Bianca tahu hal ini akan terjadi. Menemukan Morgan berdiri bersandar di mobil mewahnya adalah salah satu hal menggembirakan. Bianca mengintip, setelah Pak Utomo -Kepala Pelayan di kediamannya- memberitahu soal Morgan yang menunggunya di bawah, Bianca tidak langsung menghampiri pria itu. Bianca sengaja membiarkan Morgan duduk diam di ruang tamu sementara ia bergembira di balik pintu kamarnya. Kejadian itu berlalu setengah jam yang lalu, kemudian Morgan mengetuk pintu kamar Bianca dan tentu saja tidak dijawab apapun oleh Bianca. Dan berikutnya pria itu menyerah, namun tidak langsung memasuki mobil dan malah berdiri di samping mobilnya.
Bianca hanya tidak tahu jika Morgan menemukannya yang sedang mengintip dari jendela kamarnya. Hal itulah yang membuat Morgan mendesis malas dan menahan diri untuk tidak masuk mobil, kembali ke kantor, dan menggeluti berkas-berkas rumit yang tidak lebih rumit menghadapi perempuan berumur dua puluh tahun bernama Bianca.
Morgan tidak habis pikir tentang apa yang direncanakan Bianca. Gadis itu sengaja mematikan ponsel, mengabaikan Morgan di ruang tamu, dan malah berdiam di jendela dengan ekspresi girangnya. Seharusnya Bianca tahu jika kekasihnya adalah orang yang sibuk, haruskah bermain-main dan menghabiskan waktu? Apakah merajuk dan childish menjadi sebagian hidup Bianca?
Karena itu Morgan mendapati kesabarannya tinggal sedikit, dengan cepat ia men-dial satu nomor yang entah bagaimana tertulis nama ‘My Baby’ sebagai nama kontaknya. Padahal Morgan tidak pernah memberi nama itu.
“Hallo, Kak-”
“Cepat turun atau ini terakhir kalinya aku ada di sini!”
“Nggak mau! Kak Morgan saja yang ke sini!”
Dan kau nggak akan bukain pintu lagi? Sialan! Morgan menggeram menahan diri untuk tidak meneriakkan umpatannya. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri.
“Ayolah, Bianca, aku harus segera ke kantor.”
“Apa urusan kantor lebih penting daripada aku?”
Jawabannya iya! Haruskah kau bertanya?
“Kumohon, Bi.”
-pada akhirnya Morgan memohon. Dan tidak ada yang lebih gembira dibandingkan sosok gadis di lantai atas. Dengan cepat Bianca berlari ke bawah, hanya memakai baju tidur bergambar Ikan Nemo yang sangat mencerminkan kepribadiannya – mirip anak kecil-. Beberapa detik kemudian, Bianca berdiri di hadapan Morgan lengkap dengan sandal rumah berbulu.
“Karena aku lagi baik hati, Kak Morgan berhak dapet maafku dengan gampang!” ujarnya dengan senyum merekah, melupakan fakta bahwa seharusnya dirinya yang meminta maaf atas kejadian tadi malam. Bagaimanapun Morgan tidak memiliki salah, kecuali membentak Bianca dan menelantarkannya bersama Pak Agung.
“Baguslah. Aku harus pergi. Banyak kerjaan di kantor.” Morgan tidak perlu merasa tersanjung mendengar perkataan Bianca. Mendapatkan maaf dengan mudah apanya? Morgan menghitung waktunya habis lima puluh menit demi menunggu Bianca keluar kamar dan menunjukkan diri seperti sekarang. Lihatlah, Bianca bahkan tidak merasa bersalah sedikitpun dan malah terlihat bangga karena berhasil membuat waktu Morgan tersita sia-sia.
“Oke. Hati-hati, ya, kak!” Morgan mengangguk samar dan segera memasuki jok kemudinya.
Tidak ada salam perpisahan layaknya sepasang kekasih dan Bianca tidak berharap banyak Morgan melakukan hal cheesy untuk dirinya. Melihat Morgan ada pagi ini, menyempatkan waktu, dan meminta maaf sudah sangat Bianca syukuri.
Mobil Morgan bergerak dan hanya Bianca yang melambaikan tangan tanda perpisahan, sementara Morgan mengemudikan mobilnya lebih cepat tanpa menghiraukan Bianca.
Mobil Morgan keluar dari halaman dan detik itu pula paras ceria Bianca beringsut menghilang. Tidak ada senyum cerah dan mata berbinar, Bianca berhasil membohongi Morgan lagi kali ini. Yang tersisa hanyalah senyuman getir, menyadari Morgan tidak berniat menjalin pendekatan dengannya –seperti yang pria itu katakan saat ia menerima perjodohan dengan Bianca- memberi pukulan telak untuk Bianca.
“I love you so much, Morgan.”
Morgan tidak perlu tahu Bianca berucap dalam nada lirih seraya tersenyum kecut, menyuarakan perasaannya tanpa diketahui seseorang yang dicintainya. Jika Bianca bisa membohongi Morgan, maka Bianca tidak dapat membohongi perasaannya. Gadis itu sungguh mencintai Morgan, tetap sama meskipun ratusan kali ia menyangkal. Mencintai semakin banyak dari hari ke hari.
Dan bolehkah ia berharap Morgan juga sama?
***
Lonceng berdenting menandakan seseorang membuka pintu kaca itu. Si penjaga kasir memberikan senyuman terbaik untuk menyambut pelanggan, yang tidak mereka sadari bahwa seseorang itu baru kesana tiga hari yang lalu. Memesan cappucino, dan mengobrol sebentar dengan pemilik cafe.Bianca, gadis itu nampak cantik luar biasa dengan blus berwarna hijau alpukat selutut tanpa memakai aksesoris kecuali kalung emas putih kesayangannya. Sederhana namun tetap mengagumkan seperti biasa. Yang berbeda hanyalah tangan kirinya yang menggenggam kantung berisi box makanan tidak terlalu besar, dan itu terlihat aneh untuk ukuran gadis kaya sepertinya. Untuk apa susah-susah membawa kotak bekal kalau selapis tipis kartu kredit bisa membeli makanan higienis hingga kekenyangan? Namun Bianca tak perduli karena box makanan itu bukan untuknya.
Bianca memang mendapat ide untuk membuatkan tunangannya itu makan siang disela jadwal kuliahnya yang kosong. Selain untuk pengalaman pertamanya datang ke perusahaan Morgan, ia juga ingin Morgan tahu bahwa Bianca sudah memaafkannya. Morgan sepatutnya memberikan Bianca apresiasi, karena nyatanya makan siang itu Bianca buat sendiri dengan tangan mungilnya tanpa bantuan Pak Utomo ataupun yang lain. Tuna sandwich sederhana yang cukup sukses untuk ukuran gadis yang sangat jarang menyentuh peralatan masak seperti Bianca. Ia tampak sangat antusias saat memasukkan tangkupan roti itu ke dalam box, serta merta membayangkan ekspresi Morgan untuk makanan yang berhasil dibuatnya. Apakah pria itu akan senang? Atau bangga?
“Apa itu buatku?”
Bianca berhenti membayangkan ekspresi Morgan tatkala seseorang memaksanya kembali ke dunia nyata. Rafael, pria tinggi memakai apron yang berdiri di samping Bianca sambil membungkuk. Bianca bertanya melalui pandangannya, dan Bianca segera mendekap box makanannya saat jari telunjuk Rafael mengarah pada benda itu.
“Enak saja! Kamu pikir kamu siapaku?” Bianca cemberut dan membuat Rafael menahan diri untuk tidak mencubit pipi gadis itu dengan gemas. Astaga! Seandainya Rafael tidak ingat kalau ia baru bertemu Bianca kedua kali, kecuali saat masa sekolah dulu, mungkin dia akan mencubit pipi menggemaskan itu tanpa ampun.
“Temenmu. Memang siapa lagi?” sahut Rafael santai dan menduduki kursi di hadapan Bianca. Sama persis seperti semalam. Bedanya Bianca tidak lagi merasa jengah karena ada yang mengganggu privasinya.
“Ya. Dan aku nggak sebaik itu buat ngasih bekal untuk temenku.”
Rafael terhanyut dalam tawa dan Bianca cemberut. Memangnya ada yang salah dengan ucapannya? Oh, seharusnya Bianca masih ingat jika Rafael sangat mudah tertawa untuk suatu hal sepele.
“Oke oke. Buat pacarmu, kan? Oh! Pacarmu sangat beruntung, Bi. Kalau aja aku punya pacar pasti aku akan minta dibuatin bekal dan kemari.”
“Sayangnya kamu belum punya?” Bianca bertanya iseng dan dihadiahi delikan tajam Rafael.
“Ya. Menyedihkan, bukan?” Rafael menghembuskan nafas kasar dan ekspresi sedih dibuat-buat. “Tapi yang penting hidupku bahagia. Percuma kan kalau aku punya pacar tapi nggak bahagia?”
Bianca mengangguk setuju, namun tiba-tiba merasakan sentilan di dadanya. Kebahagiaan? Bianca rasa ia belum mendapat kebahagiaan nyata dari hubungannya dengan Morgan. Apa Bianca juga harus seperti Rafael dan melepaskan Morgan? Tidak-tidak! Bianca sudah sejauh ini. Ia sudah bertahan dengan sikap dingin Morgan dan menutup mata dari kebencian pria itu, jadi kalau Bianca menyerah ia tidak akan mendapatkan apapun. Tidak Morgan, tidak juga kebahagiaannya. Bianca harus memilih salah satu dan tanpa ragu memilih Morgan sebagai pilihannya.
Karena Morgan adalah kebahagiaannya. Seseorang yang bisa membuatnya bahagia meskipun tak ada tindakan nyata pria itu dalam hidup Bianca.
“Aku pesan Iced Americano.” Bianca kembali berucap dan Rafael segera berhenti tertawa. Tampak linglung sebentar lalu berdiri dari kursinya.
“Okay, Captain!”
“Jangan lupa Muffin Grean tea-nya, ya?”
“Tidak ada muffin greantea, tapi Cupcake cokelat. Mau?”
“Nggak masalah kalo gratis. Dan kalo emang gratis, aku ikhlas dateng tiap hari ke sini.”
“Kamu mau cafe-ku bangkrut?”
“Hahaha!”
***
Mampir selama setengah jam di cafe Rafael, memesan Iced Americano, dan bercanda sebentar dengan lelaki bertubuh tinggi itu. Bianca merasakan mood-nya sangat membaik dan berharap respon Morgan nanti tidak merusak mood baik-nya. Bianca hafal betul bagaimana sifat Morgan terhadapnya dua bulan belakangan, itu tidak jauh-jauh dari kesan dingin dan kebencian terlihat jelas. Jadi tidak menutup kemungkinan jika Morgan tidak menyukai Bianca datang ke kantornya siang ini.
Tapi sekali lagi, Bianca menutup seluruh indera-nya. Tidak perduli bagaimana tanggapan Morgan nanti, Bianca tidak bisa berhenti. Toh, Bianca sudah biasa menghadapi pria itu.
Dan juga sudah biasa bersandiwara pula.
Langkah Bianca terhenti tepat di depan meja resepsionis yang bersimbol Perusahaan Keluarga Morgan. Gadis itu memutuskan untuk langsung mendatangi Morgan di ruangannya, karena itu ia ingin menanyakan ruangan Morgan kepada wanita dibalik meja resepsionis.
“Presdir ada di ruangannya, Nona. Beliau tidak memiliki jadwal di luar kantor untuk hari ini.”
“Benarkah? Kalau begitu bisa beritahu aku dimana ruangannya?” tanya Bianca kembali.
“Maaf Nona. Jika saya boleh tau, apa hubungan Anda dengan Presdir?”
“Aku ....” Bianca mengulur jawabannya sejenak. Haruskah ia menjawab jujur? Well, tidak ada untungnya Bianca menyembunyikan statusnya karena semua karyawan Morgan sudah tahu siapa dirinya. Kecuali wanita ini, mungkin karena ia karyawan baru.
“Aku ... tunangannya.”
“Aku ... tunangannya.”Ekspresi terkejut didapatkan Bianca dari wanita itu. “Maafkan saya, Nona. Saya tidak tahu. Mari saya antar ke ruangan Direktur.”“Tidak perlu!” tolak Bianca halus. “Aku bisa kesana sendiri. Tapi, pastikan Morgan tidak tahu kedatanganku.”“Baik, Nona. Ruangan Presdir ada di lantai 6. Anda bisa menggunakan lift khusus Presdir di sebelah sana,” ucap resepsionis itu seraya memberitahu Bianca letak lift yang bisa ia gunakan.“Baiklah. Terima kasih.”Bianca berlalu menuju lift, dengan tangan kiri yang menggenggam box makanannya dan tas kecil tersampir di lengan kanannya.Tak butuh waktu lama bagi Bianca untuk sampai di lantai 15. Begitu keluar dari lift, Bianca sudah bisa menebak di mana ruangan Morgan karena satu-satunya pintu yang berada di koridor bertuliskan Ruang Presiden Direktur yang terletak di atas pintu berkaca buram, lalu sebuah meja lengkap d
Setelah di kantor Morgan, menangis di tangga darurat, dan menghabiskan beberapa menit di toilet untuk membenahi penampilannya, Bianca memutuskan untuk keluar dari kantor perusahaan keluarga Morgan. Tak ia perdulikan siapa pun yang menyapanya, termasuk wanita di meja resepsionis yang sempat ia tanyai tadi. Bianca sudah terlalu lelah, hingga rasanya membalas sapaan-pun adalah hal yang berat untuknya.Dengan langkah kaki mungilnya, Bianca berjalan menyusuri taman kota yang letaknya cukup dekat dari kantor Morgan. Ia sengaja tidak menghubungi sopir pribadinya untuk menjemput, sebab Bianca masih ingin sendiri dan tidak di ganggu. Bianca memang lelah, namun ia membutuhkan suatu hiburan untuk mengusir kemarahannya pasca ia mendengar perkataan Morgan yang -sungguh- menyakiti hatinya. Bolehkah Bianca bertanya, di mana hati seorang Morgan hingga ia setega itu?Bianca menemukan satu bangku panjang yang kosong, disekitarnya-pun cukup sepi. Maklum saja, sekarang matahari tepat di p
Bianca memasuki rumah yang tampak sepi. Orangtuanya masih belum pulang dari perjalanan bisnis di luar kota dan Adian sepertinya asyik di kamarnya. Bianca tidak berniat melihat adiknya seperti yang selalu ia lakukan setiap malam. Entah mengganggu Adian bermain game atau malah membantunya mengerjakan tugas sekolah.Bianca merasakan kelelahan disekujur tubuhnya. Ia segera menghempaskan tubuhnya di ranjang kesayangannya dan mencoba memejamkan mata. Mencoba mengusir rasa sesak yang masih bersarang di paru-parunya.Tapi tidak berhasil, selanjutnya Bianca justru mengubah posisi tubuhnya menjadi meringkuk. Tangannya memeluk tubuhnya sendiri dan tangisan mulai memenuhi ruangan kamar luas itu.“Mama … aku harus gimana? Hiks .…” gumamnya lirih.Isakan mulai terdengar dan bahunya bergetar. Bianca tidak menyukai dirinya yang lemah, tapi mau bagaimana lagi? Hal yang membuatnya lemah hanyalah keluarganya dan Morgan.Morgan … Bianc
Satu menit, dua menit. Bianca dan Morgan masih bertatapan tajam sembari di kelilingi aura menegangkan. Mendapati Morgan bungkam tanpa merespon apa pun, Bianca melepaskan cengkraman Morgan di lengannya dengan pelan. Kemudian Bianca memasuki mobil cepat-cepat untuk mencegah Morgan menahannya kembali. Dan nyatanya Morgan tidak menahan ataupun melarang, dan tidak mampu mengeluarkan sepatah kata-pun dari bibirnya. “Jalan, Pak!” Meninggalkan Morgan yang mematung dengan berbagai pikirannya sendiri. Bianca menganggap keterdiaman Morgan adalah bentuk kegembiraan Morgan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bianca ragu apakah keputusan ini tepat atau tidak, tapi mengingat Morgan yang tidak menginginkannya, akhirnya Bianca berniat untuk mengalah. Morgan berhak bahagia dan kebahagiaan Morgan adalah hidup bebas tanpa dirisaukan oleh keberadaan Bianca sebagai pendampingnya. Bianca tidak pantas untuk menghalangi kebahagiaan Morgan itu.
Matahari bersinar sangat terik di siang ini. Jam kuliah Bianca telah berakhir, namun ia baru pergi satu jam kemudian karena harus mengerjakan tugas dan mengirimkannya langsung ke dosen melalui e-mail.Katakan jika Bianca tampak tekun menjalani pekerjaannya sebagai mahasiswa. Tapi siapa yang tahu perihal isi pikiran Bianca yang belum terlepas dari satu nama –Morgan. Bahkan Bianca masih sering melamun dalam kurun waktu satu hari.Benar saja, kini Bianca menyusuri langkah menuju gerbang utama Universitas dengan setengah melamun hingga pekikan heboh memasuki gendang telinganya.“NONA AWAS!!”BRUK!“Aduh!” keluh Bianca saat pantatnya menyentuh jalanan yang kasar.Bianca belum sempat menoleh ke belakang dan sebuah sepeda yang datang dari jalanan yang sedikit curam lebih dulu menabrak tubuhnya. Kecelakaan kecil itu akhirnya menimpa Bianca dan itu karena lelaki yang mengendarai sepedanya tanpa atu
Bianca tidak tahu bagaimana bisa takdir mempermainkannya dengan sangat pintar.Bianca tidak pernah membenci takdir Tuhan yang telah digariskan untuknya, Bianca juga tidak berusaha melawan takdir yang entah bagaimana mampu mengubah hidupnya dalam hitungan jam. Namun untuk kali ini, Bianca merasakan ketidakadilan pada kehidupannya, tentang takdir yang telah Tuhan gariskan untuk menguji dirinya secara bertubi-tubi.Jika Tuhan tidak mengizinkannya berbahagia dengan Morgan, haruskah Tuhan juga melarang Bianca bahagia dengan keluarga yang sangat dicintainya?Kini, tidak ada suasana yang paling memilukan kecuali sebuah ruangan dengan dua peti mati yang dipenuhi oleh bunga babybreath dan mawar putih. Isakan dan tangisan masih terdengar memilukan bagi siapa pun yang mendengarnya. Beberapa orang berpakaian hitam silih berganti datang memberi penghormatan terakhir bagi sepasang suami istri yang merenggang nyawa di waktu dan tempat bersamaan itu.
“Kamu egois! Kamu nggak pikirkan perasaan orangtuamu dan orangtuaku!” Morgan menaikkan nada suaranya. Membuat Bianca tersenyum remeh.“Lalu bagaimana dengan perasaanku?”Morgan kontan terdiam. Dan ... demi Tuhan! Morgan lebih memilih Bianca menangis keras daripada menunjukkan ekspresi datar seperti sekarang.Morgan benar-benar tidak mengenal Bianca akhir-akhir ini. Kemana perginya Bianca yang selama ini nampak di mata Morgan? Kenapa yang Morgan lihat hanyalah sosok gadis dingin yang terlihat menyembunyikan sesuatu dibalik mata beningnya. Gadis itu tidak lagi banyak bicara seperi dulu, setidaknya untuk beberapa hari ini.Morgan tahu kesalahannya yang telah mencaci Bianca di belakang gadis itu. Morgan juga sadar bahwa tidak seharusnya ia mengatakan hinaan pada orangtua Bianca kala itu, dan ia sudah berusaha meminta maaf dengan tulus. Tapi apa mungkin Bianca berubah terbalik hanya karena hal itu?“I
“Aku selesai.”Bianca menyingkirkan piring bekas makannya yang tetap utuh dari hadapannya. Bianca sama sekali tidak tertarik dengan makanan apa pun sejak tiga hari belakangan. Nafsu makannya hilang, dan ia memasok energy dari minuman berkafein yang sangat tidak baik untuk tubuhnya. Itulah yang membuat tubuhnya sedikit lebih kurusan dalam waktu beberapa hari.“Sayang, kenapa nggak habis? Makanan Mama nggak enak ya?” tanya Mama Morgan setelah melihat di atas piring calon menantunya masih banyak makanan yang tertinggal.Bianca sontak menggeleng. “Enak banget kok, Ma! Bianca cuma em ... nggak nafsu makan.”Bianca mencoba menjelaskan dan syukurlah Mama Morgan tidak tersinggung. Lalu Bianca menunggu kedua orang tua di hadapannya itu menyelesaikan makan mereka sembari memikirkan kalimat paling tepat yang bisa ia ungkapkan.Setelah selesai makan siang, ketiganya beranjak ke depan ruang keluarga. Bi