Kinan mengetuk pintu bercat putih di hadapannya pelan. Sebelumnya ia sedikit ragu-ragu, namun akhirnya, ia memberanikan diri untuk melangkah masuk ke dalam kamar luas milik Shaka, setelah sang empunya kamar mempersilahkannya masuk.
Shaka terbaring di atas ranjang dengan dada terbuka dan tubuhnya hanya ditutupi handuk sebatas pinggang. Kedua lengan ia lipat di belakang kepala, dan tatapannya sayu tertuju ke arah Kinan. "Tutup pintunya," pinta Shaka."Ditutup, Tuan? Apa tidak sebaiknya kalau dibuka saja?" Kinan berusaha menolak permintaan Shaka. 'Memang gila pria ini!' "Tutup pintunya aku bilang. Atau kamu mau aku pecat dua pembantu itu?" ancam Shaka. Mendengar ucapan sang tuan muda, Kinan terpaksa menutup pintu kamar. Namun, ia tetap berdiri di dekat pintu."Ada yang Tuan Muda butuhkan? Saya dengar dari Atun, Tuan meminta saya menyiapkan makanan untuk anda?" Kinan berusaha bersikap tenang. Meskipun, tidak bisa dipungkiri kalau dirinya merasa was-was."Kenapa berdiri di situ. Sini mendekat." Shaka melambaikan tangannya. "Tidak. Saya di sini saja.""Kalau kamu nggak nurut, aku pecat sekarang juga Atun dan Bi Imah."Kinan menghela napas berat. Ia tahu Shaka tidak pernah main-main dengan ucapannya. Nyonya Rose pun pernah bercerita, jika Shaka menginginkan sesuatu, maka ia harus memilikinya. Dan Shaka adalah orang yang tidak segan-segan melakukan hal tak terduga saat keinginannya tidak terpenuhi. Shaka tersenyum melihat Kinan mulai berjalan mendekatinya. Gadis itu sudah berbalut piyama yang dilapisi dengan sweater. Rambut panjangnya dikuncir kuda sembarang dan wajahnya terlihat cantik alami."Duduk," pintanya."Maaf, Tuan ... ada yang perlu saya bantu? Saya dengar dari Atun, Tuan minta saya membuatkan makanan?" Kinan tidak menuruti permintaan Shaka. Dia berdiri saja di ujung ranjang. "Tadinya, iya. Cuma, aku berubah pikiran. Kamu temani aja aku malam ini."Sepasang mata indah Kinan membulat. "A-apa maksud Tuan dengan menemani?" Shaka menepuk-nepuk ruang kosong di sampingnya. "Temani aku di sini. Masa kamu nggak ngerti?" Dada Kinan seketika bergemuruh menahan amarah. Shaka pikir dirinya perempuan murahan. Benar-benar kurang ajar. Namun, Kinan tetap berusaha bersikap tenang dan tidak terpancing amarah."Maaf, Tuan Muda ... saya rasa Tuan salah paham. Saya bukan wanita seperti itu. Saya bekerja di sini untuk merawat nenek Tuan.""Kamu mau minta bayaran berapa? Aku penuhi."Kinan mengepalkan tangan geram. Ingin rasanya menghajar pria kurang ajar yang terbaring di atas ranjang dengan seringai nakalnya yang menyebalkan itu. "Tuan Muda, maaf ini sudah hampir jam sepuluh malam, dan ini di luar jam kerja saya. Saya permisi." Kinan memutar badan hendak melangkah menuju pintu, namun tiba-tiba Shaka meraih tangannya, dan menarik gadis itu hingga terjatuh ke atas ranjang. Posisi Shaka kini tepat berada di atasnya. Bau alkohol bercampur parfum mahal menyeruak memenuhi rongga hidungnya. "Auch!" pekik Shaka saat ia merasa ada sesuatu yang menghantam area intimnya. Nyeri bukan main, sehingga terpaksa ia melepaskan kungkungannya terhadap Kinan.Ia pegangi area selangkangan dengan kedua tangan sambil meringis kesakitan dan memaki. "Maaf, Tuan ... saya permisi." Kinan buru-buru bangkit dan berlari keluar kamar. Jantungnya berdetak kencang. Dia buru-buru masuk ke dalam kamarnya yang terletak tidak jauh dari kamar Nyonya Rose, lalu menguncinya. "Ya, ampun," ucapnya dengan napas tersengal. Dia tadi baru saja menghantamkan lututnya pada area intim Shaka. Dan apa yang hendak Shaka lakukan padanya, apa pria itu ingin memerkosanya?Kinan meraup wajah kasar. Tiba-tiba ia teringat Atun dan Bi Imah. Ia begitu khawatir dengan nasib keduanya.Jangan-jangan Shaka benar-benar akan memecat mereka. Apalagi dengan apa yang baru saja ia lakukan pada cucu majikannya itu. Akhirnya, hampir semalaman ia tidak bisa tidur. Selain takut Shaka akan mendatanginya ke kamar, juga cemas pemuda itu akan mewujudkan ancamannya.Pagi-pagi, pintu kamar Kinan diketuk seseorang pelan. Kinan yang merasa baru tidur beberapa menit saja terkesiap. Ia melompat dari atas tempat tidur dan segera menuju ke arah pintu.Begitu pintu terbuka, ia melihat Atun dan Bi Imah berdiri di sana dengan masing-masing membawa tas ransel besar. Wajah keduanya tampak sedih."Loh, kalian mau ke mana?" Kinan berharap ketakutannya tidak pernah terjadi."Kami dipecat, Mbak." Suara Atun terdengar lemas. Sementara Bi Imah tertunduk lesu."Serius?" Kinan menepuk kening. Apa ini semua karena dirinya yang tidak mau menuruti permintaan gila Shaka. "Yang memecat kalian siapa?""Tuan Muda." Atun dan Bi Imah menjawab bersamaan.Sudah Kinan duga. Pria itu benar-benar melaksanakan ancamannya. Dan ini semua gara-gara dirinya. Kinan tidak bisa tinggal diam. Ia harus melapor pada Nyonya Rose. "Kalian tunggu di sini, ya ... aku mau bicara dengan Nyonya."Kinan bergegas menuju kamar Nyonya Rose. Wanita itu sedang membaca buku di atas tempat tidur. Melihat kedatangan Kinan, Nyonya Rose tersenyum senang. "Pagi sekali kamu ke kamarku, Kinan. Aku belum membutuhkan apa pun."Gadis itu menelan saliva untuk melicinkan tenggorokan. Ia mendekati Nyonya Rose dan duduk di tepian ranjang."Nyonya saya ingin bicara.""Bicara apa, Kinan?" Nyonya Rose keheranan melihat Kinan yang tampak tegang. "Begini, Nyonya ... Tuan Muda Shaka telah memecat Atun dan Bi Imah," tutur Kinan hati-hati. Ia memang harus menyusun kata dengan serapi mungkin, agar Nyonya Rose yang memiliki riwayat jantung, tidak syok."Kenapa lagi anak itu?" Nyonya Rose menggeleng pelan. "Kenapa dia seenak-enaknya memecat Atun dan Bi Imah?" Kinan menghela napasnya pelan sebelum menjawab pertanyaan Nyonya Rose. Tentu ia harus mengarang cerita tentang alasan Shaka memecat dua asisten rumah tangga itu.Jika ia ceritakan yang sebenarnya, ia yakin wanita itu akan sangat terkejut dan khawatir akan berakibat buruk pada jantungnya."Begini, Nyonya ... sebenarnya, semua salah saya. Semalam Tuan Muda menyuruh Atun dan Bi Imah meminta saya untuk memasak makan malam. Tapi, saya menolak karena saya merasa itu bukan tugas saya."Nyonya Rose mendecak sebal. "Anak itu benar-benar keterlaluan!" Nyonya Rose tidak membela Shaka sama sekali. Wajah wanita tua itu justru terlihat kesal, yang tentunya kekesalannya tertuju pada sang cucu. "Kamu sudah benar, Kinan. Memasak memang bukan tugasmu. Anak itu memang cari masalah saja. Kamu tidak perlu khawatir. Biar aku urus semuanya. Aku akan menegur Shaka."Kinan menghembuskan napas lega. Nyonya Rose memang wanita yang baik. Bahkan sejak pertama Kinan menginjakkan kaki di rumah ini, ia menyambut gadis itu dengan senang hati.Sementara itu di ruangan kantornya yang luas dan nyaman, Shaka tidak sendiri. Di pangkuannya, seorang wanita cantik dengan rambut bergelombang yang dicat kecoklatan, bergelayut manja mengalungkan lengan di lehernya. Bibir keduanya beradu dengan panas. Saling menyesap, menggigit dan bertukar saliva penuh gairah. Namun, adegan keduanya harus terhenti saat ponsel di meja berdering nyaring."Nggak usah diangkat, Pak." Tika menahan lengan Shaka yang hendak meraih ponsel di atas meja. "Bentar, Tik. Takutnya penting." Shaka mencoba menyingkirkan tangan sang sekretaris. Namun, Tika justru menyerang leher pemuda itu dan menyapunya dengan bibirnya yang sensual.Shaka yang mendapat serangan menggairahkan itu pun tidak mampu menolak. Ia menyambut serangan wanita seksi itu dengan tak kalah liarnya. Sampai-sampai ia membiarkan saja ponsel terus berdering hingga berhenti.Keduanya kembali bergelut diselingi suara desahan Tika dan tubuh berisinya yang menggelinjang ke sana kemari, membuat Shaka semakin bernafsu untuk menyatu dengan wanita itu.Namun, lagi-lagi ponsel di atas meja berdering. Dan terus berdering sambung menyambung. Akhirnya, Shaka pun terpaksa menyudahi pergumulannya dengan Tika."Bentar ya, Tik, ini dari Oma." Shaka meraih ponsel di atas meja, kemudian beranjak dari duduknya setelah meminta Tika berpindah dari pangkuannya.Wajah cantik wanita itu cemberut. Bagaimana
Hari minggu adalah hari di mana Kinan libur tugas melayani Nyonya Rose. Jadi hari ini, dia tidak harus memakai seragam kerja. Tapi meskipun begitu, dia masih sesekali mengecek keadaan Nyonya Rose di kamarnya, sambil menanyakan sesuatu yang mungkin dibutuhkan oleh wanita itu. Namun, Nyonya Rose mengatakan, hari ini Kinan beristirahat saja, agar besok bisa memulai kerja kembali dengan tubuh yang bugar.Meskipun hari ini ia bebas pergi kemanapun, ia memilih untuk berada di rumah saja. Ia gunakan waktunya untuk bersih-bersih kamar dan mencuci pakaian.Lagi pula, ia tidak tahu akan berjalan-jalan ke mana. Apa lagi, ia sudah tidak memiliki kekasih. Kinan menghela nafas berat, Kembali dia teringat akan sakit hatinya putus dari sang mantan pacar. Nyeri di dada kembali muncul. "Mbak, sini sekalian aku cuciin," tawar Atun saat memasuki ruang laundry, sambil membawa keranjang berisi pakaian kotor. Kinan sudah lebih dahulu berada di tempat itu dengan satu keranjang kecil berisi pakaian-pakaia
Saat membawa nampan berisi piring kosong dari kamar Nyonya Rose ke dapur, Kinan terpaksa menghentikan langkahnya sebab mendengar ribut-ribut di ruang tamu. Ia meletakkan nampan terlebih dahulu di atas lemari buffet, kemudian mendekat ke arah pintu penghubung ruang tengah dan ruang tamu. "Kamu kok berani sama saya? Dasar pembantu. Kamu nggak tahu siapa saya?" Suara seorang wanita terdengar menggelegar. "Maaf, Nona ... tadi Tuan Shaka sungguh berpesan kalau hari ini beliau tidak ingin diganggu sama siapa-siapa." Kinan mendengar suara Atun. "Aku ini calon istrinya Shaka. Kamu jangan macem-macem!" Kinan sepertinya tidak bisa membiarkan wanita itu berteriak-teriak dan malah akan membangunkan Nyonya Rose yang sedang tidur siang. Ia segera masuk ke ruang tamu menghampiri Atun dan seorang wanita cantik dengan penampilan yang cukup glamor. Semua yang menempel pada tubuh rampingnya adalah keluaran dari brand-brand ternama yang Kinan yakin harganya pasti fantastis. Wanita itu pasti bukan ora
Kinan merasa sangat risih sebab Shaka dari tadi mengikutinya ke mana-mana di dalam swalayan. Namun tentu saja ia hanya diam tanpa berani untuk memprotes. Yang jelas Kinan berpikir kalau si tuan muda menyebalkan ini hanya ingin membuatnya kesal. Padahal ia bilang tadi dirinya juga ingin berbelanja. Bohong sekali. Mana mungkin seorang Shaka Adiwiguna mau berbelanja sendiri membeli kebutuhannya. "Semuanya jadi lima ratus dua puluh lima ribu, Kak," ucap seorang kasir saat selesai memasukkan barang belanjaan Kinan ke dalam kantong plastik besar. Saat Kinan hendak membuka dompet, Shaka sudah mengulurkan kartu debitnya pada kasir. "Tuan, biar saya bayar sendiri," cegah Kinan."Tidak usah protes!" sahut Shaka ketus dan memaksa si kasir untuk memproses pembayaran dengan kartu debitnya. Kinan menghela napas dalam-dalam. Ia lagi-lagi diam saja, hingga keduanya pun berada di dalam mobil kembali. Namun, Kinan merasa kalau Shaka mengemudikan mobilnya ke arah yang salah. Ini bukan jalan menuju ke
"Anak itu ...." Nyonya Rose memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri. Tentu saja Kinan panik. Ia terpaksa menceritakan tentang perbuatan Shaka padanya. Sebenarnya ia tidak berniat menceritakannya. Ia hanya mengatakan ingin mengundurkan diri saja dengan alasan yang dibuat-buat. Tetapi, Nyonya Rose terus mencecarnya. Karena wanita itu sangat yakin, kalau alasan Kinan mengundurkan diri pasti ada hubungannya dengan Shaka. "Nyonya, saya telepon dokter, ya?" ujar Kinan. Namun, Nyonya Rose menahan tangannya hingga ia urung meninggalkan kamar. Namun, keadaan Nyonya Rose bertambah parah. Wanita itu pingsan. Kinan yang panik pontang-panting mencari supir dan satpam untuk membantunya membawa wanita itu ke rumah sakit. Nyonya Rose dibawa ke rumah sakit, dan segera ditangani oleh dokter. Sementara Kinan menunggu di ruang tunggu, sampai dokter mengabari kalau Nyonya Rose bisa dipindahkan ke ruang rawat inap. Ia bahkan tidak sempat memberitahu Shaka. Lagi pula, ia tidak tahu nomer ponsel pemu
Kinan benar-benar dalam dilema besar. Jika ia menolak permintaan Nyonya Rose, ia takut kesehatan wanita itu akan memburuk. Namun, apa iya dirinya harus menuruti permintaan majikannya itu. Menikah dengan si tuan muda brengsek. Astaga, hal itu bahkan tidak pernah terpikir olehnya sama sekali. Bahkan jika makhluk bernama Shaka itu adalah lelaki terakhir di dunia ini, lebih baik ia menjadi perawan tua. "Kamu wanita yang paling tepat untuk Shaka. Anak itu butuh pendamping yang baik agar bisa membimbingnya. Hidup anak itu kacau sekali. Perusahaan Adiwiguna akan jatuh kalau kelakuan Shaka masih seenaknya saja seperti itu." Begitu yang diucapkan Nyonya Rose saat Kinan mencoba bernegosiasi untuk menolak permintaannya. "Kamu tidak punya kekasih, kan?" Kinan menggeleng. Meskipun tidak punya kekasih, tapi ia juga tidak mau punya hubungan dengan pria macam Shaka. Ya Tuhan, bagaimana nasibnya jika ia benar-benar harus menikah dengan si menyebalkan itu? Kinan bergidik ngeri. "Nah, sempurna. Angga
Wanita berusia lima puluhan yang masih terlihat cantik dan elegan itu memasuki kediaman Adiwiguna dengan wajah masam. Ia membuka kacamata hitam brandednya saat berpapasan dengan Atun. "Selamat datang, Nyonya Rima," sapa gadis itu seraya membungkukkan badan memberi hormat pada wanita yang dipanggil dengan nama Rima itu. Ia adalah ibunda Shaka. Datang dari Surabaya untuk menemui mamanya, Nyonya Rose. "Nyonya Besar ada di kamarnya?" tanya Rima pada Atun. "Iya, Nyonya. Silahkan." Rima mengangguk dan melanjutkan langkahnya menaiki tangga. Saat hendak masuk ke kamar Nyonya Rose, ia berpapasan dengan seorang gadis mudq yang membawa nampan berisi piring kotor. Dia menatap penuh selidik pada Kinan. Bahkan dia tidak membalas sama sekali senyuman gadis itu."Ma, apa-apaan sih kabar yang mama kasih tahu ke aku? Mama serius?" todongnya pada wanita tua yang sedang berkutat dengan buku. "Rima, baru datang bukannya tanya kabar mama." Nyonya Rose menggeleng pelan. Putrinya itu tidak berbeda jauh d
Ketegangan antara Nyonya Rose dan Rima terus terjadi. Rima terpaksa harus menginap beberapa hari. Ia tidak rela putra semata wayangnya menikah dengan perempuan yang tidak sederajat dengan keluarganya. Namun, saat Rima tetap bersikeras untuk membatalkan pernikahan, Nyonya Rose jatuh pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit lagi. "Ma, udah lah, ikuti saja kemauan Oma," bujuk Shaka saat menunggui Nyonya Rose. Ia merasa, kesehatan neneknya benar-benar tergantung dari pernikahannya dan Kinan. "Gadis itu sudah mempengaruhi Oma kamu." kesal Rima."Ya, apa pun itu, kesehatan Oma lebih penting, kan?" "Tapi, kenapa harus mengorbankan kamu? Mama tidak bisa menerima!"Shaka mengedikkan bahu. Sebenarnya, pernikahan itu hanya sekedar formalitas agar Nyonya Rose bahagia. Tentang kehidupan pernikahan yang akan ia jalani nantinya dengan Kinan, mereka sudah menyetujui adanya perjanjian, untuk tidak mengganggu urusan masing-masing. "Mama nggak rela kamu menikah dengan gadis yang tidak jelas asal u