Broom!Ngenggg ....Suara deru mesin mobil yang sudah dimodifikasi terdengar begitu menarik perhatian semua orang yang sedang menunggu di halte bus pagi itu, tidak terkecuali Patra. Patra menoleh ke arah sumber suara dan ia bisa melihat sebuah mobil mewah berwarna biru metali yang terlihat sangat keren melintas di jalanan. Untuk sesaat, Patra pun terpana melihatnya sampai ia tersenyum tipis membayangkan scene dalam drama-drama di mana ada mobil keren dengan pria keren juga di dalamnya.Sang pria akan menghentikan mobilnya di depan Patra lalu pria itu keluar sambil membuka kacamata hitamnya dan tersenyum pada Patra. Tanpa disadari Patra pun terkikik sendiri. Walaupun ia sudah melalui kehidupan yang begitu kelam, tapi tetap saja ia hanya seorang wanita muda yang terkadang baper saat menonton drama, apalagi saat perasaan hatinya sedang sangat baik pagi ini. "Astaga, Patra! Kau sudah tahu sendiri kalau hidup ini tidak seindah drama kan? Walaupun ya, terkadang halu itu perlu juga agar
"Dasar pria aneh! Sebenarnya dia itu pria atau bukan? Sama sekali tidak gentle! Aku ini seorang wanita, bisa-bisanya dia memintaku mendorong mobilnya!" Patra terus mengomel saat akhirnya ia terpaksa mendorong mobil bersama pria aneh itu. Dengan sangat terpaksa juga, Patra meminjamkan ponselnya dan pria itu langsung menelepon beberapa orang. Baiklah, anggap saja Patra memang orang baik, terkadang walaupun ia keberatan, ia akan tetap menyanggupi sesuatu hanya karena tidak mau mengecewakan orang lain dan jujur saja Patra membenci sifatnya itu. Tapi untung saja pria yang ditolongnya kali ini adalah benar-benar pria baik yang tidak mempunyai modus apa pun. Bahkan orang bengkel begitu cepat datang membawa mobilnya pergi dan orang lain yang terlihat seperti sopir pun menjemput pria itu dengan mobil mewah yang lain. Sampai seketika Patra pun merasa bersalah sudah bersikap kasar pada pria itu tadi semata-mata hanya karena Patra menganggap pria itu adalah penipu.Pria itu pun terlihat ba
Nero sengaja datang lebih pagi hari itu dan menunggu Patra membersihkan ruang kerjanya yang masih berantakan. Nero pun terus melirik jam tangannya dan mengumpat karena Patra tidak kunjung datang. Bahkan Nero menelepon resepsionis untuk bertanya apa Patra sudah datang, tapi ternyata Patra belum juga datang. Hingga setelah lama menunggu, wanita itu pun akhirnya masuk ke ruang kerja Nero sambil membawa semua perlengkapan perangnya. "Terlambat, Nona Cleaning Service?" sembur Nero kesal sambil berdiri bersedekap di samping meja kerjanya. Patra pun tersentak kaget melihat Nero sudah berdiri di sana. Namun, lebih kaget lagi melihat ruang kerja Nero yang berantakan. "Hmm, maaf, Pak. Ada sedikit insiden di jalan tadi," jawab Patra singkat tanpa menatap Nero sama sekali. "Begitu ya? Baguslah! Terus saja terlambat agar aku bisa memotong gajimu sampai habis!"Patra mengembuskan napas kesal mendengarnya dan ia pun menatap Nero dengan sama beraninya seperti kemarin. "Maaf, Pak Nero! Aku tid
Nero masih terus mengumpat di ruang kerjanya karena serangan balasan dari Patra yang tidak disangkanya. "Sial! Berani sekali dia mengerjaiku seperti tadi! Bahkan dia tersenyum melihatku yang hampir terpeleset! Sial!" Nero mengepalkan tangan dan menggebrak mejanya. Namun, kekesalannya mendadak terhenti sejenak saat bayangan Patra yang sedang tersenyum muncul di otaknya. "Tapi dia masih begitu manis saat tersenyum."Nero sampai terdiam dengan jantung yang berdebar kencang mengingat senyuman Patra. Namun sedetik kemudian, ia kembali tersadar dan menggelengkan kepalanya. "Oh, Sial! Pasti akhir-akhir ini aku terlalu sering melihatnya menangis atau murung sampai aku jadi memikirkannya!""Stop, Nero! Stop! Mengapa kau masih juga belum bisa berhenti memikirkannya? Dia wanita murahan dan dia sama sekali bukan wanita yang pantas untuk kau pikirkan!" Nero masih mengembuskan napas panjangnya saat ia teringat bahwa ia sedang menunggu seseorang. "Tapi jam berapa sekarang? Seharusnya Axel su
Patra masih mengepel lantai di koridor dekat lift siang itu. Patra meletakkan ember berisi airnya tidak jauh di depan lift tapi di posisi yang aman sehingga siapa pun bisa tetap memakai lift tanpa terganggu oleh embernya. Ting!Suara pintu lift terbuka dapat didengar oleh Patra, tapi ia tetap melanjutkan pekerjaannya karena ia merasa tidak mengganggu siapa pun. Namun, suara berikutnya yang Patra dengar cukup membuatnya tersentak. Brak!Suara ember ditendang dengan gemericik air yang tercecer di lantai. "Astaga, maaf aku tidak sengaja!"Patra yang mendengarnya pun menoleh dan mendesah kesal saat melihat air yang tumpah di lantai. "Astaga, bagaimana kalau ada yang terpeleset!" gumam Patra kesal. Apalagi saat melihat sepasang kaki milik seseorang yang sudah berdiri di samping embernya. Rasanya Patra sudah sangat geram namun mengingat posisinya yang hanya seorang cleaning service, ia pun berusaha tetap memasang senyumannya dan menjaga ekspresinya. Sambil berusaha tetap sopan, Pat
Axel duduk sendirian di meja bulat ruang VIP sebuah restoran mewah malam itu. Ia sudah berjanji untuk makan malam bersama dengan Nero, Juan, dan juga Kania, tapi belum ada satu pun yang datang."Mereka sudah biasa terlambat atau memang aku yang terlalu rajin ya?" gumam Axel sambil melirik jam tangannya. "Hmm, tapi biarkan saja!" Axel mengangkat bahunya dan menyambar gelas winenya. Axel pun menunggu dengan santai sambil mengutik ponselnya saat mendadak ingatan tentang tadi siang muncul di otaknya. "Maaf sekali lagi!" Axel tidak berhenti meminta maaf tadi siang. "Ah, sudah kubilang tidak apa. Ini juga sudah selesai!" sahut cleaning service cantik itu. "Hmm, baiklah! Oh ya, tadi pagi kita belum sempat berkenalan ... aku ...." Belum sempat Axel menyelesaikan ucapannya, tapi ponsel wanita itu berbunyi dan ia pun segera mengangkatnya. Entah apa yang wanita itu bicarakan, Axel hanya bisa memperhatikan ekspresi wanita itu yang entah mengapa begitu menyenangkan untuk dilihat. Axel sen
Axel menoleh begitu mendengar suara memanggilnya. Dengan cepat, ia pun bisa melihat Juan yang sudah melangkah masuk bersama Nero. "Eh, Kak Juan! Kak Nero!" sapa Axel sambil langsung tersenyum. "Ah, aku benar kan, Nero! Dia benar-benar Axel! Walaupun awalnya aku ragu mungkinkah kau datang ke kantor begitu pagi! Lagipula kemarin kau bilang kan tidak akan ke sini hari ini! Ah, ternyata kau benar-benar ke sini ya! Apa kau menunggu kami, hah? Ayo sini, ikutlah denganku!"Tanpa menunggu jawaban Axel, Juan langsung memeluk bahu Axel dan membawanya berjalan menuju lift. "Eh, tapi Kak Juan ... aku ....""Sudah, ayo kita naik!" Juan terus memeluk Axel dan mau tidak mau, Axel pun mengikuti langkah Juan. Sementara Nero sendiri masih tetap berdiri di tempatnya.Saat Juan sedang heboh melihat Axel tadi, tatapan Nero malah langsung terpusat pada punggung Patra. Tidak perlu melihat wajahnya, bahkan hanya melihat Patra tampak belakang saja, Nero sudah dapat memastikan kalau wanita itu adalah Patr
Axel masih mengobrol bersama Juan sambil melangkah bersama saat ia melihat seorang cleaning service yang sedang membawa cangkir masuk ke dalam sebuah ruangan kecil tidak jauh dari ruang kerja Nero. "Eh, Kak, nanti kita ngobrol, kau duluan saja ke ruang kerja Kak Nero!" kata Axel cepat. "Eh, mengapa begitu? Kau mau ke mana?""Hmm, aku ... mau ke toilet dulu," dusta Axel yang keluar begitu saja dari mulutnya. "Toilet? Ah, baiklah, aku ke ruang kerja Nero dulu ya!""Baiklah, Kak!" Axel pun tersenyum sambil melambaikan tangannya. Juan pun mengangguk dan segera melesat ke ruang kerja Nero. Sedangkan Axel hanya menatap punggung Juan dan memastikannya sudah masuk ke ruang kerja Nero, sebelum ia mengalihkan tatapannya ke ruangan kecil yang baru saja ia lewati tadi. Sambil tersenyum, Axel pun melangkah masuk ke ruangan yang ternyata adalah pantry itu. Ruangan kecil itu masih disekat lagi dengan dinding kaca dan Axel yang mendengar suara dari sana pun melangkah perlahan.Axel berdiri di
Juan dan Nero masih mengobrol saat Nero melihat Kania yang masih berdiri begitu lama dengan posisi membungkuk ke dalam mobil. Nero pun mengernyit dan mendekati Kania sambil mencoba melirik apa yang Kania lakukan. "Kania?" panggil Nero akhirnya. Kania yang tersentak kaget pun hanya bisa mengerjapkan matanya dan menyimpan kembali sepatu yang ia lihat tadi lalu memasang senyuman manisnya seolah tidak terjadi apa-apa. "Ah, iya, Sayang?""Apa berat? Sini kubantu!" Nero mengambil beberapa berkas yang sudah ditumpuk oleh Kania dan siap diangkat. "Terima kasih, Sayang!" seru Kania sambil masih tersenyum menatap Nero.Nero sendiri pun masih mengangkat berkasnya dan ia terdiam sejenak menatap Patra yang masih tertawa senang bersama Selly dan Axel. Nero mengembuskan napas panjang dan langsung saja mengalihkan tatapannya ke arah lain, sebelum ia melangkah mengikuti Juan. Sementara Kania ikut terdiam dan langsung menoleh ke arah tatapan Nero tadi.Kania pun kehilangan senyumnya sama sekali
Axel menghentikan mobilnya di parkiran kantor pagi itu. Ia baru saja menjemput Patra dan mereka sudah sangat terlambat pagi itu. Patra pun sudah siap berlari, tapi Axel mendadak mengulurkan tangannya ke arah Patra sampai Patra mengernyit bingung. "Apa? Kita sudah terlambat!""Aku tahu!" Axel mengedikkan kepalanya ke arah uluran tangannya. "Berlari bersama akan lebih cepat!"Patra pun terdiam sejenak dan bermaksud menolak, tapi belum sempat penolakan itu keluar dari mulutnya, Axel sudah menyambar tangan Patra dan menggenggamnya erat. Patra sempat tersentak kaget, tapi ia tidak sempat protes lagi karena Axel sudah mengajaknya berlari begitu cepat. "Akkhh, Axel!"Namun, Axel hanya tertawa begitu senang dan Patra pun akhirnya ikut tertawa senang. Menyenangkan sekali berlarian seperti anak kecil dari parkiran yang begitu luas sampai ke lobby perusahaan. Mereka pun terus tertawa bersama sambil sesekali Axel menoleh menatap Patra. Sedangkan Nero yang melihatnya dari balkon tentu saja l
"Astaga, Axel! Aku benar-benar tidak menyangka kau begitu gentle!" sahut Kania tiba-tiba. "Kau baru mengenalnya sebentar tapi kau sudah begitu yakin padanya.""Haha, aku sudah sangat yakin dengan perasaanku, Kak. Semakin diyakinkan lagi, yang ada malah aku semakin menyukainya. Bahkan aku tidak tahan berjauhan dengannya. Aku benar-benar seperti orang bodoh saat ada di dekatnya.""Wah wah, aku yakin kali ini Axel serius. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya." Kania melirik Nero dan Juan yang sudah mematung tanpa ekspresi. Kania dan Axel pun mendadak heboh sendiri menceritakan tentang Patra, tapi mendadak Nero berkomentar. "Kapan kau mau menyatakan perasaanmu, Axel? Di villa nanti? Kau tidak bisa melakukannya, Axel!" geram Nero dengan nada meninggi. "Momennya tidak pas. Kalau kau ditolak, kau akan down dan tidak bisa bekerja lagi! Kau mau mempertaruhkan nama perusahaan hanya karena ungkapan cinta, hah?" "Jangan kekanakan, Axel! Lagipula seperti dia juga menyukaimu saja!" geram Nero
"Pihak investor mau kita menemuinya di villanya besok lusa, Patra. Jadi bersrmangatlah. Namanya Pak Barry, kita harus berhasil melobinya untuk berinvestasi di proyek itu!" seru Axel pagi itu. Patra yang mendengarnya pun berdebar, tapi ini proyek pertamanya. Karena itu, Patra harus berusaha keras untuk mendapatkan investasi itu. Di sisi lain, Juan sedang sangat gelisah dan terus mengikuti Nero ke mana-mana. Nero mabuk semalam saat mengatakan akan memutuskan Kania dan ketika Juan meminta penjelasannya, Nero malah tertidur. "Semoga saja dia tidak ingat apa yang sudah dia katakan tadi malam." Juan terus bergumam sendiri. "Apa Kania tidak ke kantor pagi ini? Dia tidak memberitahuku soal jadwalnya pagi ini," kata Nero yang melangkah masuk ke ruang kerjanya. "Eh, mengapa mendadak kau mencari Kania?" sahut Juan tegang. "Memangnya mengapa aku tidak boleh mencarinya? Tidak biasanya dia tidak memberitahu jadwalnya.""Err, apa sekarang kau mempedulikan Kania?""Heh? Aku tidak mengerti maks
"Nero ... lepas ..." Patra masih mencoba bicara walau bibirnya saat ini sedang dikunci oleh Nero. "Mmphh ...." Beberapa kali Patra berusaha mendorong Nero namun semakin Patra mendorong, Nero semakin maju sampai Patra terhimpit dan tidak bisa bergerak lagi. Nero terus memagut bibir Patra begitu lama, mengabaikan Patra yang terus memberontak. Hingga akhirnya Patra pun menyerah, alih-alih mendorong, Patra malah mencengkeram kemeja pria itu. Tanpa disadari, Patra mulai membalas pagutan bibir pria itu. Nero yang merasakannya sempat tersenyum kecil, sebelum ia kembali melahap bibir Patra. Tubuh Patra pun mulai melemas, menandakan bahwa wanita itu sudah pasrah dan tangan Nero pun berhenti mengungkungnya. Tanpa melepas pagutan bibirnya, Nero pun mulai menangkup dan membelai kepala Patra dengan sayang. Dan untuk sesaat, mereka begitu menikmati tautan bibir mereka, sama seperti dulu saat mereka masih sepasang kekasih. Hanya saja, bedanya kalau dulu mereka hanyalah sepasang remaja yang m
Nero memicingkan matanya mendengar pertanyaan Kania pada Patra.Walaupun Nero cukup kaget dengan pertanyaan kepo itu, namun Nero sendiri cukup penasaran apa jawaban Patra. Namun, Patra sama sekali tidak berniat menjawabnya. Patra pun melirik Axel, seolah meminta bantuan dan Axel yang pengertian pun lagi-lagi menyelamatkannya. "Haha, Bu Kania! Lagi-lagi Anda membuat Patra takut!" "Ya ampun, maaf ya, Patra! Aku tidak bermaksud membuatmu takut, aku hanya penasaran. Tapi kalau kau tidak mau bercerita juga tidak apa." Kania melirik Axel dan memberi kode tidak bisa membantu lagi. Patra tersenyum canggung, tapi Axel terus berusaha mencairkan suasana sampai pembicaraan mereka menjadi lebih santai, walaupun tatapan Nero tidak berhenti terpaku pada Patra. Sampai tidak lama kemudian, ponsel Kania dan Axel berbunyi pada saat yang hampir bersamaan. Mereka pun mendadak sibuk mengangkat teleponnya masing-masing. "Astaga, Nero! Maaf aku harus segera pulang. Ibuku baru saja dijambret dan dia san
Kania sadar pertanyaannya begitu absurd, rasanya tidak mungkin Patra ke apartemen Nero. Namun, entah mengapa rasa penasarannya seperti bom yang akan meledak. Semakin Kania mengingatnya, wanita itu memang mirip dengan Patra, walaupun baju wanita tadi tidak mirip dengan baju Patra sekarang. Nero dan Patra sendiri langsung menegang mendengar pertanyaan Kania sampai tidak ada yang bicara selain mematung. Untungnya, Axel menyahuti lebih cepat. "Bu Kania, Anda benar-benar absurd ya! Anda membuat asistenku takut."Axel terus tertawa seolah pertanyaan Kania adalah hal yang sangat lucu. "Tidak mungkin Patra ada di apartemen Pak Nero! Kurasa di mana apartemen Pak Nero saja dia tidak tahu, bukankah begitu, Patra? Anda pasti salah orang, Bu Kania."Kania yang melihat Axel tertawa pun akhirnya ikut tertawa. "Ah, aku sudah menduganya! Kalian pasti mengira aku absurd kan? Tadi aku sedang menelepon dan mendadak berpapasan dengan seorang wanita yang tampak belakangnya mirip sekali dengan Patra."
Kania pulang lebih cepat pagi itu dari luar kota. Ia sudah merindukan Neronya dan ia pun membawa sarapan untuk dinikmati bersama dengan Nero. Namun, saat ia melangkah di lobby sambil menelepon, mendadak ia melihat seorang wanita familiar yang berjalan dengan cepat melewatinya. "Patra?" gumam Kania antara yakin dan tidak. Kania pun masih terdiam sampai lawan bicaranya memanggilnya dan ia pun tersentak kaget. "Ah, iya, maaf! Sampai di mana kita?" Kania mengerjapkan mata sambil tersenyum lalu meneruskan mengobrolnya sambil melangkah naik ke apartemen Nero. Nero sendiri yang ditinggalkan oleh Patra masih mematung di tempatnya dan sama sekali belum beranjak walaupun sudah cukup lama Patra pergi. Nero masih berharap Patra kembali, sampai saat bel pintu apartemen berbunyi, tawa sumringah pun mengembang di wajah Nero. Dengan bersemangat, Nero membuka pintu apartemennya, berharap melihat Patra di sana, namun seketika tawanya menghilang saat alih-alih Patra, ia malah melihat Kania, tuna
Nero mengerut dalam tidurnya. Rasanya ia baru saja mengalami tidur panjang dan ia sangat lelap.Nero pun mulai menggerakkan tubuhnya sambil perlahan membuka matanya dan hal pertama yang dilihatnya adalah wajah cantik Patra yang sedang tertidur lelap di sampingnya. Entah bagaimana gerakan mereka saat tidur kemarin, namun saat ini Nero sedang memeluk lengan Patra yang sedang tertidur pulas tepat di sampingnya. Mereka sama-sama tidur menyamping dan saling berhadapan. Nero pun hanya bisa tertegun menatap wajah cantik itu dan ia baru ingat bagaimana wanita itu merawatnya kemarin malam. Entah jam berapa sekarang namun belum terlihat cahaya sama sekali dari jendela, mungkin masih subuh, tapi untungnya Nero sudah merasa lebih baik, jauh lebih baik. "Kau menepati janjimu, Patra. Tidak meninggalkanku saat aku tertidur."Dengan hati-hati, Nero membelai pipi Patra dengan punggung tangannya. Nero pun menyingkirkan helaian rambut di sisi wajah wanita itu dan terus tersenyum. Baru saja Nero mem