Axel duduk sendirian di meja bulat ruang VIP sebuah restoran mewah malam itu. Ia sudah berjanji untuk makan malam bersama dengan Nero, Juan, dan juga Kania, tapi belum ada satu pun yang datang."Mereka sudah biasa terlambat atau memang aku yang terlalu rajin ya?" gumam Axel sambil melirik jam tangannya. "Hmm, tapi biarkan saja!" Axel mengangkat bahunya dan menyambar gelas winenya. Axel pun menunggu dengan santai sambil mengutik ponselnya saat mendadak ingatan tentang tadi siang muncul di otaknya. "Maaf sekali lagi!" Axel tidak berhenti meminta maaf tadi siang. "Ah, sudah kubilang tidak apa. Ini juga sudah selesai!" sahut cleaning service cantik itu. "Hmm, baiklah! Oh ya, tadi pagi kita belum sempat berkenalan ... aku ...." Belum sempat Axel menyelesaikan ucapannya, tapi ponsel wanita itu berbunyi dan ia pun segera mengangkatnya. Entah apa yang wanita itu bicarakan, Axel hanya bisa memperhatikan ekspresi wanita itu yang entah mengapa begitu menyenangkan untuk dilihat. Axel sen
Axel menoleh begitu mendengar suara memanggilnya. Dengan cepat, ia pun bisa melihat Juan yang sudah melangkah masuk bersama Nero. "Eh, Kak Juan! Kak Nero!" sapa Axel sambil langsung tersenyum. "Ah, aku benar kan, Nero! Dia benar-benar Axel! Walaupun awalnya aku ragu mungkinkah kau datang ke kantor begitu pagi! Lagipula kemarin kau bilang kan tidak akan ke sini hari ini! Ah, ternyata kau benar-benar ke sini ya! Apa kau menunggu kami, hah? Ayo sini, ikutlah denganku!"Tanpa menunggu jawaban Axel, Juan langsung memeluk bahu Axel dan membawanya berjalan menuju lift. "Eh, tapi Kak Juan ... aku ....""Sudah, ayo kita naik!" Juan terus memeluk Axel dan mau tidak mau, Axel pun mengikuti langkah Juan. Sementara Nero sendiri masih tetap berdiri di tempatnya.Saat Juan sedang heboh melihat Axel tadi, tatapan Nero malah langsung terpusat pada punggung Patra. Tidak perlu melihat wajahnya, bahkan hanya melihat Patra tampak belakang saja, Nero sudah dapat memastikan kalau wanita itu adalah Patr
Axel masih mengobrol bersama Juan sambil melangkah bersama saat ia melihat seorang cleaning service yang sedang membawa cangkir masuk ke dalam sebuah ruangan kecil tidak jauh dari ruang kerja Nero. "Eh, Kak, nanti kita ngobrol, kau duluan saja ke ruang kerja Kak Nero!" kata Axel cepat. "Eh, mengapa begitu? Kau mau ke mana?""Hmm, aku ... mau ke toilet dulu," dusta Axel yang keluar begitu saja dari mulutnya. "Toilet? Ah, baiklah, aku ke ruang kerja Nero dulu ya!""Baiklah, Kak!" Axel pun tersenyum sambil melambaikan tangannya. Juan pun mengangguk dan segera melesat ke ruang kerja Nero. Sedangkan Axel hanya menatap punggung Juan dan memastikannya sudah masuk ke ruang kerja Nero, sebelum ia mengalihkan tatapannya ke ruangan kecil yang baru saja ia lewati tadi. Sambil tersenyum, Axel pun melangkah masuk ke ruangan yang ternyata adalah pantry itu. Ruangan kecil itu masih disekat lagi dengan dinding kaca dan Axel yang mendengar suara dari sana pun melangkah perlahan.Axel berdiri di
Nero masih menggeram kesal di ruang kerjanya saat lagi-lagi Patra meninggalkannya begitu saja. "Sial! Mengapa dia terus meninggalkan aku? Bukankah seharusnya aku yang meninggalkannya? Aku yang tidak menginginkan dia bukan sebaliknya! Sial!"Nero memejamkan matanya frustasi dan seketika makin frustasi saat bayangan Patra muncul di otaknya. Nero pun berakhir dengan menggebrak mejanya keras-keras sampai Juan yang baru saja masuk pun nampak kaget."Hei hei, ada apa, Pak CEO? Tadi waktu datang bersamaku, kau masih baik-baik saja tapi sekarang kau sudah marah-marah lagi. Apa yang membuatmu marah, hah?" tanya Juan sambil melangkah santai dan duduk di kursi di hadapan Nero. "Tidak ada, Juan! Bagaimana Axel?" "Axel sedang ke toilet. Kami sudah berkeliling, tapi masih sepi jadi aku tidak melanjutkannya lagi. Tunggu semua orang mulai beraktivitas baru aku bisa menjelaskan lebih padanya."Nero mengangguk. "Jadi kapan dia mau mulai bekerja?""Haha, kapan mau mulai? Bahkan mau bekerja atau tida
"Manager proyek yang baru?""Benar, namanya Axel.""Wah, namanya keren sekali! Apa orangnya tampan, Patra? Jangan bilang seperti Pak Timo lagi! Melihat wajahnya saja membuatku muak, apalagi tingkahnya yang begitu sok tampan padahal ... huwek ...." Selly bergaya seperti orang yang mau muntah. "Selly, jangan menyebutkan nama itu lagi! Aku benci sekali pada pria itu! Tapi yang ini berbeda. Dia masih muda dan sangat tampan.""Benarkah, Patra? Oh, aku jadi tidak sabar melihatnya. Kapan dia akan mulai bekerja, Patra?""Katanya sih besok.""Wah, aku jadi makin tidak sabar lagi menunggu besok." Selly memekik kegirangan!""Dia juga sangat ramah, Selly. Aku yakin dia akan menjadi idola baru di kantor ini." Patra dan Selly pun terkikik bersama. Mereka pun makan siang bersama di kantin karyawan, sebelum kembali melanjutkan pekerjaan mereka. Di sisi lain, Nero juga mengajak Axel makan siang bersama di luar kantor, sebelum akhirnya ia sendiri yang mengajak Axel berkeliling dan menjelaskan pekerj
Axel terus tersenyum sambil berlari kecil menuruni tangga besar menuju ke lobby.Ia pun segera berlari ke ruangan cleaning service dan mendapati beberapa orang cleaning service di sana. "Eh, maaf, yang mana sandal milik Patra ya?""Oh, ini, Pak," jawab seorang wanita sambil menunjuk sepasang sandal berwarna coklat muda."Ah, terima kasih!" seru Axel sambil langsung meraih sepasang sandal itu. Axel pun langsung berlari kembali ke atas, tempat Patra sudah menunggunya dan Axel begitu senang melihat Patra masih duduk di sana dengan patuh. "Patra!" sapa Axel sambil berlari kecil menghampiri Patra. Patra pun menoleh dan tersenyum ke arah Axel. "Axel!""Aku membawa sandalnya," seru Axel yang langsung berjongkok begitu sampai di depan Patra sampai Patra pun langsung kaget."Astaga, apa yang kau lakukan, Axel? Bangunlah!""Ayo bukalah sepatumu, pakai sandal saja!" kata Axel yang berusaha meraih kaki Patra untuk membukakan sepatunya. "Eh, aku bisa membukanya sendiri, Axel!" sahut Patra sam
"Maafkan aku, Axel! Aku berpikiran terlalu jauh. Lain kali tidak usah terlalu dekat dengan cleaning service seperti itu, Axel! Apalagi sampai berjongkok di depannya seperti tadi. Itu tidak perlu. Menolong ya menolong tapi mengambilkan sandal untuknya saja itu sudah lebih dari cukup."Axel hanya mengangguk tanpa menyahuti Nero lagi dan mereka pun akhirnya membahas tentang pekerjaan, walaupun sepanjang pembicaraan dengan Axel, otak Nero terus memikirkan hal yang lain. "Kak Nero, kita makan malam di mall saja nanti karena ada yang mau kubeli di sana," kata Axel saat ia dan Nero baru saja keluar dari lift dan melangkah di lobby malam itu. "Baiklah, nanti aku dan Kania akan menyusul, kita bertemu di mall.""Oke! Nanti akan kutelepon Kak Juan juga!""Baiklah!" Nero mengangguk. Mereka pun masih berjalan berdua dengan santai saat tiba-tiba Patra yang baru saja menyelesaikan lemburnya nampak berlari kecil dengan sandal jepitnya ke arah pintu masuk. "Astaga, Patrick pasti sudah menunggu lam
Nero tidak banyak bicara saat Kania mengajaknya berjalan, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah toko sepatu. "Mengapa kita ke sini?" tanya Nero sambil mengernyit. "Barusan Axel mengirimiku pesan kalau dia ada di sini," sahut Karina sambil mengutik ponselnya. Nero tertawa pelan. "Jadi benar dia mencari sesuatu untuk wanita?""Tentu saja, Nero! Aku tidak pernah salah! Ayo masuk!" Kania kembali mengamit lengan Nero dan menariknya masuk, namun Nero menahan langkahnya. "Tunggu tunggu, mengapa kita ikut masuk?""Nero, ini toko sepatu wanita dan wanita sangat suka shopping jadi temani aku melihat-lihat sebentar, oke?"Tanpa banyak bicara lagi, Kania pun menarik Nero masuk dan Nero pun hanya bisa mengikuti Kania. Kania langsung melesat memilih sepatu dengan begitu bersemangat sementara Nero seperti biasa sama sekali tidak tertarik. Baru saja Nero bermaksud keluar dari toko dan menunggu di luar, namun mendadak pandangannya menangkap sebuah flat shoes yang sangat cantik terpajang di sana
Jantung Patra berdebar begitu kencang mendengarnya. Tatapan Axel terlihat sangat tulus dan tatapan Patra pun menjadi goyah melihatnya. Untuk sesaat, hati Patra berdesir karena ada seorang pria yang begitu mencintainya. Bukankah setelah melewati banyak hal yang menyedihkan, Patra juga berhak bahagia dan dicintai. Namun, tidak dapat dipungkiri Patra sendiri merasa takut. Takut untuk kembali berhubungan dengan pria, takut kalau kejadian yang serupa akan dialaminya, dilecehkan oleh keluarga Axel nanti karena keluarga Patra hanya keluarga miskin. Dan juga takut kalau Axel tidak bisa menerimanya seandainya tahu Patra pernah diperkosa. Sungguh, itu bukan hal yang baik bagi seorang wanita. Tapi selain semua itu ... Patra tidak punya perasaan yang sama dengan Axel. Sebagai seorang wanita sebenarnya Patra tahu kalau lebih baik dicintai daripada mencintai dan sekalipun Patra tidak punya perasaan seperti Axel, bukan hal sulit bagi Patra untuk menerima Axel dan hidup bahagia bersama Axel. N
Brak!Nero menutup pintu kamarnya dengan begitu kesal. Tanpa mempedulikan Kania, Nero pun terus berjalan mondar mandir sambil mengembuskan napas panjang dan hati Kania pun makin sakit melihatnya. "Ada apa, Nero?" Kania berhasil bertanya dengan suara yang sudah bergetar. "Apa yang ... membuatmu sampai semarah ini?""Tidak ada, Kania! Aku hanya sedang kesal! Tidurlah duluan!" Nero mengedikkan kepalanya ke arah ranjang. Namun, Kania hanya melirik ranjangnya lalu tertawa pelan menatap Nero. "Ranjang itu sama sekali tidak hangat untukku, Nero. Kita tidur satu kamar tapi aku merasa seperti sedang tidur sendiri."Nero langsung terdiam mendengarnya. Ia pun menatap Kania dengan tatapan penuh tanya. "Apa maksudmu, Kania? Kemarin malam aku memang baru kembali ke kamar tengah malam karena itu, aku langsung tidur!""Kau tahu bukan itu maksudku, Nero!""Tidak! Aku tidak mengerti maksudmu, Kania! Apa yang sebenarnya kau bicarakan?"Kania menelan salivanya dan memaksakan senyumnya. "Selama tiga t
"Baiklah, aku bersedia berinvestasi untuk proyek ini!" kata Pak Barry siang itu. Semua orang sudah begitu tegang sejak pagi dan Patra pun menampilkan presentasi terbaiknya di hadapan Pak Barry di ruang kerja pria itu. Patra menjelaskan semuanya dengan sangat baik sampai Axel dan Juan pun tersenyum puas. Axel sendiri ikut membantu menjelaskan bagiannya dan singkat kata, semuanya berjalan begitu lancar dan sukses. Patra pun hampir saja melonjak kegirangan mendengar ucapan Pak Barry. "Anda ... Anda serius, Pak Barry?" tanya Patra tidak yakin. "Apa aku terlihat sedang bercanda?" balas Pak Barry santai seolah memutuskan menggelontorkan uang begitu banyak sama sekali tidak ada artinya untuk pria itu. "Ah, tidak ...." Patra begitu sungkan. "Selama kau yang memimpin proyeknya, aku setuju!""Eh? Aku ... tentu aku yang memimpin proyek ini!""Baiklah, aku setuju! Aku menunggu dokumen legalnya untuk kutandatangani dan aku akan segera mengirim uangnya untuk berinvestasi di proyek ini." Se
"Terima kasih banyak, Pak Barry.""Sama-sama, Bu Kania. Aku menantikan presentasinya besok.""Tentu, Pak Barry. Terima kasih."Kania dan Axel pun tersenyum ramah sebelum mereka berpisah dengan Pak Barry dan setelah itu, Kania pun kembali memasang ekspresi datarnya sampai Axel yang melihatnya pun mengernyit. "Hei, mengapa kau begitu murung, Kak? Bukankah seharusnya kau senang tanggapan dari Pak Barry begitu baik, kans kita cukup besar untuk mendapatkan hatinya di proyek ini! Selain itu kau juga bisa berlibur di tempat yang indah ini bersama Kak Nero kan?"Kania yang mendengarnya hanya terdiam dan mengangguk. "Tentu saja aku senang, Axel. Banyak hal yang seharusnya membuat aku senang.""Hmm, lalu apa yang membuatmu cemberut sekarang?""Tidak, aku tidak cemberut. Benarkah aku cemberut?""Astaga, Kak Kania! Kau pikir aku ini sungguhan karyawanmu, hah? Aku ini adikmu, tentu saja aku mengenalmu. Kakakku adalah wanita yang sangat ramah, murah senyum, dan selalu positif. Tidak seperti raut w
Juan dan Nero masih mengobrol saat Nero melihat Kania yang masih berdiri begitu lama dengan posisi membungkuk ke dalam mobil. Nero pun mengernyit dan mendekati Kania sambil mencoba melirik apa yang Kania lakukan. "Kania?" panggil Nero akhirnya. Kania yang tersentak kaget pun hanya bisa mengerjapkan matanya dan menyimpan kembali sepatu yang ia lihat tadi lalu memasang senyuman manisnya seolah tidak terjadi apa-apa. "Ah, iya, Sayang?""Apa berat? Sini kubantu!" Nero mengambil beberapa berkas yang sudah ditumpuk oleh Kania dan siap diangkat. "Terima kasih, Sayang!" seru Kania sambil masih tersenyum menatap Nero.Nero sendiri pun masih mengangkat berkasnya dan ia terdiam sejenak menatap Patra yang masih tertawa senang bersama Selly dan Axel. Nero mengembuskan napas panjang dan langsung saja mengalihkan tatapannya ke arah lain, sebelum ia melangkah mengikuti Juan. Sementara Kania ikut terdiam dan langsung menoleh ke arah tatapan Nero tadi.Kania pun kehilangan senyumnya sama sekali
Axel menghentikan mobilnya di parkiran kantor pagi itu. Ia baru saja menjemput Patra dan mereka sudah sangat terlambat pagi itu. Patra pun sudah siap berlari, tapi Axel mendadak mengulurkan tangannya ke arah Patra sampai Patra mengernyit bingung. "Apa? Kita sudah terlambat!""Aku tahu!" Axel mengedikkan kepalanya ke arah uluran tangannya. "Berlari bersama akan lebih cepat!"Patra pun terdiam sejenak dan bermaksud menolak, tapi belum sempat penolakan itu keluar dari mulutnya, Axel sudah menyambar tangan Patra dan menggenggamnya erat. Patra sempat tersentak kaget, tapi ia tidak sempat protes lagi karena Axel sudah mengajaknya berlari begitu cepat. "Akkhh, Axel!"Namun, Axel hanya tertawa begitu senang dan Patra pun akhirnya ikut tertawa senang. Menyenangkan sekali berlarian seperti anak kecil dari parkiran yang begitu luas sampai ke lobby perusahaan. Mereka pun terus tertawa bersama sambil sesekali Axel menoleh menatap Patra. Sedangkan Nero yang melihatnya dari balkon tentu saja l
"Astaga, Axel! Aku benar-benar tidak menyangka kau begitu gentle!" sahut Kania tiba-tiba. "Kau baru mengenalnya sebentar tapi kau sudah begitu yakin padanya.""Haha, aku sudah sangat yakin dengan perasaanku, Kak. Semakin diyakinkan lagi, yang ada malah aku semakin menyukainya. Bahkan aku tidak tahan berjauhan dengannya. Aku benar-benar seperti orang bodoh saat ada di dekatnya.""Wah wah, aku yakin kali ini Axel serius. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya." Kania melirik Nero dan Juan yang sudah mematung tanpa ekspresi. Kania dan Axel pun mendadak heboh sendiri menceritakan tentang Patra, tapi mendadak Nero berkomentar. "Kapan kau mau menyatakan perasaanmu, Axel? Di villa nanti? Kau tidak bisa melakukannya, Axel!" geram Nero dengan nada meninggi. "Momennya tidak pas. Kalau kau ditolak, kau akan down dan tidak bisa bekerja lagi! Kau mau mempertaruhkan nama perusahaan hanya karena ungkapan cinta, hah?" "Jangan kekanakan, Axel! Lagipula seperti dia juga menyukaimu saja!" geram Nero
"Pihak investor mau kita menemuinya di villanya besok lusa, Patra. Jadi bersrmangatlah. Namanya Pak Barry, kita harus berhasil melobinya untuk berinvestasi di proyek itu!" seru Axel pagi itu. Patra yang mendengarnya pun berdebar, tapi ini proyek pertamanya. Karena itu, Patra harus berusaha keras untuk mendapatkan investasi itu. Di sisi lain, Juan sedang sangat gelisah dan terus mengikuti Nero ke mana-mana. Nero mabuk semalam saat mengatakan akan memutuskan Kania dan ketika Juan meminta penjelasannya, Nero malah tertidur. "Semoga saja dia tidak ingat apa yang sudah dia katakan tadi malam." Juan terus bergumam sendiri. "Apa Kania tidak ke kantor pagi ini? Dia tidak memberitahuku soal jadwalnya pagi ini," kata Nero yang melangkah masuk ke ruang kerjanya. "Eh, mengapa mendadak kau mencari Kania?" sahut Juan tegang. "Memangnya mengapa aku tidak boleh mencarinya? Tidak biasanya dia tidak memberitahu jadwalnya.""Err, apa sekarang kau mempedulikan Kania?""Heh? Aku tidak mengerti maks
"Nero ... lepas ..." Patra masih mencoba bicara walau bibirnya saat ini sedang dikunci oleh Nero. "Mmphh ...." Beberapa kali Patra berusaha mendorong Nero namun semakin Patra mendorong, Nero semakin maju sampai Patra terhimpit dan tidak bisa bergerak lagi. Nero terus memagut bibir Patra begitu lama, mengabaikan Patra yang terus memberontak. Hingga akhirnya Patra pun menyerah, alih-alih mendorong, Patra malah mencengkeram kemeja pria itu. Tanpa disadari, Patra mulai membalas pagutan bibir pria itu. Nero yang merasakannya sempat tersenyum kecil, sebelum ia kembali melahap bibir Patra. Tubuh Patra pun mulai melemas, menandakan bahwa wanita itu sudah pasrah dan tangan Nero pun berhenti mengungkungnya. Tanpa melepas pagutan bibirnya, Nero pun mulai menangkup dan membelai kepala Patra dengan sayang. Dan untuk sesaat, mereka begitu menikmati tautan bibir mereka, sama seperti dulu saat mereka masih sepasang kekasih. Hanya saja, bedanya kalau dulu mereka hanyalah sepasang remaja yang m