Zara mengalihkan kesepiannya dengan tenggelam dalam pekerjaannya sebagai seorang dokter. Pagi-pagi sekali, ia sudah berangkat ke rumah sakit, mengenakan jas putih dan menyibukkan diri dengan pasien-pasiennya.
Baginya, pekerjaan di rumah sakit adalah satu-satunya tempat di mana ia merasa dihargai dan dibutuhkan. "Dokter Zara, pasien di ruang ICU memerlukan pemeriksaan tambahan," panggil seorang perawat. Zara mengangguk, lalu segera menuju ruang ICU. Sepanjang hari, ia berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain, memastikan semua pasien mendapatkan perawatan terbaik. Pekerjaan ini adalah pelariannya, meskipun tubuh dan pikirannya kerap merasa lelah. Namun, bahkan di rumah sakit, pikirannya tetap melayang pada pernikahannya yang terasa hampa. Saat sedang mengisi catatan medis, ia sering terdiam, memikirkan bagaimana ia bisa memperbaiki hubungan dengan Rian. Zara duduk di kursi ruang istirahat setelah shift panjang. Tangannya memijat pelipis, matanya menatap kosong ke loker di depannya. Lelah fisik adalah hal biasa, tapi lelah emosional—itu yang lebih berat. Ketika ia membuka ponsel, ada pesan dari Rian: “Jangan lupa pulang cepat. Ada makan malam keluarga.” Zara menghela napas panjang. “Makan malam keluarga?” pikirnya. Sudah lama ia tidak merasa bagian dari apa pun yang disebut keluarga. Setelah beberapa jam, Zara akhirnya tiba di rumah, tubuhnya lelah tetapi pikirannya lebih kacau. Ia masuk ke dalam dan mendapati Rian di ruang tamu, jas kerjanya masih rapi. “Aku pulang,” ujar Zara, mencoba memecah keheningan. Rian melirik sekilas. “Kamu terlambat. Semua orang sudah selesai makan.” Zara berdiri mematung, mencoba meredam rasa kesalnya. “Aku baru selesai shift. Ada pasien kritis.” “Kamu selalu punya alasan,” balas Rian, tanpa emosi. “Aku bekerja, Rian. Ini bukan alasan.” Zara mendekati meja, menaruh tasnya dengan kasar. “Kamu tahu jadwalku tidak bisa ditebak.” “Dan aku juga punya tanggung jawab. Tapi setidaknya aku bisa menghormati waktu keluarga.” “Kalau begitu, kenapa kamu masih memintaku pulang?” Nada suara Zara mulai meninggi. Rian bangkit dari sofa, menyambar ponselnya. “Lupakan saja. Aku sudah selesai membahas ini.” Zara memandang punggung Rian yang berjalan ke kamar, dan ia merasa dadanya semakin sesak. “Kenapa kita harus seperti ini, Rian?” tanyanya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Keesokan harinya di rumah sakit, Zara sedang memeriksa seorang anak kecil yang menangis ketakutan. Ibunya tampak panik di sisi ranjang. “Tenang, Bu,” ujar Zara dengan lembut. “Tidak apa-apa. Ini hanya demam biasa. Kita akan beri obat penurun panas, dan anak Ibu akan segera membaik.” Anak itu menatap Zara dengan mata basah. Zara tersenyum tipis. “Kamu suka superhero, ya?” tanyanya, menunjuk gambar di baju anak itu. Anak itu mengangguk pelan. Zara melanjutkan, “Berani seperti superhero, ya. Ini hanya suntikan kecil. Nanti sakitnya hilang.” Beberapa menit kemudian, anak itu tertawa kecil saat Zara memberinya stiker sebagai ‘hadiah keberanian.’ Sang ibu memegang tangan Zara dengan erat. “Terima kasih, Dokter. Cara Anda menenangkan dia benar-benar luar biasa.” Zara hanya tersenyum, tetapi kata-kata itu memberinya kehangatan kecil di tengah hari yang berat. Setelah itu, Zara duduk di ruang kerjanya, menatap kalender di meja. Hari ulang tahunnya tinggal dua minggu lagi, tapi ia tahu Rian tidak akan mengingatnya. Ia mencoba mengingat kapan terakhir kali ulang tahunnya terasa istimewa, tapi ingatan itu terasa begitu jauh. Hatinya terasa berat. Zara sadar bahwa rumah tidak lagi menjadi tempat pulang yang nyaman, dan Rian... mungkin hanya menjadi seseorang yang kebetulan berbagi atap dengannya. "Dokter Zara, ada pasien baru di IGD," lapor seorang perawat, yang masuk ke ruangannya dengan tergesa-gesa. Zara segera bangkit. Ia tidak banyak bertanya, hanya mengangguk dan berjalan cepat menuju IGD. Dalam pikirannya, fokus utama adalah memastikan kondisi pasien stabil. Namun, saat ia sampai di IGD, langkahnya terhenti. Di depan pintu, ia melihat seseorang yang tak asing sedang berdiri dengan canggung, mengenakan kemeja kerja yang berantakan dan ekspresi penuh rasa bersalah. Itu Rian. Suaminya. Rian berdiri dengan jas kerjanya yang masih rapi, tangan dimasukkan ke dalam saku celana, wajahnya datar. Tak ada tanda kepanikan, hanya kesan dingin yang biasa. Zara mencoba mengabaikan keterkejutannya. Ia mendekati pasien dan mulai memeriksa kondisinya dengan profesional. “Bagaimana kejadiannya?” tanya Zara, setengah kepada pasien, setengah kepada perawat. Sebelum ada yang menjawab, suara rendah dan datar Rian terdengar dari belakangnya. “Aku yang menabraknya,” katanya singkat. Zara mendongak, menatap suaminya dengan alis terangkat. “Kamu?” Rian hanya mengangguk kecil tanpa menambahkan apa pun. Zara menghela napas panjang, berusaha menahan emosinya. Ia kembali fokus pada pasien, memeriksa luka-lukanya sambil memberikan instruksi kepada tim medis. "Pastikan dilakukan rontgen untuk memeriksa lengan yang patah. Luka di pelipisnya cukup dijahit, tapi pantau kondisinya untuk memastikan tidak ada gegar otak,” kata Zara kepada perawat, lalu melirik Rian. “Kamu tinggal di sini.” Rian tidak menjawab, hanya mengangguk kecil lagi. Setelah pasien dibawa untuk pemeriksaan lanjutan, Zara menarik napas dalam-dalam lalu mendekati Rian di koridor. “Jelaskan, apa yang terjadi?” tanyanya, berusaha menjaga suaranya tetap tenang. Rian memasukkan kedua tangannya ke saku celana lagi, menatap lurus ke depan, bukan ke arah Zara. “Dia muncul tiba-tiba di depan mobilku. Aku tidak sempat mengerem.” “Kamu mengemudi terlalu cepat?” tebak Zara. Rian hanya mengangkat bahu sedikit. “Mungkin.” Zara merasa dadanya menghangat dengan amarah yang ia tahan. “Rian, ini serius. Apa kamu sadar kalau dia bisa saja cedera lebih parah? Kenapa kamu tidak lebih hati-hati?” “Dia baik-baik saja, kan?” Rian berkata dengan nada datar, seakan pernyataan itu sudah cukup menjelaskan segala sesuatunya. Zara menatapnya, ragu sejenak. Ada ketegangan di antara mereka yang tidak pernah benar-benar bisa ia pahami. “Kenapa aku merasa kamu tidak peduli?” Rian mendengus pelan. “Kamu cukup melakukan pekerjaanmu sendiri.” “Dan kamu menganggap aku tidak bisa membagi perhatian antara pekerjaan dan hubungan kita?” Zara bertanya, suaranya naik sedikit. Ia merasa disakiti oleh kata-kata Rian, yang lebih sering berbicara dengan dingin daripada membuka diri. Rian tampak tidak tahu bagaimana harus menjawab. “Itu bukan maksudku. Hanya saja...” Rian berhenti, seakan berpikir keras, tapi kata-kata yang tepat tidak kunjung keluar. “Aku tidak butuh pertengkaran ini, Zara,” katanya akhirnya, suaranya tetap rendah dan penuh ketegasan. “Aku akan pulang.” Zara terkejut, merasa seolah kata-kata itu adalah sebuah penolakan. “Jadi kamu hanya akan pergi begitu saja?” Rian menatapnya sekilas, matanya yang tajam menyapu wajah Zara. “Aku tidak pernah menginginkan ini menjadi drama. Aku hanya melanjutkan hidupku seperti biasa, Zara. Kamu seharusnya bisa melakukannya juga,” ujarnya tanpa emosi, seakan berbicara tentang hal yang paling biasa. Zara merasa perasaan kecewanya semakin dalam, namun ia tahu bahwa berdebat lebih lama dengan Rian hanya akan sia-sia. Pria itu memang selalu begitu, dingin dan terpisah dari dunia sekitarnya. Tanpa kata-kata lebih, Rian berbalik dan melangkah pergi, langkahnya yang mantap dan tanpa ragu meninggalkan Zara dalam kebisuan yang semakin pekat. Zara menghela napas pelan, sambil menyugar rambutnya. Matanya berkaca-kaca. Zara menatap punggung Rian yang semakin menjauh, dan untuk sesaat ia merasa seolah dunia di sekelilingnya menghilang. Dia ingin berteriak, ingin menghentikan langkahnya, namun ia tahu itu tidak akan mengubah apa pun. Rian sudah membuat pilihannya. Dan dia, sekali lagi, harus berdiri di tengah kesendirian, berhadapan dengan keteguhan hati pria yang tidak pernah mampu membuka diri untuknya.Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Pernikahan Jerry dan Tasya berlangsung di sebuah taman indah yang dihiasi dengan bunga-bunga putih dan lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip. Langit cerah, burung-burung berkicau seolah ikut merayakan kebahagiaan mereka.Di antara para tamu, Rian dan Zara berdiri di barisan depan, tersenyum bangga melihat sahabat mereka akhirnya bersatu dalam ikatan suci.Di samping mereka, dua anak kecil yang menggemaskan, Naomi dan Nathan, anak kembar mereka berlari-lari kecil sambil menggenggam bantal berbentuk hati sambil membawa cincin pernikahan."Tante Tasya cantik sekali!" seru Naomi dengan mata berbinar.Nathan mengangguk setuju. "Om Jerry juga kelihatan keren hari ini!"Zara tersenyum dan berbisik pada Rian, "Mereka lebih bersemangat dari kita."Rian terkekeh. "Ya, lihat saja nanti, mereka pasti ikut heboh di pesta."Sementara itu, Jerry berdiri di altar dengan gugup, menunggu Tasya yang berjalan menuju ke arahnya. Gaun putih pa
Jerry berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putihnya yang baru disetrika. Ini bukan pertama kalinya dia merasa gugup, tetapi kali ini berbeda. Hari ini adalah hari di mana dia akan mengambil langkah terbesar dalam hidupnya.Melamar Tasya.Setelah berbicara dengan kedua orang tua Tasya beberapa hari lalu, dia semakin yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Dia tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dia mencintai Tasya, dan dia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersamanya.Jerry telah merencanakan semuanya dengan matang. Dia ingin momen ini menjadi sesuatu yang Tasya kenang selamanya. Dia memilih restoran rooftop eksklusif dengan pemandangan kota yang indah di malam hari.Di sana, dia sudah menyiapkan dekorasi dengan lilin-lilin kecil, kelopak bunga mawar, dan musik romantis yang akan mengiringi makan malam mereka.Tidak hanya itu, Jerry juga meminta bantuan sahabat-sahabat Tasya untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Sahabat terbaik Tasya, Rina dan Dita
Malam itu, Jerry duduk di dalam mobilnya, menatap ponselnya dengan ragu. Jarinya berulang kali melayang di atas nama Tasya, tetapi ia tidak juga menekan tombol panggil.Setelah percakapan dengan Rian, pikirannya semakin kacau. Dia ingin berbicara dengan Tasya, ingin meyakinkan bahwa perasaannya tulus. Namun, dia juga tidak ingin membuat perempuan itu semakin menjauh.Akhirnya, dengan tekad yang sudah bulat, Jerry keluar dari mobilnya dan berjalan menuju rumah sakit tempat Tasya bekerja. Dia tahu jam kerja perempuan itu hampir selesai. Jika dia ingin bicara, ini adalah kesempatan terbaiknya.Saat ia sampai di lobi rumah sakit, matanya segera menangkap sosok Tasya yang sedang berbicara dengan seorang pria berseragam dokter. Jerry mengenali pria itu, dokter Alex, rekan kerja Tasya yang pernah beberapa kali ia dengar namanya disebut dalam percakapan mereka.Ada sesuatu dalam cara Tasya tertawa kecil yang membuat Jerry merasa gelisah. Itu adalah tawa yang dulu sering ia d
Beberapa hari berlalu sejak percakapan itu, dan Jerry mulai menyadari sesuatu yang aneh. Tasya tidak lagi menghubunginya seperti sebelumnya. Tidak ada pesan singkat menanyakan kabarnya, tidak ada ajakan makan siang atau sekadar berbagi cerita.Jika biasanya Tasya selalu hadir dengan senyumannya yang hangat, kini dia seakan menghilang begitu saja.Awalnya, Jerry berpikir bahwa Tasya hanya sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Tapi ketika dia mencoba menghubunginya, hanya balasan singkat yang ia dapatkan, atau bahkan pesan yang tidak pernah dibalas sama sekali.Rasa penasaran mulai mengusik Jerry. Ada sesuatu yang terjadi, dan dia ingin tahu alasannya. Sore itu, dia memutuskan untuk menunggu di luar rumah sakit tempat Tasya bekerja.Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya dia melihat sosok perempuan itu keluar dari gedung dengan wajah lelah. Tasya tampak terkejut ketika melihat Jerry berdiri di sana.“Tasya,” panggil Jerry pelan.Tasya menghentikan langkahny
Hari-hari berlalu sejak Jerry membantu Tasya mendapatkan pekerjaan di rumah sakit. Semakin sering mereka bertemu, semakin banyak pula percakapan yang mereka bagi.Jerry, yang biasanya tertutup, mulai menemukan kenyamanan dalam keberadaan Tasya. Sementara itu, Tasya juga merasakan sesuatu yang berbeda saat berbicara dengan Jerry.Suatu sore setelah jam kerja, Tasya sedang membereskan berkas-berkas pasien di meja resepsionis. Jerry, yang kebetulan baru menyelesaikan pertemuan dengan direktur rumah sakit, melihat Tasya yang terlihat lelah."Masih sibuk?" tanya Jerry sambil menyandarkan tangannya di meja.Tasya menoleh dan tersenyum tipis. "Iya, harus menyelesaikan ini dulu sebelum pulang. Kamu sendiri, kenapa masih di sini?"Jerry mengangkat bahunya. "Menunggu seseorang," jawabnya santai."Menunggu siapa?" Tasya bertanya sambil melirik jam tangannya. Rumah sakit sudah mulai sepi, hanya tersisa beberapa staf yang juga bersiap untuk pulang.Jerry tersenyum kec
Jerry melangkah memasuki supermarket dengan langkah santai. Acara pernikahan Lena dan Sandi tadi cukup melelahkan, dan sekarang ia hanya ingin membeli minuman dingin untuk menyegarkan pikirannya.Setelah mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin, ia beranjak ke kasir. Saat itu, matanya menangkap sosok seorang wanita yang sedang sibuk merapikan barang di rak dekat kasir.Rambut panjangnya diikat ke belakang, dan ia mengenakan seragam pegawai supermarket berwarna hijau. Ketika wanita itu berbalik, mata mereka bertemu, dan keduanya terdiam."Tasya?" Jerry mengernyit, mencoba memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.Wanita itu pun terkejut, lalu tersenyum setelah memastikan siapa yang berdiri di hadapannya. "Jerry? Ya ampun, lama sekali kita tidak bertemu!" serunya dengan nada antusias.Jerry mengangguk pelan, masih memproses fakta bahwa ia bertemu dengan teman Zara di masa lalu. "Sudah lama sekali. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."