Share

5. Keputusan Egois

"Kau membeli wanita seharga 1 juta dollar dan kau menikahinya? Kau pasti sudah gila!" cerca wanita berambut pirang itu. Matanya terbelalak sempurna memandang Oliver yang dengan santainya justru mengangkat bahunya ringan.

"Ini tak segila seperti yang jau bayangkan, Esme."

"Kalau begitu jelaskan seperti apa situasi yang menurutmu tak segila bayanganku itu." 

Helaan napas berat pun terdengar dari Oliver seiring dengan dia yang menolehkan wajah untuk sekadar melayangkan tatapan lelahnya pada Esme.

"Perempuan itu adalah istri dari keponakanku, atau lebih tepatnya hampir jadi istri karena bajingan itu tiba-tiba membatalkan pendaftaran penikahan mereka lalu meminta uang satu juta dolar padaku dengan iming-iming perempuan itu. Aku-"

"Lalu kau membeli istri keponakanmu hanya karena keponakanmu menjualnya? Damn!"

"Dengarkan dulu ucapanku sampai selesai, Esme... jangan menyela," tegur Oliver pada Esme yang sedari tadi terus saja menggebu-gebu untuk sekadar mengatakan makian 'gila' untuknya.

"Kalau begitu cepat! Kau terlalu lambat menjelaskannya, membuatku jadi gemas sendiri."

"Dengar... perempuan itu tak tahu kalau pria yang akan dinikahinya itu adalah bajingan yang punya bisnis kotor memperjual belikan manusia. Pria bajingan itu menjual remaja yang kabur dari rumah untuk dijadikan pekerja sex di tiap rumah bordil di luar negeri. Perempuan itu tak tahu kalau bajingan itu mengajukan pembatalan pernikahan, jadi aku memilih memberi bajingan itu uang yang diinginkannya lalu aku menikahi si perempuan karena aku tak ingin dia dipermalukan karena gagal menikah."

"Kau mencintainya?" seru Esme tak habis pikir. Sedangkan Oliver justru dengan percaya diri menganggukan kepalanya.

"Iya, aku mencintainya tapi dia tidak."

"Kau benar-benar gila. Tentu saja dia tak akan mencintaimu karena dia hampir menikahi pria yang dicintainya. Kau membeli perempuan milik orang lain, Oliver... kau benar-benar sinting!" hardiknya yang seketika itu pula membuat Oliver tersenyum kecut.

"Kau tak tahu apapun, Esme. Sebelum bajingan itu, aku sudah menyukainya lebih dulu. Aku bertemu Aralena lebih dulu saat dia masuk SMA, sedangkan Vincent bertemu dengannya ketika mereka berkuliah di Universitas yang sama. Sialnya Lena mencintai bajingan sepertinya."

"Lantas apa hubungannya denganmu Oliver? Aku benar-benar tak mengerti."

"Tentu saja karena aku tak bisa membiarkan hal itu terjadi karena dia terlalu naif. Lena terlalu mudah ditipu, sampai-sampai dia tak menyadari kalau Vincent seberbahaya itu."

"Tapi dia tak akan bahagia ketika harus menikah denganmu seperti ini. Lihat, kau bahkan tak pernah pulang setelah lari dimalam pengantinmu kan? Kalian tak akan bahagia. Terutama kau."

"Aku tak masalah jika aku menderita. Bukankah kau sendiri tahu betul kalau aku sudah sangat akrab dengan penderitaan macam apapun? Tapi aku tak akan tahan jika harus melihat perempuan yang kucintai justru menderita karena pria yang dicintainya. Itu pasti akan menyiksanya. Sekalipun dia tak bahagia karena harus menikah denganku, aku tak peduli. Aku akan tetap menahannya di sisiku dan memastikan tak akan ada yang menyakitinya," ucap Oliver penuh tekad. Dia terdengar sangat egois sampai-sampai Esme kehilangan kata-kata untuk sekadar menghardiknya lagi.

***

Tak seperti biasanya, malam ini Lena tak bisa tidur nyenyak setelah tidak adanya Oliver. Bukan karena dia merindukan pria itu, bukan. Ini lebih parah lagi. Dia membencinya.

Semua ucapan Vincent berputar di kepalanya seperti piringan hitam yang diputar secara berulang-ulang, sehingga makin memupuk kebencian di dadanya sampai-sampai membuatnya sesak luar biasa.

"Oliver yang menjebak Vincent sebagai bandar obat-obatan terlarang. Dia yang menawarkan uang jutaan dolar dan meminta Vincent membatalkan pernikahan kami. Dia-" Lena tak kuasa melanjutkan sisa kalimatnya ketika rasa sesak semakin menekan uluhatinya.

"Aku pikir Oliver hanya pria bajingan, ternyata lebih dari itu. Dia iblis," hardik Lena berbicara sendiri.

Dia menatap nanar pintu kamar tidurnya di apartemen sederhana milik Oliver ini.

"Sampai kapan aku harus bertahan di tempat ini? Sampai kapan aku harus jadi istri Oliver? Apa aku bisa kembali pada Vincent setelah dia bebas? Bukankah seharusnya aku pergi saja dari sini selagi pria iblis itu tak ada? Tapi bagaimana dengan Vincent, bagaimana kalau Oliver tak jadi membebaskannya jika tahu aku kabur?"

Segala tanya itu terus menerus menghantui benak Lena dan membuatnya benar-benar frustrasi. Seperti buah simalakama, semuanya terasa serba salah. Tiap langkah yang ingin dia coba terasa terlalu beresiko.

"Tiga hari!" serunya ketika tiba-tiba teringat dengan ucapan Vincent. "Ya, benar. Setidaknya aku butuh bersabar selama tiga hari sampai keputusan sidang untuk Vincent selesai, baru aku akan memutuskan untuk tetap di sisi Oliver dan membalas dendam atau pergi kembali pada Vincent," lanjutnya penuh tekad.

Mata Aralena berkilat-kilat dipenuhi oleh tekad yang serius, secercah rasa putus asa, juga dendam yang kian membara.

"Aku tak akan memaafkanmu seumur hidupku karena sudah menghancurkan mimpi bahagiaku, Oliver."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status