"A-apa maksud Ibu? Patra tidak mungkin pergi, dia tidak mungkin meninggalkan aku!" Nero menolak mentah-mentah perkataan ibunya.
Tidak mungkin Patra pergi begitu saja tanpa alasan.
Nero tahu wanita itu sangat mencintainya. Selama ini mereka sudah berjuang keras untuk mendapatkan restu sang ibu. Bahkan untuk bertemu pun, mereka harus bertemu secara diam-diam.
"Aku mau pergi mencari Patra!" Nero berniat menyibak selimut besarnya, tapi untuk bergerak pun ia tidak punya tenaga.
Semua orang menahan tubuhnya, tetapi suatu yang aneh terjadi.
"Mengapa aku tidak bisa bergerak?" Semua anggota tubuh Nero bisa ia rasakan, kecuali kakinya. "Ada apa dengan kakiku? Mengapa kedua kakiku tidak bisa digerakkan?" Wajah Nero mengerut dengan raut kepanikan.
Ia bertanya-tanya pada orang-orang yang ada di kamar, mencari jawaban.
Ibu Nero hanya bisa terdiam dengan rahang mengeras dan tidak menanggapi Nero lagi hingga tidak lama kemudian, dokter pun menjelaskan kondisi Nero.Mayat hidup.
Mungkin dua kata itu adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi Nero yang divonis lumpuh karena kecelakaan itu.
"A-apa??!" Wajah tampan itu semakin memucat. Tubuh kekarnya yang terasa lebih lemah itu bergetar. "Apa aku bisa sembuh?"
Nero menatap nanar pada kedua kakinya. Apakah ini akhir untuk hidupnya? Entah berapa lama kakinya akan lumpuh seperti ini, bisa saja ia akan lumpuh selamanya, sebab tidak ada satu pun yang bisa memastikan kapan ia bisa berjalan lagi.
Beberapa hari kemudian, kondisi Nero masih sama. Pria itu terus-terusan teringat pada Patra. Tidak peduli pada kondisinya sekarang, ia bersikeras ingin menemui kekasihnya dan minta maaf pada karena sudah datang terlambat.
"Suster, bawakan kursi roda, aku harus keluar dari rumah sakit!" pintanya pada suster jaga.
Ibu Nero yang mengetahui hal itu langsung mencegahnya. "Kau tidak akan ke mana-mana, Nero!"
"Aku sudah cukup berdiam di rumah sakit, aku harus mencari Patra, Ibu!"
"Tidak usah dicari lagi!"
"Dia menungguku, Ibu! Aku harus ...."
"Dia sudah pergi setelah Ibu memberinya uang yang sangat banyak!" sela ibu Nero akhirnya.
Nero tersentak. "Apa? Uang? Ibu pikir Patra wanita mata duitan seperti itu?" geram Nero dengan suara yang meninggi.
"Dia memang wanita mata duitan, Nero! Yang dia butuhkan darimu hanya uang! Dia bukan wanita baik-baik dan dia hanya berpura-pura mencintaimu, karena uang!"
"Ibu salah! Patra tidak seperti itu! Kami saling mencintai dan tidak ada yang bisa memisahkan kami!"
"Ada! Uang!" sahut ibunya cepat. "Buktinya dia lebih memilih uang daripada cinta yang kau banggakan itu, Nero!"
"Kemarin dia sempat ke sini, dan begitu mengetahui kalau kau lumpuh, dia langsung memilih uang itu dan pergi tanpa berpikir panjang. Benar-benar jalang murahan!" ucap ibu Nero lagi berdusta.
"Percuma menunggunya lagi, Nero! Dia sudah pergi! Bukankah sudah Ibu bilang kalau dia bukan wanita baik-baik? Dia hanya mencintai uangmu! Apalagi melihat kondisimu ini, terbukti kan dia itu wanita seperti apa!" imbuh ibu Nero sarkastik.
Nero langsung dibakar amarah mendengarnya. "Tidak mungkin! Jika pun iya, Patra pasti punya alasan sendiri. Aku akan membuktikannya!"
"Kau tidak perlu membuktikannya lagi, Nero," jawab ibunya berusaha menghentikan upaya Nero untuk pergi. "Lihat saja foto-foto ini!"
Diberikannya beberapa foto Patra yang begitu mesra dengan seorang pria.
Tentu saja, ibu Nero sengaja memanipulasi bukti pendukung sedemikian rupa untuk menyempurnakan rencananya menjauhkan Nero dengan Patra. Ia juga terus meyakinkan Nero tentang seberapa munafiknya Patra.
Nero yang tidak mengetahui kebenarannya itu pun begitu begitu sakit mendengarnya.
Melihat upayanya cukup berhasil, diam-diam sebuah senyum menyeringai terbit di wajah ibu Nero.
"Untung saja kau tidak bersamanya. Dia hanya akan merusak masa depanmu. Wanita seperti itu tidak patut kau perjuangkan!" tambahnya semakin membakar suasana.
Nero meremas foto-foto itu sambil terus menggeleng. "Tidak, ini tidak benar! Aku harus meminta penjelasan padanya tentang foto ini!"
Pada akhirnya, Nero dibiarkan keluar dari rumah sakit dan mengunjungi rumah Patra. Namun, tentu saja semua nihil.
Rumah sederhana yang dulu ditempati Patra sudah kosong. Ponsel sang kekasih pun sudah tidak aktif lagi. Semua kenalan mereka tidak ada yang tahu ke mana keluarga Patra pergi.
Berhari-hari Nero memantau rumah itu. Sayang, keberadaan kekasihnya lenyap begitu saja bagaikan ditelan bumi.
Hatinya hancur. Ia menolak percaya bahwa wanita yang paling dicintainya ternyata tega mengkhianati dan meninggalkannya pada masa terburuk ini. Padahal, tidak pernah sekalipun terlintas di pikiran Nero untuk meninggalkan Patra, walau hubungan mereka harus berjalan di tengah jalan berbatu penuh kerikil ini.
Pada saat paling terpuruk itulah, ibu Nero kembali menancapkan ketidaksukaannya pada Patra.
"Nak, Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu. Sekarang kita sudah ditunjukkan wajah asli wanita itu. Untung saja kau tidak menikah dengannya. Ibu yakin kau akan mendapatkan wanita cantik, bermartabat, dan terpandang, tidak seperti dia. Kau pasti bisa melewati ini."
Sejak saat itu, Nero pun akhirnya berbalik membenci semua tentang Patra. Hatinya yang dulu begitu mencintai sang kekasih, kini berbalut dendam membara.
Mungkin butuh waktu yang tidak sebentar hingga ia bisa berjalan lagi. Namun, ia berjanji pada dirinya sendiri, sampai pada hari di mana semuanya kembali normal, ia akan menjadi orang yang berbeda dari hari ini. Bukan Nero yang dulu atau Nero yang saat ini.
Rasa sakit hati ini akan ia balas pada beberapa tahun lagi, membiarkan wanita itu merasakan rasa sakit yang bertubi-tubi.
"Bangkitlah, Nero! Bangkit! Kau harus bisa berjalan lagi! Ingat, kau harus sembuh untuk membalaskan sakit hatimu!" geram Nero dengan sakit hati yang teramat sangat.
**"Oek ... oek ...."Setelah sembilan bulan kehamilan yang luar biasa dengan Oliver yang sedang manja-manjanya, berhasil dilalui oleh Patra, akhirnya lahirlah juga pelengkap kebahagiaan dalam keluarga Nero. Seorang bayi perempuan mungil yang sangat cantik yang dinamai Persia Hadiwijaya. Seluruh anggota keluarga pun bersorak senang menyambut kehadiran anggota baru dalam keluarga mereka itu, terutama Nero yang memang selalu lebay sejak Patra hamil anak kedua. "Lihatlah, Juan! Yang ini sangat mirip denganku! Oh, dia cantik sekali, Juan! Putriku! Putriku!" pekik Nero lebay saat menatap putri cantiknya dari kaca di ruangan inkubator."Sayang, kau lihat kan, Oliver? Itu adikmu! Dia cantik sekali! Besok saat kau besar, kau harus bisa menjaga adikmu, jangan sampai adikmu didekati oleh para pria hidung belang itu, kau mengerti kan?" Nero terus menatap Oliver yang sedang ada dalam gendongannya seolah Oliver mengerti apa maksudnya. Sampai Juan yang berdiri di samping Nero pun tertawa gemas. "D
Menjadi orang tua baru sama sekali bukan hal yang mudah. Nero dan Patra pun banyak belajar dalam satu bulan pertama yang sama sekali tidak mudah. Bayinya menangis dengan kencang di pagi maupun di malam hari dan menyusu dengan begitu kuat. Awalnya Patra kembali mendapat masalah saat ASI-nya tidak mau keluar dan Patra sangat frustasi. "Ternyata seorang wanita itu perjuangannya tidak ada habisnya. Saat baru menikah, wanita akan tertekan kalau belum hamil juga. Saat hamil, wanita juga akan mengalami morning sickness yang menyiksa, ditambah sakit pinggang dan sakit kaki saat perut mulai membesar, ditambah rasa sakit yang luar biasa saat melahirkan.""Kupikir setelah melahirkan, maka perjuangan selesai. Ternyata masalah ASI adalah masalah yang baru lagi. Rasanya sakit sekali karena dia menyedot dengan begitu kencang tapi ASI-nya tidak bisa keluar juga."Patra begitu stres saat awal ia melahirkan. Bukannya bermaksud mengeluh, tapi rasa stres dan frustasi membuat hatinya lelah. Bahkan te
Patra tidak pernah tahu ternyata rasanya hamil sangat nano-nano. Di awal kehamilan, Patra mengalami mual yang sangat parah. Patra lelah, tidak bisa makan, hidung sensitif, dan berat badan berkurang. Namun, saat itulah, ia merasakan kepedulian yang begitu besar dari semua orang. Bahkan, keluarga Axel dan Juan juga menunjukkan kepeduliannya sampai Patra merasa sangat dimanja. Esty, ibu Axel cukup sering datang berkunjung membawakan buah-buahan untuk Patra dan ia begitu antusias dengan kehamilan Patra. "Makan buah baik untuk kehamilan, selain itu nanti kulit bayinya bisa bagus. Ah, Tante ikut senang sekali! Anak-anak Tante belum ada yang menikah, Patra. Tapi Tante sudah merasa seperti akan punya cucu.""Terima kasih, Tante!" "Jangan sungkan, Patra! Kalau kau menginginkan sesuatu, telepon Tante saja! Nanti Tante akan membantu menyiapkannya!" seru Esty antuasias. Bukan hanya Esty, tapi Ruth, ibunya Juan juga ternyata sama antusiasnya. Beberapa kali Ruth datang membawakan makanan samb
Kepercayaan diri Patra melambung setelah berhasil menyempurnakan pernikahan dengan suaminya. Walaupun ia melakukannya setengah sadar di bawah pengaruh obat, tapi keberhasilan membuatnya sangat bahagia. Hubungan keduanya yang sudah mesra pun menjadi makin mesra dan Patra menjadi bersemangat untuk terus mencoba dan mencoba. "Ayo kita lakukan lagi!" seru Patra malam itu. Nero sampai menganga tidak percaya melihat istrinya yang agresif. "Kau yakin, Sayang?""Yakin! Sebentar aku minum obat dulu.""Hei, jangan pakai obat!" "Tapi aku takut tidak bisa, Nero!" "Pelan-pelan, Sayang. Kita akan melakukannya pelan-pelan sampai kau bisa menerimanya secara alami." Nero begitu sabar membimbing Patra. Percobaan pertama, Patra gagal. Percobaan kedua, Patra kembali memakai obat agar bisa memuaskan suaminya. Percobaan ketiga tanpa obat lagi. Mereka terus mencobanya tanpa lelah. Nero terus sabar dan Patra terus menahan dirinya dan mensugesti dirinya. Hingga akhirnya traumanya benar-benar sembuh
"Ah, ini indah sekali, Nero!" Nero mengajak Patra berbulan madu sekaligus mengajak Herdi dan Patrick jalan-jalan keliling dunia. Awalnya, Herdi terus menolak dengan mengatakan ia sudah tidak kuat bepergian, tapi Nero dan Patra memaksanya. Dan di sinilah mereka, berlibur bersama dengan bahagia"Ayo kita foto, Ayah, Patrick!" Patra memeluk Herdi dan Patrick dengan tawa sumringahnya, lalu mereka berfoto bersama. Begitu banyak foto yang mereka ambil dan kenangan itu begitu berharga. "Ah, Ayah sudah tidak kuat jalan! Kalian saja! Jalan berdua saja! Patrick, temani Ayah di sini!" Sekalipun berlibur bersama, tapi sebisa mungkin Herdi dan Patrick memberikan waktu untuk pasangan pengantin baru itu berdua saja. Nero dan Patra pun berjalan bergandengan tangan, sedangkan Patrick menemani Herdi. "Ini namanya bahagia! Ayah bahagia sekali!" "Aku juga, Ayah. Kak Patra akhirnya mendapatkan kebahagiaannya." "Ya, Ayah sangat puas dengan ending ini, puas sekali!" ucap Herdi penuh haru. Patrick
Saat malam pertama pernikahan biasanya diisi dengan hubungan ranjang yang intim, tidak begitu dengan Nero dan Patra. Patra belum siap dan Nero sendiri juga sangat mengerti istrinya. Walaupun Nero sangat menginginkan Patra, tapi mereka punya waktu seumur hidup untuk mencobanya. Trauma tidak akan semudah itu hilang. Sekalipun Patra sudah mencoba terapi dan konsultasi dengan psikolog sebelum menikah, Patra tetap belum siap. "Maafkan aku, Nero!" "Tidak apa, Sayang. Memilikimu bersamaku itu sudah sangat membahagiakan untukku. Kita akan mencobanya pelan-pelan, Sayang. Semua karena aku dan aku janji akan membantumu sembuh." Malam itu, Nero dan Patra berciuman dan berpelukan mesra, menghabiskan malam pertama mereka dengan berbagi cerita, kehangatan pelukan, dan tawa bahagia yang tidak berhenti merekah di wajah keduanya. Beberapa hari setelah pernikahan, akhirnya mereka bisa pulang ke rumah Tante Una, mereka sempat menginap di sana dan berkumpul bersama keluarga Patra.Para anggota kelua