Diani selalu menjaga adiknya, Riani, dengan sepenuh hati. Namun, dunia Riani runtuh saat ia hamil di luar nikah dan menikah dengan Darma. Pria yang ternyata kasar dan penuh tipu daya. Ketika melahirkan, Riani meninggal, meninggalkan bayi mungil yang ia titipkan pada Diani. Darma, yang memiliki kekayaan dan pesona, berpura-pura berubah. Demi keponakannya, Diani akhirnya menerima lamaran Darma, berharap bisa menjadi ibu yang baik bagi bayi tersebut. Tapi pernikahan itu justru membuka luka baru. Darma ternyata masih sama, penuh manipulasi dan kekejaman. Bagaimana Diani bisa bertahan dalam pernikahan beracun ini? Dan benarkah Darma menyembunyikan rahasia yang lebih kelam?
Lihat lebih banyak“Riani, kok kamu belum siap-siap berangkat sekolah? Aku sudah siap, loh. Nanti kita terlambat,” ujarku heran. Padahal sekarang sudah pukul enam pagi, tetapi tidak ada tanda-tanda Riani sudah bangun.
“Riani?” Alisku mengerut heran saat tak mendengar sahutan. “Jawab Kakak. Masa kamu belum bangun.” Tidak ada respon. Ini aneh. Sudah seminggu Riani mengurung diri di kamar dan bermalas-malasan berangkat ke sekolah. Padahal, biasanya dia sangat antusias dan rajin. Tak heran dia menjadi salah satu siswi terpintar di kelas. Kini semuanya berubah. Aku menempelkan telinga ke pintu karena penasaran. Mataku terbelalak saat samar-samar mendengar Riani terbatuk-batuk dan muntah-muntah. “Riani, kamu kenapa?! Buka pintunya!” Aku menekan-nekan gagang pintu dengan gelisah. “Jangan buat Kakak khawatir!” Perasaanku campur aduk. Selama ini, aku hanya memendam kegelisahan ini saat Riani tampak murung. Awalnya, aku menduga dia stres karena PR yang menumpuk. Namun, dari hari ke hari, sikapnya sangat membingungkan seperti kehilangan gairah hidup. “Riani! Buka pintunya! Aku tahu kamu dengar Kakak! Kalau kamu nggak buka pintunya, Kakak akan panggil aya—” Krek! Aku terkejut saat wajah pucat bak mayat tiba-tiba muncul dari balik pintu. "Astagfirullah! Kok kamu pucat banget? Kamu sakit?” Aku langsung memeriksa dahi Riani, mengecek suhu tubuhnya, tetapi tidak panas. “Aku baik-baik saja, Kak.” Riani tersenyum tipis, berusaha kuat. Dia menyingkirkan tanganku dari dahinya dengan lembut. “Jangan khawatir. Aku Cuma meriang.” "Jangan bohong. Buktinya wajahmu pucat banget!” omelku, lalu menarik tangan Riani. “Ayo, kita ke rumah sak—” “Rumah sakit?” Riani spontan menepis tanganku, membuatku tersentak. Untuk pertama kalinya, dia bersikap kasar. “A-aku baik-baik saja, kok, Kak. Percaya sama aku.” Dia tersenyum kaku. Wajah manisnya makin memucat karena panik. “Tetapi—” “Aku siap-siap dulu, ya! Takut terlambat!” Riani buru-buru menutup pintu di depanku, meninggalkanku dengan sejuta pertanyaan. Aku tertegun. Ini benar-benar aneh. Aku yakin dia sedang menyembunyikan sesuatu. Namun, apa itu? Aku hanya bisa menghela napas berat, tak punya kesempatan bertanya. Aku memutuskan akan bertanya saat di angkot nanti. Kemudian, aku pergi ke ruang makan untuk sarapan. "Di mana adikmu, Sayang? Tumben jam segini dia belum siap-siap,” tanya seorang pria berumur empat puluh lima tahun, berwajah teduh dan berwibawa. Dia duduk di meja makan seraya menyantap nasi goreng. “Dia sedang siap-siap, kok, Ayah.” Aku menarik kursi dan duduk di depan Bagas. Firasatku tidak enak. Ada sesuatu mengganjal di hatiku, tetapi aku tidak bisa mengungkapkannya. “Ada apa, Nak? Kok kamu gelisah gitu?” Aku menegang saat mendengar suara ayah. Aku berusaha tersenyum. “Nggak ada apa-apa, Ayah.” “Kamu jangan bohong. Ayah bukan anak kecil. Jika kamu ada masalah, beri tahu Ayah,” bujuk Bagas. Tenggorokanku tercekat. Aku ingin mengutarakan kerisauanku tentang perubahan sikap dan kesehatan Riani, tetapi sungkan. Akibat kehidupan keluarga kami yang dipenuhi tekanan ekonomi, membuatku tumbuh menjadi anak tertutup dan mandiri, yang akan menyembunyikan segala permasalahan dari orang tuaku. “Beneran, Ayah. Percaya sama aku.” Aku memaksakan senyum cerah. Aku tidak mau masalah Riani akan mengganggu kesehatan ayah, karena dia mempunyai riwayat sakit jantung. Lagi pula, Riani masih punya aku, yang akan siap sedia merawatnya. Bagas mendengus kecewa. “Baiklah. Terserah kamu saja,” sahutnya, malas berdebat. Aku melirik kamar Riani dan arloji di tanganku secara bergantian. Aku makin cemas. Sekarang sudah pukul setengah tujuh pagi, tetapi dia tak kunjung muncul. Aku hanya mengaduk-aduk nasi goreng, tak nafsu makan akibat pikiranku berkelana ke mana-mana. Aku menduga Riani sakit parah karena dia sangat pucat. ‘Tetapi sakit apa?’ Meski kami akrab, Riani sedikit tertutup pada keluarganya. Termasuk aku. Padahal kami sudah berjanji akan saling terbuka dan menguatkan jika ada masalah. Tak lama kemudian, Riani datang sambil tersenyum cerah. Wajah pucatnya sudah dipoles bedak tipis ditambah lipstik merah muda, membuatnya tampak lebih segar. Melihat itu, aku sedikit lega. Selesai sarapan, kami berpamitan pada orang tua kami dan menaiki angkot. "Riani, jawab Kakak jujur.” Aku memberikan tatapan tegas padanya. Riani hanya menunduk, enggan menatap mataku. Dia terus meremas-remas roknya dengan gugup. “Sebenarnya, kamu sakit apa? Kenapa kamu nggak mau periksa ke rumah sakit? Gimana kalau kamu sakit parah?” omelku. Untungnya, hanya kami berdua di angkot itu sehingga tidak ada yang akan menyaksikan perdebatan kami. Riani membisu. Mungkin dia muak pada sikapku yang terlalu overprotektif. Namun, bagiku, itu wajar karena dia satu-satunya adikku. Sepanjang perjalanan, Riani enggan menjawab. Padahal aku sudah mendesak dan membujuknya dengan berbagai cara agar dia mau periksa ke puskesmas demi mengetahui penyebabnya, tetapi Riani menolak dengan alasan biaya. Padahal Puskesmas gratis. Aku jengkel, tetapi kehabisan kata-kata. Dia sangat keras kepala. Kesehatan Riani sangat mengusik ketenangan hatiku. Mungkinkah dia sebenarnya sudah tahu tentang penyakitnya, tetapi enggan memberi tahu karena tidak mau membuat keluarganya khawatir? Sayangnya, hari ini, aku harus menelan kekecewaan karena Riani harus turun terlebih dahulu karena kami beda sekolah. Sesampainya di kelas, aku terduduk lesu. Hari ini sangat suram. Aku merasa hampa, seperti separuh jiwaku terenggut. Aku makin stres karena tenggelam dalam kebingungan. “Oi! Melamun saja! Pasti lagi mikirin cowok, kan?! Hayo, ngaku!” Anggi, teman sebangku sekaligus sahabatku, menepuk pundakku. Aku mendesis kesal. “Kamu ngagetin aja. Aku nggak mikirin siapa pun, kok!” bantahku. "Ah, bohong! Tuh, lihat! Hidungmu kompas-kempis kalau lagi bohong!” Anggi cekikikan. “Sorry, ya. Aku bukan kamu, yang selalu memikirkan mantan kamu, si Darma itu,” ejekku. “Dia aja nggak mikirin kamu.” “Ih, jahat banget, sih!” Anggi cemberut. "Maaf, maaf. Aku Cuma bercanda, kok.” Aku tertawa pelan. "Lagian, kenapa dia harus pindah, sih? Jadi, kami nggak bisa sering-sering bertemu, deh.” Dia bertopang dagu sambil cemberut. “Bukannya kamu yang putusin dia? Kok, malah kamu yang gagal move on?” Anggi terdiam seribu bahasa. “Ah, kamu nggak asik!” “Kamu harus move on, dong. Kalian ‘kan sudah putus, kenapa kamu masih mengharapkan dia kembali? Aneh.” “Karena dia tampan.” Anggi cengar-cengir dengan tampang tak berdosa. Aku memutar mata malas. Kenapa semua gadis di sekolah tergila-gila pada Darma? Meskipun dia merupakan most wanted di sekolah dan kaya raya, aku sama sekali tidak tertarik. Di tengah percakapan kami, ponselku tiba-tiba berdering. Aku merogoh saku rokku dan memeriksanya. Aku mengernyit saat tertera nomor asing di layar ponselku. “Siapa ini?” gumamku. “Siapa, Din?” Anggi melongok ke ponselku. “Kenapa nggak diangkat? Angkat, dong. Siapa tahu penting.” Aku mengangguk, lalu mengangkatnya ragu-ragu. “Halo—” “Apa benar kamu adalah Kakak Riani?” tanya seorang gadis panik di seberang telepon. “Benar. Kamu siapa, ya?” “Riani pingsan, Kak! Sekarang dia dibawa ke rumah sakit!” "Apa?!”(POV Diani)Hari itu langit tampak suram, seakan merasakan kesedihan yang menyelimuti keluargaku. Aku berdiri di samping makam Riani, menatap batu nisan yang tertutup bunga dan tanah basah. Hati ini rasanya hampir tak sanggup menahan beban yang terus datang. Riani, adikku, yang dulu selalu ceria, yang dulu selalu ada untukku, kini hanya bisa kuingat dalam kenangan.Kami baru saja menguburkan Riani. Pemakaman ini terjadi begitu cepat. Begitu banyak hal yang belum sempat aku katakan padanya. Begitu banyak yang belum sempat kami selesaikan. Tapi kini, semuanya telah terlambat. Aku tidak tahu harus merasa apa. Duka mendalam? Iya, pasti. Tetapi ada juga perasaan marah yang membara dalam dada. Marah pada Darma. Marah pada ketidak peduliannya. Marah pada dunia yang begitu kejam padanya. Aku sudah terlalu lama diam.Ketika kami pulang dari pemakaman, rumah kami dipenuhi oleh keheningan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ayah dan ibu duduk di ruang tamu, wajah mereka hancur. Mereka ti
(POV Darma)Aku masih sangat jengkel saat Diani menyerangku dan mempermalukanku di klub beberapa saat lalu. Makiannya terus terngiang-ngiang di telingaku, meski aku sudah meneguk beberapa gelas alkohol.Sekarang teman-temanku terus-menerus menanyaiku tentang Riani dan meminta penjelasan tentang pernikahan kami. Padahal aku mengaku pada mereka bahwa aku masih lajang.Sial! Beraninya gadis itu mempermalukanku aku di depan teman-teman balap liarku.Aku meremas gelas alkohol saat teringat tatapan penuh kebencian dan tangisan histeris Diani. Sebenarnya aku juga heran tentang kepergian Riani, karena baru pertama kali dia pergi tanpa izinku.Apalagi saat Diani menangis histeris di depanku, membuatku makin penasaran. Dia memang selalu mengkhawatirkan adiknya, tetapi kali ini berbeda, seolah-olah Riani sedang di ambang malapetaka.Namun, bukan itu yang kucemas. Ada perasaan aneh yang memenuhi di dadaku dan aku tidak tahu bagaimana cara menyingkirkannya.Aku merasa cemas dan tegang tanpa alasan
Aku keluar dari club dengan dadaku masih terbakar rasa marah dan benci yang bercampur aduk. Percakapanku dengan Darma barusan benar-benar membuatku muak. Bagaimana mungkin dia bisa sekejam itu? Bahkan di saat Riani sedang dalam kondisi yang tidak jelas, dia masih saja tidak peduli.Langkahku terasa berat saat berjalan di trotoar. Udara malam terasa dingin, tapi bukan itu yang membuat tubuhku menggigil. Rasa takut dan gelisah terus menghantui pikiranku. Aku masih belum tahu di mana Riani dan orang tuaku berada. Darma jelas tidak peduli. Dia bahkan berharap Riani mati.Pikiran itu membuat dadaku sesak. Aku mengeluarkan ponselku dan mencoba menelepon Ayah sekali lagi, tetapi tetap tidak ada jawaban. Aku benar-benar tidak tahu harus mencari mereka ke mana lagi.Tetapi, tiba-tiba sebuah ingatan melintas di benakku. Beberapa bulan yang lalu, aku pernah mengantar Riani ke rumah sakit karena dia pingsan di kosan. Saat itu, dokter menyuruhnya untuk banyak istirahat dan tidak terlalu stres.Mun
(POV Diani)Hari ini cukup melelahkan. Aku baru saja selesai menemani temanku membeli beberapa baju untuk acara akhir pekan. Ketika sampai di depan rumah, hal yang kupikirkan adalah mandi lalu tidur.Namun, saat aku membuka pintu rumah dan memasuki ruang tamu, perasaan cemas langsung menyelimuti hatiku. Rumah yang biasanya ramai dengan kehadiran orang tua, kini terasa kosong. Tidak ada suara Ibu yang biasanya menyambutku saat pulang. Tidak ada suara televisi yang sering Ayah tonton.Aku berdiri sejenak sambil menatap ke sekeliling. Suasananya sangat berbeda dari sebelumnya. Sangat sepi dan hampa.“Bu?” Aku mencari mereka di semua ruangan, tetapi tidak ada. Ini aneh. Ibu dan Ayah jarang sekali pergi pada malam hari, apalagi tanpa memberitahuku. Biasanya mereka selalu mengabari ke mana mereka pergi, meski hanya sebentar. Tapi malam ini, tidak ada kabar sama sekali. Aku mulai merasa khawatir. Ada yang tidak beres.Aku mengeluarkan ponsel dari tas dan mengirimi pesan pada Ibu dan Ayah.“K
(POV Riani) Aku berusaha tetap sadar, meski semuanya terasa gelap dan rasa sakit di seluruh tubuhku membuatku nyaris pingsan. Pandanganku kabur dan perutku terasa kram luar biasa. Aku mencoba memegang dinding untuk berusaha bangkit berdiri, tetapi tenaga yang kumiliki habis sehingga aku kembali terduduk lemas di lantai. Aku teringat pada bayi di dalam kandunganku. Aku memegangi perutku yang sudah membesar. Rasa nyeri hebat menghantam dinding perutku, membuat darah mengalir dari selangkanganku. ‘Tolong, Tuhan. Jangan sampai aku kehilangan bayiku!’ jeritku dalam hati. Aku mengerang pelan sambil mencoba bangkit dengan bertumpu pada meja kecil di dekatku. Namun, tanganku gemetar hebat dan pandanganku makin gelap. Sebelum aku bisa berdiri dengan sempurna, sikuku menyenggol gelas di atas meja. Gelas itu jatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping, suaranya menggema dalam kesunyian rumah yang mencekam. Aku tersentak dengan napas tersengal-sengal. Aku kembali meraih meja di dekatku, tetap
Langit biru mulai berubah kekuningan saat aku melangkah keluar dari rumah Ibu. Udara sore terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku menghela napas panjang untuk mencoba menguatkan diri. Pertemuan singkat dengan Ibu membuat dadaku semakin sesak. Apalagi saat aku memasuki rumah itu yang mengingatkanku pada masa kecilku. Aku sangat merindukan semua momen bahagia saat aku dan Diani menghabiskan waktu bersama dengan orang tuaku. Meski masalah utang terus mengancam kami, aku masih bisa berbahagia menikmati kebersamaan keluarga. Bukan seperti sekarang. Setiap hari hanya ada air mata dan ketakutan. Aku menyesal telah menyerahkan diriku pada Darma karena cinta. Kata-kata manisnya seolah dia sangat mencintaiku telah meracuni pikiranku. Dia telah menghancurkan seluruh hidupku. Aku menghela napas berat. Tidak ada gunanya aku menyesali semua yang telah terjadi. Semuanya telah terlambat untuk diperbaiki. Sekarang aku harus fokus menanggung kesalahannya, m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen