"Kau membeli wanita seharga 1 juta dollar dan kau menikahinya? Kau pasti sudah gila!" cerca wanita berambut pirang itu. Matanya terbelalak sempurna memandang Oliver yang dengan santainya justru mengangkat bahunya ringan.
"Ini tak segila seperti yang jau bayangkan, Esme.""Kalau begitu jelaskan seperti apa situasi yang menurutmu tak segila bayanganku itu." Helaan napas berat pun terdengar dari Oliver seiring dengan dia yang menolehkan wajah untuk sekadar melayangkan tatapan lelahnya pada Esme."Perempuan itu adalah istri dari keponakanku, atau lebih tepatnya hampir jadi istri karena bajingan itu tiba-tiba membatalkan pendaftaran penikahan mereka lalu meminta uang satu juta dolar padaku dengan iming-iming perempuan itu. Aku-""Lalu kau membeli istri keponakanmu hanya karena keponakanmu menjualnya? Damn!""Dengarkan dulu ucapanku sampai selesai, Esme... jangan menyela," tegur Oliver pada Esme yang sedari tadi terus saja menggebu-gebu untuk sekadar mengatakan makian 'gila' untuknya."Kalau begitu cepat! Kau terlalu lambat menjelaskannya, membuatku jadi gemas sendiri.""Dengar... perempuan itu tak tahu kalau pria yang akan dinikahinya itu adalah bajingan yang punya bisnis kotor memperjual belikan manusia. Pria bajingan itu menjual remaja yang kabur dari rumah untuk dijadikan pekerja sex di tiap rumah bordil di luar negeri. Perempuan itu tak tahu kalau bajingan itu mengajukan pembatalan pernikahan, jadi aku memilih memberi bajingan itu uang yang diinginkannya lalu aku menikahi si perempuan karena aku tak ingin dia dipermalukan karena gagal menikah.""Kau mencintainya?" seru Esme tak habis pikir. Sedangkan Oliver justru dengan percaya diri menganggukan kepalanya."Iya, aku mencintainya tapi dia tidak.""Kau benar-benar gila. Tentu saja dia tak akan mencintaimu karena dia hampir menikahi pria yang dicintainya. Kau membeli perempuan milik orang lain, Oliver... kau benar-benar sinting!" hardiknya yang seketika itu pula membuat Oliver tersenyum kecut."Kau tak tahu apapun, Esme. Sebelum bajingan itu, aku sudah menyukainya lebih dulu. Aku bertemu Aralena lebih dulu saat dia masuk SMA, sedangkan Vincent bertemu dengannya ketika mereka berkuliah di Universitas yang sama. Sialnya Lena mencintai bajingan sepertinya.""Lantas apa hubungannya denganmu Oliver? Aku benar-benar tak mengerti.""Tentu saja karena aku tak bisa membiarkan hal itu terjadi karena dia terlalu naif. Lena terlalu mudah ditipu, sampai-sampai dia tak menyadari kalau Vincent seberbahaya itu.""Tapi dia tak akan bahagia ketika harus menikah denganmu seperti ini. Lihat, kau bahkan tak pernah pulang setelah lari dimalam pengantinmu kan? Kalian tak akan bahagia. Terutama kau.""Aku tak masalah jika aku menderita. Bukankah kau sendiri tahu betul kalau aku sudah sangat akrab dengan penderitaan macam apapun? Tapi aku tak akan tahan jika harus melihat perempuan yang kucintai justru menderita karena pria yang dicintainya. Itu pasti akan menyiksanya. Sekalipun dia tak bahagia karena harus menikah denganku, aku tak peduli. Aku akan tetap menahannya di sisiku dan memastikan tak akan ada yang menyakitinya," ucap Oliver penuh tekad. Dia terdengar sangat egois sampai-sampai Esme kehilangan kata-kata untuk sekadar menghardiknya lagi.***Tak seperti biasanya, malam ini Lena tak bisa tidur nyenyak setelah tidak adanya Oliver. Bukan karena dia merindukan pria itu, bukan. Ini lebih parah lagi. Dia membencinya.Semua ucapan Vincent berputar di kepalanya seperti piringan hitam yang diputar secara berulang-ulang, sehingga makin memupuk kebencian di dadanya sampai-sampai membuatnya sesak luar biasa."Oliver yang menjebak Vincent sebagai bandar obat-obatan terlarang. Dia yang menawarkan uang jutaan dolar dan meminta Vincent membatalkan pernikahan kami. Dia-" Lena tak kuasa melanjutkan sisa kalimatnya ketika rasa sesak semakin menekan uluhatinya."Aku pikir Oliver hanya pria bajingan, ternyata lebih dari itu. Dia iblis," hardik Lena berbicara sendiri.Dia menatap nanar pintu kamar tidurnya di apartemen sederhana milik Oliver ini."Sampai kapan aku harus bertahan di tempat ini? Sampai kapan aku harus jadi istri Oliver? Apa aku bisa kembali pada Vincent setelah dia bebas? Bukankah seharusnya aku pergi saja dari sini selagi pria iblis itu tak ada? Tapi bagaimana dengan Vincent, bagaimana kalau Oliver tak jadi membebaskannya jika tahu aku kabur?"Segala tanya itu terus menerus menghantui benak Lena dan membuatnya benar-benar frustrasi. Seperti buah simalakama, semuanya terasa serba salah. Tiap langkah yang ingin dia coba terasa terlalu beresiko."Tiga hari!" serunya ketika tiba-tiba teringat dengan ucapan Vincent. "Ya, benar. Setidaknya aku butuh bersabar selama tiga hari sampai keputusan sidang untuk Vincent selesai, baru aku akan memutuskan untuk tetap di sisi Oliver dan membalas dendam atau pergi kembali pada Vincent," lanjutnya penuh tekad.Mata Aralena berkilat-kilat dipenuhi oleh tekad yang serius, secercah rasa putus asa, juga dendam yang kian membara."Aku tak akan memaafkanmu seumur hidupku karena sudah menghancurkan mimpi bahagiaku, Oliver."Kali pertama dalam hidupnya, Vincent baru merasakan kalau melihat langit biru dengan awan putih yang bergerak ternyata begitu membahagiakan setelah ia bebas dari penjara. Dulu, sebelum hidupnya jungkir balik seperti sekarang, Vincent tidak pernah merasa bersyukur pada hal sekecil apa pun yang ia dapatkan. Fokus Vincent pada hal besar serta hal-hal yang belum ia dapatkan sehingga ia melupakan hal yang sudah ia punya dan raih selama ini. “Udara pagi ini terasa begitu segar. Tidak pernah kudengar kicauan burung semerdu ini.” Vincent berkata pada dirinya sendiri sembari tersenyum kecut. Hari-hari yang ia lewati sebelum hari ini adalah hari penyiksaan. Hidup di penjara bagaikan neraka. Hanya jeruji besi, atap, baju dan selimut tipis yang menemani Vincent selama di penjara. Hidup Vincent di penjara tidak pernah menyenangkan. Ia dipaksa oleh keadaan untuk menyesuaikan diri. Mengerjakan pekerjaan kasar yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan. Menyapu, mencuci, membersihkan
"Sayang, apa kamu sudah siap?" teriak Esme dari dapur. Wanita itu tampak sibuk menata bekal untuk anak-anaknya dan juga untuk Sebastian tentunya. Karena tidak mendengar jawaban apa pun, Esme menjeda terlebih dahulu kegiatannya dan berjalan untuk masuk ke kamar putrinya. Dia takut kalau ada yang perlu dibutuhkan oleh putrinya. "Kamu perlu bantuan?" tanya Esme saat baru membuka pintu kamar putrinya. Gisel, gadis berusia sembilan tahun itu masih berdiri di depan cermin dengan seragam sekolahnya itu tersenyum manis. "Sebenarnya aku ingin bersiap sendiri tanpa bantuan Mama, tapi sepertinya aku tetap ingin dibantu. Lihat, terlihat masih belum rapi, kan?" tanya Gisel sambil melihat seragamnya yang kusut. Esme tersenyum, lalu mendekati putrinya itu. Dengan cekatan dia membantu merapikan seragam yang sudah dipakai Gisel agar terlihat lebih rapi. "Anak gadis Mama rupanya ingin belajar lebih mandiri, ya. Seragamnya sudah cukup rapi, Mama hanya perlu membenarkan sedikit saja," tuturnya. Gi
"Sayang!" Lena berseru saat keluar kamar menuju ruang tamu, membawa perutnya yang kini sudah sebesar semangka lalu duduk di samping Oliver. "Apa, Sayang?" tanya Oliver tanpa menghentikan gerakan tangannya menggulir tab. Kurang dari lima belas menit lagi dia harus berangkat ke kantor, tetapi sampai sekarang masih sibuk mengurusi materi meeting siang nanti. "Lihat ini dulu sebentar." Lena menyodorkan ponselnya hingga menutupi layar tab. Membuat si empunya menghela napas pasrah dan terpaksa menekan tombol home. Pada layar ponsel Lena, terpampang gambar sebuah taman bunga. Sebagian besar isinya diisi oleh bunga mawar, sedangkan yang lain Oliver tidak paham. Lelaki itu mengangkat sebelah alis sembari bertanya, "kamu mau ke situ? Memang itu di mana? Dalam negeri atau luar negeri? Nanti kita ke situ setelah kamu melahirkan dan anak kita cukup besar." "Aku maunya lihat sekarang!" Lena cemberut dan langsung membelakangi tubuh Oliver. "Iya, tapi ...." Belum sempat Oliver menyelesa
Pagi ini kediaman Oliver lebih ramai daripada biasanya. Banyak orang berlalu lalang untuk mempersiapkan acara tujuh bulanan Lena yang akan dilaksanakan sore nanti. Oliver mempersiapkan acara ini dengan sangat matang. Dia menyewa vendor terbaik untuk membantu terselenggaranya acara. Ruang keluarga yang luas disulap dengan dekorasi cantik yang penuh dengan bunga karena Lena menyukai itu. Oliver sengaja memesan semua bunga segar. Ada mawar, tulip, lili, ester hingga bunga matahari. Semua itu ditata dengan begitu apik. Membuat acara perayaan kehamilan Lena yang sudah memasuki usia tujuh bulan itu semakin terasa meriah. Di sisi kiri dan kanan ruangan juga ditata dengan meja yang sudah dihias. Nantinya meja tersebut akan diisi dengan aneka minuman, dessert serta hidangan utama. Tentu saja Oliver memesan semua hidangan terbaik dan memanjakan lidah. Awalnya Lena menginginkan acara digelar di halaman belakang tetapi Oliver tidak setuju mengingat cuaca sekarang yang tidak menentu.
Mobil Sebastian sudah berhenti di depan rumah Oliver, pria itu turun dari mobil dan menekan bel. Suasana rumah masih terlihat sepi, sepertinya dia datang terlalu pagi, tapi jika dia tidak datang pagi-pagi takutnya Matthew nanti merepotkan.Setelah menekan bel dua kali, akhirnya Oliver sendiri yang membukakan pintu. Dari wajahnya, Oliver baru bangun tidur."Oh, kamu rupanya. Aku kira siapa," ucap Oliver dengan suara serak lhas orang baru bangun tidur."Maaf aku datang pagi sekali. Sebenarnya aku ingin menjemput Matthew kemarin malam, tapi aku pulang terlalu larut. Jadi kupikir lebih baik aku menjemput pagi ini saja agar tidak mengganggu kalian." Sebastian merasa tidak enak.Oliver tersenyum. "Tidak masalah. Ayo masuk."Lena juga baru saja beranjak dari sofa, wanita itu menggulung rambutnya agar lebih rapi. "Kamu datang pagi sekali, Matthew masih di kamar dan sepertinya dia belum bangun," ucapnya."Aku akan menggendongnya saja, tid
Malam ini Matthew tidur di tengah-tengah Oliver dan Lena sebab Sebastian dan Esme mengatakan akan menghabiskan waktu berdua saja di hotel sebagai perayaan. Tentu saja keputusan itu disambut baik dengan mereka berdua karena Oliver sudah menganggap Matthew sebagai putranya sendiri. "Apa kau senang bisa tidur bersama kami?" tanya Oliver. "Tentu saja aku sangat senang sekali!" jawab Matthew antusias. "Baguslah. Kau memang anak pintar," puji Oliver sembari mengusap lembut kepala Matthew. Di sisi lain, Lena senyum-senyum sendiri sambil menatap ke arah suaminya dan Matthew secara bergantian. Sepertinya Lena sangat bahagia dengan situasi sekarang ini. Siapa sangka sikapnya tersebut ternyata disadari oleh Oliver. "Sepertinya ada yang senang juga di sini selain Matthew," celetuk Oliver. Lena sedikit terkejut ketika Oliver menegurnya. Namun, ia tak dapat menyangkal jika ia memang sangat senang.