Share

Bab 3. Ancaman.

Kinan mengetuk pintu bercat putih di hadapannya pelan. Sebelumnya ia sedikit ragu-ragu, namun akhirnya, ia memberanikan diri untuk melangkah masuk ke dalam kamar luas milik Shaka, setelah sang empunya kamar mempersilahkannya masuk. 

Shaka terbaring di atas ranjang dengan dada terbuka dan tubuhnya hanya ditutupi handuk sebatas pinggang. Kedua lengan ia lipat di belakang kepala, dan tatapannya sayu tertuju ke arah Kinan. "Tutup pintunya," pinta Shaka.

"Ditutup, Tuan? Apa tidak sebaiknya kalau dibuka saja?" Kinan berusaha menolak permintaan Shaka. 

'Memang gila pria ini!'

 

"Tutup pintunya aku bilang. Atau kamu mau aku pecat dua pembantu itu?" ancam Shaka. Mendengar ucapan sang tuan muda, Kinan terpaksa menutup pintu kamar. Namun, ia tetap berdiri di dekat pintu.

"Ada yang Tuan Muda butuhkan? Saya dengar dari Atun, Tuan meminta saya menyiapkan makanan untuk anda?" Kinan berusaha bersikap tenang. Meskipun, tidak bisa dipungkiri kalau dirinya merasa was-was.

"Kenapa berdiri di situ. Sini mendekat." Shaka melambaikan tangannya.

 

"Tidak. Saya di sini saja."

"Kalau kamu nggak nurut, aku pecat sekarang juga Atun dan Bi Imah."

Kinan menghela napas berat. Ia tahu Shaka tidak pernah main-main dengan ucapannya. Nyonya Rose pun pernah bercerita, jika Shaka menginginkan sesuatu, maka ia harus memilikinya. Dan Shaka adalah orang yang tidak segan-segan melakukan hal tak terduga saat keinginannya tidak terpenuhi. 

Shaka tersenyum melihat Kinan mulai berjalan mendekatinya. Gadis itu sudah berbalut piyama yang dilapisi dengan sweater. Rambut panjangnya dikuncir kuda sembarang dan wajahnya terlihat cantik alami.

"Duduk," pintanya.

"Maaf, Tuan ... ada yang perlu saya bantu? Saya dengar dari Atun, Tuan minta saya membuatkan makanan?" Kinan tidak menuruti permintaan Shaka. Dia berdiri saja di ujung ranjang.

 

"Tadinya, iya. Cuma, aku berubah pikiran. Kamu temani aja aku malam ini."

Sepasang mata indah Kinan membulat. "A-apa maksud Tuan dengan menemani?"

 

Shaka menepuk-nepuk ruang kosong di sampingnya. "Temani aku di sini. Masa kamu nggak ngerti?" 

Dada Kinan seketika bergemuruh menahan amarah. Shaka pikir dirinya perempuan murahan. Benar-benar kurang ajar. Namun, Kinan tetap berusaha bersikap tenang dan tidak terpancing amarah.

"Maaf, Tuan Muda ... saya rasa Tuan salah paham. Saya bukan wanita seperti itu. Saya bekerja di sini untuk merawat nenek Tuan."

"Kamu mau minta bayaran berapa? Aku penuhi."

Kinan mengepalkan tangan geram. Ingin rasanya menghajar pria kurang ajar yang terbaring di atas ranjang dengan seringai nakalnya yang menyebalkan itu.

 "Tuan Muda, maaf ini sudah hampir jam sepuluh malam, dan ini di luar jam kerja saya. Saya permisi." Kinan memutar badan hendak melangkah menuju pintu, namun tiba-tiba Shaka meraih tangannya, dan menarik gadis itu hingga terjatuh ke atas ranjang. 

Posisi Shaka kini tepat berada di atasnya. Bau alkohol bercampur parfum mahal menyeruak memenuhi rongga hidungnya. 

"Auch!" pekik Shaka saat ia merasa ada sesuatu yang menghantam area intimnya. Nyeri bukan main, sehingga terpaksa ia melepaskan kungkungannya terhadap Kinan.

Ia pegangi area selangkangan dengan kedua tangan sambil meringis kesakitan dan memaki.

 

"Maaf, Tuan ... saya permisi." Kinan buru-buru bangkit dan berlari keluar kamar. 

Jantungnya berdetak kencang. Dia buru-buru masuk ke dalam kamarnya yang terletak tidak jauh dari kamar Nyonya Rose, lalu menguncinya.

 

"Ya, ampun," ucapnya dengan napas tersengal. Dia tadi baru saja menghantamkan lututnya pada area intim Shaka. Dan apa yang hendak Shaka lakukan padanya, apa pria itu ingin memerkosanya?

Kinan meraup wajah kasar. Tiba-tiba ia teringat Atun dan Bi Imah. Ia begitu khawatir dengan nasib keduanya.

Jangan-jangan Shaka benar-benar akan memecat mereka. Apalagi dengan apa yang baru saja ia lakukan pada cucu majikannya itu. Akhirnya, hampir semalaman ia tidak bisa tidur. Selain takut Shaka akan mendatanginya ke kamar, juga cemas pemuda itu akan mewujudkan ancamannya.

Pagi-pagi, pintu kamar Kinan diketuk seseorang pelan. Kinan yang merasa baru tidur beberapa menit saja terkesiap. Ia melompat dari atas tempat tidur dan segera menuju ke arah pintu.

Begitu pintu terbuka, ia melihat Atun dan Bi Imah berdiri di sana dengan masing-masing membawa tas ransel besar. Wajah keduanya tampak sedih.

"Loh, kalian mau ke mana?" Kinan berharap ketakutannya tidak pernah terjadi.

"Kami dipecat, Mbak." Suara Atun terdengar lemas. Sementara Bi Imah tertunduk lesu.

"Serius?" Kinan menepuk kening. Apa ini semua karena dirinya yang tidak mau menuruti permintaan gila Shaka.

 

"Yang memecat kalian siapa?"

"Tuan Muda." Atun dan Bi Imah menjawab bersamaan.

Sudah Kinan duga. Pria itu benar-benar melaksanakan ancamannya. Dan ini semua gara-gara dirinya. Kinan tidak bisa tinggal diam. Ia harus melapor pada Nyonya Rose. 

"Kalian tunggu di sini, ya ... aku mau bicara dengan Nyonya."

Kinan bergegas menuju kamar Nyonya Rose. Wanita itu sedang membaca buku di atas tempat tidur. Melihat kedatangan Kinan, Nyonya Rose tersenyum senang. 

"Pagi sekali kamu ke kamarku, Kinan. Aku belum membutuhkan apa pun."

Gadis itu menelan saliva untuk melicinkan tenggorokan. Ia mendekati Nyonya Rose dan duduk di tepian ranjang.

"Nyonya  saya ingin bicara."

"Bicara apa, Kinan?" Nyonya Rose keheranan melihat Kinan yang tampak tegang. 

"Begini, Nyonya ... Tuan Muda Shaka telah memecat Atun dan Bi Imah," tutur Kinan hati-hati.

 Ia memang harus menyusun kata dengan serapi mungkin, agar Nyonya Rose yang memiliki riwayat jantung, tidak syok.

"Kenapa lagi anak itu?" Nyonya Rose menggeleng pelan. "Kenapa dia seenak-enaknya memecat Atun dan Bi Imah?" 

Kinan menghela napasnya pelan sebelum menjawab pertanyaan Nyonya Rose. Tentu ia harus mengarang cerita tentang alasan Shaka memecat dua asisten rumah tangga itu.

Jika ia ceritakan yang sebenarnya, ia yakin wanita itu akan sangat terkejut dan khawatir akan berakibat buruk pada jantungnya.

"Begini, Nyonya ... sebenarnya, semua salah saya. Semalam Tuan Muda menyuruh Atun dan Bi Imah meminta saya untuk memasak makan malam. Tapi, saya menolak karena saya merasa itu bukan tugas saya."

Nyonya Rose mendecak sebal. "Anak itu benar-benar keterlaluan!" Nyonya Rose tidak membela Shaka sama sekali. Wajah wanita tua itu justru terlihat kesal, yang tentunya kekesalannya tertuju pada sang cucu. 

"Kamu sudah benar, Kinan. Memasak memang bukan tugasmu. Anak itu memang cari masalah saja. Kamu tidak perlu khawatir. Biar aku urus semuanya. Aku akan menegur Shaka."

Kinan menghembuskan napas lega. Nyonya Rose memang wanita yang baik. Bahkan sejak pertama Kinan menginjakkan kaki di rumah ini, ia menyambut gadis itu dengan senang hati.

Sementara itu di ruangan kantornya yang luas dan nyaman, Shaka tidak sendiri. Di pangkuannya, seorang wanita cantik dengan rambut bergelombang yang dicat kecoklatan, bergelayut manja mengalungkan lengan di lehernya. Bibir keduanya beradu dengan panas. 

Saling menyesap, menggigit dan bertukar saliva penuh gairah. Namun, adegan keduanya harus terhenti saat ponsel di meja berdering nyaring.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status