Share

Cuman Temen Tapi Demen

“Rafael!”

Bianca terlihat gembira mendapati salah satu teman sekolahnya saat tingkat dasar dulu. Sungguh ia tidak menyangka Rafael yang dulu sering di ejeknya karena memiliki tubuh gendut justru kini tidak kalah dengan bintang film yang sering Bianca tonton di televisi. Hal itulah yang membuat Bianca sulit mengenali lelaki bertubuh tinggi itu ketika pertama bertemu.

“Jahat sekali, sih! Padahal aku langsung inget pas pertama kali liat wajahmu.” gerutu Rafael dengan ekspresi sebal yang di buat-buat. Hal itu sukses membuat Bianca tergelak, dan memberikan sebuah pukulan kecil di bahu lelaki itu. Well¸dilihat dari gelakan tawa yang cukup keras membuktikan bahwa Bianca sedikit lupa dengan kekesalannya pada Morgan.

“Maklumlah, kamu keliatan beda banget sekarang. Dulu gendut kayak boneka teddy bear. Haha!”

“Sialan. Tapi sekarang aku keliatan ganteng, kan?”

“Yah, sedikit.” Rafael memberikan pelototan yang sama sekali tidak menyeramkan. “Tapi tetep aja lebih ganteng pacarku.”

Oh! Haruskah Bianca memamerkan ketampanan Morgan saat ini? Bianca, baru saja kau bilang kepada Morgan jika kau membencinya, dan kini malah mengagungkan parasnya?

“Ahh, kamu udah punya pacar? Pantesan, kukira kamu lagi patah hati pas ngeliat wajah murammu.”

Bianca menyesap capucinno-nya untuk pertama kali. Nyaris saja ia melupakan minuman berkafein itu. “Tapi aku nggak patah hati!”

“Berantem?”

“Yah, bisa dibilang begitu.” 'Lebih tepatnya Morgan yang murka karena kekacauan yang tak sengaja kubuat.' tambah Bianca dalam hati.

“Well, aku turut bersedih. Tapi bukannya itu wajar ya buat sepasang kekasih? Berantem, lalu baikan, berantem lagi, baikan lagi. Bukannya kayak gitu?”

Bianca mengangguk setuju. Setuju dalam hal pertengkaran yang dilakukan oleh pasangan kekasih normal. Tapi kan, Bianca dan Morgan adalah sepasang kekasih yang -errr- tidak normal? Bahkan status kekasih itu rasanya tidak cocok disandingkan dengan hubungan Bianca dan Morgan yang sebenarnya.

“Aku setuju. Well, makasih muffin-nya!”

Rafael memberikan senyuman termanisnya sebagai balasan. Dirinya memang terlalu tampan untuk kategori lelaki pemilik café. Seharusnya ia menjadi artis, atau menjadi Direktur yang pastinya lebih banyak dilirik oleh wanita.

“Sayang banget, aku harus pergi.” ucap Bianca saat Rafael sibuk memperhatikan Bianca yang sebelumnya sibuk dengan ponselnya seraya menggigit kecil muffin buatan Rafael dengan bibir tipisnya. Siapa perduli dengan lipstiknya yang rusak, toh dia akan langsung pulang.

“Oke. Gimana kalo aku minta nomer teleponmu?” Rafael meminta dan Bianca tidak berpikir panjang untuk memberikan nomor ponselnya untuk lelaki itu. Tak lama ponsel Bianca berbunyi dan menampilkan nomor tidak dikenal.

“Itu nomorku. Kamu bisa telepon kalau ada perlu.”

“Oke. Apa aku boleh meminta layanan delivery cappucino juga?”

“Tidak masalah. Tapi jangan salahin aku kalo pacarmu marah ngeliat pengantar cappuccino-mu seganteng aku.”

“Ugh!”

“Hahaha!”

Silakan saja Rafael. Morgan tidak akan marah meskipun kau berniat memacariku di hadapannya!

***

Morgan kembali ke dalam ruangan setelah cukup lama menanti pesan dari Pak Agung untuk memastikan Bianca sampai di rumah dengan selamat. Selama selang waktu itu Morgan belum mendapatkan pesan yang dinantikannya, menunjukkan bahwa Bianca belum mencapai rumahnya karena Morgan sudah memerintahkan Pak Agung untuk memberinya kabar setelah mengantarkan Bianca.

Mengabaikan ponselnya, Morgan beranjak menuju salah satu temannya yang tengah berbincang dengan satu pasangan lain. Morgan bergegas menghampiri mereka, sudah lama Morgan tidak bertemu dengan teman masa kuliahnya itu.

“Morgan!” Satu-satunya sosok mungil bergender wanita diantara dua pria, memanggil Morgan hingga membuat dua pria yang tengah asyik berbincang ikut memandang Morgan.

“Hai Don, Rey, dan Nasha. Gimana kabar kalian?” Morgan menjabat tangan masing-masing manusia yang ia sebut namanya. Doni si pemuda tinggi kelebihan kalsium, Renald atau Rey si kulit sawo matang, dan Nasha yang kini menggandeng erat lengan Rey. Ya, Nasha adalah istri Renald, si pemuda yang sering mendapat ejekan atas warna kulitnya yang terbilang gelap -walaupun itu wajar untuk daerah tropis- yang memiliki profesi berbeda dari Morgan dan Doni yang merupakan businessman sementara dirinya adalah dokter umum di sebuah rumah sakit di Jakarta.

“Gue baik.” jawab Doni singkat dan meraih minuman di meja sebelahnya.

“Doni lagi nggak baik. Pacarnya nggak mau di ajak ke pesta jadi dia harus ikhlas sendirian di sini.” ujar Rey menggoda Doni. Doni hanya menanggapi dengan mengangkat bahu, tanda jika dirinya tidak ingin membahas tentang kekasihnya yang sibuk dengan pekerjaannya.

“Kalau lo, Rey?” Morgan beralih pada Renald.

“Lo nggal liat ada Nasha di sini? Tentu saja gue baik selama ada istri -aww!” Rey meringis mendapatkan satu cubitan keras di pinggangnya. Sudah tidak heran lagi jika Rey suka menggombal, tetapi Nasha tidak suka mengumbar kemesraan di depan umum terutama di depan Morgan yang terlihat habis bertengkar dengan kekasihnya. Ah, mendadak Nasha teringat gadis tadi yang belum sempat Morgan perkenalkan.

“Aku kira kamu udah pulang? Yang tadi itu pacarmu, kan?” tanya Nasha yang berhasil mengubah ekspresi Morgan. Rupanya kekacauan tadi memang menarik perhatian hampir seluruh pasang mata, tak heran jika Nasha berhasil menebak gadis tadi adalah pacar Morgan.

Morgan mengangguk asal-asalan. Tiba-tiba Morgan teringat dengan kekacauan yang Bianca buat, dan ia bersyukur pecahan gelas kaca yang tadi berserakan telah dibersihkan dan sudah tidak ada yang membahas kekacauan tadi. Semuanya sibuk dengan perbincangan masing-masing, dan untuk Adriana, Morgan tidak melihat gadis itu.

“Kalian liat Adriana?” tanya Morgan.

“Adriana pergi nggak tau kemana. Pas aku nanya, katanya, untuk apa dia masih di sini kalau kau sudah pulang. Dan ternyata kau masih di sini sekarang.” Tampaknya Nasha terlihat tidak suka entah kenapa, dan Morgan berhasil menangkap ketidaksukaan itu.

“Kurasa kejadian tadi bukan salah pacarmu, Vin. Kalau aku jadi dia, aku pasti bakal ngelakuin hal yang sama.” Nasha melanjutkan.

“Gue cuman nggak suka sama sifat manja dan childishnya, Na. Hanya karena cemburu, dia mau ngerusak pesta seseorang.”

“Lo nggak suka pacar lo manja? Ya Tuhan, padahal gue ngarep banget pacar gue bersikap manja. Pasti lucu banget.” Doni ikut menyahut. Lelaki berpostur paling tinggi itu mengelus tengkuk malu ketika beberapa orang disekitar memandang dirinya dengan aneh. Bagaimana tidak aneh jika suara Doni yang berat menyahut yang hampir mirip seperti pekikan.

“Nasha benar, lo agak keterlaluan, Vin. Pacar lo pasti ngelakuin itu dengan alesan tertentu. Soal sifat manja, bukannya cewek emang ditakdirin seperti itu? Paling nggak dia manja sama lo doang, bukan cowok lain.” Rey menambahkan.

Diantara mereka berempat, Rey-lah yang paling dekat dengan Morgan. Mereka berteman sejak SMP kelas tiga dan sudah seperti kakak beradik kemudian baru dipisahkan akhir-akhir ini saat Morgan sibuk dengan tugas barunya sebagai Presdir perusahaan, dan Renald yang sibuk dengan pasien-pasiennya. Belum lagi dengan usia Rey yang lebih tua beberapa bulan, membuat Morgan selalu percaya perkataan Rey meskipun terkadang pria itu bersikap jahil dengan membohonginya.

Tapi, untuk kali ini Morgan tidak ingin disalahkan. “Lo tau sendiri kan kalo gue gak suka cewek yang manja, childish, dan merepotkan?”

Rey mengendikkan bahu. Salah satu sifat Morgan yang dihafalnya adalah pria itu tidak suka dibantah dan keras kepala. Mungkin jika berhadapan dengan bisnis ia bisa memenangkan tender besar dengan sifatnya itu, tapi akan lain cerita bila kasusnya melibatkan perasaan. “Udah ah. Gue nggak mau ikut campur.”

Untunglah, dengan begitu Morgan tidak lagi merasa dipersalahkan. Ia memang sedikit menyesal membentak Bianca, namun sekali lagi ia tidak memiliki toleransi pada seseorang yang memiliki sifat yang dibencinya.

***

“Terima kasih, Pak Agung!” ujar Bianca sebelum keluar dari mobil yang terhenti tepat di halaman rumahnya.

“Sama-sama Nona.”

“Oh ya!” Bianca menghentikan gerakannya untuk membuka pintu mobil. “Jangan bilang sama Morgan kalo aku minta berhenti dulu tadi. Selama Pak Agung bilang kalo langsung mengantar aku pulang, aku yakin kak Morgan nggak akan curiga. Sekali-kali berbohong tidak apa-apa, kan? Hehe.”

Bianca terkikik dan Pak Agung tidak bisa untuk tidak tersenyum.

“Aku masuk dulu, Pak Agung. Hati-hati ya!” Lalu Bianca benar-benar keluar dari mobil dan memasuki pintu utama rumahnya bersamaan dengan Pak Agung yang mengemudikan mobilnya keluar dari halaman luas keluarga Bianca.

Bianca memasuki rumah bersamaan dengan Adian yang juga membuka pintu. Dilihat dari penampilan rapi lelaki itu, bisa dipastikan ia akan pergi entah kemana.

“Mau kemana?” tanya Bianca. Tidak biasanya Adian pergi malam begini, kalaupun pergi ke suatu tempat bukankah seharusnya ia memberitahu sang kakak? Sedangkan Bianca tidak mendapat satupun notifikasi di ponsel dari adiknya.

“Latian dance. Temenku ngajakin latian buat kompetisi dance bulan depan. Ngomong-ngomong, kok kak Bianca udah pulang? Mana kak Morgan?” tanya Adian balik. Ia heran karena Bianca sudah pulang padahal baru pukul delapan malam. Tadi sore Adian sempat bertanya kemana kakaknya itu akan pergi sepulang sekolah.

“Hmm, dia sudah pulang.” Gumaman menandakan Bianca malas menjawab pertanyaan adiknya. Tidak lucu jika ia bercerita bahwa Morgan mengusirnya dari pesta dan pulang dengan diantar sopir. “Jangan pulang terlalu malam, oke? Kalau nggak, kamu ias nginep di rumah temenmu. Kakak nggak mau kamu naik sepeda larut malam. Itu bahaya.”

“Ya. Aku tahu. Jangan khawatir!” Bianca mengangguk meski tidak berjanji untuk tidak mengkhawatirkan adiknya. Sedikit banyak Bianca teringat dengan perasaan tidak enaknya tadi. Ia takut sesuatu buruk akan terjadi pada Adian dan ia tidak ias untuk tidak khawatir.

“Aku pergi! Bye!”

Bianca tersentak dan Adian sudah melenggang menggunakan sepeda kayuhnya. Lelaki itu memang lebih sering bersama sepeda kayuhnya dibandingkan motor sport yang ia terima sebagai hadiah ulang tahun bulan lalu. Menurutnya itu lebih mengasyikkan, apalagi ditemani alunan music dari headphone kesayangannya.

Bianca masih terdiam beberapa saat sebelum ia memasuki rumah. Diam-diam berdoa agar sesuatu tidak menimpa adik kesayangannya itu. Perasaannya masih tidak enak, ngomong-ngomong.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status