"Apa yang ingin kau lakukan!?" pekik Lena mengumpat pada Oliver yang menggendongnya masuk ke dalam kamar lalu kemudian menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur.
"Aku? Suamimu ini ingin memberimu pelajaran, karena kamu terus mengutukku, Lena.” Tatapan intensnya yang dipenuhi api gairah itu benar-benar membuat Lena merasa sangat terintimidasi. Dia merasa seperti kelinci yang terpojok dalam terkaman singa.Dalam kepanikan itu, Lena tak tinggal diam. Dia berjingkat bangun dan segera berlari menuju pintu kamar untuk kabur dari terkaman Oliver yang mengerikan. Namun, secepat kilat pula Oliver meraih pinggang Lena dan dengan ringannya pria itu menggendong Lena di bahunya, sementara dirinya mengunci pintu kamar ini rapat-rapat."Lepaskan aku!" pekik Lena seraya terus menerus memberontak dan berulang kali melayangkan pukulan keras pada punggung Oliver.Tubuh Oliver yang mejulang tinggi dengan otot-otot bisep yang terlatih itu terasa begitu keras ketika Lena memukulnya, dan hal itu pula lah yang membuat tiap pukulan yang dilayangkan perempuan itu seperti tak ada pengaruhnya sama sekali untuk Oliver."Tak akan semudah itu," tukas Oliver sembari mengumbar seringai puas.Dengan langkah lebar, Oliver berjalan ke arah ranjang dan tanpa aba-aba dia kembali menghempaskan tubuh Lena ke atas ranjang lalu kemudian merangkak menindih tubuh perempuan yang sudah resmi jadi istrinya itu.Digenggamnya kedua tangan Lena agar perempuan itu tak lagi memberontak, dan tanpa memberikan kesempatan bagi Lena untuk mengutarakan protesnya, Oliver sudah lebih dulu membungkam bibir Lena dengan ciuman dalamnya yang kian menuntut lebih. Api gairah berkilat-kilat di kedua mata Oliver, ketika dia menatap Lena lekat-lekat dalam jarak yang sedekat itu. Dia mencumbu tanpa sekalipun menutup matanya. Sebegitu hebatnya Oliver memuja seorang Aralena, sampai dia tak ingin kehilangan barang sedikitpun momen untuk mengagumi keindahan perempuan yang dicintainya ini. Sementara Lena sudah sedari tadi menggelinjang, berusaha melepaskan diri dan sekuat tenaga menolak setiap hal tak senonoh yang Oliver lakukan padanya. Namun, tubuh besar pria itu semakin menindih tubuhnya dan menekan segala tenaga yang dia punya, sehingga dirinya tak bisa melakukan apapun selain menangis."Malam ini adalah malam pengantin kita, Aralena. Kenapa kau terus menolakku? Aku tak akan menyakitimu," ucap Oliver lembut. Dia sejenak melepaskan ciumannya karena Lena yang kehabisan napas, lalu ditatapnya perempuan itu dengan tatapan teduh.Berbanding terbalik dengan Lena yang terus saja menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. "Aku tak pernah bersedia jadi istrimu, Oliver, aku terpaksa!""Tapi aku tak pernah terpaksa menikahimu," ucap Oliver ringan. Tak sekalipun dia merasa terganggu dengan sikap kasar juga ucapan kejam Lena terhadapnya. Oliver tetap tenang.Ketika Lena masih berusaha mengatur napasnya, Oliver justru secepat kilat sudah bertelanjang dada. Lena terkesiap keras saat Oliver yang kembali merangkak ke atas tubuhnya."Jangan berani-beraninya melalukan hal itu padaku, Oliver kau-" Aleah tak sempat menyelesaikan ucapannya ketika kalimat-kalimat penuh kemarahan itu justru tertahan di batang lehernya karena Oliver kembali melumat bibirnya dengan sangat kasar dan kian menuntut, sementara tangan besarnya itu mulai membuka resleting gaun pengantin yang dikenakannya.Aralena menggeram marah, dia sekuat tenaga menggerakan kakinya untuk menendang Oliver agar menjauh dari tubuhnya, tapi sialnya semakin dia bergerak, maka semakin kuat juga Oliver menindihnya.Namun, kali ini Lena tak bisa hanya pasrah saja. Dalam keputusasaan itu, dia menggigit bibir Oliver sekuat tenaga tak peduli rasa amis darah yang terasa seperti besi itu menguar dalam mulutnya.Dan berhasil. Oliver menyudahi ciumannya dan menatap Lena dengan tatapan terkejut. Bibir pria itu benar-benar berdarah dan bengkak!"Kenapa kau melakukan itu?" tanya Oliver sambil menyeka darah yang terus mengalir dari bibirnya.Sementara Lena yang tak merasa bersalah pun semakin menatp marah kepada Oliver. "Karena kau menjijikan!" hardiknya"Aku?""Tentu saja! Kau pria tua yang mencuri calon istri keponakanannya sendiri dengan cara licik. Kau menjijikan, di mataku kau sangat menjijikan, Oliver!""Jangan bicara seperti itu padaku. Kau tak tahu apapun tentangku, Aralena.""Apa yang aku tak tahu? Aku tahu betul kalau kau hanya pria tua yang membebani orang tua Vincent. Aku pikir dosamu hanya sebagai seorang pria tua penganguran dan tukang mabuk tak tahu diri yang menumpang hidup pada keluarga kakaknya. Tapi ternyata kau lebih daripada itu, Sialan! Kau menjebak Vincent! Kau pasti mengancam dan memenjarakannya dengan sangat tak adil, makanya dia tak punya pilihan selain merelakanku denganmu!" maki Lena dengan menggebu-gebu.Dadanya naik turun karena ledakan amarah yang tak bisa dia kendalikan lagi. Bahkan, air mata saat itu mulai mengucur deras membasahi pipinya dan Lena pun mulai menangis terisak-isak diantara amarahnya itu."Kau hanya salah menilaiku, Aralena. Aku tak seperti yang kau pikirkan," Lagi Oliver menegur dengan nada suara tenangnya. Walaupun kini kekecewaan perlahan terlukis begitu jelas di wajahnya."Aku tak peduli!" murka Lena yang tak sekalipun merasa kalau dirinya sudah sangat melukai perasaan Oliver. "Kau sudah merusak mimpi terindah yang kupunya. Harusnya aku menikahi pria impianku, harusnya aku bahagia di hari pernikahanku, harusnya... aku jadi pengantin paling bahagia bersama Vincent, bukan kau. Kau merusak segalanya. Kau merusak hidupku. Kau bukan manusia, Oliver... kau iblis! Bahkan kau lebih hina daripada iblis! Kau manusia yang paling aku benci, kau sangat menjijikan!"Detik itu pula Oliver berjingkat bangun dan menjauhkan dirinya dari Lena. Letupan gairah yang sebelumnya berkilat di kedua mata Oliver, kini lenyap tanpa jejak. Kedua mata Oliver kini dikelilingi kabut hitam, dan perlahan menatap Lena dengan tatapan kosong. Kali ini Oliver benar-benar terluka oleh perkataan Aralena."Sepertinya kau sudah selesai mengatakan segala kalimat buruk yang kau punya," gumam Oliver dingin. Lantas tanpa kata dia beralih meraih kemejanya dan memakainya kembali. "Aku pikir kau adalah Aralena yang sama yang kutemui belasan tahun yang lalu. Ternyata aku salah. Aku sangat kecewa padamu, Aralena."Kali pertama dalam hidupnya, Vincent baru merasakan kalau melihat langit biru dengan awan putih yang bergerak ternyata begitu membahagiakan setelah ia bebas dari penjara. Dulu, sebelum hidupnya jungkir balik seperti sekarang, Vincent tidak pernah merasa bersyukur pada hal sekecil apa pun yang ia dapatkan. Fokus Vincent pada hal besar serta hal-hal yang belum ia dapatkan sehingga ia melupakan hal yang sudah ia punya dan raih selama ini. “Udara pagi ini terasa begitu segar. Tidak pernah kudengar kicauan burung semerdu ini.” Vincent berkata pada dirinya sendiri sembari tersenyum kecut. Hari-hari yang ia lewati sebelum hari ini adalah hari penyiksaan. Hidup di penjara bagaikan neraka. Hanya jeruji besi, atap, baju dan selimut tipis yang menemani Vincent selama di penjara. Hidup Vincent di penjara tidak pernah menyenangkan. Ia dipaksa oleh keadaan untuk menyesuaikan diri. Mengerjakan pekerjaan kasar yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan. Menyapu, mencuci, membersihkan
"Sayang, apa kamu sudah siap?" teriak Esme dari dapur. Wanita itu tampak sibuk menata bekal untuk anak-anaknya dan juga untuk Sebastian tentunya. Karena tidak mendengar jawaban apa pun, Esme menjeda terlebih dahulu kegiatannya dan berjalan untuk masuk ke kamar putrinya. Dia takut kalau ada yang perlu dibutuhkan oleh putrinya. "Kamu perlu bantuan?" tanya Esme saat baru membuka pintu kamar putrinya. Gisel, gadis berusia sembilan tahun itu masih berdiri di depan cermin dengan seragam sekolahnya itu tersenyum manis. "Sebenarnya aku ingin bersiap sendiri tanpa bantuan Mama, tapi sepertinya aku tetap ingin dibantu. Lihat, terlihat masih belum rapi, kan?" tanya Gisel sambil melihat seragamnya yang kusut. Esme tersenyum, lalu mendekati putrinya itu. Dengan cekatan dia membantu merapikan seragam yang sudah dipakai Gisel agar terlihat lebih rapi. "Anak gadis Mama rupanya ingin belajar lebih mandiri, ya. Seragamnya sudah cukup rapi, Mama hanya perlu membenarkan sedikit saja," tuturnya. Gi
"Sayang!" Lena berseru saat keluar kamar menuju ruang tamu, membawa perutnya yang kini sudah sebesar semangka lalu duduk di samping Oliver. "Apa, Sayang?" tanya Oliver tanpa menghentikan gerakan tangannya menggulir tab. Kurang dari lima belas menit lagi dia harus berangkat ke kantor, tetapi sampai sekarang masih sibuk mengurusi materi meeting siang nanti. "Lihat ini dulu sebentar." Lena menyodorkan ponselnya hingga menutupi layar tab. Membuat si empunya menghela napas pasrah dan terpaksa menekan tombol home. Pada layar ponsel Lena, terpampang gambar sebuah taman bunga. Sebagian besar isinya diisi oleh bunga mawar, sedangkan yang lain Oliver tidak paham. Lelaki itu mengangkat sebelah alis sembari bertanya, "kamu mau ke situ? Memang itu di mana? Dalam negeri atau luar negeri? Nanti kita ke situ setelah kamu melahirkan dan anak kita cukup besar." "Aku maunya lihat sekarang!" Lena cemberut dan langsung membelakangi tubuh Oliver. "Iya, tapi ...." Belum sempat Oliver menyelesa
Pagi ini kediaman Oliver lebih ramai daripada biasanya. Banyak orang berlalu lalang untuk mempersiapkan acara tujuh bulanan Lena yang akan dilaksanakan sore nanti. Oliver mempersiapkan acara ini dengan sangat matang. Dia menyewa vendor terbaik untuk membantu terselenggaranya acara. Ruang keluarga yang luas disulap dengan dekorasi cantik yang penuh dengan bunga karena Lena menyukai itu. Oliver sengaja memesan semua bunga segar. Ada mawar, tulip, lili, ester hingga bunga matahari. Semua itu ditata dengan begitu apik. Membuat acara perayaan kehamilan Lena yang sudah memasuki usia tujuh bulan itu semakin terasa meriah. Di sisi kiri dan kanan ruangan juga ditata dengan meja yang sudah dihias. Nantinya meja tersebut akan diisi dengan aneka minuman, dessert serta hidangan utama. Tentu saja Oliver memesan semua hidangan terbaik dan memanjakan lidah. Awalnya Lena menginginkan acara digelar di halaman belakang tetapi Oliver tidak setuju mengingat cuaca sekarang yang tidak menentu.
Mobil Sebastian sudah berhenti di depan rumah Oliver, pria itu turun dari mobil dan menekan bel. Suasana rumah masih terlihat sepi, sepertinya dia datang terlalu pagi, tapi jika dia tidak datang pagi-pagi takutnya Matthew nanti merepotkan.Setelah menekan bel dua kali, akhirnya Oliver sendiri yang membukakan pintu. Dari wajahnya, Oliver baru bangun tidur."Oh, kamu rupanya. Aku kira siapa," ucap Oliver dengan suara serak lhas orang baru bangun tidur."Maaf aku datang pagi sekali. Sebenarnya aku ingin menjemput Matthew kemarin malam, tapi aku pulang terlalu larut. Jadi kupikir lebih baik aku menjemput pagi ini saja agar tidak mengganggu kalian." Sebastian merasa tidak enak.Oliver tersenyum. "Tidak masalah. Ayo masuk."Lena juga baru saja beranjak dari sofa, wanita itu menggulung rambutnya agar lebih rapi. "Kamu datang pagi sekali, Matthew masih di kamar dan sepertinya dia belum bangun," ucapnya."Aku akan menggendongnya saja, tid
Malam ini Matthew tidur di tengah-tengah Oliver dan Lena sebab Sebastian dan Esme mengatakan akan menghabiskan waktu berdua saja di hotel sebagai perayaan. Tentu saja keputusan itu disambut baik dengan mereka berdua karena Oliver sudah menganggap Matthew sebagai putranya sendiri. "Apa kau senang bisa tidur bersama kami?" tanya Oliver. "Tentu saja aku sangat senang sekali!" jawab Matthew antusias. "Baguslah. Kau memang anak pintar," puji Oliver sembari mengusap lembut kepala Matthew. Di sisi lain, Lena senyum-senyum sendiri sambil menatap ke arah suaminya dan Matthew secara bergantian. Sepertinya Lena sangat bahagia dengan situasi sekarang ini. Siapa sangka sikapnya tersebut ternyata disadari oleh Oliver. "Sepertinya ada yang senang juga di sini selain Matthew," celetuk Oliver. Lena sedikit terkejut ketika Oliver menegurnya. Namun, ia tak dapat menyangkal jika ia memang sangat senang.