Nero tidak banyak bicara saat Kania mengajaknya berjalan, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah toko sepatu. "Mengapa kita ke sini?" tanya Nero sambil mengernyit. "Barusan Axel mengirimiku pesan kalau dia ada di sini," sahut Karina sambil mengutik ponselnya. Nero tertawa pelan. "Jadi benar dia mencari sesuatu untuk wanita?""Tentu saja, Nero! Aku tidak pernah salah! Ayo masuk!" Kania kembali mengamit lengan Nero dan menariknya masuk, namun Nero menahan langkahnya. "Tunggu tunggu, mengapa kita ikut masuk?""Nero, ini toko sepatu wanita dan wanita sangat suka shopping jadi temani aku melihat-lihat sebentar, oke?"Tanpa banyak bicara lagi, Kania pun menarik Nero masuk dan Nero pun hanya bisa mengikuti Kania. Kania langsung melesat memilih sepatu dengan begitu bersemangat sementara Nero seperti biasa sama sekali tidak tertarik. Baru saja Nero bermaksud keluar dari toko dan menunggu di luar, namun mendadak pandangannya menangkap sebuah flat shoes yang sangat cantik terpajang di sana
"Axel, apa menurutmu yang ini tidak bagus? Aku sangat menyukainya." Kania menunjukkan foto sepatu di ponselnya saat mereka sudah duduk di restoran. "Bagus! Tapi yang kau beli tadi lebih bagus.""Tapi aku menyukainya. Apa aku membelinya juga saja ya? Daripada nanti malam aku tidak bisa tidur memikirkan sepatu itu.""Astaga, Kak! Aku membawa 3 kotak sepatu dan milikku hanya 1, yang 2 adalah milikmu, apa kau masih perlu membeli lagi?" sahut Axel tak percaya."Eh, mengapa kau punya 1? Itu kan sepatu wanita!" celetuk Juan tiba-tiba. "Untuk calon kekasihnya." Kania terkikik saat mengatakannya. "Ah, dasar! Baru 2 hari di Indonesia tapi kau sudah punya calon kekasih ya. Benar-benar playboy sejati!" Juan memicingkan mata menatap Axel. "Haha, bukan calon kekasih! Haha, kami masih teman." Axel pun tertawa sendiri. "Teman? Di mana kalian bertemu, hah? Wanita seperti apa dia? Apa dia punya teman yang cantik juga? Aku baru saja putus dengan kekasihku, kenalkan satu padaku!" Juan menyenggol len
"Dia adalah pria terbaik di dunia ini dan aku sangat mencintainya." Kania terus memuji Nero setinggi langit saat mereka akhirnya berkumpul kembali ke restoran. Dengan bangga, Kania menunjukkan sepatunya dan menunjukkan bagaimana ia sangat menyukai pemberian Nero itu. "Haha, aku ikut senang, Kak. Sering-seringlah membuat Kak Kania bahagia!" pesan Axel pada Nero. "Hei, kau anak kecil bicara apa? Tentu saja Nero selalu membuatku bahagia! Tapi sepatu ini membuatku makin bahagia. Rasanya seperti ada Nero di setiap langkahku. Astaga, maafkan kalau aku berlebihan! Aku pasti hanya terlalu bahagia sekarang!" Kania mengipasi wajahnya sambil terus tertawa bahagia. Kania pun menoleh ke arah Nero dan kembali memeluk lengan Nero. "Sekali lagi terima kasih, Calon Suamiku! Aku mencintaimu, Nero." Kania menatap Nero dengan binar-binar penuh cinta di matanya. Axel dan Juan nampak saling melirik dan ikut bahagia melihatnya.Sementara ekspresi Nero saat ini benar-benar tidak terbaca. Bukannya ia t
Saat perasaan hati Nero tetap tidak baik sampai keesokan harinya, perasaan Axel justru sedang berbunga-bunga. Hari pertamanya bekerja berjalan begitu lancar. Para karyawan menyambutnya dengan antusias dan semua orang sangat ramah kepadanya. Axel sendiri pun begitu antusias karena selain bekerja, ia juga punya rencana lain yaitu memberikan sepatu untuk Patra. Hanya saja, sejak pagi mencari Patra ke ruang cleaning service, Axel belum juga menemukannya. Dan siang ini, setelah berkeliling cukup lama, akhirnya Axel pun menemukan Patra di ruang fotokopi di divisinya. Karena para karyawan yang lain sudah turun untuk makan siang, Axel pun berani membawa kotak sepatunya untuk diberikan pada Patra. "Apa ini, Axel?" tanya Patra tidak yakin."Terimalah dan bukalah, Patra!" Axel tersenyum, sedangkan Patra nampak ragu, namun Patra tetap menerima dan membuka kotaknya. "Astaga, Axel, sepatu? Untukku?" Patra membelalak kaget. Kemarin malam ia sudah membeli sepatu bersama Patrick dan ia sudah
Hati Nero terus gelisah sejak kemarin malam bahkan sampai pagi ini. Rasanya ia begitu ingin membelikan Patra sepatu baru, namun karena niatnya itu belum terlaksana, maka perasaannya tidak kunjung baik. Nero pun tidak bisa berkonsentrasi bekerja sepanjang pagi itu hingga siang harinya, ia memutuskan pergi ke toko sepatu di mall yang kemarin. "Nero, kau tidak ikut makan siang bersamaku dan Axel?" tanya Juan yang melihat Nero mengemasi berkasnya. "Tidak! Kalian makan sendiri saja! Ada hal penting yang harus kuurus, aku pergi dulu!""Eh? Kau mau ke mana, Nero?" teriak Juan saat Nero sudah melesat keluar dari ruang kerjanya. "Ckckck, sikapnya itu makin lama makin aneh!" gerutu Juan yang akhirnya pergi makan berdua saja dengan Axel. Sementara Nero begitu cepat sudah sampai ke toko sepatu yang sama di mall. "Maaf, kau mengingatku kan, Nona? Aku mau membeli sepatu dengan ukuran yang sama seperti yang kubeli kemarin.""Oh iya, aku mengingat Anda, Pak Bukankah kemarin Anda membeli ukuran
Patra yang mendengar bisikan Nero pun menatap Nero dan mereka saling bertatapan dari pantulan cermin sampai Patra merasa salah tingkah dan memalingkan wajahnya. "Hmm, apa ... maksudnya? Ini sudah malam, kalau Anda tidak akan menghukumku, lebih baik aku pulang saja!" kata Patra yang langsung menjauh dari Nero. Nero hanya bisa menoleh menatap Patra yang sudah menyambar lagi tas tangannya itu. Dan ketika Patra sudah bergerak maju, Nero pun mencekal pergelangan tangan Patra. "Patra, aku serius!" kata Nero dengan nada yang tidak terlalu lembut, tapi juga tidak ketus sama sekali. Patra hanya mengerjapkan mata merasakan suasana yang mendadak berubah ini. Entah apa yang terjadi pada Nero sampai mendadak bersikap seperti ini. "Hmm, Anda ini apa-apaan, masih ada orang di luar, kalau mereka melihat kita seperti ini, itu tidak baik, Pak Nero!"Nero menatap Patra sejenak, sebelum ia mengembuskan napas panjangnya. "Biarkan saja! Aku juga tidak akan melakukan apa-apa! Jadi kau ... juga janga
Nero dan Patra masih saling menatap dengan semua kenangan yang sedang terputar indah di otak mereka masing-masing. Mata Patra pun masih berkaca-kaca menatap wajah tampan Nero yang dulu selalu menjadi pusat dunianya. Namun, dengan cepat Patra kembali pada kenyataan. Patra pun lebih dulu memalingkan wajahnya memutus kontak matanya dengan Nero. "Jangan kekanakan, Pak Nero! Anda sudah dewasa. Apa Anda mau menakuti anak kecil dengan menyentil mereka?" Patra tertawa kesal. Nero yang mendengarnya pun mengedipkan mata beberapa kali, sebelum ia menurunkan tangannya. "Aku ... hanya asal bicara. Sudahlah, pakai sepatunya!" Nero pun kembali berkutat dengan kaki Patra untuk melepas sepatu Patra. Namun, Patra kembali berusaha menarik kakinya. "Aku tidak mau. Lepaskan kakiku atau aku akan berteriak!" Patra terus menarik kakinya, namun Nero terus menahannya. "Aku mau, Patra!" seru Nero lantang sampai Patra kembali terdiam. "Biarkan aku yang memakaikan sepatunya," kata Nero tegas. Patra pun m
Juan menahan napasnya mendengar nama itu. "P-Patra? Patra? Kau ... masih memikirkan wanita itu, Nero?" Dengan cepat Juan pun kembali menghampiri Nero dan memapah Nero. Juan cukup mengetahui kisah cinta tentang Nero dan Patra di masa lalu termasuk bagaimana sakit hatinya Nero setelah ditinggalkan oleh Patra. Juan pun tahu kalau Nero masih menyimpan perasaan untuk Patra, karena itu, Nero belum bisa mencintai Kania. Namun, Juan hanya tidak menyangka akan mendengar nama itu lagi dari mulut Nero. Selama ini Nero sudah berusaha melupakan Patra dan tidak pernah menyebutkan nama itu sama sekali di depan Juan. Bahkan saat Nero mencari tahu tentang Patra pun, Nero meminta bantuan dari anak buah ibunya. Sedangkan urusan menjegal karir Patra, Nero meminta bantuan dari salah satu temannya yang cukup bisa dipercaya. Juan sama sekali tidak tahu apa pun tentang usaha Nero mencari Patra, karena itu, Juan sangat kaget sekarang. "Astaga, sudah, Nero! Kau meresahkan sekali! Kita pulang saja, Ne
"Nero ... lepas ..." Patra masih mencoba bicara walau bibirnya saat ini sedang dikunci oleh Nero. "Mmphh ...." Beberapa kali Patra berusaha mendorong Nero namun semakin Patra mendorong, Nero semakin maju sampai Patra terhimpit dan tidak bisa bergerak lagi. Nero terus memagut bibir Patra begitu lama, mengabaikan Patra yang terus memberontak. Hingga akhirnya Patra pun menyerah, alih-alih mendorong, Patra malah mencengkeram kemeja pria itu. Tanpa disadari, Patra mulai membalas pagutan bibir pria itu. Nero yang merasakannya sempat tersenyum kecil, sebelum ia kembali melahap bibir Patra. Tubuh Patra pun mulai melemas, menandakan bahwa wanita itu sudah pasrah dan tangan Nero pun berhenti mengungkungnya. Tanpa melepas pagutan bibirnya, Nero pun mulai menangkup dan membelai kepala Patra dengan sayang. Dan untuk sesaat, mereka begitu menikmati tautan bibir mereka, sama seperti dulu saat mereka masih sepasang kekasih. Hanya saja, bedanya kalau dulu mereka hanyalah sepasang remaja yang m
Nero memicingkan matanya mendengar pertanyaan Kania pada Patra.Walaupun Nero cukup kaget dengan pertanyaan kepo itu, namun Nero sendiri cukup penasaran apa jawaban Patra. Namun, Patra sama sekali tidak berniat menjawabnya. Patra pun melirik Axel, seolah meminta bantuan dan Axel yang pengertian pun lagi-lagi menyelamatkannya. "Haha, Bu Kania! Lagi-lagi Anda membuat Patra takut!" "Ya ampun, maaf ya, Patra! Aku tidak bermaksud membuatmu takut, aku hanya penasaran. Tapi kalau kau tidak mau bercerita juga tidak apa." Kania melirik Axel dan memberi kode tidak bisa membantu lagi. Patra tersenyum canggung, tapi Axel terus berusaha mencairkan suasana sampai pembicaraan mereka menjadi lebih santai, walaupun tatapan Nero tidak berhenti terpaku pada Patra. Sampai tidak lama kemudian, ponsel Kania dan Axel berbunyi pada saat yang hampir bersamaan. Mereka pun mendadak sibuk mengangkat teleponnya masing-masing. "Astaga, Nero! Maaf aku harus segera pulang. Ibuku baru saja dijambret dan dia san
Kania sadar pertanyaannya begitu absurd, rasanya tidak mungkin Patra ke apartemen Nero. Namun, entah mengapa rasa penasarannya seperti bom yang akan meledak. Semakin Kania mengingatnya, wanita itu memang mirip dengan Patra, walaupun baju wanita tadi tidak mirip dengan baju Patra sekarang. Nero dan Patra sendiri langsung menegang mendengar pertanyaan Kania sampai tidak ada yang bicara selain mematung. Untungnya, Axel menyahuti lebih cepat. "Bu Kania, Anda benar-benar absurd ya! Anda membuat asistenku takut."Axel terus tertawa seolah pertanyaan Kania adalah hal yang sangat lucu. "Tidak mungkin Patra ada di apartemen Pak Nero! Kurasa di mana apartemen Pak Nero saja dia tidak tahu, bukankah begitu, Patra? Anda pasti salah orang, Bu Kania."Kania yang melihat Axel tertawa pun akhirnya ikut tertawa. "Ah, aku sudah menduganya! Kalian pasti mengira aku absurd kan? Tadi aku sedang menelepon dan mendadak berpapasan dengan seorang wanita yang tampak belakangnya mirip sekali dengan Patra."
Kania pulang lebih cepat pagi itu dari luar kota. Ia sudah merindukan Neronya dan ia pun membawa sarapan untuk dinikmati bersama dengan Nero. Namun, saat ia melangkah di lobby sambil menelepon, mendadak ia melihat seorang wanita familiar yang berjalan dengan cepat melewatinya. "Patra?" gumam Kania antara yakin dan tidak. Kania pun masih terdiam sampai lawan bicaranya memanggilnya dan ia pun tersentak kaget. "Ah, iya, maaf! Sampai di mana kita?" Kania mengerjapkan mata sambil tersenyum lalu meneruskan mengobrolnya sambil melangkah naik ke apartemen Nero. Nero sendiri yang ditinggalkan oleh Patra masih mematung di tempatnya dan sama sekali belum beranjak walaupun sudah cukup lama Patra pergi. Nero masih berharap Patra kembali, sampai saat bel pintu apartemen berbunyi, tawa sumringah pun mengembang di wajah Nero. Dengan bersemangat, Nero membuka pintu apartemennya, berharap melihat Patra di sana, namun seketika tawanya menghilang saat alih-alih Patra, ia malah melihat Kania, tuna
Nero mengerut dalam tidurnya. Rasanya ia baru saja mengalami tidur panjang dan ia sangat lelap.Nero pun mulai menggerakkan tubuhnya sambil perlahan membuka matanya dan hal pertama yang dilihatnya adalah wajah cantik Patra yang sedang tertidur lelap di sampingnya. Entah bagaimana gerakan mereka saat tidur kemarin, namun saat ini Nero sedang memeluk lengan Patra yang sedang tertidur pulas tepat di sampingnya. Mereka sama-sama tidur menyamping dan saling berhadapan. Nero pun hanya bisa tertegun menatap wajah cantik itu dan ia baru ingat bagaimana wanita itu merawatnya kemarin malam. Entah jam berapa sekarang namun belum terlihat cahaya sama sekali dari jendela, mungkin masih subuh, tapi untungnya Nero sudah merasa lebih baik, jauh lebih baik. "Kau menepati janjimu, Patra. Tidak meninggalkanku saat aku tertidur."Dengan hati-hati, Nero membelai pipi Patra dengan punggung tangannya. Nero pun menyingkirkan helaian rambut di sisi wajah wanita itu dan terus tersenyum. Baru saja Nero mem
Patra langsung mematung mendengar ucapan Nero. Untuk sesaat, semua rasa dalam dirinya melonjak mendengar Nero mengatakan mencintainya. Siapa yang tidak senang mendengar pria yang masih dicintainya ternyata juga merasakan hal yang sama. Namun sedetik kemudian, kesadaran pun menyentak Patra. Tidak! Apa yang Nero katakan barusan? Nero masih mencintainya?Tidak! Semua ini salah. Tidak seharusnya Nero berkata begitu. Ya, ini salah dan yang namanya kesalahan harus segera dibenarkan atau Patra akan menjadi ikut-ikutan salah."Nero ... lepaskan! Kau sudah makin ngawur! Lepaskan aku, Nero! Lepaskan!""Tidak, Patra! Aku tidak ngawur! Aku masih sadar!"Patra mulai memberontak lagi dan Nero bertahan, namun rasa sakit di tubuhnya akhirnya membuatnya menyerah dan melepaskan Patra. Patra pun berlari menjauh dari Nero. "Kau sedang sakit, Nero! Otakmu tidak bisa berpikir dengan baik dan kau mengingau! Ingat itu, kau meracau! Kau hanya meracau!" ucap Patra berulang kali seolah berharap sugesti itu
Nero masih tersenyum menunggu Patra-nya yang sedang ada di ruang wardrobe, tapi wanitanya tidak kunjung kembali.Sambil meringis, ia pun melangkah ke arah ruang wardrobe dan sungguh lantai kamarnya terasa dingin di telapak kaki Nero. Nero pun terus meringis dan mempercepat langkahnya, namun mendadak ia berhenti saat ia sudah sampai di ruang wardrobe. Nero tertegun sejenak menatap punggung Patra. Wanita itu sedang berdiri di depan lemarinya sambil memegang kaos berwarna biru muda dan tentu saja Nero langsung mengenali kaos apa itu. Kaos kenangan mereka. Nero membelinya agar mereka bisa memakai kaos couple, tapi sayangnya mereka tidak pernah bisa memakainya karena tidak lama kemudian mereka berpisah. Nero pun akhirnya tidak pernah memakai kaos itu sampai sekarang dan hanya menyimpannya. Bagi Nero, kaos couple itu harus dipakai bersama Patra. Untuk sesaat, Nero hanya berdiri diam. Bahkan Nero tidak mempedulikan lagi telapak kakinya yang terasa dingin karena mendadak ia melow menging
Suara Nero terdengar lirih dan penuh harap sampai Patra yang mendengarnya pun hanya bisa tetap diam di tempatnya sambil masih berdiri mematung memunggungi Nero. "Kumohon ... jangan tinggalkan aku ...," ulang Nero lagi. Patra pun menahan napasnya. Ada sebagian dari dirinya yang merasa ini salah, berdua saja dengan Nero. Namun, sebagian lagi merasa lega karena Nero memintanya tinggal. Setidaknya ia punya alasan untuk tinggal karena ia sendiri tidak tega melihat kondisi nero.Sambil berdehem, Patra pun membalikkan tubuhnya dan menatap ke arah Nero."Jadi kau sakit kan? Mengapa kau tidak menelepon seseorang untuk membantumu daripada kau sendirian di sini sampai malam? Bagaimana kalau aku tidak ke sini? Bukankah tidak ada yang menolongmu?" Kata-kata Patra meluncur begitu saja dari mulutnya menyiratkan kepedulian."Bukankah akhirnya kau datang, Patra? Itu yang penting!" Nero tertawa lemas. Patra sendiri tidak menanggapinya lagi. Ia langsung melangkah mendekati Nero sambil menyambar gelas
Ucapan Patra terus berputar di otak Juan sampai Juan begitu gelisah malam itu. "Aku yakin pasti ada yang Patra sembunyikan. Dia bukan wanita seperti itu, tapi bagaimana membuktikan hal yang sudah lama berlalu, apalagi saat itu semua bukti pencairan uang ke rekening Patra juga sudah jelas.""Ah, membuatku pusing saja! Ck, tapi kurasa benar, kenyataan tidak akan mengubah apa pun jadi tidak perlu ditanyakan lagi!""Kalau begitu lebih baik aku membantu Patra saja. Daripada harus kehilangan karyawan kompeten, lebih baik aku membantunya bekerja saja! Aku akan memberinya proyek agar dia makin bersinar!" Mendadak Juan pun menjadi bersemangat membantu Patra. Sementara itu, Nero juga masih gelisah di apartemennya sendiri.Semakin Kania memakluminya, Nero semakin galau. Kania selalu bersikap positif, memakluminya, memahaminya, bersabar padanya, tapi sikap itu membuat Nero makin berasa bersalah. "Sial! Mengapa Kania harus bersikap seperti itu? Mengapa seolah dia tidak mempunyai emosi sama seka