Patra masih mengepel lantai di koridor dekat lift siang itu. Patra meletakkan ember berisi airnya tidak jauh di depan lift tapi di posisi yang aman sehingga siapa pun bisa tetap memakai lift tanpa terganggu oleh embernya. Ting!Suara pintu lift terbuka dapat didengar oleh Patra, tapi ia tetap melanjutkan pekerjaannya karena ia merasa tidak mengganggu siapa pun. Namun, suara berikutnya yang Patra dengar cukup membuatnya tersentak. Brak!Suara ember ditendang dengan gemericik air yang tercecer di lantai. "Astaga, maaf aku tidak sengaja!"Patra yang mendengarnya pun menoleh dan mendesah kesal saat melihat air yang tumpah di lantai. "Astaga, bagaimana kalau ada yang terpeleset!" gumam Patra kesal. Apalagi saat melihat sepasang kaki milik seseorang yang sudah berdiri di samping embernya. Rasanya Patra sudah sangat geram namun mengingat posisinya yang hanya seorang cleaning service, ia pun berusaha tetap memasang senyumannya dan menjaga ekspresinya. Sambil berusaha tetap sopan, Pat
Axel duduk sendirian di meja bulat ruang VIP sebuah restoran mewah malam itu. Ia sudah berjanji untuk makan malam bersama dengan Nero, Juan, dan juga Kania, tapi belum ada satu pun yang datang."Mereka sudah biasa terlambat atau memang aku yang terlalu rajin ya?" gumam Axel sambil melirik jam tangannya. "Hmm, tapi biarkan saja!" Axel mengangkat bahunya dan menyambar gelas winenya. Axel pun menunggu dengan santai sambil mengutik ponselnya saat mendadak ingatan tentang tadi siang muncul di otaknya. "Maaf sekali lagi!" Axel tidak berhenti meminta maaf tadi siang. "Ah, sudah kubilang tidak apa. Ini juga sudah selesai!" sahut cleaning service cantik itu. "Hmm, baiklah! Oh ya, tadi pagi kita belum sempat berkenalan ... aku ...." Belum sempat Axel menyelesaikan ucapannya, tapi ponsel wanita itu berbunyi dan ia pun segera mengangkatnya. Entah apa yang wanita itu bicarakan, Axel hanya bisa memperhatikan ekspresi wanita itu yang entah mengapa begitu menyenangkan untuk dilihat. Axel sen
Axel menoleh begitu mendengar suara memanggilnya. Dengan cepat, ia pun bisa melihat Juan yang sudah melangkah masuk bersama Nero. "Eh, Kak Juan! Kak Nero!" sapa Axel sambil langsung tersenyum. "Ah, aku benar kan, Nero! Dia benar-benar Axel! Walaupun awalnya aku ragu mungkinkah kau datang ke kantor begitu pagi! Lagipula kemarin kau bilang kan tidak akan ke sini hari ini! Ah, ternyata kau benar-benar ke sini ya! Apa kau menunggu kami, hah? Ayo sini, ikutlah denganku!"Tanpa menunggu jawaban Axel, Juan langsung memeluk bahu Axel dan membawanya berjalan menuju lift. "Eh, tapi Kak Juan ... aku ....""Sudah, ayo kita naik!" Juan terus memeluk Axel dan mau tidak mau, Axel pun mengikuti langkah Juan. Sementara Nero sendiri masih tetap berdiri di tempatnya.Saat Juan sedang heboh melihat Axel tadi, tatapan Nero malah langsung terpusat pada punggung Patra. Tidak perlu melihat wajahnya, bahkan hanya melihat Patra tampak belakang saja, Nero sudah dapat memastikan kalau wanita itu adalah Patr
Axel masih mengobrol bersama Juan sambil melangkah bersama saat ia melihat seorang cleaning service yang sedang membawa cangkir masuk ke dalam sebuah ruangan kecil tidak jauh dari ruang kerja Nero. "Eh, Kak, nanti kita ngobrol, kau duluan saja ke ruang kerja Kak Nero!" kata Axel cepat. "Eh, mengapa begitu? Kau mau ke mana?""Hmm, aku ... mau ke toilet dulu," dusta Axel yang keluar begitu saja dari mulutnya. "Toilet? Ah, baiklah, aku ke ruang kerja Nero dulu ya!""Baiklah, Kak!" Axel pun tersenyum sambil melambaikan tangannya. Juan pun mengangguk dan segera melesat ke ruang kerja Nero. Sedangkan Axel hanya menatap punggung Juan dan memastikannya sudah masuk ke ruang kerja Nero, sebelum ia mengalihkan tatapannya ke ruangan kecil yang baru saja ia lewati tadi. Sambil tersenyum, Axel pun melangkah masuk ke ruangan yang ternyata adalah pantry itu. Ruangan kecil itu masih disekat lagi dengan dinding kaca dan Axel yang mendengar suara dari sana pun melangkah perlahan.Axel berdiri di
Nero masih menggeram kesal di ruang kerjanya saat lagi-lagi Patra meninggalkannya begitu saja. "Sial! Mengapa dia terus meninggalkan aku? Bukankah seharusnya aku yang meninggalkannya? Aku yang tidak menginginkan dia bukan sebaliknya! Sial!"Nero memejamkan matanya frustasi dan seketika makin frustasi saat bayangan Patra muncul di otaknya. Nero pun berakhir dengan menggebrak mejanya keras-keras sampai Juan yang baru saja masuk pun nampak kaget."Hei hei, ada apa, Pak CEO? Tadi waktu datang bersamaku, kau masih baik-baik saja tapi sekarang kau sudah marah-marah lagi. Apa yang membuatmu marah, hah?" tanya Juan sambil melangkah santai dan duduk di kursi di hadapan Nero. "Tidak ada, Juan! Bagaimana Axel?" "Axel sedang ke toilet. Kami sudah berkeliling, tapi masih sepi jadi aku tidak melanjutkannya lagi. Tunggu semua orang mulai beraktivitas baru aku bisa menjelaskan lebih padanya."Nero mengangguk. "Jadi kapan dia mau mulai bekerja?""Haha, kapan mau mulai? Bahkan mau bekerja atau tida
"Manager proyek yang baru?""Benar, namanya Axel.""Wah, namanya keren sekali! Apa orangnya tampan, Patra? Jangan bilang seperti Pak Timo lagi! Melihat wajahnya saja membuatku muak, apalagi tingkahnya yang begitu sok tampan padahal ... huwek ...." Selly bergaya seperti orang yang mau muntah. "Selly, jangan menyebutkan nama itu lagi! Aku benci sekali pada pria itu! Tapi yang ini berbeda. Dia masih muda dan sangat tampan.""Benarkah, Patra? Oh, aku jadi tidak sabar melihatnya. Kapan dia akan mulai bekerja, Patra?""Katanya sih besok.""Wah, aku jadi makin tidak sabar lagi menunggu besok." Selly memekik kegirangan!""Dia juga sangat ramah, Selly. Aku yakin dia akan menjadi idola baru di kantor ini." Patra dan Selly pun terkikik bersama. Mereka pun makan siang bersama di kantin karyawan, sebelum kembali melanjutkan pekerjaan mereka. Di sisi lain, Nero juga mengajak Axel makan siang bersama di luar kantor, sebelum akhirnya ia sendiri yang mengajak Axel berkeliling dan menjelaskan pekerj
Axel terus tersenyum sambil berlari kecil menuruni tangga besar menuju ke lobby.Ia pun segera berlari ke ruangan cleaning service dan mendapati beberapa orang cleaning service di sana. "Eh, maaf, yang mana sandal milik Patra ya?""Oh, ini, Pak," jawab seorang wanita sambil menunjuk sepasang sandal berwarna coklat muda."Ah, terima kasih!" seru Axel sambil langsung meraih sepasang sandal itu. Axel pun langsung berlari kembali ke atas, tempat Patra sudah menunggunya dan Axel begitu senang melihat Patra masih duduk di sana dengan patuh. "Patra!" sapa Axel sambil berlari kecil menghampiri Patra. Patra pun menoleh dan tersenyum ke arah Axel. "Axel!""Aku membawa sandalnya," seru Axel yang langsung berjongkok begitu sampai di depan Patra sampai Patra pun langsung kaget."Astaga, apa yang kau lakukan, Axel? Bangunlah!""Ayo bukalah sepatumu, pakai sandal saja!" kata Axel yang berusaha meraih kaki Patra untuk membukakan sepatunya. "Eh, aku bisa membukanya sendiri, Axel!" sahut Patra sam
"Maafkan aku, Axel! Aku berpikiran terlalu jauh. Lain kali tidak usah terlalu dekat dengan cleaning service seperti itu, Axel! Apalagi sampai berjongkok di depannya seperti tadi. Itu tidak perlu. Menolong ya menolong tapi mengambilkan sandal untuknya saja itu sudah lebih dari cukup."Axel hanya mengangguk tanpa menyahuti Nero lagi dan mereka pun akhirnya membahas tentang pekerjaan, walaupun sepanjang pembicaraan dengan Axel, otak Nero terus memikirkan hal yang lain. "Kak Nero, kita makan malam di mall saja nanti karena ada yang mau kubeli di sana," kata Axel saat ia dan Nero baru saja keluar dari lift dan melangkah di lobby malam itu. "Baiklah, nanti aku dan Kania akan menyusul, kita bertemu di mall.""Oke! Nanti akan kutelepon Kak Juan juga!""Baiklah!" Nero mengangguk. Mereka pun masih berjalan berdua dengan santai saat tiba-tiba Patra yang baru saja menyelesaikan lemburnya nampak berlari kecil dengan sandal jepitnya ke arah pintu masuk. "Astaga, Patrick pasti sudah menunggu lam
Kania sadar pertanyaannya begitu absurd, rasanya tidak mungkin Patra ke apartemen Nero. Namun, entah mengapa rasa penasarannya seperti bom yang akan meledak. Semakin Kania mengingatnya, wanita itu memang mirip dengan Patra, walaupun baju wanita tadi tidak mirip dengan baju Patra sekarang. Nero dan Patra sendiri langsung menegang mendengar pertanyaan Kania sampai tidak ada yang bicara selain mematung. Untungnya, Axel menyahuti lebih cepat. "Bu Kania, Anda benar-benar absurd ya! Anda membuat asistenku takut."Axel terus tertawa seolah pertanyaan Kania adalah hal yang sangat lucu. "Tidak mungkin Patra ada di apartemen Pak Nero! Kurasa di mana apartemen Pak Nero saja dia tidak tahu, bukankah begitu, Patra? Anda pasti salah orang, Bu Kania."Kania yang melihat Axel tertawa pun akhirnya ikut tertawa. "Ah, aku sudah menduganya! Kalian pasti mengira aku absurd kan? Tadi aku sedang menelepon dan mendadak berpapasan dengan seorang wanita yang tampak belakangnya mirip sekali dengan Patra."
Kania pulang lebih cepat pagi itu dari luar kota. Ia sudah merindukan Neronya dan ia pun membawa sarapan untuk dinikmati bersama dengan Nero. Namun, saat ia melangkah di lobby sambil menelepon, mendadak ia melihat seorang wanita familiar yang berjalan dengan cepat melewatinya. "Patra?" gumam Kania antara yakin dan tidak. Kania pun masih terdiam sampai lawan bicaranya memanggilnya dan ia pun tersentak kaget. "Ah, iya, maaf! Sampai di mana kita?" Kania mengerjapkan mata sambil tersenyum lalu meneruskan mengobrolnya sambil melangkah naik ke apartemen Nero. Nero sendiri yang ditinggalkan oleh Patra masih mematung di tempatnya dan sama sekali belum beranjak walaupun sudah cukup lama Patra pergi. Nero masih berharap Patra kembali, sampai saat bel pintu apartemen berbunyi, tawa sumringah pun mengembang di wajah Nero. Dengan bersemangat, Nero membuka pintu apartemennya, berharap melihat Patra di sana, namun seketika tawanya menghilang saat alih-alih Patra, ia malah melihat Kania, tuna
Nero mengerut dalam tidurnya. Rasanya ia baru saja mengalami tidur panjang dan ia sangat lelap.Nero pun mulai menggerakkan tubuhnya sambil perlahan membuka matanya dan hal pertama yang dilihatnya adalah wajah cantik Patra yang sedang tertidur lelap di sampingnya. Entah bagaimana gerakan mereka saat tidur kemarin, namun saat ini Nero sedang memeluk lengan Patra yang sedang tertidur pulas tepat di sampingnya. Mereka sama-sama tidur menyamping dan saling berhadapan. Nero pun hanya bisa tertegun menatap wajah cantik itu dan ia baru ingat bagaimana wanita itu merawatnya kemarin malam. Entah jam berapa sekarang namun belum terlihat cahaya sama sekali dari jendela, mungkin masih subuh, tapi untungnya Nero sudah merasa lebih baik, jauh lebih baik. "Kau menepati janjimu, Patra. Tidak meninggalkanku saat aku tertidur."Dengan hati-hati, Nero membelai pipi Patra dengan punggung tangannya. Nero pun menyingkirkan helaian rambut di sisi wajah wanita itu dan terus tersenyum. Baru saja Nero mem
Patra langsung mematung mendengar ucapan Nero. Untuk sesaat, semua rasa dalam dirinya melonjak mendengar Nero mengatakan mencintainya. Siapa yang tidak senang mendengar pria yang masih dicintainya ternyata juga merasakan hal yang sama. Namun sedetik kemudian, kesadaran pun menyentak Patra. Tidak! Apa yang Nero katakan barusan? Nero masih mencintainya?Tidak! Semua ini salah. Tidak seharusnya Nero berkata begitu. Ya, ini salah dan yang namanya kesalahan harus segera dibenarkan atau Patra akan menjadi ikut-ikutan salah."Nero ... lepaskan! Kau sudah makin ngawur! Lepaskan aku, Nero! Lepaskan!""Tidak, Patra! Aku tidak ngawur! Aku masih sadar!"Patra mulai memberontak lagi dan Nero bertahan, namun rasa sakit di tubuhnya akhirnya membuatnya menyerah dan melepaskan Patra. Patra pun berlari menjauh dari Nero. "Kau sedang sakit, Nero! Otakmu tidak bisa berpikir dengan baik dan kau mengingau! Ingat itu, kau meracau! Kau hanya meracau!" ucap Patra berulang kali seolah berharap sugesti itu
Nero masih tersenyum menunggu Patra-nya yang sedang ada di ruang wardrobe, tapi wanitanya tidak kunjung kembali.Sambil meringis, ia pun melangkah ke arah ruang wardrobe dan sungguh lantai kamarnya terasa dingin di telapak kaki Nero. Nero pun terus meringis dan mempercepat langkahnya, namun mendadak ia berhenti saat ia sudah sampai di ruang wardrobe. Nero tertegun sejenak menatap punggung Patra. Wanita itu sedang berdiri di depan lemarinya sambil memegang kaos berwarna biru muda dan tentu saja Nero langsung mengenali kaos apa itu. Kaos kenangan mereka. Nero membelinya agar mereka bisa memakai kaos couple, tapi sayangnya mereka tidak pernah bisa memakainya karena tidak lama kemudian mereka berpisah. Nero pun akhirnya tidak pernah memakai kaos itu sampai sekarang dan hanya menyimpannya. Bagi Nero, kaos couple itu harus dipakai bersama Patra. Untuk sesaat, Nero hanya berdiri diam. Bahkan Nero tidak mempedulikan lagi telapak kakinya yang terasa dingin karena mendadak ia melow menging
Suara Nero terdengar lirih dan penuh harap sampai Patra yang mendengarnya pun hanya bisa tetap diam di tempatnya sambil masih berdiri mematung memunggungi Nero. "Kumohon ... jangan tinggalkan aku ...," ulang Nero lagi. Patra pun menahan napasnya. Ada sebagian dari dirinya yang merasa ini salah, berdua saja dengan Nero. Namun, sebagian lagi merasa lega karena Nero memintanya tinggal. Setidaknya ia punya alasan untuk tinggal karena ia sendiri tidak tega melihat kondisi nero.Sambil berdehem, Patra pun membalikkan tubuhnya dan menatap ke arah Nero."Jadi kau sakit kan? Mengapa kau tidak menelepon seseorang untuk membantumu daripada kau sendirian di sini sampai malam? Bagaimana kalau aku tidak ke sini? Bukankah tidak ada yang menolongmu?" Kata-kata Patra meluncur begitu saja dari mulutnya menyiratkan kepedulian."Bukankah akhirnya kau datang, Patra? Itu yang penting!" Nero tertawa lemas. Patra sendiri tidak menanggapinya lagi. Ia langsung melangkah mendekati Nero sambil menyambar gelas
Ucapan Patra terus berputar di otak Juan sampai Juan begitu gelisah malam itu. "Aku yakin pasti ada yang Patra sembunyikan. Dia bukan wanita seperti itu, tapi bagaimana membuktikan hal yang sudah lama berlalu, apalagi saat itu semua bukti pencairan uang ke rekening Patra juga sudah jelas.""Ah, membuatku pusing saja! Ck, tapi kurasa benar, kenyataan tidak akan mengubah apa pun jadi tidak perlu ditanyakan lagi!""Kalau begitu lebih baik aku membantu Patra saja. Daripada harus kehilangan karyawan kompeten, lebih baik aku membantunya bekerja saja! Aku akan memberinya proyek agar dia makin bersinar!" Mendadak Juan pun menjadi bersemangat membantu Patra. Sementara itu, Nero juga masih gelisah di apartemennya sendiri.Semakin Kania memakluminya, Nero semakin galau. Kania selalu bersikap positif, memakluminya, memahaminya, bersabar padanya, tapi sikap itu membuat Nero makin berasa bersalah. "Sial! Mengapa Kania harus bersikap seperti itu? Mengapa seolah dia tidak mempunyai emosi sama seka
Patra tidak bisa menyelesaikan laporannya hari itu, pertemuan dengan Nero benar-benar membuat fokusnya terbelah dan ia merasa tidak enak hati pada Axel. Untungnya, Axel sangat pengertian. Malahan Axel yang ingin melapor pada Nero bahwa laporannya belum selesai, tapi Patra mencegahnya karena tidak mau Nero melampiaskan sakit hatinya pada Axel. Dan di sinilah Patra, berdiri di depan Nero dengan sangat malu, padahal tadi ia sudah percaya diri bisa menyelesaikan laporannya. Nero sendiri sudah percaya diri melihat Patra mencarinya. Otak Nero sudah melayang jauh memikirkan Patra yang bersedia menjadi wanitanya, tapi kenyataannya tidak seperti yang ia pikir. "Bukankah tadi kau begitu percaya diri untuk menyelesaikan laporannya, Patra?""Tolong beri aku waktu sedikit lagi." Nero hanya mengangguk, sejenak menatap Patra seolah mempertimbangkan sesuatu, sebelum ia bangkit dari kursinya dan melangkah mendekati Patra. Patra sedikit tegang saat Nero melangkah ke arahnya sampai Patra langsung m
"Aku yakin Patra dipaksa meninggalkan Pak Nero waktu itu. Bukankah biasanya orang kaya selalu merendahkan orang miskin? Apalagi Patra hanyalah anak sopir waktu itu. Melihat Patra menangis begitu sedih pasti ada sebuah kejadian yang benar-benar menyakitkan di sana sampai dia memutuskan pergi begitu saja. Kau juga berpikiran seperti itu kan, Selly?" desak Greedy berapi-api. Selly dan Greedy sudah keluar dari ruang kerja Patra karena para karyawan sudah kembali ke posisinya. Mereka pun akhirnya masuk ke toilet untuk menenangkan pikiran mereka yang masih syok dan juga membersihkan sisa air mata di wajah mereka. Namun, mendadak Greedy merasa sangat kasihan pada Patra. "Entahlah, Greedy! Aku tidak berani memikirkan apa pun. Tapi Patra sudah bilang kan kalau dia berusaha bangkit dari kenangan buruk, berarti itu memang buruk. Selama aku mengenal Patra, dia sangat positif. Tapi aku mulai berpikir bahwa mungkin di posisi Pak Nero juga menyakitkan. Ditinggalkan oleh wanita yang dicintainya .