Saat pintu rumahnya terbuka, ia malah dikejutkan oleh sosok yang cukup— cantik.
"Kamu ini siapa? Sales ya? Maaf ya, aku lagi nggak pengen beli barang apapun." Perempuan cantik berkulit putih itu meremas tas ransel besar yang ia pegang. "Saya bukan sales Pak. Saya Nilam, ART yang dikirim penyalur ke sini." Jean kaget. ART? Mustahil. Mana ada seorang asisten rumah tangga, berpenampilan cantik begini? Kulitnya putih, wajahnya ayu, rambut hitam lurus, dan bertubuh sintal. Belum lagi dress selutut yang dikenakan oleh perempuan muda itu, seolah sedang memamerkan kaki jenjangnya yang indah. "Kamu bercanda ya? Dibandingkan jadi ART, penampilan kamu lebih cocok buat jadi model tau," cibir Jean tak percaya. "Tapi, saya beneran ART yang dikirim ke sini Pak. Kalau nggak percaya, Bapak bisa telfon langsung ke penyalur kok." Jean menelusuri penampilan perempuan di depannya. "Siapa nama kamu tadi?" "Ni— Nilam Pak." "Ya udah bentar." Jean masuk ke dalam. Mencoba menghubungi nomor penyalur tenaga kerja. Memastikan, apa perempuan di depan sana, benar-benar orang yang mereka kirim untuk menjadi asisten rumah tangga di sini. * Nilam berdiri diam di dekat pintu masuk. Gadis 20 tahun itu menunggu dengan sabar calon majikannya tadi. Sekitar lima menit ia menunggu, sampai akhirnya Jean kembali keluar dan mendekatinya. "Gimana Pak?" tanya Nilam, dengan suaranya yang terdengar lembut dan juga sopan. "Ternyata kamu beneran orang yang mereka kirim," balas Jean agak lesu. Bukannya apa-apa, menurutnya terasa aneh jika ada orang secantik Nilam yang mau bekerja kasar seperti ini. "Benarkan. Saya itu nggak bohong Pak." Gadis itu tersenyum. "Ya udah, masuk! Saya harus interview kamu dulu!" Nilam menganggukkan kepalanya, sembari mengikuti langkah kaki sang majikan yang lebih dulu berjalan masuk ke dalam. Keduanya duduk berhadapan di area ruang tamu, dan mulai berbincang. "Jadi nama kamu Nilam ya?" "Iya Pak." "Umur kamu berapa?" "Tahun 21, Pak." 'Wah, ternyata beneran masih muda banget?' pikir Jean. "Pernah jadi ART sebelumnya?" "Belum Pak," jawab Nilam jujur. "Dulu setelah lulus SMA saya langsung kerja di pabrik 2 tahun lalu karena ada PHK, saya milih untuk ikut penyalur." "Berapa lama kamu di sana?" "Kurang lebih enam bulan Pak." Pria berkulit sawo matang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Gitu ya. Tapi ngerti kan sama pekerjaan rumah? Soalnya istri saya itu agak bawel." "Oh, kalau itu Bapak tenang aja. Saya jago kok kalau bersih-bersih. Masak juga Pak. Kalau nggak, mana mungkin saya di kirim ke sini." "Oke. Bagus deh kalau gitu." Nilam tersenyum. Begitu manis hingga membuat Jean agak salah tingkah. "Oh iya. Masalah gaji, kamu bicarakan aja ya ama istri saya!" "Baik Pak." Perempuan muda itu menganggukkan kepalanya dengan mimik wajah malu-malu. "Ya udah, sekarang saya tunjukin di mana kamar kamu!" Jean berdiri dan mengajak Nilam untuk melihat kamarnya. Mereka berhenti di sebuah ruangan 3*3 meter. Cukup besar untuk ukuran sebagai seorang ART. "Bagus banget Pak kamarnya?" Nilam berdecak kagum. "Masak sih? Padahal biasa aja." Nilam menggaruk belakang kepalanya. Kamar ini cukup mewah untuk ukuran dia yang hanya orang dari kalangan menengah ke bawah. Meskipun cuma diisi singel bed, nakas di bagian kanan dan kiri ranjang, serta lemari pakaian saja. Ah, bahkan di sini ada televisi. "Udah sana istirahat! Buat jadwal apa aja yang harus kamu kerjakan nanti urus aja ama Ibu." "Trus saya habis ini harus ngapain Pak? Nggak mungkin dong saya istirahat sampai malam?" Jean terlihat berpikir. "Ehm, kalau gitu kamu masak aja buat makannya Qila." "Qila?" "Qila itu anak semata wayang kami. Kalau jam segini dia biasanya masih sekolah." "Oh." Perempuan cantik itu mengangguk. "Baik Pak, saya mengerti." Begitu Jean pergi dari dalam kamarnya, Nilam segera menata bajunya dari dalam ransel ke lemari pakaian. Bajunya tidak banyak, namun rata-rata terdiri dari daster selutut, tank top, atau celana pendek. Maklum, udara di Jakarta begitu panas di malam hari. Jadi dia lebih nyaman dengan pakaian seperti ini. Sedangkan untuk bekerja, ada beberapa potong seragam dari penyalur yang bisa ia kenakan. Setidaknya dia tidak akan bingung kalau harus mencari baju apa saat bekerja. Selesai menata semua pakaiannya, Nilam langsung keluar dari kamarnya. Lalu memasak makan siang untuk anak Sang majikan. Namun saat berada di depan kulkas, ia malah dibuat bingung dengan menu apa yang harus dia buat. "Ngapain kamu?" "Eh?" Saat mendengar teguran Sang majikan, Nilam pun langsung berdiri dan menatap lurus ke arah pria 30 tahunan tersebut. "Ini Pak, saya kan mau buat makan siang buat Mbak Qila. Tapi saya bingung harus masak apa." Jean yang tadinya akan membuat kopi, terlihat mengerutkan keningnya. Tampak berpikir sejenak sebelum berujar, "Masakin yang simpel aja. Itu ada ayam ukep, kamu goreng aja. Sama buatin sayur sop. Itu menu kesukaannya Qila." "Bapak sendiri?" Jean menggeleng. "Kalau aku sih nggak biasa makan siang. Cukup ngopi aja," terangnya sambil memamerkan cangkir kopi yang hendak ia gunakan. "Oh. Kalau gitu, gimana kalau saya yang buatkan kopi?" tanya perempuan berkuncir satu tersebut. Berusaha menawarkan diri. Lagi-lagi, pria bertubuh atletis itu tidak langsung memberikan jawaban. Sampai akhirnya... "Boleh deh. Takarannya dua sendok kopi dan satu sendok gula." Nilam mengulum senyum yang menawan. Dan hal itu membuat Jean sedikit terpanah. "Anterin ke ruang kerja saya ya. Saya, ada di sana." "Baik Pak. Tunggu sebentar." * Nilam begitu percaya diri saat mengaduk kopi untuk sang majikan. Orang terdekatnya bilang, kopi buatannya yang paling enak dan pas. Jadi saat ia memberikan cangkir berisi cairan warna hitam itu pada Jean, ia tampak begitu bangga untuk menunggu pujian sang majikan. "Silahkan Pak, kopinya." Nilam menyodorkan cangkir kopi buatannya setelah Jean mengizinkan ia masuk ke dalam ruang kerjanya. "Oh. Makasih ya." Pria itu tersenyum kecil. Setelah berbulan-bulan, akhirnya ada yang membuatkan kopi khusus untuk dirinya. Jean langsung menyeruput kopi itu dengan hati-hati karena masih panas. Menyesap rasa manis dan pahit yang bercampur di dalam mulutnya. Ia bahkan bisa mencium aroma yang berbeda dari uap yang mengepul dari cangkir bermotif batik tersebut. "Gimana Pak? Udah cocok sama selera Bapak?" Nilam bertanya dengan hati-hati. Karena ini hari pertamanya kerja, jadi dia harus memberikan pelayanan terbaik untuk majikan yang akan membayarnya. "Kok kopinya beda?" Kening Jean berkerut heran. "Be— beda gimana Pak?" Nilam balik bertanya. Wajah serius pria berkulit Tan itu malah membuatnya panik. 'Apa dia salah memberikan takaran? Atau kopinya terlalu pahit ya?' "Rasa kopinya..."“Minum dulu, Mas Jean.” Jean menoleh. Elisha berdiri di sampingnya sambil menyodorkan gelas berisi jus jeruk dingin. Gaun putih yang ia kenakan menjuntai anggun, rambutnya masih tertata rapi meski wajahnya mulai terlihat lelah. Tapi senyumnya—senyum itu masih sama tulusnya seperti dulu. Jean mengambil gelas itu dan mengangguk singkat. “Makasih, Sha.” Elisha ikut menatap ke arah Qila dan Nilam di kejauhan. "Qila bahagia banget kayaknya." “Jelas dia bahagia,” jawab Jean pelan, menyesap minumannya. “Sebab, dia punya dua rumah yang penuh cinta sekarang.” Elisha mengangguk pelan. “Itu juga karena kamu.” Jean menoleh, sedikit heran. Elisha menarik napas sebelum melanjutkan, suaranya jujur dan tenang, “Meskipun dulu kita gak berhasil sebagai suami istri, kamu tetap ada buat aku. Gak semua orang bisa lakuin itu setelah berpisah. Bahkan setelah apa yang aku lakukan dulu.” Jean menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangan kembali ke arah putrinya. Ia tersenyum kecil. “Kita pernah sama
Di depan ballroom hotel yang elegan, lampu-lampu kristal berkilau menyambut setiap tamu yang datang. Karpet merah terbentang hingga ke dalam ruangan, sementara musik lembut mengalun dari arah panggung kecil tempat band memainkan lagu romantis. Aroma bunga segar menyebar di udara—kombinasi mawar putih dan lily yang tertata indah di setiap sudut ruangan.Jean memarkir mobil, lalu turun dan segera membuka pintu untuk Nilam. Ia menggandeng tangan istrinya dengan hati-hati, lalu menurunkan Qila dari jok belakang. Anak kecil itu langsung melompat kecil kegirangan begitu melihat pintu besar hotel yang terbuka lebar.“Waaah… rame ya, Pa!” seru Qila dengan mata berbinar.Jean mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Sayang. Hari ini Mama kan nikah sama Om Dion.”Nilam melirik Jean pelan. “Aku masih gak percaya sih Mba Elisha akhirnya menikah. Dulu dia sempat cerita takut gak akan pernah nemu orang yang bisa terima masa lalunya.”Jean mengangguk. “Dan lihat dia sekarang. Berdiri di panggung sama oran
Setahun kemudian…Di sebuah apartemen, suara gerutuan kecil terdengar dari kamar utama. Dan itu berasal dari si pemilik kamar. Siapa lagi kalau bukan Nilam.Wanita itu berdiri di depan cermin besar dengan ekspresi kesal. Lemari sudah setengah terbuka, isinya berantakan. Beberapa baju tergeletak di ranjang jelas ia sudah mencoba beberapa tapi tak ada yang cocok di matanya.“Kenapa semua baju kelihatan aneh sih di badan aku?” gerutunya pelan, menatap pantulan dirinya sendiri dengan frustasi. Tangannya memegang perutnya yang mulai membuncit—kehamilannya baru masuk bulan kelima, tapi Nilam merasa dirinya sudah seperti bola berjalan.Jean, yang dari tadi sibuk mengancingkan kemeja, akhirnya menoleh. Ia tersenyum kecil melihat istrinya yang gelisah sendiri. Tanpa banyak bicara, Jean berjalan pelan, memeluk Nilam dari belakang dengan kedua tangannya yang hangat.“Kenapa cemberut?” bisiknya di telinga Nilam.Nilam mendesah panjang, menyandarkan kepala ke dada Jean. “Baju aku gak ada yang coco
Begitu Dion membuka pintu, Elisha langsung mencium aroma khas rumah tua. Hangat… tapi asing. Ia nyaris menelan ludah ketika matanya menangkap sosok wanita paruh baya yang berdiri tegak di ambang ruang tamu. Usianya mungkin sekitar enam puluh, rambutnya disanggul rapi, dan sorot matanya… tajam. Tegas. Seperti semua desas-desus yang pernah Elisha dengar.“Selamat siang, Nek,” sapa Dion dengan nada ringan, seolah tak merasa terintimidasi sama sekali.“Hm,” jawab si Nenek, sekilas menatap cucunya lalu langsung mengarahkan pandangan dinginnya pada Elisha.Sejenak, Elisha terpaku.“Ini Elisha,” Dion memperkenalkan dengan santai. “Orang yang aku ceritain kemarin.”Nenek Dion tidak langsung bicara. Tatapannya menyapu Elisha dari atas sampai bawah, menilai tanpa kata. Elisha nyaris merasa ingin kabur dari rumah itu.“Masuk,” ucap si Nenek akhirnya, nada suaranya datar. “Ayo duduk!"Elisha otomatis mengikuti Dion melangkah masuk. Mereka duduk di sofa ruang tamu. Elisha berusaha menyembunyikan t
Dion menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya sendiri.“Boleh aku jujur malam ini?”Elisha diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan.“Aku serius sama kamu, El.” Suara Dion terdengar tenang, tapi sorot matanya jelas. “Aku suka kamu. Udah lama. Sejak kita ketemu lagi di rumah sakit… perasaan itu makin jelas.”Elisha tertegun. Ia tidak langsung menjawab.Dion melanjutkan, nadanya pelan namun penuh keyakinan. “Aku gak minta jawaban sekarang. Tapi aku gak mau pura-pura lagi.”Elisha menggigit bibirnya. Lama. Tangannya mengepal di atas meja, napasnya terdengar berat.“Dion… aku…” suaranya nyaris berbisik. “Aku gak yakin.”“Gak yakin soal aku?” tanya Dion lembut.Elisha menggeleng cepat. “Bukan soal kamu. Kamu terlalu baik.”Dion mengernyit.“Aku yang merasa gak pantas.” Suara Elisha bergetar. “Aku ini mantan napi, seorang janda, punya anak. Masa laluku terlalu kelam. Gimana sama pendapat orang-orang? Jujur, aku merasa takut."“Kalau cuma karena masa lalu, kamu g
Begitu sampai di sebuah kafe kecil dekat rumah sakit, Dion membukakan pintu untuk Elisha dengan sopan. Mereka memilih duduk di pojokan, sedikit terpisah dari pengunjung lain. Suasana cukup tenang, ditemani alunan musik jazz ringan yang membuat udara pagi terasa lebih santai.Elisha masih terlihat kaku. Sesekali ia mengusap telapak tangan ke celana jeans-nya sendiri, mencoba menyembunyikan kegugupan yang sebenarnya tidak perlu.Tak lama, setelah mereka memesan minuman, Dion langsung masuk ke topik tanpa basa-basi.“Aku ajak kamu ketemuan bukan buat ngobrolin masa lalu,” katanya sambil menatap Elisha langsung. “Bukan juga buat… urusan pribadi.”Elisha mengangguk cepat. “Iya. Aku paham kok.”Dion tersenyum tipis. “Tapi ada satu hal yang aku ingat soal kamu, El.”Elisha mengerutkan kening. “Apa?”“Kamu kan jago masak.”Elisha tertegun. “…hah?”“Aku masih inget tiap ada acara kecil di lapas, kamu yang paling sibuk di dapur. Kadang suka ngasih aku nasi goreng atau cemilan waktu aku keliling