanyunkan bibir sambil memainkan alis. "Kau juga harus memakai mini dress dan setidaknya high heels 10 cm. Pekerjaannya mudah, hanya menemani para pria minum, dansa, karaoke atau bahkan sesekali kau akan diminta untuk menemani mereka tidur." Tatapan Fico penuh syarat akan arti. Mata Leticia terbelalak mendengar penuturan pria berambut cepol itu. Jika hanya menemani minum, dansa, dan bernyanyi dia akan menyanggupi. Hanya saja, menemani tidur, dia takkan bisa menentang prinsip menjaga kesucian hanya untuk sang suami kelak. "Apa aku bisa menolak
"Jaga ucapanmu, brengsek! Seorang pemabuk tahu batas toleransi alkohol!" Ray mendongak menyanggah tuduhan Alex. Seketika Alex bungkam. Ingin rasanya dia dia mengumpat pada Ray. Pria arogan! Alex menjerit-jerit dalam hati. Tak sampai sepuluh menit, mereka tiba di Bens apartemen. Ray meminta Alex membuka pintu apartemen Leticia terlebih dulu sebelum kembali ke kediaman Marco. Tentu saja Ray pun berpesan untuk menjemputnya esok hari. Ray bergegas masuk membaringkan Leticia di atas ranjang. Gerakannya begitu hati-hati saat melepas sepatu wanita itu. "Ibu, tolong aku …." Racauan serak Leticia membuat Ray tercenung saat menyelimuti tubuh wanita itu. Dia menatap bulu mata lentik Leticia yang
Terangnya langit biru perlahan berubah jingga, jingga itu berlalu. Kini, menjadi langit hitam pekat. Di bawah temaram lampu jalan dan sinar oren dari mobil-mobil yang melintas, Leticia melangkah menyusuri trotoar. Dia hendak pergi ke klub dan berharap menemukan sang arsitek di tempat itu. Tak sampai sepuluh menit berjalan kaki, wanita itu tiba di klub tersebut. "Hai, selamat malam, Fico." Leticia melambaikan tangan pada pria bertubuh tinggi di belakang mini bar. Pria itu menoleh ke arah suara cempreng Leticia. Dia mengerutkan dahi ketika melihat penampilan wanita itu. "Kau berpakaian seperti ini? Mau jadi wanita penghibur atau pelayan?" celetuk pria yang tengah menyusun champagne itu.
Leticia kembali ke apartemen pukul 01.00. Malam ini sang arsitek tidak berkunjung ke klub, dia berharap esok hari segera menemukannya. Sepanjang perjalanan, air mata wanita itu berderai membasahi pipi. Dia mengabaikan orang-orang yang berlalu lalang dan melihatnya dengan tatapan terheran. Untuk kesekian kalinya dia dipaksa kuat oleh keadaan ini. Rasa kecewa, kesedihan, dan rasa sakit seolah kian memuncak. Ingin sekali dia berteriak meluapkan segala perih yang menggerogoti jiwa. Begitu tiba di apartemen, dia kembali disuguhkan pemandangan pria bermata hazel. Pria itu tengah asyik duduk berdua dengan seorang wanita berambut pirang. Ekor mata Leticia melirik wajah pria yang menatapnya begitu dalam. Dia me
Leticia tak henti memikirkan ucapan Ray. Benarkah dia sang arsitek yang dicarinya? Entahlah, wanita itu tak yakin. David mengatakan sudah berkali-kali memerintahkan asistennya menemui tuan Vanderson, tetapi tak kunjung berhasil memintanya menangani proyek karena orang itu angkuh dan arogan. Berbeda dengan pria yang tinggal di depan apartemennya. Pria itu begitu ramah dan selalu lembut saat berbicara. Tak ada keangkuhan dan kearoganan yang terpancar dari matanya. Apakah Leticia harus mempercayai pria itu? Bagaimana jika itu hanya tipu muslihatnya? Bagaimana jika dia kembali tertipu seperti yang Daniel lakukan dulu? Tidak. Leticia berpegang teguh pada keyakinan diri. Dia tak ingin mengalami hal yang sama untuk kedua kali. Leticia bersiap-siap pergi ke k
Fico memberengut terheran, kenapa tuannya itu mengenal Leticia?"Dia mencarimu, dan kau memberitahuku untuk mengatakan sibuk pada siapapun yang mencarimu, Tuan Vanders," timpal Fico tanpa dosa.Ray menarik napas panjang dan mengembuskan kasar hingga tangannya mengepal. Sial! Dia tak pernah menduga ucapannya akan berdampak buruk pada Leticia. Lengkap sudah rasa berdosa yang bersemayam di hati Ray.Ray bergegas menghampiri Leticia di sudut sofa. Di bawah cahaya lampu strobo, Ray bisa melihat dengan jelas Leticia begitu tersiksa. Ray menarik tangan Alex yang sedang menahan tubuh Leticia dalam pemeriksaan Max."Selesaikan Jonny, Lex! Aku tak ingin dia membuka mata esok hari! Katakan pada paman Arthur tarik semua saham d