Share

Negosiasi

Suara dengungan lebah seolah berputar di sekeliling Hazel. Dia tertegun di tempatnya. Kata-kata yang baru saja dia dengar seperti sebuah hantaman batu besar yang menimpa kepalanya.

“Tega sekali kau melakukan itu,” ucap Hazel lirih, lalu mundur ke belakang. Tubuhnya membentur dinding, menimbulkan rasa nyeri di punggung.

“Aku hanya melakukan hal yang semestinya. Itu adalah ganjaran dari perbuatanmu padaku,” ucap Dean santai.

Dean perlahan melangkah masuk ke dalam. Sebuah kursi tanpa sandaran menarik perhatiannya. Dia pun mendudukinya dengan gaya yang anggun tidak tercela.

“Aku tidak percaya kau mengatakannya. Apa alasannya kau melakukan itu?!” teriak Hazel histeris. Laki-laki angkuh di depannya itu berani bermain-main dengan nasibnya.

Dean membuka jaketnya. Dia mengeluarkan koran yang telah selesai dia baca, lalu melemparnya tepat mengenai tubuh Hazel. Sorot matanya memancarkan kebencian saat menatap wajah pucat Hazel.

"Lihat ulahmu! Karena dirimu, reputasi perusahaanku hancur, dan nilai sahamku menurun," ucap Dean tidak kalah sengit.

Hazel membungkuk, meraih koran itu. Dia membaca sederet judul berita yang tiba-tiba membuat kepalanya pening. Tangannya gemetar, dan tidak mampu menahan koran itu hingga jatuh tepat di depan kakinya.

"Apa maksudmu sebenarnya?"

"Bukankah semua tercetak dengan jelas di koran itu. Kau menjual cerita ke mereka, dan mendapatkan imbalan yang sangat besar," jawab Dean sinis.

Hazel menatap Dean. Mulutnya menganga saat mencerna kata-kata Dean. Tuduhan itu tidak bisa dibuktikan kebenarannya.

"Kau salah paham. Aku tidak pernah melakukan semua tuduhanmu itu. Aku tidak mungkin berbuat hal yang serendah itu," ucap Hezel berusaha menjelaskan kesalahpahaman di antara mereka.

"Percuma saja berkelit. Buktinya sudah terpampang nyata," sergah Dean, lalu melanjutkan, "Tidak ada orang lain yang mengetahui fakta di balik berita itu kecuali dirimu."

Hazel memegang kepalanya. Dia berjalan mondar-mandir, memikirkan kata-kata yang ingin dia ucapkan pada Dean. Tuduhan yang dilemparkan Dean padanya sama sekali tidak benar. Dia tidak pernah mengirim cerita ke koran itu.

"Aku tidak mungkin melakukannya. Setelah adikku meninggal, aku memutuskan untuk membuang jauh-jauh rasa benciku pada adikmu," ucap Hazel. Dia menatap lekat-lekat wajah Dean, berharap laki-laki itu mau percaya padanya.

"Aku masih ingat ancamanmu tempo hari. Saat itu kau bilang akan membawa masalah adikmu dan adikku ke salah satu portal berita. Jadi, percuma saja kau berkelit."

Dean bangkit berdiri. Tidak ada lagi yang ingin dia sampaikan. Dia melangkah cepat meninggalkan Hazel yang masih terpaku di tempatnya.

***

Hari berikutnya.

Hazel berhenti di depan sebuah kedai sederhana yang kebetulan dia lewati. Sejenak dia ragu-ragu untuk masuk ke dalamnya. Dari balik dinding kaca dia melihat seorang laki-laki sedang membawa sebuah kamera dan bersembunyi di balik pohon besar, lalu memfotonya.

Hazel memilih diam di tempatnya sambil memperhatikan gelagat orang itu. Dia melirik ke samping kanan dan kirinya. Kebetulan sepi. Dalam langkah cepat dia membalikkan badannya, dan berlari ke arah laki-laki itu.

"Apa kau sudah mendapatkan semua yang diminta oleh bosmu? Hah?"

Hazel menarik paksa kamera yang dipegang oleh laki-laki itu dengan mudah karena lawannya dalam posisi tidak siap. Laki-laki asing itu tidak pernah menduga mendapatkan kejutan seperti ini. Hazel mengalungkan tali kamera di lehernya.

"Berikan kameranya padaku!" perintah laki-laki itu dengan nada gusar. Wajahnya memerah. Dia berusaha merebut kameranya kembali, tapi gagal.

"Kejar aku bila kau ingin mendapatkan ini," tantang Hazel. Dia segera melesat secepat kilat, melewati deretan toko-toko dan motor-motor yang diparkir di pinggir jalan.

Hazel berlari secara zig-zag, sengaja mengecoh lawannya yang tentu saja lebih kuat dari dirinya. Dia melewati gang-gang kecil, mencari jalan tikus untuk menghindari kejaran laki-laki itu.

Setelah yakin dia tidak mungkin terkejar lagi, Hazel menghentikan sebuah taksi yang kebetulan lewat di depannya. Dia langsung masuk ke dalamnya, dan menarik napas lega.

***

"Apa katamu? Dasar tidak becus bekerja!" maki Dean kesal.

Dean melemparkan ponselnya asal.

Hatinya serasa mendidih. Detektif swasta yang dia sewa tidak bisa melaksanakan pekerjaannya dengan sempurna. Sangat mengecewakan!

Belum habis rasa kesalnya, Dean dikejutkan oleh suara pintu ruangannya yang terdorong hingga terbuka lebar. Setelah itu Hazel muncul di depan pintu, lalu berjalan perlahan memasuki ruangannya. Gadis itu menyeringai dan melambaikan tangan dengan santai.

"Maafkan saya, Tuan. Dia memaksa masuk ke sini," ucap asistennya dengan raut wajah ketakutan.

"Tinggalkan kami berdua," perintah Dean pada gadis muda yang telah menjadi asistennya selama dua tahun terakhir.

Dean menatap Hazel tajam. Kedua tangannya terkepal erat. Tentu saja dia tidak menduga akan mendapatkan kejutan seperti ini.

"Aku kembalikan ini padamu," kata Hazel.

Hazel menarik kamera yang tergantung di lehernya. Tanpa rasa bersalah dia melempar benda itu keras hingga hancur berantakan. Tidak ada lagi yang tersisa.

Prak!

"Kau tidak perlu membayar orang untuk membayangi diriku. Aku dengan senang hati akan mendatangimu," bisik Hazel seperti ular yang berdesis.

Hazel lalu melangkah perlahan. "Sejengkal demi sejengkal."

Hazel berhenti tepat di depan Dean. Jarak mereka tinggal beberapa sentimeter. Hazel sama sekali tidak menampakkan rasa takut.

"Huh!"

Dean mendengus kesal. Hembusan napasnya tepat mengenai wajah Hazel. "Apa yang kau inginkan?"

Seketika Hazel tertawa terbahak-bahak, menganggap lucu pertanyaan Dean.

"Apa kau tidak salah bertanya?"

Dean membalikkan badannya, sengaja menjauhi Hazel. Dia seolah kehabisan kata-kata. Tangannya terangkat memegang keningnya. Dia tidak pernah menduga Hazel akan muncul di hadapannya dengan berani.

"Kau tidak usah repot-repot mengawasiku. Buang-buang waktu saja," sambung Hazel.

"Kalau hanya itu yang bisa kau katakan, sebaiknya kau segera pergi dari sini," sergah Dean.

"Aku tidak keberatan melakukannya. Aku akan menghilang dari hadapanmu. Juga dari muka bumi ini."

Hazel mundur beberapa langkah, lalu memutar tubuhnya. Dia berjalan tergesa-gesa meninggalkan ruangan Dean. Sekarang tidak ada lagi yang perlu dia khawatirkan. Dia sendirian, tidak ada orang yang akan menangisi kepergiannya.

Butuh waktu beberapa saat hingga Dean memahami kata-kata Hazel. Dia langsung berlari keluar, ingin menyusul Hazel. Gadis itu benar-benar gila, makinya dalam hati.

***

Hazel tidak pernah merasa putus asa seperti sekarang. Selama ini dia mampu bertahan, bahkan saat dia harus kehilangan neneknya. Neneknya yang telah menggantikan peran ibunya sejak dia berusia lima tahun dan Olivia berusia beberapa bulan. Ibu kandungnya meninggalkan mereka, memilih hidup bersama laki-laki kaya raya yang menolak keberadaan keduanya.

Hazel berhenti sebentar di depan gedung kantor Dean yang menjulang tinggi. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya berhembus cepat. Bila semua ini harus berakhir, dia akan menerimanya dengan senang hati. Setidaknya dia tidak perlu merasa kehilangan lagi.

Salah satu tangannya terangkat. Hazel menghitung sampai tiga, lalu memejamkan matanya. Dia berjalan cepat menuju jalan raya yang dilalui banyak kendaraan bermotor. Dia memutuskan untuk mati di depan sana, sebagai pengingat kekejaman seorang laki-laki yang bernama Dean.

Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi ke arah Hazel. Sang sopir tidak mampu mengendalikan laju mobilnya karena dia tidak sempat menginjak rem. Mobil itu langsung menghantam tubuh Hazel, membuat gadis itu jatuh terpelanting tepat mengenai aspal. Darah segar mengalir dari kepala Hazel.

"Hazel ...."

Dean berteriak, menatap tidak percaya ke arah tubuh Hazel yang tergeletak di jalan. Dia sudah terlambat. Hazel terkapar tidak berdaya.

***

"Jangan biarkan media menulis berita tentang kejadian ini!" perintah Dean melalui sambungan telepon pada asisten pribadinya.

"Hentikan segera. Aku tidak mau diriku masuk ke dalam koran atau tabloid yang terbit besok pagi," tukas Dean sambil menggertakkan giginya.

Dean memasukkan ponselnya ke dalam saku jasnya. Dia menarik rambutnya yang tampak kusut. Rasanya kepalanya mau pecah. Siapa yang menyangka Hazel akan melakukan bunuh diri.

Dean sangat menyesal karena tidak pernah memperhitungkan tentang kemungkinan itu terjadi tepat di depan kedua matanya. Hazel sungguh di luar dugaan. Hazel sangat berani dan sembrono.

Dean terpaksa membawa Hazel ke sini. Ini adalah rumah persembunyiannya yang tidak mungkin tercium oleh para wartawan yang rakus ingin meliput berita tentang kejadian hari ini. Tempat yang tepat untuk Hazel memulihkan kondisinya.

Arrgh.

Dean menoleh. Sepertinya Hazel telah sadar. Dia langsung berbalik, menghampiri ranjang Hazel.

"Kepalaku sakit sekali," rintih Hazel sambil memegang kepalanya yang dilapisi perban.

"Tentu saja kau merasa sakit. Kau mengalami gegar otak yang cukup parah. Beruntungnya dokter pribadiku berhasil menyelamatkanmu," sahut Dean kasar.

"Di mana aku?" tanya Hazel kebingungan. Kedua matanya terbuka sedikit, dan menangkap ruangan asing yang belum pernah dia kunjungi.

"Di rumah persembunyianku. Tidak seorang pun tahu kau berada di sini," jawab Dean.

Hazel tidak berbicara lagi. Dia menutup matanya kembali, dan memutuskan untuk tidur. Kepalanya terasa sangat sakit.

Satu minggu kemudian.

Hazel tengah duduk menghadap ke jendela. Di luar sana dia melihat hamparan halaman rumput yang menghijau. Meskipun dia merasa terpenjara di sini selama berhari-hari, dia bersyukur memiliki waktu untuk memulihkan kondisinya usai gagal mengakhiri hidupnya.

"Kau sudah bangun rupanya," ucap Dean tepat di belakangnya.

Hazel hanya diam. Tidak menggubris kata-kata Dean. Tidak ada gunanya berdebat dengan laki-laki itu.

"Sekarang, setelah melihat keadaanmu yang jauh lebih baik, aku ingin menyampaikan sesuatu padamu," lanjut Dean. Dia melangkah maju, tepat berada di samping Hazel.

"Aku memutuskan sebaiknya kau tinggal di rumah ini agar tidak luput dari pengawasanku."

Dean melirik Hazel yang hanya diam sejak tadi.

"Aku tidak ingin beberapa kejadian kemarin terulang kembali," terang Dean, sengaja menekan kalimatnya.

Hazel tersenyum sinis. Kata-kata Dean seolah memojokkan dirinya. Posisinya di sini adalah seorang penjahat, jadi dia tidak punya hak untuk membela diri.

"Bukankah kau sendiri yang memulainya. Lucu sekali bila kau menimpakan semuanya padaku," balas Hazel akhirnya.

"Percuma saja berdebat denganmu. Sejak awal kau lah yang memulai semua ini," ujar Dean.

Dean menghadap ke Hazel sambil bersandar pada kusen jendela. Dia memandang gadis itu lekat-lekat. Sepertinya kondisi Hazel benar-benar telah membaik. Nyatanya gadis itu mampu membalas ucapannya tidak kalah sengitnya.

"Kau akan tinggal di sini. Tidak gratis." Dean menekan kalimatnya. "Kau harus bekerja, sebagai asisten rumah tangga di kediamanku," tambah Dean.

Hazel menoleh, menatap Dean lurus. Dadanya bergemuruh dengan jantung yang berdetak kencang. Laki-laki itu telah melampaui batas.

"Apa kau sudah gila?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status