Share

Bab 4. Shaka Semakin Penasaran.

"Nggak usah diangkat, Pak." Tika menahan lengan Shaka yang hendak meraih ponsel di atas meja. 

"Bentar, Tik. Takutnya penting." Shaka mencoba menyingkirkan tangan sang sekretaris. Namun, Tika justru menyerang leher pemuda itu dan menyapunya dengan bibirnya yang sensual.

Shaka yang mendapat serangan menggairahkan itu pun tidak mampu menolak. Ia menyambut serangan wanita seksi itu dengan tak kalah liarnya. Sampai-sampai ia membiarkan saja ponsel terus berdering hingga berhenti.

 

Keduanya kembali bergelut diselingi suara desahan Tika dan tubuh berisinya yang menggelinjang ke sana kemari, membuat Shaka semakin bernafsu untuk menyatu dengan wanita itu.

Namun, lagi-lagi ponsel di atas meja berdering. Dan terus berdering sambung menyambung. Akhirnya, Shaka pun terpaksa menyudahi pergumulannya dengan Tika.

"Bentar ya, Tik, ini dari Oma." Shaka meraih ponsel di atas meja, kemudian beranjak dari duduknya setelah meminta Tika berpindah dari pangkuannya.

Wajah cantik wanita itu cemberut. Bagaimana tidak. Sebentar lagi mencapai puncak, namun ia terpaksa harus menundanya.

"Ya, Oma?" Shaka menyapa Nyonya Rose di seberang. Satu tangannya sibuk membetulkan posisi celananya yang melorot.

"Apa? Pulang? Sekarang? Aku lagi banyak kerjaan nih, Oma."

"Mau ngomong apa sih, Oma? Kan bisa nanti kalau aku pulang."

"Okay, okay. Aku pulang sekarang." Shaka menutup telepon seraya menghembuskan napas kasar. Ia melempar pandang ke arah Tika yang belum membetulkan pakaiannya yang berantakan.

 

"Jadi gimana nih, Pak. Nanggung nggak dituntasin," rengek Tika.

"Aduh, sorry, Tik ... lanjut lain kali, ya. Aku harus ada di rumah dalam sepuluh menit," ujar Shaka tanpa memperdulikan sang sekretaris yang tampak sangat kecewa.

Namun, wanita itu tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi untuk mencegah kepergian bosnya. Ia hanya bahan pelampiasan Shaka. Tidak ada hubungan apa pun di antara mereka. Dan ia tahu seperti apa Shaka, yang tidak bisa hidup dengan satu wanita saja. 

Tidak jarang banyak wanita-wanita cantik yang datang ke kantor ingin menemui Shaka. Tentu Tika cemburu. Namun, ia sadar dirinya bukan siapa-siapa dalam hidup Shaka.

Saat sang bos membutuhkan kehangatannya, maka dengan senang hati Tika datang. 

"Kita lanjut nanti, ya," ucap Shaka sambil memakai jasnya. 

"Yah, Pak Shaka lama kan, pasti?" Tanya Tika meskipun dengan ragu-ragu.

"Eh, sejak kapan kamu cengeng gini? Mau aku lama atau nggak, aku nggak harus laporan ke kamu. Jangan ngelunjak kamu, Tika!" hardik Shaka. Sepertinya, semua perlakuannya pada sang sekretaris, membuat wanita itu menjadi tidak tahu diri.

"Maaf, Pak." Tika cukup terkejut dan sedikit takut. Sepertinya Shaka tersinggung dengan ucapannya.

Shaka segera berjalan keluar ruangan kantornya dan meminta salah seorang di ruang sekretaris menghubungi sopir untuk menyiapkan mobil.

Sang nenek tadi memerintahkannya untuk pulang sesegera mungkin. Tampaknya ada hal penting yang ingin Nyonya Rose bicarakan pada cucunya. Shaka menebak-nebak dalam perjalanannya menuju rumah, kira-kira apa yang membuat neneknya memaksa dia untuk pulang segera?

Apa karena kejadian semalam bersama si perawat manis. Apa Kinan melaporkan perbuatannya pada sang nenek?

 

Nyonya Rose telah menunggu Shaka di kamarnya. Di sana, ada Kinan yang sedang merapikan obat-obatan milik wanita itu. Shaka menyeringai sengit pada gadis itu.

Biar bagaimanapun, ia kesal dengan sikap sok suci Kinan semalam. Karena ia yakin betul, tidak ada wanita yang mampu menolaknya. Kinan hanya jual mahal saja padanya. Dalam hati ia bersumpah untuk menaklukkan si perawat.

"Oma, kenapa menyuruhku pulang cepat, aku kan lagi banyak kerjaan di kantor." Shaka beralasan. Padahal kepalanya cukup pening disebabkan pergumulannya dengan Tika yang tidak tuntas.

"Kamu kenapa pecat Atun dan Bi Imah?" Nyonya Rose memasang wajah garang.

Shaka melirik Kinan yang sedang menundukkan wajah. 'Kurang ajar, memang gadis itu tekah melaporkan semuanya pada sang nenek!'

'Mmm ... aku nggak inget kenapa, Oma. Semalam aku mabuk," kilahnya.

"Atun dan Bi Imah sudah lama bekerja di rumah ini. Jangan sembarangan kamu, Shaka!"

"Iya, Oma. Sorry. Hanya itu yang mau Oma omongin? Kalau gitu aku balik dulu ke kantor. Ada client yang menunggu."

 

"Shaka! Diam di tempat kamu!" bentak Nyonya Rose. Shaka yang hendak memutar badan dan kabur dari kamar sang nenek, urung melakukannya.

 

"Sekali lagi oma peringatkan, jangan ganggu pekerjaan Kinan. Di sini Kinan hanya boleh melayani oma. Kamu tidak boleh menyuruh-nyuruh dia melakukan apa pun yang menjadi kepentingan kamu!"

Shaka mendesis seraya menatap Kinan. Apa yang sudah gadis itu lakukan pada neneknya, sehingga wanita tua itu begitu membela dan melindunginya.

 "Memangnya kenapa, Oma? Dia kan nggak ada bedanya sama pembantu di rumah ini."

"Kinan bukan pembantu. Dia perawat pribadi oma, ngerti kamu?" 

"Ya, Oma. Okay, aku ngerti," jawab Shaka malas. "Udah selesai, kan? Aku bener-bener harus balik ke kantor nih, Oma."

Nyonya Rose menggeleng pelan memandangi punggung kokoh Shaka yang kini menghilang di balik pintu.

Sementara Kinan mencoba menenangkan Nyonya Rose agar wanita itu tidak stres dan berbahaya bagi kesehatannya. Setelah dibujuk sedemikian rupa, akhirnya Nyonya Rose menurut untuk tidur siang.

 

Kinan menutup pintu kamar Nyonya Rose dengan hati-hati. Saat hendak memutar badan, sosok tegap itu berdiri di hadapannya, hingga membuat Kinan tidak sengaja menabrak dada Shaka. Kedua tangan Shaka mencekal lengan Kinan erat.

 "Bagus ya, kamu nggak melaporkan detail semalam pada Oma," kekeh Shaka. Ia terus mencekal kedua lengan Kinan meskipun gadis itu dengan sekuat tenaga berusaha untuk melepaskan diri.

"Saya tidak ingin membahayakan kesehatan Nyonya Besar dengan melaporkan perbuatan Tuan. Tolong lepaskan saya." Kinan hampir putus asa karena cekalan tangan Shaka begitu kuat.

 

"Bagus. Artinya, aku bisa berbuat yang lebih dari semalam. Seperti ini contohnya ...." Shaka mendekatkan wajahnya ke arah Kinan.

"Tuan mau ap ... mmmph!" Mulut Kinan dibungkam dengan bibir Shaka. Gadis itu terkejut bukan main.

Plak

Satu tamparan Kinan mendarat di pipi Shaka, begitu ia bisa melepaskan diri dari cekalan pria itu.

Kinan menatap Shaka nanar. Ia cukup terkejut dengan keberaniannya menampar Tuan Muda Adiwiguna. Entah apa yang merasukinya barusan. Yang jelas, saat bibir Shaka tiba-tiba bersentuhan dengan bibirnya, darahnya mendidih dan amarahnya meluap. 

Shaka tertawa seraya mengelus pipinya yang kini memerah. Bukan tawa senang tentunya, namun lebih kepada tawa miris dan syok.

 Dia baru saja ditampar seorang perempuan, yang bahkan seorang perempuan biasa. Harga dirinya benar-benar terinjak-injak. Seorang Shaka Adiwiguna, putra dan pewaris tunggal keluarga Adiwiguna, ditampar perawat neneknya sendiri. 

Keduanya saling menatap dengan perasaan masing-masing yang tercampur aduk. Di sisi Shaka, tentu saja ia marah. Sementara di sisi Kinan, gadis itu merasa puas sekaligus takut. Sepertinya ia baru saja menabuhkan genderang perang dengan Shaka. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status