Zara menatap cermin di depannya. Gaun putih yang membalut tubuhnya begitu anggun, menjadikannya sosok yang hampir sempurna di mata orang lain. Tapi bagi Zara, gaun itu seperti tali yang membelit tubuhnya, membuatnya sulit bernapas.
Matanya sembab, bibirnya kering, dan senyumnya menghilang entah ke mana. Ia tidak berkata apa-apa. Apa yang bisa ia katakan? Protes? Tangisan? Semua itu sudah habis beberapa jam lalu. “Zara, ibu tahu kamu mungkin kecewa pada Ibu.” Bu Sari melangkah mendekat, meletakkan tangannya di pundak Zara. “Tapi, kamu harus tahu apa yang sudah dikorbankan mendiang ayahmu untuk memastikan kamu tidak kehilangan segalanya. Pernikahan ini... mungkin satu-satunya cara untuk menyelamatkan kita semua," suara Bu Sari bergetar, penuh beban. Zara ingin menjawab, ingin mengatakan bahwa ia merasa dikhianati oleh dunia, oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya. Tapi yang keluar hanyalah desahan panjang. Ia tidak ingin membuat ibunya lebih terbebani. “Jerry… bertahanlah,” bisiknya pilu. Namun, tak ada waktu untuk harapan. Beberapa menit kemudian Tuan Arman kembali dengan Rian yang berada di belakangnya. Wajahnya tetap dingin tanpa emosi. “Pernikahan dimulai dalam lima belas menit,” ujar Tuan Arman dengan nada tanpa kompromi. “Tapi…” Zara mencoba membalas, namun kata-katanya tercekat saat pandangan tajam Tuan Arman menusuknya. “Jika pernikahan ini batal,” lanjutnya dengan nada yang lebih rendah tetapi penuh ancaman, “saya tidak akan ragu untuk mengajukan tuntutan kepada keluargamu atas kerugian yang telah saya tanggung. Dan saya jamin, kalian tidak akan sanggup menanganinya.” Kata-kata itu menghantam Zara seperti pukulan keras. Pandangannya beralih ke Rian, berharap setidaknya pria itu akan mengatakan sesuatu, menawarkan solusi, atau mungkin keberatan. Namun, yang ia temui hanyalah wajah tanpa ekspresi, nyaris tidak peduli. “Rian…” bisik Zara, mencoba mencari simpati. Namun, pria itu hanya menatapnya singkat sebelum berujar datar, “Lima belas menit, Zara. Aku akan menunggumu di altar.” Setelah mengatakan itu, Rian berbalik dan meninggalkan ruangan, diikuti oleh Tuan Arman. “Zara…” Bu Sari menggenggam pipi anaknya, memaksa Zara menatap matanya yang penuh dengan rasa iba. “Ibu tahu kamu kuat. Kamu bisa melalui ini. Demi keluarga kita, demi semuanya. Percayalah pada Ibu.” Zara tidak menjawab. Hanya isakannya yang terdengar memenuhi ruangan. Setelah beberapa saat, ia menghapus air matanya dengan kasar dan berdiri. “Baiklah,” katanya pelan, hampir seperti bisikan. “Aku akan melakukannya.” Dengan langkah berat, ia meninggalkan ruang rias, menuju altar tempat takdir menunggunya. “Jerry…” bisiknya pelan. “Maafkan aku…” Saat pintu gereja terbuka, semua mata tertuju padanya. Di ujung lorong, Rian berdiri tegak dalam tuksedo hitam, ekspresinya sedingin es. Tatapan mereka bertemu sejenak sebelum Rian memalingkan wajahnya. Ketika mereka tiba di depan altar, prosesi dimulai. Suara pendeta terdengar seperti dengungan jauh di telinga Zara. Ia mencoba fokus, tapi pikirannya terus melayang, menolak kenyataan yang terjadi. “Adrian Hendrawan, apakah Anda bersedia menerima Zara sebagai istri Anda?” suara itu terdengar jelas, memecah lamunan Zara. Rian menarik napas. “Ya, saya bersedia.” Ketika pertanyaan itu ditujukan padanya, Zara ingin berteriak, namun ia bisa merasakan tatapan tajam Tuan Arman dari bangku tamu serta kehadiran ibunya yang tampak memohon. "Zara Anindita, apakah Anda bersedia menerima Adrian Hendrawan sebagai suami Anda?" Dengan suara bergetar, ia terpaksa menjawab, “Ya, saya bersedia.” Rian mengambil cincin dari kotaknya, lalu menyematkannya di jari manis Zara. Cincin itu melingkar di jarinya, terasa asing dan berat. Rian mengecup pipinya sekilas, tanpa rasa, hanya sekadar formalitas belaka. Tepuk tangan menggema, tetapi bagi Zara, semuanya hanya kebisingan tanpa arti. Ketika mereka berjalan keluar dari gereja, senyum palsu terukir di wajah Zara. “Semua ini sandiwara,” gumam Zara pelan, hampir tidak terdengar di antara suara musik dan tamu. Rian menoleh, menatapnya dengan dingin. “Benar. Dan kamu adalah aktris utamanya.” Zara ingin membalas, tetapi tidak ada gunanya. Ia tahu bahwa mereka berdua terjebak dalam situasi yang sama, dipaksa memainkan peran yang tidak mereka pilih. Ketika semua tamu akhirnya pulang, Zara dan Rian dibawa ke kamar pengantin. Ruangan itu dihias indah, dengan bunga dan lilin yang menciptakan suasana romantis. Tapi bagi Zara, semua itu hanyalah lelucon pahit. Rian membuka jasnya, melemparkannya ke kursi. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya melirik Zara sekilas sebelum berjalan ke sofa di sudut ruangan. “Kamu tidak akan tidur di sini?” tanya Zara pelan. Rian mengangkat bahu. “Kamu bisa tidur di tempat tidur. Aku tidak peduli.” Zara menggigit bibirnya, merasa semakin asing. Malam pernikahan ini seharusnya menjadi awal yang indah, penuh cinta dan harapan. Tapi yang ia rasakan hanyalah kehampaan. Ketika Zara akhirnya berbaring di tempat tidur, ia menatap langit-langit yang gelap. Air mata mengalir tanpa suara. “Apakah ada jalan keluar dari semua ini?” bisiknya.Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Pernikahan Jerry dan Tasya berlangsung di sebuah taman indah yang dihiasi dengan bunga-bunga putih dan lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip. Langit cerah, burung-burung berkicau seolah ikut merayakan kebahagiaan mereka.Di antara para tamu, Rian dan Zara berdiri di barisan depan, tersenyum bangga melihat sahabat mereka akhirnya bersatu dalam ikatan suci.Di samping mereka, dua anak kecil yang menggemaskan, Naomi dan Nathan, anak kembar mereka berlari-lari kecil sambil menggenggam bantal berbentuk hati sambil membawa cincin pernikahan."Tante Tasya cantik sekali!" seru Naomi dengan mata berbinar.Nathan mengangguk setuju. "Om Jerry juga kelihatan keren hari ini!"Zara tersenyum dan berbisik pada Rian, "Mereka lebih bersemangat dari kita."Rian terkekeh. "Ya, lihat saja nanti, mereka pasti ikut heboh di pesta."Sementara itu, Jerry berdiri di altar dengan gugup, menunggu Tasya yang berjalan menuju ke arahnya. Gaun putih pa
Jerry berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putihnya yang baru disetrika. Ini bukan pertama kalinya dia merasa gugup, tetapi kali ini berbeda. Hari ini adalah hari di mana dia akan mengambil langkah terbesar dalam hidupnya.Melamar Tasya.Setelah berbicara dengan kedua orang tua Tasya beberapa hari lalu, dia semakin yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Dia tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dia mencintai Tasya, dan dia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersamanya.Jerry telah merencanakan semuanya dengan matang. Dia ingin momen ini menjadi sesuatu yang Tasya kenang selamanya. Dia memilih restoran rooftop eksklusif dengan pemandangan kota yang indah di malam hari.Di sana, dia sudah menyiapkan dekorasi dengan lilin-lilin kecil, kelopak bunga mawar, dan musik romantis yang akan mengiringi makan malam mereka.Tidak hanya itu, Jerry juga meminta bantuan sahabat-sahabat Tasya untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Sahabat terbaik Tasya, Rina dan Dita
Malam itu, Jerry duduk di dalam mobilnya, menatap ponselnya dengan ragu. Jarinya berulang kali melayang di atas nama Tasya, tetapi ia tidak juga menekan tombol panggil.Setelah percakapan dengan Rian, pikirannya semakin kacau. Dia ingin berbicara dengan Tasya, ingin meyakinkan bahwa perasaannya tulus. Namun, dia juga tidak ingin membuat perempuan itu semakin menjauh.Akhirnya, dengan tekad yang sudah bulat, Jerry keluar dari mobilnya dan berjalan menuju rumah sakit tempat Tasya bekerja. Dia tahu jam kerja perempuan itu hampir selesai. Jika dia ingin bicara, ini adalah kesempatan terbaiknya.Saat ia sampai di lobi rumah sakit, matanya segera menangkap sosok Tasya yang sedang berbicara dengan seorang pria berseragam dokter. Jerry mengenali pria itu, dokter Alex, rekan kerja Tasya yang pernah beberapa kali ia dengar namanya disebut dalam percakapan mereka.Ada sesuatu dalam cara Tasya tertawa kecil yang membuat Jerry merasa gelisah. Itu adalah tawa yang dulu sering ia d
Beberapa hari berlalu sejak percakapan itu, dan Jerry mulai menyadari sesuatu yang aneh. Tasya tidak lagi menghubunginya seperti sebelumnya. Tidak ada pesan singkat menanyakan kabarnya, tidak ada ajakan makan siang atau sekadar berbagi cerita.Jika biasanya Tasya selalu hadir dengan senyumannya yang hangat, kini dia seakan menghilang begitu saja.Awalnya, Jerry berpikir bahwa Tasya hanya sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Tapi ketika dia mencoba menghubunginya, hanya balasan singkat yang ia dapatkan, atau bahkan pesan yang tidak pernah dibalas sama sekali.Rasa penasaran mulai mengusik Jerry. Ada sesuatu yang terjadi, dan dia ingin tahu alasannya. Sore itu, dia memutuskan untuk menunggu di luar rumah sakit tempat Tasya bekerja.Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya dia melihat sosok perempuan itu keluar dari gedung dengan wajah lelah. Tasya tampak terkejut ketika melihat Jerry berdiri di sana.“Tasya,” panggil Jerry pelan.Tasya menghentikan langkahny
Hari-hari berlalu sejak Jerry membantu Tasya mendapatkan pekerjaan di rumah sakit. Semakin sering mereka bertemu, semakin banyak pula percakapan yang mereka bagi.Jerry, yang biasanya tertutup, mulai menemukan kenyamanan dalam keberadaan Tasya. Sementara itu, Tasya juga merasakan sesuatu yang berbeda saat berbicara dengan Jerry.Suatu sore setelah jam kerja, Tasya sedang membereskan berkas-berkas pasien di meja resepsionis. Jerry, yang kebetulan baru menyelesaikan pertemuan dengan direktur rumah sakit, melihat Tasya yang terlihat lelah."Masih sibuk?" tanya Jerry sambil menyandarkan tangannya di meja.Tasya menoleh dan tersenyum tipis. "Iya, harus menyelesaikan ini dulu sebelum pulang. Kamu sendiri, kenapa masih di sini?"Jerry mengangkat bahunya. "Menunggu seseorang," jawabnya santai."Menunggu siapa?" Tasya bertanya sambil melirik jam tangannya. Rumah sakit sudah mulai sepi, hanya tersisa beberapa staf yang juga bersiap untuk pulang.Jerry tersenyum kec
Jerry melangkah memasuki supermarket dengan langkah santai. Acara pernikahan Lena dan Sandi tadi cukup melelahkan, dan sekarang ia hanya ingin membeli minuman dingin untuk menyegarkan pikirannya.Setelah mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin, ia beranjak ke kasir. Saat itu, matanya menangkap sosok seorang wanita yang sedang sibuk merapikan barang di rak dekat kasir.Rambut panjangnya diikat ke belakang, dan ia mengenakan seragam pegawai supermarket berwarna hijau. Ketika wanita itu berbalik, mata mereka bertemu, dan keduanya terdiam."Tasya?" Jerry mengernyit, mencoba memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.Wanita itu pun terkejut, lalu tersenyum setelah memastikan siapa yang berdiri di hadapannya. "Jerry? Ya ampun, lama sekali kita tidak bertemu!" serunya dengan nada antusias.Jerry mengangguk pelan, masih memproses fakta bahwa ia bertemu dengan teman Zara di masa lalu. "Sudah lama sekali. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."