Febrianti mengangguk pelan. “Kenapa Kakak kaget banget?” Tatapannya menyorotkan rasa penasaran.
“Itu berarti kamu tahu rumah Darma, ‘kan?” Mataku berbinar, penuh harap. “Kakak belum jawab pertanyaanku tadi,” ulangnya lembut. “Ada hubungan apa Kakak dengan Darma? Kenapa Kakak pengen banget cari dia?” Aku menghela napas berat, tak tahu harus memulai dari mana. Mustahil aku mengungkap fakta sebenarnya. Aku tidak tega membeberkan aib adikku pada siapa pun. “Kak...” Aku sedikit tersentak saat merasakan kehangatan menyentuh tanganku lembut. Rupanya, Febrianti menggenggam tanganku untuk menguatkan. “Kok Kakak nangis?” “Nangis?” Aku refleks menyentuh pipiku dan terkejut. Sejak kapan aku menangis? Tanpa kusadari, air mataku meluruh deras sampai membanjiri wajahku. “Cerita aja, Kak.” Gadis itu membujukku sambil menatapku iba. “Aku janji nggak bakalan bocorin masalah Kakak pada siapa pun. Aku mau bantu Kakak menyelesaikan masalah Kakak, karena aku tahu Darma adalah cowok berengsek.” Aku menunduk sedih, ragu. Bisakah aku memercayai gadis yang baru kukenal selama beberapa menit? sayangnya, aku tidak punya pilihan lain. Situasinya tidak mengizinkanku untuk terus bungkam. Aku butuh petunjuk. “Adikku hamil.” Suaraku terdengar lirih, seperti bisikan samar. “Apa?! Hamil?” Febrianti membeliak tak percaya dan mulutnya ternganga lebar. “Maksudnya, adik Kakak hamil anak Darma?” sergahnya. Aku mengangguk lesu. “Itulah alasanku ingin tahu rumah dia. Apa kamu tahu?” Febrianti menatapku penuh rasa bersalah. “Maaf, Kak, aku nggak tahu karena Darma nggak pernah ajak aku mampir ke rumahnya selama kami berpacaran.” Hatiku seperti tercabik-cabik mendengar itu. Lagi-lagi, aku harus menelan kekecewaan. “Tetapi Kakak jangan khawatir.” Dia mengusap pundakku saat aku tampak putus asa. “Aku akan bantu Kakak tanya-tanya soal rumah Darma ke teman-temannya, karena aku kenal beberapa teman akrab dia.” “Kamu serius?” Aku kembali bersemangat mendengar itu. “Terima kasih banyak, Feb. Tolong, hubungi aku kalau kamu tahu apa pun soal keberadaan Darma, ya.” “Tentu saja.” Akhirnya, kami saling bertukar nomor sebelum aku kembali ke sekolahku. Aku buru-buru pulang ke rumah saat sore hari. Sepanjang hari, aku sangat mencemaskan Riani karena aku terpaksa meninggalkannya sendirian di rumah tanpa pengawasan siapa pun. Padahal aku sudah memutuskan untuk libur selama beberapa hari untuk merawatnya, tetapi Riani menolaknya. Katanya, kehamilannya tidak boleh mengganggu fokusku pada sekolah. Sesampainya di rumah, aku menekan handel pintu, tetapi langsung terbuka. “Kok pintunya nggak dikunci? Apa aku lupa kunci?” Sejak diterpa masalah itu, aku sulit berkonsentrasi. Tanpa memperdulikan pintu tersebut, aku bergegas masuk. Namun, langkahku terhenti di ruang tamu saat mendapati seorang pria sedang duduk di sofa sambil membaca koran. “Akhirnya, kamu sudah pulang.” “A-ayah?” Kalimatku tersangkut di tenggorokan, seolah ada sesuatu mencekikku. Alis Ayah berkerut sambari melipat koran dan menaruhnya di meja. “Kenapa kamu kaget gitu lihat Ayah?” “A-aku… Aku cuma kaget karena Ayah sudah pulang dari luar kota tanpa kabari aku dulu.” Aku tersenyum kikuk, menyembunyikan kegugupan. Aku tidak mengira mereka akan pulang secepat ini. Aku masih belum siap bersandiwara di depan mereka. “Ibumu panik dan terus mendesak Ayah agar cepat pulang saat guru terus melaporkan kondisi kesehatan Riani. Kenapa kamu nggak kasih tahu soal ini, sih?” Protes Ayah tegas. “Kalau Riani kenapa-kenapa, gimana?” ‘Aku juga tidak mau menutupi masalah ini dari Ayah, tetapi aku tidak punya pilihan lain selain menyembunyikan masalah kehamilan Riani dari kalian.’ Aku mengeluh dalam hati. “Kamu kenapa, Din? Kok tiba-tiba cemberut gitu? Kamu ada masalah di sekolah?” Ayah mengernyit heran. “Nggak, kok, Yah.” Aku tersenyum canggung. “Aku cuma capek aja. Aku pamit masuk ke kamar dulu, ya.” Ayah terpaksa mengangguk, lalu aku pergi meninggalkannya. Sebelum pergi ke kamarku untuk berganti pakaian, aku mampir ke kamar Riani yang bersebelahan dengan kamarku. Ketika masuk, aku mendapati Ibu sedang mengomeli Riani. “Pokoknya, kita harus ke rumah sakit, sekarang! Jangan keras kepala! Apalagi wajah kamu sudah pucat banget! Kalau sakitnya makin parah, gimana?!” Aku menegang mendengar kata ‘rumah sakit’. Jika Riani pergi, maka semuanya akan terbongkar. “T-tetapi biaya rumah sakit mahal, Bu.” Riani menolak dengan halus, gugup. “Itu urusan Ibu! Kamu jangan pikirin soal uang! Tugasmu cuma ikut aja!” Melihat Riani tertekan karena Ibu terus memaksanya, aku segera menghampiri mereka dan menyela, “Kemarin aku sudah antar Riani ke Puskesmas, kok, Bu. Kata dokter, Riani Cuma kecapekan aja dan butuh istirahat. Kalau ibu marahi Riani terus, dia bakalan drop lagi.” Aku menasehati dengan bijak. “Apa kamu yakin?” Ibu menatapku ragu. “Tapi Riani pucat banget, loh. Kamu bisa lihat sendiri, ‘kan? Nggak mungkin dia Cuma kecapekan aja.” Suaranya menyiratkan kekhawatiran. “Riani masih pucat karena dia nekat pergi ke sekolah kemarin, padahal aku sudah melarangnya.” Aku mencari-cari alasan yang tepat agar Ibu tidak mencurigaiku. “Apa benar yang Diani bilang, Rin?! Kamu masih pergi ke sekolah saat kamu sakit!?” Suara Ibu naik beberapa oktaf. “Apa kamu mau mati?! Kamu harus mengutamakan kesehatanmu dari pada belajar!” Riani hanya menunduk, matanya berkaca-kaca. “Ma-maafkan aku, Bu.” Suaranya bergetar menahan tangis. Aku tahu dia meminta maaf bukan masalah itu, melainkan kehamilannya. Sayangnya, dia tidak bisa mengungkapkan secara berterus-terang. Ibu mendengus berat. “Ya sudah, lain kali jangan diulangi lagi.” Suaranya melembut, meski masih terdengar jengkel. “Ibu bangga kamu semangat belajar, tetapi kamu harus jaga diri kamu baik-baik juga, karena itu tugasmu sebagai anak.” Air mata Riani langsung meluncur bebas saat mendengar ‘jaga diri baik-baik’ dan ‘tugas anak’. Ya Tuhan, aku tidak tahu betapa hancurnya Riani saat mendengar itu. Aku hanya bisa menahan diri. “Sudah, dong, Bu. Jangan marahi Riani terus.” Aku memperingati. “Sebaiknya Ibu keluar, biar Riani istirahat.” Ibu langsung mengangguk pelan. “Baiklah. Tetapi kamu harus istirahat total. Jangan pikirin apa pun. Apalagi tugas sekolah.” Riani hanya mengangguk pelan, lalu Ibu pergi, meninggalkan kami berdua. Aku duduk di tepi kasur dan mengenggam tangan Riani. “Kamu jangan nangis kalau di depan ibu. Apalagi ayah. Nanti mereka bisa curiga,” aku berbisik sambil melirik ke arah pintu, mengantisipasi jika ibu masih berada di baliknya. “Ma-maaf, Kak. Tapi aku nggak bisa menahan diri tadi.” Riani makin terisak-isak hingga suaranya terbata-bata. “Aku merasa makin bersalah saat melihat wajah ibu,” Lanjutnya lirih. “Ibu kayak marah dan kecewa banget hanya karena aku sakit. Bagaimana kalau mereka tahu aku hamil? Aku nggak bisa bayangin reaksi mereka nanti.” Riani menatapku penuh linangan air mata dan keputusasaan. “Apa mereka masih mau menerimaku sebagai anaknya?” “Rin, stop... kamu jangan ngomong kayak gitu.” Aku refleks menggenggam tangannya saat dia mulai melantur. “Kamu tetap anak ibu dan ayah. Aku yakin mereka pasti bisa maafin kamu.” “Tapi aku sudah mengecewakan mereka, Kak. Padahal mereka menganggap aku sebagai anak pintar dan penurut. Mereka selalu membanggakan aku sama orang-orang dan tetangga. Tetapi, sekarang, aku malah bikin mereka malu atas kehamilanku.” Krek! Aku dan Riani tersentak saat mendengar pintu dibuka seseorang secara tiba-tiba. Mataku terbelalak saat Ibu masuk tanpa permisi. Apa Ibu mendengar apa yang kami bicarakan? “Hamil?”(POV Diani)Hari itu langit tampak suram, seakan merasakan kesedihan yang menyelimuti keluargaku. Aku berdiri di samping makam Riani, menatap batu nisan yang tertutup bunga dan tanah basah. Hati ini rasanya hampir tak sanggup menahan beban yang terus datang. Riani, adikku, yang dulu selalu ceria, yang dulu selalu ada untukku, kini hanya bisa kuingat dalam kenangan.Kami baru saja menguburkan Riani. Pemakaman ini terjadi begitu cepat. Begitu banyak hal yang belum sempat aku katakan padanya. Begitu banyak yang belum sempat kami selesaikan. Tapi kini, semuanya telah terlambat. Aku tidak tahu harus merasa apa. Duka mendalam? Iya, pasti. Tetapi ada juga perasaan marah yang membara dalam dada. Marah pada Darma. Marah pada ketidak peduliannya. Marah pada dunia yang begitu kejam padanya. Aku sudah terlalu lama diam.Ketika kami pulang dari pemakaman, rumah kami dipenuhi oleh keheningan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ayah dan ibu duduk di ruang tamu, wajah mereka hancur. Mereka ti
(POV Darma)Aku masih sangat jengkel saat Diani menyerangku dan mempermalukanku di klub beberapa saat lalu. Makiannya terus terngiang-ngiang di telingaku, meski aku sudah meneguk beberapa gelas alkohol.Sekarang teman-temanku terus-menerus menanyaiku tentang Riani dan meminta penjelasan tentang pernikahan kami. Padahal aku mengaku pada mereka bahwa aku masih lajang.Sial! Beraninya gadis itu mempermalukanku aku di depan teman-teman balap liarku.Aku meremas gelas alkohol saat teringat tatapan penuh kebencian dan tangisan histeris Diani. Sebenarnya aku juga heran tentang kepergian Riani, karena baru pertama kali dia pergi tanpa izinku.Apalagi saat Diani menangis histeris di depanku, membuatku makin penasaran. Dia memang selalu mengkhawatirkan adiknya, tetapi kali ini berbeda, seolah-olah Riani sedang di ambang malapetaka.Namun, bukan itu yang kucemas. Ada perasaan aneh yang memenuhi di dadaku dan aku tidak tahu bagaimana cara menyingkirkannya.Aku merasa cemas dan tegang tanpa alasan
Aku keluar dari club dengan dadaku masih terbakar rasa marah dan benci yang bercampur aduk. Percakapanku dengan Darma barusan benar-benar membuatku muak. Bagaimana mungkin dia bisa sekejam itu? Bahkan di saat Riani sedang dalam kondisi yang tidak jelas, dia masih saja tidak peduli.Langkahku terasa berat saat berjalan di trotoar. Udara malam terasa dingin, tapi bukan itu yang membuat tubuhku menggigil. Rasa takut dan gelisah terus menghantui pikiranku. Aku masih belum tahu di mana Riani dan orang tuaku berada. Darma jelas tidak peduli. Dia bahkan berharap Riani mati.Pikiran itu membuat dadaku sesak. Aku mengeluarkan ponselku dan mencoba menelepon Ayah sekali lagi, tetapi tetap tidak ada jawaban. Aku benar-benar tidak tahu harus mencari mereka ke mana lagi.Tetapi, tiba-tiba sebuah ingatan melintas di benakku. Beberapa bulan yang lalu, aku pernah mengantar Riani ke rumah sakit karena dia pingsan di kosan. Saat itu, dokter menyuruhnya untuk banyak istirahat dan tidak terlalu stres.Mun
(POV Diani)Hari ini cukup melelahkan. Aku baru saja selesai menemani temanku membeli beberapa baju untuk acara akhir pekan. Ketika sampai di depan rumah, hal yang kupikirkan adalah mandi lalu tidur.Namun, saat aku membuka pintu rumah dan memasuki ruang tamu, perasaan cemas langsung menyelimuti hatiku. Rumah yang biasanya ramai dengan kehadiran orang tua, kini terasa kosong. Tidak ada suara Ibu yang biasanya menyambutku saat pulang. Tidak ada suara televisi yang sering Ayah tonton.Aku berdiri sejenak sambil menatap ke sekeliling. Suasananya sangat berbeda dari sebelumnya. Sangat sepi dan hampa.“Bu?” Aku mencari mereka di semua ruangan, tetapi tidak ada. Ini aneh. Ibu dan Ayah jarang sekali pergi pada malam hari, apalagi tanpa memberitahuku. Biasanya mereka selalu mengabari ke mana mereka pergi, meski hanya sebentar. Tapi malam ini, tidak ada kabar sama sekali. Aku mulai merasa khawatir. Ada yang tidak beres.Aku mengeluarkan ponsel dari tas dan mengirimi pesan pada Ibu dan Ayah.“K
(POV Riani) Aku berusaha tetap sadar, meski semuanya terasa gelap dan rasa sakit di seluruh tubuhku membuatku nyaris pingsan. Pandanganku kabur dan perutku terasa kram luar biasa. Aku mencoba memegang dinding untuk berusaha bangkit berdiri, tetapi tenaga yang kumiliki habis sehingga aku kembali terduduk lemas di lantai. Aku teringat pada bayi di dalam kandunganku. Aku memegangi perutku yang sudah membesar. Rasa nyeri hebat menghantam dinding perutku, membuat darah mengalir dari selangkanganku. ‘Tolong, Tuhan. Jangan sampai aku kehilangan bayiku!’ jeritku dalam hati. Aku mengerang pelan sambil mencoba bangkit dengan bertumpu pada meja kecil di dekatku. Namun, tanganku gemetar hebat dan pandanganku makin gelap. Sebelum aku bisa berdiri dengan sempurna, sikuku menyenggol gelas di atas meja. Gelas itu jatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping, suaranya menggema dalam kesunyian rumah yang mencekam. Aku tersentak dengan napas tersengal-sengal. Aku kembali meraih meja di dekatku, tetap
Langit biru mulai berubah kekuningan saat aku melangkah keluar dari rumah Ibu. Udara sore terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku menghela napas panjang untuk mencoba menguatkan diri. Pertemuan singkat dengan Ibu membuat dadaku semakin sesak. Apalagi saat aku memasuki rumah itu yang mengingatkanku pada masa kecilku. Aku sangat merindukan semua momen bahagia saat aku dan Diani menghabiskan waktu bersama dengan orang tuaku. Meski masalah utang terus mengancam kami, aku masih bisa berbahagia menikmati kebersamaan keluarga. Bukan seperti sekarang. Setiap hari hanya ada air mata dan ketakutan. Aku menyesal telah menyerahkan diriku pada Darma karena cinta. Kata-kata manisnya seolah dia sangat mencintaiku telah meracuni pikiranku. Dia telah menghancurkan seluruh hidupku. Aku menghela napas berat. Tidak ada gunanya aku menyesali semua yang telah terjadi. Semuanya telah terlambat untuk diperbaiki. Sekarang aku harus fokus menanggung kesalahannya, m