“Bu, kenapa rasanya jantungku nggak berhenti berdebar?” Zara memegang dadanya, mencoba mengatur napas yang terasa sesak.
Ibunya, Bu Sari, yang tengah merapikan gaun Zara berhenti sejenak, memandang wajah putrinya yang penuh kegelisahan. “Itu wajar, Nak. Semua pengantin pasti gugup.” Zara mengangguk pelan. Ia menatap cermin di hadapannya, mencoba tersenyum, namun bayangannya membuatnya merasa asing. “Zara, tamu sudah berdatangan. Kamu siap?” suara lembut ibunya membuyarkan lamunan. “Ya, Bu,” jawab Zara, tersenyum canggung menutupi kegelisahannya. Hujan pagi itu seharusnya menjadi latar hari paling bahagia bagi Zara. Gaun putih dengan renda halus melekat sempurna di tubuhnya, tetapi firasat ganjil sejak pagi tak mau hilang. Segalanya tampak sempurna. Musik klasik mengalun, dekorasi gereja memukau, tetapi sebuah ketukan di pintu ruang rias mengubah segalanya. “Kecelakaan?” Zara menatap pria berjas formal yang berdiri di ambang pintu, tubuhnya terasa kaku. Suaranya gemetar, nyaris tak keluar. “Jerry… kecelakaan?” Pria itu mengangguk, wajahnya datar namun serius. “Benar, Nona Zara. Mobilnya tergelincir karena hujan. Kondisinya kritis.” Tubuh Zara melemas. Ia terhuyung ke belakang, mencoba berpegangan pada meja rias untuk tetap berdiri. Matanya mencari kepastian pada sosok ibunya, Bu Sari, yang berdiri di sampingnya dengan wajah pucat pasi. “Ini nggak mungkin…” bisiknya hampir tanpa suara. “Jerry bilang dia akan datang tepat waktu. Dia pasti baik-baik saja… Dia pasti…” Bu Sari segera menopang pundak Zara, berusaha menenangkan putrinya yang hampir ambruk. Suaranya lembut, namun bergetar. “Sayang, tenang dulu. Kita bisa ke rumah sakit sekarang. Kita lihat dulu kondisinya…” “Tidak ada yang pergi ke rumah sakit.” Suara berat itu memotong suasana. Tuan Arman, ayah Jerry, berdiri di ambang pintu ruang rias dengan ekspresi dingin. Wajahnya tegas tanpa ada sedikit pun tanda duka. Ia melangkah masuk, tubuh tegapnya seperti memancarkan aura tekanan. “Dengar baik-baik, Zara. Pernikahan ini harus tetap berlangsung.” Zara menatap Tuan Arman, bingung sekaligus marah. “Apa maksud Anda? Jerry butuh kita! Aku harus ke sana! Dia sedang sekarat, dan Anda masih memikirkan pernikahan?” “Saya tidak bercanda,” Tuan Arman menjawab dengan tenang, bahkan terlalu tenang untuk situasi seperti ini. “Pernikahan ini tidak boleh dibatalkan. Kamu tahu konsekuensinya kalau ini gagal. Nama keluarga kita jadi bahan omongan. Bisnis kita hancur.” Zara tertawa pendek, tawa yang lebih menyerupai isakan. “Omongan orang? Nama keluarga? Apa itu lebih penting dari nyawa putramu sendiri?” “Zara!” Bu Sari mencoba menenangkan, menarik tangan putrinya. "Tuan Arman hanya berusaha menjaga keadaan. Kita harus berpikir panjang…” “Panjang?” Zara menoleh cepat ke ibunya, matanya memerah. “Bu, ini nyawa seseorang! Ini hidup Jerry, calon suamiku! Bagaimana kalian bisa sedingin ini?” Ruangan itu mendadak hening. Bahkan suara hujan deras di luar terdengar samar. Lalu, Tuan Arman membuka mulutnya lagi, kali ini dengan suara lebih rendah namun penuh tekanan. “Jerry tidak akan menikahimu hari ini.” Zara mematung, menatap dengan kening berkerut. “Apa… maksud Anda?” Tuan Arman menatap tajam ke arah seorang pria yang berdiri di sudut ruangan. Rian, adik Jerry. “Kamu yang menggantikannya,” ujar Tuan Arman. “Tidak,” jawab Rian dingin. Ia menatap ayahnya dengan tatapan tajam. “Ini bukan permintaan,” tekan Tuan Arman. “Pernikahan bukan keputusan yang bisa dipaksakan, Ayah,” jawab Rian, menatap ayahnya dengan penuh perlawanan. “Aku tidak akan melakukannya.” “Cukup, Rian!” suara Tuan Arman meninggi, membuat suasana semakin tegang. “Kamu akan melakukannya!” Rian terdiam, rahangnya mengeras. Ia menatap Zara sekilas, lalu kembali menatap ayahnya dengan penuh amarah yang tertahan. Jantung Zara terasa berhenti berdetak. Ia butuh beberapa saat untuk mencerna kata-kata itu. “Rian? Adik Jerry?” “Benar.” Wajah Tuan Arman tidak menunjukkan emosi apa pun. “Dia akan menikahimu, di altar, hari ini.” “Tidak! Ini gila!” suara Zara bergetar, matanya liar mencari dukungan. “Bagaimana aku bisa menikah dengan Rian? Aku bahkan tidak mengenalnya. Aku… aku hanya ingin Jerry… ” “Kamu tidak punya pilihan, Zara,” sambung Bu Sari. “Jika kamu kabur sekarang, semua tamu akan tahu, semua investor akan melihat keluarga kita hancur.” “Investor?” suara Zara melemah, tubuhnya terasa lemas. “Ibu… kau benar-benar menjual aku demi uang?” Bu Sari mendekatkan diri, menatap putrinya dengan tatapan penuh prihatin. “Ini bukan tentang uang, Zara. Ini tentang kehormatan keluarga. Kamu harus mengerti.” “Tidak!” Zara berteriak. “Aku tidak mau! Aku tidak bisa!” “Aku siap,” ucap Rian akhirnya. Pandangan Rian menelusuri Zara sebentar, menyiratkan perasaan enggan, namun tak bisa ia tolak. “Bagus,” Tuan Arman mengangguk, lalu melirik Zara dengan tajam. “Kamu juga harus siap.” Zara menatap Rian dengan tatapan tidak percaya. “Kamu benar-benar akan melakukannya? Kamu mau menikahi aku, calon istri dari kakakmu sendiri? Kamu nggak punya hati, ya?” Rian tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Zara dengan ekspresi dingin, seolah mencoba mengendalikan sesuatu di dalam dirinya. Setelah jeda panjang, Rian keluar tanpa sepatah kata. “Zara… maafkan ibu,” Bu Sari memanggilnya dengan lembut, mencoba mendekat. Namun Zara menepis tangan ibunya, ia merasa tubuhnya hampir ambruk. Ia mendekap wajahnya dengan tangan, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Zara memejamkan mata, mencoba menahan air mata yang terus mengalir. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah ini takdir, atau kutukan?Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Pernikahan Jerry dan Tasya berlangsung di sebuah taman indah yang dihiasi dengan bunga-bunga putih dan lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip. Langit cerah, burung-burung berkicau seolah ikut merayakan kebahagiaan mereka.Di antara para tamu, Rian dan Zara berdiri di barisan depan, tersenyum bangga melihat sahabat mereka akhirnya bersatu dalam ikatan suci.Di samping mereka, dua anak kecil yang menggemaskan, Naomi dan Nathan, anak kembar mereka berlari-lari kecil sambil menggenggam bantal berbentuk hati sambil membawa cincin pernikahan."Tante Tasya cantik sekali!" seru Naomi dengan mata berbinar.Nathan mengangguk setuju. "Om Jerry juga kelihatan keren hari ini!"Zara tersenyum dan berbisik pada Rian, "Mereka lebih bersemangat dari kita."Rian terkekeh. "Ya, lihat saja nanti, mereka pasti ikut heboh di pesta."Sementara itu, Jerry berdiri di altar dengan gugup, menunggu Tasya yang berjalan menuju ke arahnya. Gaun putih pa
Jerry berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putihnya yang baru disetrika. Ini bukan pertama kalinya dia merasa gugup, tetapi kali ini berbeda. Hari ini adalah hari di mana dia akan mengambil langkah terbesar dalam hidupnya.Melamar Tasya.Setelah berbicara dengan kedua orang tua Tasya beberapa hari lalu, dia semakin yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Dia tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dia mencintai Tasya, dan dia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersamanya.Jerry telah merencanakan semuanya dengan matang. Dia ingin momen ini menjadi sesuatu yang Tasya kenang selamanya. Dia memilih restoran rooftop eksklusif dengan pemandangan kota yang indah di malam hari.Di sana, dia sudah menyiapkan dekorasi dengan lilin-lilin kecil, kelopak bunga mawar, dan musik romantis yang akan mengiringi makan malam mereka.Tidak hanya itu, Jerry juga meminta bantuan sahabat-sahabat Tasya untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Sahabat terbaik Tasya, Rina dan Dita
Malam itu, Jerry duduk di dalam mobilnya, menatap ponselnya dengan ragu. Jarinya berulang kali melayang di atas nama Tasya, tetapi ia tidak juga menekan tombol panggil.Setelah percakapan dengan Rian, pikirannya semakin kacau. Dia ingin berbicara dengan Tasya, ingin meyakinkan bahwa perasaannya tulus. Namun, dia juga tidak ingin membuat perempuan itu semakin menjauh.Akhirnya, dengan tekad yang sudah bulat, Jerry keluar dari mobilnya dan berjalan menuju rumah sakit tempat Tasya bekerja. Dia tahu jam kerja perempuan itu hampir selesai. Jika dia ingin bicara, ini adalah kesempatan terbaiknya.Saat ia sampai di lobi rumah sakit, matanya segera menangkap sosok Tasya yang sedang berbicara dengan seorang pria berseragam dokter. Jerry mengenali pria itu, dokter Alex, rekan kerja Tasya yang pernah beberapa kali ia dengar namanya disebut dalam percakapan mereka.Ada sesuatu dalam cara Tasya tertawa kecil yang membuat Jerry merasa gelisah. Itu adalah tawa yang dulu sering ia d
Beberapa hari berlalu sejak percakapan itu, dan Jerry mulai menyadari sesuatu yang aneh. Tasya tidak lagi menghubunginya seperti sebelumnya. Tidak ada pesan singkat menanyakan kabarnya, tidak ada ajakan makan siang atau sekadar berbagi cerita.Jika biasanya Tasya selalu hadir dengan senyumannya yang hangat, kini dia seakan menghilang begitu saja.Awalnya, Jerry berpikir bahwa Tasya hanya sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Tapi ketika dia mencoba menghubunginya, hanya balasan singkat yang ia dapatkan, atau bahkan pesan yang tidak pernah dibalas sama sekali.Rasa penasaran mulai mengusik Jerry. Ada sesuatu yang terjadi, dan dia ingin tahu alasannya. Sore itu, dia memutuskan untuk menunggu di luar rumah sakit tempat Tasya bekerja.Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya dia melihat sosok perempuan itu keluar dari gedung dengan wajah lelah. Tasya tampak terkejut ketika melihat Jerry berdiri di sana.“Tasya,” panggil Jerry pelan.Tasya menghentikan langkahny
Hari-hari berlalu sejak Jerry membantu Tasya mendapatkan pekerjaan di rumah sakit. Semakin sering mereka bertemu, semakin banyak pula percakapan yang mereka bagi.Jerry, yang biasanya tertutup, mulai menemukan kenyamanan dalam keberadaan Tasya. Sementara itu, Tasya juga merasakan sesuatu yang berbeda saat berbicara dengan Jerry.Suatu sore setelah jam kerja, Tasya sedang membereskan berkas-berkas pasien di meja resepsionis. Jerry, yang kebetulan baru menyelesaikan pertemuan dengan direktur rumah sakit, melihat Tasya yang terlihat lelah."Masih sibuk?" tanya Jerry sambil menyandarkan tangannya di meja.Tasya menoleh dan tersenyum tipis. "Iya, harus menyelesaikan ini dulu sebelum pulang. Kamu sendiri, kenapa masih di sini?"Jerry mengangkat bahunya. "Menunggu seseorang," jawabnya santai."Menunggu siapa?" Tasya bertanya sambil melirik jam tangannya. Rumah sakit sudah mulai sepi, hanya tersisa beberapa staf yang juga bersiap untuk pulang.Jerry tersenyum kec
Jerry melangkah memasuki supermarket dengan langkah santai. Acara pernikahan Lena dan Sandi tadi cukup melelahkan, dan sekarang ia hanya ingin membeli minuman dingin untuk menyegarkan pikirannya.Setelah mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin, ia beranjak ke kasir. Saat itu, matanya menangkap sosok seorang wanita yang sedang sibuk merapikan barang di rak dekat kasir.Rambut panjangnya diikat ke belakang, dan ia mengenakan seragam pegawai supermarket berwarna hijau. Ketika wanita itu berbalik, mata mereka bertemu, dan keduanya terdiam."Tasya?" Jerry mengernyit, mencoba memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.Wanita itu pun terkejut, lalu tersenyum setelah memastikan siapa yang berdiri di hadapannya. "Jerry? Ya ampun, lama sekali kita tidak bertemu!" serunya dengan nada antusias.Jerry mengangguk pelan, masih memproses fakta bahwa ia bertemu dengan teman Zara di masa lalu. "Sudah lama sekali. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."