Share

Bab 02

last update Last Updated: 2024-08-20 19:50:13

Saat pintu rumahnya terbuka, ia malah dikejutkan oleh sosok yang cukup— cantik.

"Kamu ini siapa? Sales ya? Maaf ya, aku lagi nggak pengen beli barang apapun."

Perempuan cantik berkulit putih itu meremas tas ransel besar yang ia pegang. "Saya bukan sales Pak. Saya Nilam, ART yang dikirim penyalur ke sini."

Jean kaget.

ART? Mustahil.

Mana ada seorang asisten rumah tangga, berpenampilan cantik begini? Kulitnya putih, wajahnya ayu, rambut hitam lurus, dan bertubuh sintal. Belum lagi dress selutut yang dikenakan oleh perempuan muda itu, seolah sedang memamerkan kaki jenjangnya yang indah.

"Kamu bercanda ya? Dibandingkan jadi ART, penampilan kamu lebih cocok buat jadi model tau," cibir Jean tak percaya.

"Tapi, saya beneran ART yang dikirim ke sini Pak. Kalau nggak percaya, Bapak bisa telfon langsung ke penyalur kok."

Jean menelusuri penampilan perempuan di depannya. "Siapa nama kamu tadi?"

"Ni— Nilam Pak."

"Ya udah bentar."

Jean masuk ke dalam. Mencoba menghubungi nomor penyalur tenaga kerja. Memastikan, apa perempuan di depan sana, benar-benar orang yang mereka kirim untuk menjadi asisten rumah tangga di sini.

*

Nilam berdiri diam di dekat pintu masuk. Gadis 20 tahun itu menunggu dengan sabar calon majikannya tadi.

Sekitar lima menit ia menunggu, sampai akhirnya Jean kembali keluar dan mendekatinya.

"Gimana Pak?" tanya Nilam, dengan suaranya yang terdengar lembut dan juga sopan.

"Ternyata kamu beneran orang yang mereka kirim," balas Jean agak lesu.

Bukannya apa-apa, menurutnya terasa aneh jika ada orang secantik Nilam yang mau bekerja kasar seperti ini.

"Benarkan. Saya itu nggak bohong Pak." Gadis itu tersenyum.

"Ya udah, masuk! Saya harus interview kamu dulu!"

Nilam menganggukkan kepalanya, sembari mengikuti langkah kaki sang majikan yang lebih dulu berjalan masuk ke dalam. Keduanya duduk berhadapan di area ruang tamu, dan mulai berbincang.

"Jadi nama kamu Nilam ya?"

"Iya Pak."

"Umur kamu berapa?"

"Tahun 21, Pak."

'Wah, ternyata beneran masih muda banget?' pikir Jean. "Pernah jadi ART sebelumnya?"

"Belum Pak," jawab Nilam jujur. "Dulu setelah lulus SMA saya langsung kerja di pabrik 2 tahun lalu karena ada PHK, saya milih untuk ikut penyalur."

"Berapa lama kamu di sana?"

"Kurang lebih enam bulan Pak."

Pria berkulit sawo matang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Gitu ya. Tapi ngerti kan sama pekerjaan rumah? Soalnya istri saya itu agak bawel."

"Oh, kalau itu Bapak tenang aja. Saya jago kok kalau bersih-bersih. Masak juga Pak. Kalau nggak, mana mungkin saya di kirim ke sini."

"Oke. Bagus deh kalau gitu."

Nilam tersenyum. Begitu manis hingga membuat Jean agak salah tingkah. "Oh iya. Masalah gaji, kamu bicarakan aja ya ama istri saya!"

"Baik Pak." Perempuan muda itu menganggukkan kepalanya dengan mimik wajah malu-malu.

"Ya udah, sekarang saya tunjukin di mana kamar kamu!" Jean berdiri dan mengajak Nilam untuk melihat kamarnya.

Mereka berhenti di sebuah ruangan 3*3 meter. Cukup besar untuk ukuran sebagai seorang ART.

"Bagus banget Pak kamarnya?" Nilam berdecak kagum.

"Masak sih? Padahal biasa aja."

Nilam menggaruk belakang kepalanya. Kamar ini cukup mewah untuk ukuran dia yang hanya orang dari kalangan menengah ke bawah. Meskipun cuma diisi singel bed, nakas di bagian kanan dan kiri ranjang, serta lemari pakaian saja. Ah, bahkan di sini ada televisi.

"Udah sana istirahat! Buat jadwal apa aja yang harus kamu kerjakan nanti urus aja ama Ibu."

"Trus saya habis ini harus ngapain Pak? Nggak mungkin dong saya istirahat sampai malam?"

Jean terlihat berpikir. "Ehm, kalau gitu kamu masak aja buat makannya Qila."

"Qila?"

"Qila itu anak semata wayang kami. Kalau jam segini dia biasanya masih sekolah."

"Oh." Perempuan cantik itu mengangguk. "Baik Pak, saya mengerti."

Begitu Jean pergi dari dalam kamarnya, Nilam segera menata bajunya dari dalam ransel ke lemari pakaian. Bajunya tidak banyak, namun rata-rata terdiri dari daster selutut, tank top, atau celana pendek. Maklum, udara di Jakarta begitu panas di malam hari. Jadi dia lebih nyaman dengan pakaian seperti ini.

Sedangkan untuk bekerja, ada beberapa potong seragam dari penyalur yang bisa ia kenakan. Setidaknya dia tidak akan bingung kalau harus mencari baju apa saat bekerja.

Selesai menata semua pakaiannya, Nilam langsung keluar dari kamarnya. Lalu memasak makan siang untuk anak Sang majikan.

Namun saat berada di depan kulkas, ia malah dibuat bingung dengan menu apa yang harus dia buat.

"Ngapain kamu?"

"Eh?" Saat mendengar teguran Sang majikan, Nilam pun langsung berdiri dan menatap lurus ke arah pria 30 tahunan tersebut.

"Ini Pak, saya kan mau buat makan siang buat Mbak Qila. Tapi saya bingung harus masak apa."

Jean yang tadinya akan membuat kopi, terlihat mengerutkan keningnya. Tampak berpikir sejenak sebelum berujar, "Masakin yang simpel aja. Itu ada ayam ukep, kamu goreng aja. Sama buatin sayur sop. Itu menu kesukaannya Qila."

"Bapak sendiri?"

Jean menggeleng. "Kalau aku sih nggak biasa makan siang. Cukup ngopi aja," terangnya sambil memamerkan cangkir kopi yang hendak ia gunakan.

"Oh. Kalau gitu, gimana kalau saya yang buatkan kopi?" tanya perempuan berkuncir satu tersebut. Berusaha menawarkan diri.

Lagi-lagi, pria bertubuh atletis itu tidak langsung memberikan jawaban. Sampai akhirnya...

"Boleh deh. Takarannya dua sendok kopi dan satu sendok gula."

Nilam mengulum senyum yang menawan. Dan hal itu membuat Jean sedikit terpanah. "Anterin ke ruang kerja saya ya. Saya, ada di sana."

"Baik Pak. Tunggu sebentar."

*

Nilam begitu percaya diri saat mengaduk kopi untuk sang majikan. Orang terdekatnya bilang, kopi buatannya yang paling enak dan pas.

Jadi saat ia memberikan cangkir berisi cairan warna hitam itu pada Jean, ia tampak begitu bangga untuk menunggu pujian sang majikan.

"Silahkan Pak, kopinya." Nilam menyodorkan cangkir kopi buatannya setelah Jean mengizinkan ia masuk ke dalam ruang kerjanya.

"Oh. Makasih ya." Pria itu tersenyum kecil. Setelah berbulan-bulan, akhirnya ada yang membuatkan kopi khusus untuk dirinya.

Jean langsung menyeruput kopi itu dengan hati-hati karena masih panas. Menyesap rasa manis dan pahit yang bercampur di dalam mulutnya. Ia bahkan bisa mencium aroma yang berbeda dari uap yang mengepul dari cangkir bermotif batik tersebut.

"Gimana Pak? Udah cocok sama selera Bapak?" Nilam bertanya dengan hati-hati. Karena ini hari pertamanya kerja, jadi dia harus memberikan pelayanan terbaik untuk majikan yang akan membayarnya.

"Kok kopinya beda?" Kening Jean berkerut heran.

"Be— beda gimana Pak?" Nilam balik bertanya. Wajah serius pria berkulit Tan itu malah membuatnya panik. 'Apa dia salah memberikan takaran? Atau kopinya terlalu pahit ya?'

"Rasa kopinya..."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (9)
goodnovel comment avatar
Farida Irban 1
ceritanya bikin penasaran
goodnovel comment avatar
Farida Irban 1
lanjut penasaran
goodnovel comment avatar
N'choiriyah
menarik jg ceritay, yg awal2 masih jaim" kek biasa saja
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Terjerat Gairah Pembantu Cantik   [S2] Terjebak Macet 21+

    Setelah mampir ke warung sate favorit mereka—Jean dan Nilam pun pulang dengan perut kenyang. Perjalanan pulang dimulai dengan celotehan Nilam mengenai rasa bumbu sate yang gak pernah berubah.Namun, kebahagiaan itu mulai diuji ketika mobil mereka berhenti total di jalan utama. Lampu merah? Bukan. Kecelakaan? Nggak juga. Tapi lalu lintas seperti membeku tanpa alasan jelas alias MACET tanpa sebab."Ini kenapa sih? Kenapa gerak sama sekali dari tadi?" keluh Nilam sambil menyandarkan kepala ke jok.Jean melirik kaca spion. “Mungkin ada penutupan jalan. Atau ada Presiden yang lewat…” candanya.“Nyebelin." Nilam melipat tangannya di dada. "Aku udah capek banget, ini punggung udah gak bisa diajak kompromi. Pengen rebahan," keluh Nilam.Jean tertawa kecil. "Sabar, Sayang... Namanya juga Jakarta."Nilam hanya mendengus, tangan memainkan jendela mobil naik-turun, lalu mengambil ponselnya, scroll sebentar, lalu bosan lagi. “Aku tuh benci banget ama kemacetan kayak gini. Buang-buang waktu."Jean

  • Terjerat Gairah Pembantu Cantik   [S2] Patner Terbaik

    "Aku suapin ya? Ayo aaa..."Jean memundurkan kepalanya. Bukannya mau nolak. Tapi, Nilam sendiri kan belum makan. "Kamu gak makan juga?""Aku makan habis kamu," balas perencanaan itu dengan alis berkerut. Agak dongkol karena Jean gak langsung buka mulut.Jean terkekeh kecil melihat ulah istrinya. “Aku berasa kayak bocah."“Bukan bocah Pak Jean sayang,” sahut Nilam sambil menyendokkan potongan ayam dan nasi ke arah mulut Jean. "Ini namanya win-win solution. Otak kerja, mulut pun kerja. Ya kan?”Menghela nafas, pria itu pun membalas, "Oke deh. Terserah kamu aja sayangku." Jean membuka mulutnya dengan patuh. “Enak,” komentarnya sambil mengangguk. “Ayamnya empuk banget.”“Ya iyalah, masak istri hebat kamu pilih makanan sembarangan?” Nilam tersenyum bangga.Di sela-sela suapan dan suara keyboard yang masih sesekali diketik Jean, suasana jadi terasa hangat. Bukan hanya karena makanan, tapi karena kebersamaan itu sendiri—meski sebentar, tapi penuh makna.“Omong-omong, Qila sekarang lagi apa y

  • Terjerat Gairah Pembantu Cantik   [S2] Tega Gak Tega

    Udara masih sangat sejuk saat keluarga kecil itu bersiap. Matahari baru saja muncul dari balik bukit, menyebarkan cahaya hangat ke halaman rumah Bu Mala. Burung-burung terdengar bersahut-sahutan, seolah ikut menyemangati hari pertama Qila di sekolah barunya.Qila mengenakan seragam barunya—kemeja putih bersih dan rok kotak-kotak merah yang masih terlihat kaku. Rambutnya dikepang rapi dua sisi dan dihias jepit rambut pink, dan sepasang sepatu barunya berkilau di bawah sinar pagi.Di punggungnya, tas biru muda yang kemarin ia pilih dengan semangat tampak pas melekat, siap menemani petualangan barunya.“Deg-degan nggak, Sayang?” tanya Jean sambil membetulkan kerah baju Qila.“Sedikit,” jawab Qila jujur, “Tapi aku juga gak sabar pengen cepet-cepet ketemu temen baru!”Jean tersenyum, lalu mencium kening putrinya. “Itu semangat yang bagus."Mereka berangkat bersama dengan mobil, Bu Mala ikut mengantar. Di sepanjang perjalanan, Qila sibuk membolak-balik jadwal sekolahnya sambil sesekali bert

  • Terjerat Gairah Pembantu Cantik   [S2] Persiapan Ke Bandung

    Jean tersenyum kecil, lalu mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Qila. Ia mengangkat satu jari, seolah menyampaikan aturan penting. “Papa setuju kamu ikut program itu, Qila… asal— kamu pilih salah satu dari dua syarat ini,” ucapnya dengan nada tegas tapi penuh kasih. Qila menatap ayahnya dengan mata membulat penasaran, menanti lanjutannya dengan penuh semangat. “Satu,” Jean mengangkat jari telunjuknya, “kamu harus dijemput dan diantar setiap hari oleh Papa, atau kalau Papa nggak bisa, Pak Surya yang antar." Qila sempat mengangguk kecil, mencoba membayangkan hari-harinya di tempat baru dengan Papa atau Pak Surya menjemputnya. Tapi sebelum dia sempat menjawab, Jean mengangkat jari kedua. “Dua... kalau kamu harus nginep di sana, maka Mama atau Oma akan ikut tinggal nemenin kamu di sana selama program itu berlangsung. Minimal sampai kamu betul-betul nyaman.” Wajah Qila langsung berbinar. “Beneran, Pa?” serunya. "Jadi Papa ngijinin Qila pergi dengan syarat itu?" Jean menganggu

  • Terjerat Gairah Pembantu Cantik   [S2] Kepikiran Qila

    Setelah Qila tertidur lelap, ditemani boneka kelinci pink dan selimut bergambar karakter kartun kesayangannya, Nilam menutup pintu kamar pelan-pelan. Ia berjalan menuju kamar utama, namun tak menemukan Jean di dalam. Lampu tidur menyala temaram, menambah kesan sepi di ruangan itu. Suara angin malam terdengar samar dari arah balkon. Nilam melangkah ke sana, dan benar saja—Jean sedang berdiri membelakangi pintu, kedua tangannya bersandar di pagar balkon, menatap langit yang malam itu bertabur bintang. Tanpa berkata-kata, Nilam mendekat lalu memeluk punggung suaminya dengan lembut. Jean sedikit tersentak, lalu tersenyum tipis dan menyentuh tangan Nilam yang melingkar di perutnya. “Ngapain ngelamun di sini?” bisik Nilam, suaranya pelan, nyaris seperti angin. "Udaranya dingin banget loh." Jean diam sebentar sebelum menjawab, “Aku kepikiran soal Qila…” Nilam memiringkan wajahnya, menempelkan pipi ke punggung Jean. “Masih soal program pertukaran pelajar itu?” Jean mengangguk pelan. “Iy

  • Terjerat Gairah Pembantu Cantik   [S2] Kumpul Bertiga

    Sore telah berganti malam ketika Nilam, Jean dan Qila berkumpul di apartemen baru mereka. Apartemen yang terletak di pusat kota itu terasa hangat dengan aroma masakan yang khas: semur ayam, sayur asem, dan sambal goreng kentang yang selalu jadi favorit Nilam sejak kecil.Di ruang makan, Qila sudah duduk manis sambil mengaduk-aduk nasi di piringnya. Rambutnya di kepang dua dan diberi jepit lucu berbentuk apel. Terdapat boneka kelinci pink yang mengisi kursi kosong di sebelahnya.“Qila sayang, kamu mau tambah?" tanya Nilam disertai dengan senyum lembutnya.“Enggak deh Ma. Udah kenyang.""Kamu sayang?" Pandangan Nilam bergulir ke arah Jean yang juga makan dengan begitu lahap di hadapan."Boleh deh. Dikit aja tapi."Dengan segera, Nilam bangkit dari duduknya mengambilkan nasi dan lauk sesuai permintaan sang suami. "Segini cukup?""Cukup sayang. Makasih," balas Jean seraya mengambil alih piring di tangan istrinya.Mereka kembali makan bersama, obrolan ringan mengalir di sela makan malam ya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status