Satu pijar memanjang di langit-langit sebuah ruangan. Tidak terlalu terang, tidak juga gelap seutuhnya. Yang memenuhi tiap sisi dinding adalah poster beserta stiker dengan ukuran beragam. Yang mendominasi bidang lantai adalah beberapa kursi dan sofa usang. Satu karpet di bawah meja juga sering digunakan penghuninya untuk rebahan.
Soal penghuni, ada tujuh anak muda yang mengakui ruang itu sebagai markas mereka. Menghabiskan sepanjang waktu di sana, biasanya sih setelah menyelesaikan segala urusan di luar. Seperti sekarang, pukul lima di perpotongan swastamita. Dari tujuh taruna: dua diantaranya duduk di sofa, dua yang lain mondar-mandir sesukanya, satu manusia sibuk mencari camilan di meja, sementara satu lagi sedang asik dengan ponselnya.
Lalu di mana si pemuda ketujuh?
Baru datang, dia yang bersurai kecokelatan. Kini menutup kembali daun pintu di ujung ruangan kemudian menaruh tasnya sembarang. Cowok itu pun menyempilkan tubuh di antara temann
To the point. Posisinya, Juna dan Arin tengah melangkah bersama di lajur trotoar arah kepulangan. Yang satu hanya diam membebaskan oksigen bertukar dengan karbondioksida di paru-parunya. Satu yang lain mengunci tangan dalam saku, membiarkan pikiran melayang pada masalah yang sedang menerpa. Memang sumbernya tidak ada di depan mata, namun tetap melekat dalam otak Arjuna. Jika begini, Yusi itu semacam bom waktu. Diamnya adalah memendam. Sekali meledak, runyam sudah status teman yang sekian tahun disandang. Terlebih ketika Juna—si adam yang disukai gadis itu—tengah menemukan tambatan hati, baru memasuki dunia romansa yang sesungguhnya. Mereka kewalahan jadinya. Mencuri pandang pada Juna, berusaha menemukan iris-iris langit malam di antara anak surai hitamnya, Arin ingin tahu apa yang sedang terjadi di dunia kecil pemuda itu. Sedetik, dua detik, dan kekehan pelan keluar dari bibir delima. "Ah... begini ya rasanya nggak dianggap?" c
"Can we... go out?"Perpotongan siang, tidak ada hujan, ada sedikit angin. Tetapi, apakah itu bisa menjadi alasan sang pemuda tiba-tiba mengatakan ucapan sedemikian pada gadis di depannya?"Nggak ada kalimat itu di tugasku, Marven. Kamu serius bantu aku ngerjain tugas, 'kan?"Widya Puraya, letaknya di depan rektorat sekaligus di antara beberapa gedung fakultas. Strategis dan nyaman dikelilingi pepohonan. Meski meranggas, oksigen masih segar dihirup indera penciuman.Pemudi dengan surai diikat satu itu nampak sibuk dengan beberapa buku dan laptop di meja. Sebab terlalu sering bergulat dengan kalimat atau layar monitor yang lama-lama tidak nyaman dilihat, gadis itu sedari tadi mengenakan kacamata bulat. Setiap kali banyak tugas memang begitu—sekadar informasi.Usai membalas ucapan melantur dari sang sahabat, Arin kembali fokus pada tugas-tugas bahasanya. Berjalan tiga semester ia belajar di jurusan Sastra Inggris, menurutnya Marven
Saturday, one of the free days.Ada agenda yang nampaknya penting dilakukan oleh Arjuna. Soalnya, jika tidak mendesak dia pasti masih bergulat di balik selimutnya. Tenggelam bersama mimpi-mimpi sebagai bunga tidurnya. Yang kadang harum semerbak atau menyengat hingga membuat ia terbangun dan mengumpat.Berbalut kemeja biru tua dan kaus putih di dalamnya, kini Juna bersandar pada salah satu pipa besi warna-warni. Beberapa bocah berceloteh dan berlari-lari tak jauh dari pemuda itu. Tidak-tidak, Juna yang menenggelamkan kedua tangan di saku jins itu tidak sedang mengawasi sepupu, keponakan, apalagi 'anak' yang bermain di ujung gang dekat pos satpam. Tapi memang di tempat itulah latar dari janji temunya dengan seseorang.Seseorang yang sekian hari menghilang dari pandang. Sulit Juna hubungi, apalagi ditemui. Namun, semalam ia berhasil mendapat pesan balasan dari si gadis bar-bar yang tengah padam itu. Lantas berakhirlah ia menunggu kehadirannya di t
Sunday, when the week ends.Satu kali delapan belas jam, belum ada pesan balasan. Enam jam lagi bisa-bisa dilaporkan pada polisi. Atas hilangnya seseorang secara tiba-tiba. Mereka menyebutnya... ghosting? Polisi menangani masalah itu tidak?Kurang lebih ketika jarum jam singgah pada angka ananta, senantiasa berbaring di ranjang, si adam bernetra langit malam tengah itu menatap layar ponsel yang bahkan tiada notifikasi apapun—selain berita harian, itupun sudah berlalu.Dalam sebuah aplikasi sosial, ada satu kontak yang tersemat paling atas. Balon pesan terakhir berisi emoji hati. Dan belum ada respon apapun dari si penerima. Jika begini Juna malu jadinya. Juga bimbang, haruskah ia hapus saja?'Arin kemana sih?' batin si alpha.Hidup Juna tidak pernah tenang semenjak mengenal Arina. Serasa naik Colossus yang berputar-putar, padahal menyentuh saja tidak pernah.Ingin menghalau keruhnya pikiran, Juna membuang napas
05:53 pm"Arin, aku—" Juna hendak bicara."Kakak, ayo masuk! Aku capek." Namun, bocah lelaki itu menginterupsi.06:12 pm"Arin..." Kembali si pemuda membuka suara kala telah berada di dalam rumah sang pujaan."Ya?" sahut Arin."Kakak, dimana handuknya?" tanya anak kecil itu ketika melangkah menuju kamar mandi.06:40 pm"Hei, aku—" Percobaan kesekian Juna untuk mengutarakan maksud kedatangan."Kak, aku pakai baju yang mana?" Si putra mahkota meminta saran pada kakak perempuannya.07:01 pm"Ar—" Satu kata belum selesai Juna ucapkan."Kakak!" Dan adik Arin selalu punya cara untuk menghentikan.- - -"Akh!!"Tidak-tidak, bukan ini tujuan dari perjalanan panjang si adam hingga malam. Niatnya membangun hubungan lebih dekat dengan gadis pujaannya, bukan malah duduk bersampingan dengan seorang
Arin tersedak.Sebenarnya sang puan sudah menelan kuah dari sendok Juna ketika si adik berteriak dari sofa tempatnya bersandar. Tapi rasa kuah itu ternyata lebih pedas dari dugaannya. Kedua alis Arin menaut, sedang matanya seketika berair."Oh, kenapa? Nggak apa?"Nampak panik, Juna merendahkan diri di depan Arin. Menatap netra gadis itu, mencari tahu apa yang salah. Jika itu karena panas, ia tadi sudah meniupnya cukup lama."Pedas," ucap Arin setelah mendapat segelas air mineral yang ia raih di meja."Terlalu pedas? Harus aku tambahin air?" tanya Juna. Ia sudah mencicipi, namun ternyata beda pendapat dengan gadis di depannya."Sedikit..." Arin pun mengudarakan ibu jari dan telunjuknya."Kak!"Ah, jangan lupakan orang terpenting di sana. Sudah memanggil-manggil ke sekian kalinya. Membuat sang kakak harus segera merespon sebelum dilempar teriakan berikutnya. Sementara Juna tak acuh lagi dan te
Nyala di balik jendela dengan tirai terbuka adalah diorama angkasa yang dominan warna putih temaram. Seperti halnya kanvas sebagai tempat melukiskan kata, langit seolah siap menjadi tempat menggantungkan asa manusia. Yea, it's not always promising. Karena hujan terkadang menghapus jejak sesukanya.Nyala di ujung selimut kelabu mengantar melodi nyaring dari elektronik kecil nan pipih. Notifikasi yang setiap pagi datang namun seringkali diabaikan, alarm memang sesedih itu dalam bertugas membangunkan sang empunya. Gambar lonceng bertajuk 'PRESENTASI' itu tak lama digulir oleh jemari yang keluar dari kain tebal."Ugh, lima menit lagi." Suara parau Arjuna terdengar meski konfigurasi belum sepenuhnya keluar dari selimut yang menutupi.Aksi yang mengejutkan kemudian dapat dilihat tepat dari plafon kamar. Juna tiba-tiba mengenyahkan kain penghangat tubuh sembari melotot dan menautkan kedua alisnya. Tangannya bergerilya meraih keberadaan ponsel. Karena alarm
Kring! Bukan pintu kaca yang ditoleh, tapi ponsel di meja barrier yang Juna periksa intens. Padahal jelas-jelas mode silent selalu disematkan pada tiap notifikasi ponselnya, dan amat kentara bahwa yang bergetar adalah genta kecil di atas pintu masuk kafe tongkrongan kaum muda. Usai menyadari tak kunjung ada kabar dari sang pujaan, Juna kembali mendongakkan kepala sembari menghela napas panjang. Rasanya sejak di kampus karbondioksida tak pernah sanggup menguapkan sesak dalam dadanya. Kelakuan Juna pun membuat rekan kerjanya melirik bingung pada lelaki itu. "Mas, caffe latte dua," ucap seorang gadis bersurai panjang dengan bandana di kepalanya. 'Arin?'Tidak-tidak, batin Juna tidak benar, meski yang terlukis di layar maya adalah raut manis sang kekasih yang menyukai caffe latte itu—ah, diksi kekasih akhir-akhir ini membawa euforia di benak Juna. Dan itu adalah masalah utama yang membuatnya kini bergeming tak mengacuhkan pesanan pembeli. Dua oniksnya terpaku pada si pemudi. Bisa-bisa