Setelah pertengkaran mereka di malam pengantin dan berakhir dengan Oliver yang marah dan pergi begitu saja. Sampai hari ini, sudah 1 minggu lamanya, Lena tak pernah melihat batang hidung Oliver lagi.
"Apa peduliku. Syukurlah dia tak pernah pulang, aku bisa bernapas dengan baik sekarang. Aku harap dia tak pernah kembali," ucap Lena seraya menaikan kedua bahunya ringan lalu kemudian menghembuskan napas lega.Sesekali sering terbersit tanya dalam kepalanya tentang ke mana kiranya Oliver pergi setelah pertengkaran mereka itu, tapi buru-buru Lena menepis pikiran itu."Tidak, kau tak semestinya memikirkan hal tak penting seperti itu, Aralena. Jangan jadi perempuan gila yang ingin tahu ke mana kiranya musuhmu pergi, bukankah hal bagus kalau dia tak pernah pulang lagi? Itu artinya kau bebas," gumam Lena lagi berbicara pada dirinya sendiri.Namun, ternyata sekalipun Lena berusaha menampiknya, tapi tetap saja ada secuil rasa penasaran di hatinya tentang ke mana perginya Oliver sampai selama ini? Tak mungkin dia pergi hanya karena marah setelah mendapatkan penolakan dari Lena. Hal-hal janggal terus berputar di pikiran Lena, sampai akhirnya dia merasa muak dan memilih mengambil ponsel juga tas selempangnya lalu pergi keluar dari kamar hotel ini dan pergi ke suatu tempat."Boleh kirimkan alamat tempat Vincent ditahan?" ucap Lena pada seseorang yang dihubunginya di seberang telepon sana.***"Kau di sini?" sapa Vincent dengan suara yang serak.Wajah tampan yang begitu dipuja oleh Lena itu kini terlihat pucat dan tak terawat. Rahang tegas Vincent kian terlihat jelas, kentara sekali kalau pria yang dicintai Lena itu sudah banyak kehilangan berat badannya. Tubuh tinggi tegap yang selalu Lena peluk dengan nyaman itu kini bahkan terlihat ringkih.Hati Lena berdenyut Sakit melihat keadaan pria yang sangat dicintainya itu jadi terlihat sangat memprihatinkan. Sampai tanpa sadar air mata mengucur deras membasahi pipinya."Iya aku disini, Vincent," sahutnya dengan suara yang tercekat. Dengan nelangsa ia menyeka air matanya dan tersenyum sendu, penuh kerinduan pada Vincent."Kenapa malah ke sini? Kau pasti bahagia sekali karena dinikahi pamanku kan, Aralena? Apa yang kau beri pada Oliver sampai-sampai dia berani menjebloskanku ke penjara hanya untuk menikahimu, apa tanpa sepengetahuanku kau memberikan tubuhmu pada bajingan itu?" tuduh Vincent tanpa tedeng aling-aling. Desis tajamnya juga kemarahan yang berkilat di kedua matanya yang menatap Lena dengan benci, membuat Lena seketika mematung di tempatnya dengan tatapan tak percaya sekaligus bingung."Apa maksudmu, Vincent? Aku tak pernah melakukan hal tercela seperti itu, kenapa kau bisa mengatakan hal kejam seperti itu padaku? Aku tak pernah-""Lalu apa alasan aku sampai dijebloskan ke penjara, Aralena! Sebegitu inginnya dia memilikimu sampai-sampai dia menjebloskanku tanpa aba-aba. Apa kau tak tahu kalau aku sangat tersiksa di sini, ha?!" bentaknya murka.Lena memejamkan matanya rapat-rapat untuk meredam rasa nyeri di hatinya, lantas kemudian dia pun menggelengkan kepalanya lemah. "Aku bahkan tak tahu atas alasan apa semua ini terjadi. Aku juga kebingungan mengapa tiba-tiba aku harus mendengar kau menjualku seharga 1 juta dollar agar aku jadi pengantinnya Oliver. Aku juga terluka ketika mendengar permintaanmu yang menyuruhku tetap menikahi Oliver ketika aku sangat membencinya.""Kalau kau membencinya tak mungkin Oliver sebegitu inginnya memilikimu," ucap Vincent masih menuduh Lena. Dia bahkan tak sekalipun berusaha mendengarkan ucapan Lena."Pembatalan pernikahan, aku yang dijual seharga jutaan dollar, aku yang harus menikah dengan orang yang tak pernah aku inginkan, pria yang ku cintai masuk penjara lalu ditambah kau menyalahkan aku atas semua ini ketika aku bahkan tetap menikah karena kau yang memohon padaku hari itu? Aku melakukan semua ini demi dirimu, Vincent!" ujar Lena putus asa. Dia menatap Vincent dengan tatapan yang sangat terluka. "Tapi Oliver masih menginginkanmu." Lagi, Vincent mengucapkan kalimat yang sama secara berulang-ulang. Seolah begitu ingin menekankan kalau seluruh kemalangan yang terjadi pada mereka adalah salah Lena."Lalu apa alasan Oliver begitu menginginkanku? Apa alasan kau harus dipenjara dan apa hubungannya Oliver dengan kau yang harus masuk penjara? Apa alasanmu menjualku seharga jutaan dollar? Apa alasanmu mengajukan pembatalan pernikahan ketika kita sudah sepakat mendaftarkan pernikahan kita dan akan menggelar pesta pernikahan dalam waktu dekat? Apa alasanmu mengirimiku pesan untuk datang menemuimu di kamar hotel sedangkan yang ada di dalam sana adalah Oliver bukan kau?" cecarnya dengan wajah yang berderai air mata. Sesekali isak pilu lolos dari bibirnya, tapi pada momen itu pula Lena terus berusaha menyeka air matanya. "Kau pasti sudah mendapatkan uang satu juta dolar milikmu, makanya kau sejahat ini padaku kan Vincent?"Kilat marah dan benci di kedua mata Vincent tiba-tiba mereda dan perlahan berganti dengan tatapan sendu yang begitu putus asa."Itu semua salah Oliver. Oliver yang menjebakku. Dia membuatku membawa satu koper obat-obatan terlarang lalu melaporkanku sebagai seorang bandarnya. Aku memintanya mengeluarkanku dari penjara, tapi dia memberiku syarat.""Syarat apa?" tanya Lena disela-sela tangisannya. "Syaratnya, dia ingin aku memberikanmu sebagai pengantinnya lalu dia akan membebaskanku dari segala tuduhan di pengadilan yang akan berlangsung 3 hari lagi dari sekarang. Aku tak pernah menjualmu, Lena... aku tak pernah melakukan itu. Sebaliknya, Oliverlah yang menawariku uang jutaan dolar demi memilikimu tapi aku tak melakukannya. Maafkan aku Aralena... maafkan aku yang memilih membatalkan pernikahan kita karena aku sudah sangat putus asa. Aku disiksa oleh polisi selama introgasi dan aku tak bisa menahannya lagi, jadi aku memenuhi keinginan Oliver."Lena membekap mulutnya rapat-rapat untuk menahan isak tangisnya yang mungkin kian kencang setelah pengakuan itu. Dia bahkan mulai kehilangan kata-kata. Dia ingin sekali marah pada Oliver, tapi melihat bagaimana kondisi pria yang sangat dicintainya itu benar-benar sangat memprihatinkan, membuat Lena kembali dirundung rasa iba."Aku sudah melalui banyak hal yang tak adil sejak Oliver menjebakku, Lena. Kau mungkin marah padaku, tapi tolong lebih marahlah pada Oliver. Balaskan dendamku padanya." Lena diam."Kenapa hanya diam, apa setelah menikahi Oliver kau jadi sangat bahagia?" tuduhnya lagi, sembari menyunggingkan senyuman kecut. Sedangkan Lena langsung membalasnya dengan menggelengkan kepala."Tidak sama sekali. Kau salah, Vincent. Aku tak bahagia," jawab Lena serak."Kau membeli wanita seharga 1 juta dollar dan kau menikahinya? Kau pasti sudah gila!" cerca wanita berambut pirang itu. Matanya terbelalak sempurna memandang Oliver yang dengan santainya justru mengangkat bahunya ringan."Ini tak segila seperti yang jau bayangkan, Esme.""Kalau begitu jelaskan seperti apa situasi yang menurutmu tak segila bayanganku itu." Helaan napas berat pun terdengar dari Oliver seiring dengan dia yang menolehkan wajah untuk sekadar melayangkan tatapan lelahnya pada Esme."Perempuan itu adalah istri dari keponakanku, atau lebih tepatnya hampir jadi istri karena bajingan itu tiba-tiba membatalkan pendaftaran penikahan mereka lalu meminta uang satu juta dolar padaku dengan iming-iming perempuan itu. Aku-""Lalu kau membeli istri keponakanmu hanya karena keponakanmu menjualnya? Damn!""Dengarkan dulu ucapanku sampai selesai, Esme... jangan menyela," tegur Oliver pada Esme yang sedari tadi terus saja menggebu-gebu untuk sekadar mengatakan makian 'gila' untuknya."Kal
"Kau akan pergi ke mana? Apa kau merindukanku?" sapa suara bariton itu tiba-tiba.Lena yang baru saja keluar dari unit apartemennya itu seketika terperanjat dan menatap ke arah sumber suara itu dengan panik. Dan rasa paniknya kian menjadi ketika mendapati Oliver di sana. Oliver pulang.Sial. Maki Lena di dalam hatinya.Pria itu tampak santai menyesap sebatang rokoknya sembari bersandar pada dinding disamping unit apartemen mereka. Dia dengan tenangnya menyunggingkan senyuman manis pada Lena."K-Kau... sejak kapan kau di sana?" ujar Lena balik bertanya dengan sedikit tergagap. Ditatapnya Oliver dengan tatapan tak suka.Oliver mendengus geli lalu mematikan rokoknya. "Sejak kau mengendap-endap keluar seperti seorang maling. Kau akan pergi ke mana, tidakkah kau butuh izinku?""Sejak kapan aku butuh hal remeh temeh seperti itu denganmu? Kau orang asing Oliver. Kau tak berhak tahu tentang apapun yang aku lakukan."Sudut bibir Oliver berkedut mendengar ucapan sinis dari istrinya sendiri. Se
Satu hal yang mengejutkan Lena ketika dia tiba di bandara dan menuruni tangga untuk keluar dari pesawat jet yang ternyata super mewah ketika dia melihatnya secara langsung dari luar.Lena memilih bungkam dan menyembunyikan segala ekspresi terkejutnya, walaupun segala tanya di kepala terus saja berkecamuk meminta penjelasan tentang 'dari mana Oliver punya akses untuk menaiki pesawat pribadi dengan harga fantastis ini?'"Apa kau baik-baik saja? Apa kau merasakan mual?" tanya Oliver penuh perhatian. Dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Lena, tapi detik itu pula Lena menghalaunya dan melayangkan tatapan sinis padanya."Aku baik-baik saja. Jangan coba-coba menyentuhku," ucapnya sinis. Mendengar itu, Oliver pun menarik kembali tangannya dan menyimpannya kembali di samping tubuhnya. Dia tampak cukup tenang untuk seseorang yang sedang merasakan hatinya berubah getir karena berulang-ulang kali mendapatkan penolakan, kata-kata sinis juga kasar dari perempuan yang dicintai dan yang be
"Tempatku pulang? Rumah ini?" Lena tertawa mencemooh Oliver. "Kau pasti sedang berbohong padaku. Kau pembohong besar."Oliver tersenyum simpul, lalu kemudian meminta sopir yang mengemudikan mobil audi itu untuk membawakan koper miliknya ke dalam terlebih dahulu, sebelum akhirnya dia pun kembali menoleh menatap Lena."Ayo masuk. Tidakkah kau ingin melihat-lihat seisi rumah dan menikmati pemandangannya?" ujar Oliver tenag.Dia memilih untuk tak mengindahkan ejekan Lena terhadapnya. Kali ini, Oliver tak mengulurkan tangannya pada Lena. Dia langsung melangkah masuk ke dalam mansion tanpa menunggu Lena terlebih dahulu karena dia tahu betul kalau perempuan itu pasti tak akan sudi berjalan beriringan dengannya.Sepeninggalnya Oliver, Lena hanya melihat punggung pria itu yang menjauh dari pandangannya. Sedangkan dirinya masih terus terpaku di tempatnya untuk kembali mengamati setiap sisi dari bangunan rumah bergaya klasik yang dipadukan dengan gaya arsite
Malam itu, Oliver habiskan dengan melamun menatap lampu tidur yang membuat ruangan kamarnya ini jadi temaram. Sesekali dia bergerak tak nyaman karena harus berbaring di sofa yang bahkan tak bisa menampung tubuhnya. Kakinya hanya bisa menggantung ke lantai karena sofa yang sempit, dan hal itu membuatnya tak bisa tidur.Suara dengkuran halus pun kemudian terdengar memecah keheningan di kamar itu, membuat Oliver menoleh dan tersenyum hangat ketika melihat kalau Lena sudah tertidur lelap di atas ranjangnya."Dia bilang sangat membenciku. Aku rasa hanya dia yang tidur di ruangan yang sama dengan orang yang dibencinya. Benar-benar perempuan aneh," gumam Oliver seraya terkekeh kecil.Cukup lama dia memandang ke arah Lena, sampai ketika dirasa Lena sudah benar-benar terlelap dalam tidurnya, Oliver pun memberanikan dirinya untuk bangun dari pembaringannya dan melangkah menuju ranjangnya. Di sana, dia dengan penuh kehati-hatian, Oliver beringsut naik ke atas ranjang dan berbaring tepat di sampi
"Peluk," pinta Oliver seraya merentangkan tangannya lebar-lebar saat dia masuk ke dalam kamar setelah dia menyelesaikan olahraga paginya.Dengan riang dan gembira, dia berjalan menghampiri Lena yang saat itu sudah tampak segar setelah mandi dan begitu cantik dalam balutan dress vintage berbahan sifon."Tidak sudi. Menyingkir dariku, kau bau keringat!" tolaknya seraya mendorong dada Oliver agar menjauh darinya dengan cara yang cukup kasar."Jika aku selesai mandi dan tak bau keringat, apa aku akan mendapatkan pelukan?" Oliver tak sekalipun merasa jera. Dia tetap riang dan bersikap hangat pada Lena, bahkan tak jarang dia sengaja menggoda perempuan itu sekalipun respon yang selalu didapatkannya adalah hal yang sangat menyakiti hatinya."Hanya dalam mimpimu!" ujar Lena ketus, seraya menedelikan matanya sinis ke arah Oliver, sebelum kemudian membaringkan tubuhnya ke atas ranjang dan kembali memejamkan matanya ubtuk berpura-pura tidur.Dia terlalu muak mengobrol dengan Oliver, tapi juga en
"Aku sudah bebas dari penjara, Lena. Kau ke mana? Aku tak menemukanmu di apartemen milik paman Oliver," suara berat milik Vincent dari seberang telepon sana itu terdengar putus asa.Panggilan telepon dari nomor asing yang hampir Lena tolak tenyata adalah panggilan telepon dari Vincent. Pria itu langsung menghubunginya dan hal itu benar-benar membuat hati Lena terenyuh sampai-sampai dia tak bisa menahan dirinya untuk yang menangis.Di satu sisi dia merasa sangat lega, tapi di sisi lain dia merasa sangat sedih karena kini dia sudah tak bisa bersama Vincent lagi. Lebih dari itu, kinu dia bahkan sudah berada di tempat yang sangat jauh dari jangkauan Vincent.Yang terdengar hanya isak tangis, sehingga Vincent yang berada di seberang telepon sana pun kembali berkata, "Aku merindukanmu, Lena. Maaf karena aku membiarkanmu menikahi paman Oliver hanya demi uang satu juta dolar yang kuinginkan. Tapi, sekarang aku sudah bebas, Lena. Tak bisakah kau kembali padaku?""Aku harap aku bisa," cicit Len
"Kau pembohong," tuduh Lena. Dia semakin menatap Oliver dengan tatapan bencinya. "Kau sengaja mengatakan hal itu untuk mempengaruhiku, kan? Aku tak akan terpengaruh untuk membenci Vincent karena Vincent sudah lebih dulu mengatakan yang sebenarnya padaku kalau kaulah yang menjebaknya. Dia tak pernah menjualku padamu demi uang jutaan dolar. Kaulah yang mengancamnya dengan uang itu."Oliver mengerutkan keningnya mendengar tuduhan itu. "Kau mendengar cerita yamg salah, Aralena. Aku tak pernah mengancam Vincent dan aku tak pernah memenjarakan pria itu.""Pembohong." Lena menggunakan kedua telapak tangannya untuk menutup telinga karena enggan mendengarkan ucapan Oliver."Vincent akan menjualmu pada pria hidung belang yang jadi pelanggan VVIP-Nya. Aku menentang hal itu dan dia memintaku membayar 1 juta dolar sebagai tebusan kalau tak ingin dia menjualmu. Dia tertangkap di pelabuhan saat menyelundupkan para remaja dan narkoba yang akan di jualnya, Aralena. Aku tak pernah menjebaknya, percayala