Terjerat Cinta Suami Adikku

Terjerat Cinta Suami Adikku

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-25
Oleh:  Pita ChrisOn going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
10
1 Peringkat. 1 Ulasan
29Bab
476Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Diani selalu menjaga adiknya, Riani, dengan sepenuh hati. Namun, dunia Riani runtuh saat ia hamil di luar nikah dan menikah dengan Darma. Pria yang ternyata kasar dan penuh tipu daya. Ketika melahirkan, Riani meninggal, meninggalkan bayi mungil yang ia titipkan pada Diani. Darma, yang memiliki kekayaan dan pesona, berpura-pura berubah. Demi keponakannya, Diani akhirnya menerima lamaran Darma, berharap bisa menjadi ibu yang baik bagi bayi tersebut. Tapi pernikahan itu justru membuka luka baru. Darma ternyata masih sama, penuh manipulasi dan kekejaman. Bagaimana Diani bisa bertahan dalam pernikahan beracun ini? Dan benarkah Darma menyembunyikan rahasia yang lebih kelam?

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1. Kecurigaan Diani

“Riani, kok kamu belum siap-siap berangkat sekolah? Aku sudah siap, loh. Nanti kita terlambat,” ujarku heran. Padahal sekarang sudah pukul enam pagi, tetapi tidak ada tanda-tanda Riani sudah bangun.

“Riani?” Alisku mengerut heran saat tak mendengar sahutan. “Jawab Kakak. Masa kamu belum bangun.”

Tidak ada respon. Ini aneh. Sudah seminggu Riani mengurung diri di kamar dan bermalas-malasan berangkat ke sekolah. Padahal, biasanya dia sangat antusias dan rajin. Tak heran dia menjadi salah satu siswi terpintar di kelas.

Kini semuanya berubah. Aku menempelkan telinga ke pintu karena penasaran. Mataku terbelalak saat samar-samar mendengar Riani terbatuk-batuk dan muntah-muntah.

“Riani, kamu kenapa?! Buka pintunya!” Aku menekan-nekan gagang pintu dengan gelisah. “Jangan buat Kakak khawatir!”

Perasaanku campur aduk. Selama ini, aku hanya memendam kegelisahan ini saat Riani tampak murung. Awalnya, aku menduga dia stres karena PR yang menumpuk.

Namun, dari hari ke hari, sikapnya sangat membingungkan seperti kehilangan gairah hidup.

“Riani! Buka pintunya! Aku tahu kamu dengar Kakak! Kalau kamu nggak buka pintunya, Kakak akan panggil aya—”

Krek!

Aku terkejut saat wajah pucat bak mayat tiba-tiba muncul dari balik pintu.

"Astagfirullah! Kok kamu pucat banget? Kamu sakit?” Aku langsung memeriksa dahi Riani, mengecek suhu tubuhnya, tetapi tidak panas.

“Aku baik-baik saja, Kak.” Riani tersenyum tipis, berusaha kuat. Dia menyingkirkan tanganku dari dahinya dengan lembut. “Jangan khawatir. Aku Cuma meriang.”

"Jangan bohong. Buktinya wajahmu pucat banget!” omelku, lalu menarik tangan Riani. “Ayo, kita ke rumah sak—”

“Rumah sakit?” Riani spontan menepis tanganku, membuatku tersentak. Untuk pertama kalinya, dia bersikap kasar.

“A-aku baik-baik saja, kok, Kak. Percaya sama aku.” Dia tersenyum kaku. Wajah manisnya makin memucat karena panik.

“Tetapi—”

“Aku siap-siap dulu, ya! Takut terlambat!” Riani buru-buru menutup pintu di depanku, meninggalkanku dengan sejuta pertanyaan.

Aku tertegun. Ini benar-benar aneh. Aku yakin dia sedang menyembunyikan sesuatu.

Namun, apa itu?

Aku hanya bisa menghela napas berat, tak punya kesempatan bertanya.

Aku memutuskan akan bertanya saat di angkot nanti. Kemudian, aku pergi ke ruang makan untuk sarapan.

"Di mana adikmu, Sayang? Tumben jam segini dia belum siap-siap,” tanya seorang pria berumur empat puluh lima tahun, berwajah teduh dan berwibawa. Dia duduk di meja makan seraya menyantap nasi goreng.

“Dia sedang siap-siap, kok, Ayah.” Aku menarik kursi dan duduk di depan Bagas.

Firasatku tidak enak. Ada sesuatu mengganjal di hatiku, tetapi aku tidak bisa mengungkapkannya.

“Ada apa, Nak? Kok kamu gelisah gitu?”

Aku menegang saat mendengar suara ayah. Aku berusaha tersenyum. “Nggak ada apa-apa, Ayah.”

“Kamu jangan bohong. Ayah bukan anak kecil. Jika kamu ada masalah, beri tahu Ayah,” bujuk Bagas.

Tenggorokanku tercekat. Aku ingin mengutarakan kerisauanku tentang perubahan sikap dan kesehatan Riani, tetapi sungkan.

Akibat kehidupan keluarga kami yang dipenuhi tekanan ekonomi, membuatku tumbuh menjadi anak tertutup dan mandiri, yang akan menyembunyikan segala permasalahan dari orang tuaku.

“Beneran, Ayah. Percaya sama aku.” Aku memaksakan senyum cerah. Aku tidak mau masalah Riani akan mengganggu kesehatan ayah, karena dia mempunyai riwayat sakit jantung.

Lagi pula, Riani masih punya aku, yang akan siap sedia merawatnya.

Bagas mendengus kecewa. “Baiklah. Terserah kamu saja,” sahutnya, malas berdebat.

Aku melirik kamar Riani dan arloji di tanganku secara bergantian. Aku makin cemas. Sekarang sudah pukul setengah tujuh pagi, tetapi dia tak kunjung muncul.

Aku hanya mengaduk-aduk nasi goreng, tak nafsu makan akibat pikiranku berkelana ke mana-mana. Aku menduga Riani sakit parah karena dia sangat pucat.

‘Tetapi sakit apa?’

Meski kami akrab, Riani sedikit tertutup pada keluarganya. Termasuk aku. Padahal kami sudah berjanji akan saling terbuka dan menguatkan jika ada masalah.

Tak lama kemudian, Riani datang sambil tersenyum cerah. Wajah pucatnya sudah dipoles bedak tipis ditambah lipstik merah muda, membuatnya tampak lebih segar.

Melihat itu, aku sedikit lega.

Selesai sarapan, kami berpamitan pada orang tua kami dan menaiki angkot.

"Riani, jawab Kakak jujur.” Aku memberikan tatapan tegas padanya.

Riani hanya menunduk, enggan menatap mataku. Dia terus meremas-remas roknya dengan gugup.

“Sebenarnya, kamu sakit apa? Kenapa kamu nggak mau periksa ke rumah sakit? Gimana kalau kamu sakit parah?” omelku. Untungnya, hanya kami berdua di angkot itu sehingga tidak ada yang akan menyaksikan perdebatan kami.

Riani membisu. Mungkin dia muak pada sikapku yang terlalu overprotektif. Namun, bagiku, itu wajar karena dia satu-satunya adikku.

Sepanjang perjalanan, Riani enggan menjawab. Padahal aku sudah mendesak dan membujuknya dengan berbagai cara agar dia mau periksa ke puskesmas demi mengetahui penyebabnya, tetapi Riani menolak dengan alasan biaya. Padahal Puskesmas gratis.

Aku jengkel, tetapi kehabisan kata-kata. Dia sangat keras kepala.

Kesehatan Riani sangat mengusik ketenangan hatiku.

Mungkinkah dia sebenarnya sudah tahu tentang penyakitnya, tetapi enggan memberi tahu karena tidak mau membuat keluarganya khawatir?

Sayangnya, hari ini, aku harus menelan kekecewaan karena Riani harus turun terlebih dahulu karena kami beda sekolah.

Sesampainya di kelas, aku terduduk lesu. Hari ini sangat suram. Aku merasa hampa, seperti separuh jiwaku terenggut.

Aku makin stres karena tenggelam dalam kebingungan.

“Oi! Melamun saja! Pasti lagi mikirin cowok, kan?! Hayo, ngaku!” Anggi, teman sebangku sekaligus sahabatku, menepuk pundakku.

Aku mendesis kesal. “Kamu ngagetin aja. Aku nggak mikirin siapa pun, kok!” bantahku.

"Ah, bohong! Tuh, lihat! Hidungmu kompas-kempis kalau lagi bohong!” Anggi cekikikan.

“Sorry, ya. Aku bukan kamu, yang selalu memikirkan mantan kamu, si Darma itu,” ejekku. “Dia aja nggak mikirin kamu.”

“Ih, jahat banget, sih!” Anggi cemberut.

"Maaf, maaf. Aku Cuma bercanda, kok.” Aku tertawa pelan.

"Lagian, kenapa dia harus pindah, sih? Jadi, kami nggak bisa sering-sering bertemu, deh.” Dia bertopang dagu sambil cemberut.

“Bukannya kamu yang putusin dia? Kok, malah kamu yang gagal move on?”

Anggi terdiam seribu bahasa. “Ah, kamu nggak asik!”

“Kamu harus move on, dong. Kalian ‘kan sudah putus, kenapa kamu masih mengharapkan dia kembali? Aneh.”

“Karena dia tampan.” Anggi cengar-cengir dengan tampang tak berdosa.

Aku memutar mata malas. Kenapa semua gadis di sekolah tergila-gila pada Darma? Meskipun dia merupakan most wanted di sekolah dan kaya raya, aku sama sekali tidak tertarik.

Di tengah percakapan kami, ponselku tiba-tiba berdering. Aku merogoh saku rokku dan memeriksanya. Aku mengernyit saat tertera nomor asing di layar ponselku.

“Siapa ini?” gumamku.

“Siapa, Din?” Anggi melongok ke ponselku. “Kenapa nggak diangkat? Angkat, dong. Siapa tahu penting.”

Aku mengangguk, lalu mengangkatnya ragu-ragu. “Halo—”

“Apa benar kamu adalah Kakak Riani?” tanya seorang gadis panik di seberang telepon.

“Benar. Kamu siapa, ya?”

“Riani pingsan, Kak! Sekarang dia dibawa ke rumah sakit!”

"Apa?!”

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

user avatar
Pita Chris
...️...️...️...️...️
2025-02-16 22:31:52
0
29 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status