"Nggak usah diangkat, Pak." Tika menahan lengan Shaka yang hendak meraih ponsel di atas meja.
"Bentar, Tik. Takutnya penting." Shaka mencoba menyingkirkan tangan sang sekretaris. Namun, Tika justru menyerang leher pemuda itu dan menyapunya dengan bibirnya yang sensual.Shaka yang mendapat serangan menggairahkan itu pun tidak mampu menolak. Ia menyambut serangan wanita seksi itu dengan tak kalah liarnya. Sampai-sampai ia membiarkan saja ponsel terus berdering hingga berhenti. Keduanya kembali bergelut diselingi suara desahan Tika dan tubuh berisinya yang menggelinjang ke sana kemari, membuat Shaka semakin bernafsu untuk menyatu dengan wanita itu.Namun, lagi-lagi ponsel di atas meja berdering. Dan terus berdering sambung menyambung. Akhirnya, Shaka pun terpaksa menyudahi pergumulannya dengan Tika."Bentar ya, Tik, ini dari Oma." Shaka meraih ponsel di atas meja, kemudian beranjak dari duduknya setelah meminta Tika berpindah dari pangkuannya.Wajah cantik wanita itu cemberut. Bagaimana tidak. Sebentar lagi mencapai puncak, namun ia terpaksa harus menundanya."Ya, Oma?" Shaka menyapa Nyonya Rose di seberang. Satu tangannya sibuk membetulkan posisi celananya yang melorot."Apa? Pulang? Sekarang? Aku lagi banyak kerjaan nih, Oma.""Mau ngomong apa sih, Oma? Kan bisa nanti kalau aku pulang.""Okay, okay. Aku pulang sekarang." Shaka menutup telepon seraya menghembuskan napas kasar. Ia melempar pandang ke arah Tika yang belum membetulkan pakaiannya yang berantakan. "Jadi gimana nih, Pak. Nanggung nggak dituntasin," rengek Tika."Aduh, sorry, Tik ... lanjut lain kali, ya. Aku harus ada di rumah dalam sepuluh menit," ujar Shaka tanpa memperdulikan sang sekretaris yang tampak sangat kecewa.Namun, wanita itu tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi untuk mencegah kepergian bosnya. Ia hanya bahan pelampiasan Shaka. Tidak ada hubungan apa pun di antara mereka. Dan ia tahu seperti apa Shaka, yang tidak bisa hidup dengan satu wanita saja. Tidak jarang banyak wanita-wanita cantik yang datang ke kantor ingin menemui Shaka. Tentu Tika cemburu. Namun, ia sadar dirinya bukan siapa-siapa dalam hidup Shaka.Saat sang bos membutuhkan kehangatannya, maka dengan senang hati Tika datang. "Kita lanjut nanti, ya," ucap Shaka sambil memakai jasnya. "Yah, Pak Shaka lama kan, pasti?" Tanya Tika meskipun dengan ragu-ragu."Eh, sejak kapan kamu cengeng gini? Mau aku lama atau nggak, aku nggak harus laporan ke kamu. Jangan ngelunjak kamu, Tika!" hardik Shaka. Sepertinya, semua perlakuannya pada sang sekretaris, membuat wanita itu menjadi tidak tahu diri."Maaf, Pak." Tika cukup terkejut dan sedikit takut. Sepertinya Shaka tersinggung dengan ucapannya.Shaka segera berjalan keluar ruangan kantornya dan meminta salah seorang di ruang sekretaris menghubungi sopir untuk menyiapkan mobil.Sang nenek tadi memerintahkannya untuk pulang sesegera mungkin. Tampaknya ada hal penting yang ingin Nyonya Rose bicarakan pada cucunya. Shaka menebak-nebak dalam perjalanannya menuju rumah, kira-kira apa yang membuat neneknya memaksa dia untuk pulang segera?Apa karena kejadian semalam bersama si perawat manis. Apa Kinan melaporkan perbuatannya pada sang nenek? Nyonya Rose telah menunggu Shaka di kamarnya. Di sana, ada Kinan yang sedang merapikan obat-obatan milik wanita itu. Shaka menyeringai sengit pada gadis itu.Biar bagaimanapun, ia kesal dengan sikap sok suci Kinan semalam. Karena ia yakin betul, tidak ada wanita yang mampu menolaknya. Kinan hanya jual mahal saja padanya. Dalam hati ia bersumpah untuk menaklukkan si perawat."Oma, kenapa menyuruhku pulang cepat, aku kan lagi banyak kerjaan di kantor." Shaka beralasan. Padahal kepalanya cukup pening disebabkan pergumulannya dengan Tika yang tidak tuntas."Kamu kenapa pecat Atun dan Bi Imah?" Nyonya Rose memasang wajah garang.Shaka melirik Kinan yang sedang menundukkan wajah. 'Kurang ajar, memang gadis itu tekah melaporkan semuanya pada sang nenek!''Mmm ... aku nggak inget kenapa, Oma. Semalam aku mabuk," kilahnya."Atun dan Bi Imah sudah lama bekerja di rumah ini. Jangan sembarangan kamu, Shaka!""Iya, Oma. Sorry. Hanya itu yang mau Oma omongin? Kalau gitu aku balik dulu ke kantor. Ada client yang menunggu." "Shaka! Diam di tempat kamu!" bentak Nyonya Rose. Shaka yang hendak memutar badan dan kabur dari kamar sang nenek, urung melakukannya. "Sekali lagi oma peringatkan, jangan ganggu pekerjaan Kinan. Di sini Kinan hanya boleh melayani oma. Kamu tidak boleh menyuruh-nyuruh dia melakukan apa pun yang menjadi kepentingan kamu!"Shaka mendesis seraya menatap Kinan. Apa yang sudah gadis itu lakukan pada neneknya, sehingga wanita tua itu begitu membela dan melindunginya. "Memangnya kenapa, Oma? Dia kan nggak ada bedanya sama pembantu di rumah ini.""Kinan bukan pembantu. Dia perawat pribadi oma, ngerti kamu?" "Ya, Oma. Okay, aku ngerti," jawab Shaka malas. "Udah selesai, kan? Aku bener-bener harus balik ke kantor nih, Oma."Nyonya Rose menggeleng pelan memandangi punggung kokoh Shaka yang kini menghilang di balik pintu.Sementara Kinan mencoba menenangkan Nyonya Rose agar wanita itu tidak stres dan berbahaya bagi kesehatannya. Setelah dibujuk sedemikian rupa, akhirnya Nyonya Rose menurut untuk tidur siang. Kinan menutup pintu kamar Nyonya Rose dengan hati-hati. Saat hendak memutar badan, sosok tegap itu berdiri di hadapannya, hingga membuat Kinan tidak sengaja menabrak dada Shaka. Kedua tangan Shaka mencekal lengan Kinan erat. "Bagus ya, kamu nggak melaporkan detail semalam pada Oma," kekeh Shaka. Ia terus mencekal kedua lengan Kinan meskipun gadis itu dengan sekuat tenaga berusaha untuk melepaskan diri."Saya tidak ingin membahayakan kesehatan Nyonya Besar dengan melaporkan perbuatan Tuan. Tolong lepaskan saya." Kinan hampir putus asa karena cekalan tangan Shaka begitu kuat. "Bagus. Artinya, aku bisa berbuat yang lebih dari semalam. Seperti ini contohnya ...." Shaka mendekatkan wajahnya ke arah Kinan."Tuan mau ap ... mmmph!" Mulut Kinan dibungkam dengan bibir Shaka. Gadis itu terkejut bukan main.PlakSatu tamparan Kinan mendarat di pipi Shaka, begitu ia bisa melepaskan diri dari cekalan pria itu.Kinan menatap Shaka nanar. Ia cukup terkejut dengan keberaniannya menampar Tuan Muda Adiwiguna. Entah apa yang merasukinya barusan. Yang jelas, saat bibir Shaka tiba-tiba bersentuhan dengan bibirnya, darahnya mendidih dan amarahnya meluap. Shaka tertawa seraya mengelus pipinya yang kini memerah. Bukan tawa senang tentunya, namun lebih kepada tawa miris dan syok. Dia baru saja ditampar seorang perempuan, yang bahkan seorang perempuan biasa. Harga dirinya benar-benar terinjak-injak. Seorang Shaka Adiwiguna, putra dan pewaris tunggal keluarga Adiwiguna, ditampar perawat neneknya sendiri. Keduanya saling menatap dengan perasaan masing-masing yang tercampur aduk. Di sisi Shaka, tentu saja ia marah. Sementara di sisi Kinan, gadis itu merasa puas sekaligus takut. Sepertinya ia baru saja menabuhkan genderang perang dengan Shaka.Hari itu, Azkayra sudah di perbolehkan pulang oleh Dokter Lisa. Perawatan akan di lanjutkan di Rumah utama. Dengan sangat bahagia Hanzero berkemas di bantu Arwan dan juga Berlinda.Ia terus mendekap sang Hanz Juniornya dengan tatapan mesra pada mata jagoan ciliknya yang mungil itu.Setelah semua siap,mobil mereka pun segera meninggalkan Rumah Sakit itu perasaan yang begitu bahagia.Hanz duduk di jok belakang bersama Azka dengan memangku sang buah hatinya, sementara Berlinda duduk di depan bersama Arwan yang mengemudi.Tak lama setelah melintasi jalan aspal hitam itu, mobil mereka telah memasuki halaman luas milik Rumah Utama keluarga Samudra. Di sambut puluhan penjaga dan juga pelayan dengan ucapan Selamat yang menggebu dari mulut mereka mengelu-elukan Calon Tuan muda mereka. Hanz menuruni mobil dengan senyum lebar menatap mereka.Hanz mengulurkan sang buah hati nya kepada Berlinda yang dengan sigap mengambil alih menggendong tuan muda kecil nya. Sementara Hanz membopong istri nya u
Peluh sudah membasahi wajah dan seluruh tubuh Azkayra, rasanya ia sudah tidak tahan lagi . Namun lagi-lagi Dokter Lisa mengucapkan kata sebentar lagi, karena memang pembukaan belum sepenuh /nya terjadi.Di ruang lain ,Hanzero terus meringis kesakitan. Tapi kali ini, entah mendapat kekuatan dari mana ia berusaha sekuatnya untuk menahannya dan mencoba bangun."Berlinda , kemarilah." ucapnya.Berlinda segera mendekati Tuannya yang sudah duduk di tepi ranjang."Lebih mendekat.!"Berlinda masih dengan kebingungan makin mendekatkan kakinya lagi."Bantu aku berjalan. Aku harus menemui Nona.!" ucap Hanz segera meraih pundak Berlinda."Tuan, anda sedang sakit, Dokter sebentar lagi datang. Suster sedang memanggilnya." cegah Berlinda."Tidak Berlinda, aku harus mendampingi Nona. Pasti dia sedang kesakitan yang lebih dari aku. Ayo Berlinda..! Mumpung sakit ini sedikit berkurang." Hanz langsung berdiri dengan berpegangan pada pundak Berlinda.Mau tidak mau, dengan perasaan sungkan Berlinda akhirny
Hanzero masih saja berguling di atas kasur sambil terus merintih. Sakit perut yang di alaminya bukan hanya biasa , namun lebih dari sekedar sakit perut biasa, mules tingkat tinggi dan kram. Sebentar menghilang dengan sendirinya dan sebentar akan datang kembali lebih sakit dari yang pertama,. Rasanya seperti diremas, dan pinggangnya pun terkadang sakit luar biasa.Sementara Azkayra hanya bisa kebingungan melihat suaminya kesakitan."Hanz,.!" Azka sudah meneteskan air mata."Azka, mana Arwan..? Sakit Azka , aku tidak tahan...!" Hanz yang biasanya selalu kuat menahan rasa sakit, kali ini benar-benar harus merintih menahannya."Sabar ya, sebenar lagi Arwan kemari. Dia sedang menyiapkan mobil." jawab Azka terus mengurut perut Hanz."Azka, aku ingin ke kamar mandi lagi." Hanz merangkak menuruni Ranjang."Biarku bantu Hanz," ucap Azka."Tidak tidak, aku masih kuat. Sakitnya berkurang." sahut Hanz, dengan memegangi pinggangnya mirip seorang kakek-akek osteoporosis ia berjalan tertatih ke kam
Hanzero masih terus berkutat dengan perut Azkayra yang sudah sangat membuncit.Hari ini kandungan istrinya sudah memasuki bulan kesembilan, walau pun baru memasuki dan belum penuh sembilan bulan, namun Hanzero sudah menyiapkan segala sesuatunya. Semua keperluan bayinya pun di siapkan olehnya sendiri. Dari tempat tidur dan seluruh keperluan bayi.Dengan panduan buku , ia bisa mengetahui semua apa yang di butuhkan bayi setelah lahir."Hanz, menurut lmu bayi lmu ini akan laki-laki apa perempuan.?" tanya Azka malam itu."Laki-laki ." jawab Hanz dengan mantapnya."Dari mana kamu tau?" Azka menyerngitkan dahinya."Entahlah, tapi aku begitu yakin." jawab Hanz lagi."Karena kamu menginginkan anak laki-laki.?""Tidak juga, aku malah ingin perempuan. Tapi aku selalu bermimpi menggendong anak laki-laki." jawab Hanz mendekati istrinya ."Laki-laki atau perempuan sama saja Azkayra. Aku akan sangat senang menyambutnya. Asal jangan kembar saja." ucap Hanz."Kenapa kalau kembar ?""Aku tidak tega me
Masih dengan penderitaan yang belum berubah, malah terkesan lebih sengsara, namun membuat Hanzero semakin bersemangat menghadapinya.Meski kadang lelah menggerogoti tulangnya, tapi rasa bahagia menepis kelelahannya. Ia bahkan semakin sabar dan telaten dalam menghadapi masa masa ngidam Azkayra yang baginya menjadi kekuatan tersendiri untuk nya itu.Kulit mulus Azka yang terlihat semakin indah di mata Hanz, namun badan Azka sedikit lebih kurus di banding hari hari sebelum ia di positif kan hamil. Mungkin karena Azka terus memuntahkan asupan gizi yang setiap saat menyinggahi perutnya.Sore itu, Hanz terus menatap perut istrinya yang nampak datar dan belum terlihat membuncit itu. Dalam hati nya ,ia tidak sabar menantikan kapan perut indah itu akan membesar?Ia melangkah menghampiri," Azka, malam ini kamu ingin makan apa.?" mengelus perut istirnya."Tidak ada." jawaban singkat dari Azka tanpa mempedulikan si pemberi pertanyaan."Jangan begitu. Kamu harus punya keinginan.""Hah, kenapa mema
Hanzero tetap saja melangkah menuruni tangga untuk mencari buah strawbery putih yang minta istri nya, padahal ia sendiri masih ragu, Apa ada?"Arwan.!" sempat terkejut ketika menatap Arwan sudah di depan pintu."Tuan, anda mau kemana.?""Kebetulan kamu sudah pulang, ayo ikut aku." Hanz bersemangat, setidaknya ada teman untuk berbagi pusing.Tanpa bertanya Arwan pun mengikuti langkah tuannya dan membuka kan pintu mobil."Kemana ini l, Tuan.?" tanya Arwan masih menginjak gas."Huh.!" menghela nafas."Tuan," Arwan menoleh."Ah, kemana saja . Yang penting bisa mendapatkannya.""Mendapatkan apa Tuan.?" Arwan bingung dengan ucapan Hanz."Arwan, apa ada buah strawberry berwarna putih? Kamu pernah melihatnya ? Mendadak Nona menginginkannya.""Ada, Tuan." spontan Arwan menjawab."Hei, aku sedang tidak bercanda!" Hanz mengira Arwan mengada-ngada."Ada Tuan, serius. Saya pernah melihatnya di internet. Kalau tidak salah, itu tanaman liar dari Amerika Selatan." jawab Arwan."Yang benar saja , apa