"Mas, besok sore aku pulang agak telat ya. Soalnya ada tamu penting dari kantor. Jadi aku harus nemenin Bos buat jamu dia."
Pria bernama Jean itu tak mengatakan apapun. Dia sibuk menatap layar laptopnya dalam diam. Toh dia juga bingung harus menjawab apa. Sebab ini, bukan pertama kalinya Sang istri ijin untuk pulang terlambat. Bahkan, dia tak ingat ini permohonannya yang ke berapa. Elisha yang sibuk mengoleskan Skin Care Routinenya langsung menengok ke arah sang suami yang duduk bersandar di kepala ranjang. Diamnya pria 30 tahun itu tentu saja membuatnya resah. "Mas!" Ia menatap pria itu, "Kok kamu diem aja? Kamu ngasih ijin kan?" tanya perempuan dengan gaun tidur berbahan satin itu sedikit penekanan. Jean hanya mendengus. "Terus aku harus jawab apa? Ngelarang juga mustahil kan? Toh kamu nggak akan pernah nurut." Jawaban ketus suaminya membuat Elisha jengah. Jika sudah seperti ini pasti ujung-ujungnya hanyalah pertengkaran saja. "Ya gimana pun juga, aku kan butuh restu kamu Mas. Biar aku kerjanya nggak kepikiran. Gitu lho." Elisha merapikan tutup skincare miliknya dan berjalan mendekati Jean Sang suami. "Kan aku kerja juga demi keluarga kita." Jean masih memfokuskan kedua matanya ke arah monitor. Pura-pura tidak melihat gerakan istrinya. Kata-kata Elisha seolah mengingatkan dirinya dengan kebodohannya beberapa bulan yang lalu. Saat ia meminta istrinya itu untuk bekerja, membantu perekonomian keluarga mereka. Dan sekarang, ia seperti dapat karma. Sebab karir istrinya bisa melejit begitu cepat, lengkap dengan gaji yang cukup besar. Sementara ia? Hanyalah penulis lepas yang entah kapan bukunya bisa meledak di pasaran. Ironis bukan? "Iya-iya. Makasih buat kerja keras kamu," balas Jean tak ikhlas. "Ayo dong Mas! Jangan gini..." Ia naik ke atas ranjang. Lalu memeluk pinggul suaminya. "Kita kan harus—" "Iya, Sayang. Iya! Aku dukung semua pekerjaan kamu kok." Jean memilih untuk mengalah. Dan itu terjadi untuk kesekian kalinya. Dia sedang tidak dalam mood untuk berdebat dengan wanita yang sudah hampir 8 tahun ini ia nikahi. "Makasih ya Mas. Aku cinta banget ama kamu," ucap Elisha penuh syukur. Tidak lupa ia memberikan kecupan singkat di pipi Sang suami sebagai ungkapan terima kasih. "Ya udah, sekarang kamu tidur aja!" "Kamu?" "Aku mau nerusin deadline dulu." Elisha menganggukkan kepalanya dan mulai menata diri untuk tidur. Sedangkan suaminya kembali melanjutkan pekerjaannya. Menikmati malam yang dingin dengan saling memunggungi satu sama lain. * "Mas. Hari ini pembantu baru kita bakal datang." "Oh ya? Jam berapa?" Sambil menikmati sarapan paginya, Jean bertanya pada sang istri yang tengah menyuapi anaknya. "Aku nggak tau jam berapa. Soalnya penyalur cuma bilang gitu aja." Perempuan yang tampak rapi itu juga tidak lupa menyantap sarapan untuk dirinya sendiri. "Oke." "Nanti tolong interview yang bener ya Mas. Jelasin apa-apa aja aturan di rumah ini," pesan Elisha. "Iya." "Trus, hari ini jangan lupa jemput Qila ya Mas. Dia pulang jam dua soalnya." "Iya-iya. Aku udah paham kok." Jean mulai sedikit jengah. Elisha yang kini sibuk menyiapkan bekal untuk anaknya sambil repot memakan sarapannya sendiri memberikan senyum kecil ke arah suaminya. Meskipun paginya cukup sibuk dan merepotkan, namun perempuan 28 tahun itu tidak sekalipun mengeluh. "Sayang—" Ia mendekati Qila. Anak tunggalnya yang masih berusia 7 tahun. "Ini bekal kamu yah. Jangan lupa dihabisin." "Iya Mama." "Terus, pas di sekolah jangan nakal ya! Dengerin kata Papa sama Bu Guru. Dan—" Perempuan dengan setelan blouse dan rok sepan selutut. "Udah dong El, anak kamu juga udah pasti paham." Elisha melihat ke arah suaminya. "Kan aku cuma mastiin aja, Mas. Ya kan Qila?" Perempuan itu mengusap rambut anaknya. Yang dibalas cengiran lebar oleh sang anak. "Ya udah Ya, Mama berangkat dulu." Perempuan bertubuh ramping itu memeluk anaknya. Memberikan kecupan singkat di kening, pipi, dan bibir anak semata wayangnya sebelum berangkat. "Mas, aku kerja dulu ya." Elisha juga tidak lupa memberikan kecupan di dahi suaminya sambil pamit untuk berangkat. Hal yang wajib dia lakukan sebelum pergi ke kantor. Jean hanya menhanggukk kepalanya. Ia hanya menerima ciuman istrinya tanpa mau memberikan balasan untuk Elisha. Entahlah, dia sedang tidak mood untuk itu. Dia malah menghela nafas berat saat perempuan itu pergi dari pandangannya. Beginilah pagi yang harus ia lalui. Melihat keribetan Elisha, dan petuah-petuahnya untuk sang anak. "Papa, ayo berangkat!" Pria tampan dengan rahang tegas, hidung mancung, dan body atletis itu melihat ke arah sang anak dan tersenyum. "Oke. Ayo kita let's go!" Ia menutup laptopnya dan menurunkan anaknya dari kursi makan yang memang dibuat agak sedikit tinggi. Membantu Qila memakai tas dan menggandeng anaknya untuk ke depan. Menuju tempat mobil mereka terparkir. Itulah kegiatan Jean setiap pagi. Mengantar anaknya ke sekolah, bertegur sapa dengan guru yang ada di depan, atau saling melemparkan senyum saat ada wali murid yang dia kenal, sebelum kembali ke rumah. Padahal seharusnya ini jadi tugas Elisha. Tapi sayang, semua itu kini dia yang ambil alih karena istrinya sibuk bekerja. "Seandainya aku nggak kena PHK, mana mungkin aku ngelakuin hal kayak gini." Sudah berulang kali Jean menggumamkan hal yang sama. Ia cukup jenuh menjadi pekerja lepas seperti ini. Membuatnya seperti tak punya harga diri. Apalagi saat melihat tatapan aneh orang-orang padanya. Makin membuatnya merasa tak berguna. Tapi mau bagaimana lagi, mencari pekerjaan di tengah krisis seperti ini juga bukanlah hal yang mudah. Jadi dia harus tetap menjalani semua ini dengan lapang dada. * BRAAK! Sekitar 30 menit, ia kembali tiba di rumah. Dan pria tampan itu langsung ke dapur untuk mencuci piring bekas keluarganya sarapan tadi. "Ck. Bisa-bisanya aku malah ngelakuin semua kerjaan perempuan! Nyuci piring, nyapu, ngepel! Aaargghh!!" Jean terlihat emosi. Ingin sekali membanting piring di tangannya. "Ini kan tugas perempuan, tugas pembantu! Nggak seharusnya aku ngelakuin hal kayak gini!" "Lagian si Elisha itu, katanya mau ada pembantu yang kerja di sini! Tapi mana? Sampai sekarang belum datang juga!" Meskipun sambil marah-marah, Jean tetap melakukan semua pekerjaannya. Sampai, selang dua jam kemudian, terdengar bunyi bel yang dipencet beberapa kali. "Siapa itu? Apa— si pembantu yang dateng?" tanya Jean pada dirinya sendiri. "Bagus deh kalau beneran pembantu yang dateng, jadi aku nggak perlu capek-cepak lagi." Dengan sedikit berlari, pria tampan berkulit eksotis itu menuju ke arah depan. Bersiap membukakan pintu untuk tamunya. "Permisi Pak, selamat siang." Saat pintu rumahnya terbuka, ia malah dikejutkan oleh..."Aku suapin ya? Ayo aaa..."Jean memundurkan kepalanya. Bukannya mau nolak. Tapi, Nilam sendiri kan belum makan. "Kamu gak makan juga?""Aku makan habis kamu," balas perencanaan itu dengan alis berkerut. Agak dongkol karena Jean gak langsung buka mulut.Jean terkekeh kecil melihat ulah istrinya. “Aku berasa kayak bocah."“Bukan bocah Pak Jean sayang,” sahut Nilam sambil menyendokkan potongan ayam dan nasi ke arah mulut Jean. "Ini namanya win-win solution. Otak kerja, mulut pun kerja. Ya kan?”Menghela nafas, pria itu pun membalas, "Oke deh. Terserah kamu aja sayangku." Jean membuka mulutnya dengan patuh. “Enak,” komentarnya sambil mengangguk. “Ayamnya empuk banget.”“Ya iyalah, masak istri hebat kamu pilih makanan sembarangan?” Nilam tersenyum bangga.Di sela-sela suapan dan suara keyboard yang masih sesekali diketik Jean, suasana jadi terasa hangat. Bukan hanya karena makanan, tapi karena kebersamaan itu sendiri—meski sebentar, tapi penuh makna.“Omong-omong, Qila sekarang lagi apa y
Udara masih sangat sejuk saat keluarga kecil itu bersiap. Matahari baru saja muncul dari balik bukit, menyebarkan cahaya hangat ke halaman rumah Bu Mala. Burung-burung terdengar bersahut-sahutan, seolah ikut menyemangati hari pertama Qila di sekolah barunya.Qila mengenakan seragam barunya—kemeja putih bersih dan rok kotak-kotak merah yang masih terlihat kaku. Rambutnya dikepang rapi dua sisi dan dihias jepit rambut pink, dan sepasang sepatu barunya berkilau di bawah sinar pagi.Di punggungnya, tas biru muda yang kemarin ia pilih dengan semangat tampak pas melekat, siap menemani petualangan barunya.“Deg-degan nggak, Sayang?” tanya Jean sambil membetulkan kerah baju Qila.“Sedikit,” jawab Qila jujur, “Tapi aku juga gak sabar pengen cepet-cepet ketemu temen baru!”Jean tersenyum, lalu mencium kening putrinya. “Itu semangat yang bagus."Mereka berangkat bersama dengan mobil, Bu Mala ikut mengantar. Di sepanjang perjalanan, Qila sibuk membolak-balik jadwal sekolahnya sambil sesekali bert
Jean tersenyum kecil, lalu mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Qila. Ia mengangkat satu jari, seolah menyampaikan aturan penting. “Papa setuju kamu ikut program itu, Qila… asal— kamu pilih salah satu dari dua syarat ini,” ucapnya dengan nada tegas tapi penuh kasih. Qila menatap ayahnya dengan mata membulat penasaran, menanti lanjutannya dengan penuh semangat. “Satu,” Jean mengangkat jari telunjuknya, “kamu harus dijemput dan diantar setiap hari oleh Papa, atau kalau Papa nggak bisa, Pak Surya yang antar." Qila sempat mengangguk kecil, mencoba membayangkan hari-harinya di tempat baru dengan Papa atau Pak Surya menjemputnya. Tapi sebelum dia sempat menjawab, Jean mengangkat jari kedua. “Dua... kalau kamu harus nginep di sana, maka Mama atau Oma akan ikut tinggal nemenin kamu di sana selama program itu berlangsung. Minimal sampai kamu betul-betul nyaman.” Wajah Qila langsung berbinar. “Beneran, Pa?” serunya. "Jadi Papa ngijinin Qila pergi dengan syarat itu?" Jean menganggu
Setelah Qila tertidur lelap, ditemani boneka kelinci pink dan selimut bergambar karakter kartun kesayangannya, Nilam menutup pintu kamar pelan-pelan. Ia berjalan menuju kamar utama, namun tak menemukan Jean di dalam. Lampu tidur menyala temaram, menambah kesan sepi di ruangan itu. Suara angin malam terdengar samar dari arah balkon. Nilam melangkah ke sana, dan benar saja—Jean sedang berdiri membelakangi pintu, kedua tangannya bersandar di pagar balkon, menatap langit yang malam itu bertabur bintang. Tanpa berkata-kata, Nilam mendekat lalu memeluk punggung suaminya dengan lembut. Jean sedikit tersentak, lalu tersenyum tipis dan menyentuh tangan Nilam yang melingkar di perutnya. “Ngapain ngelamun di sini?” bisik Nilam, suaranya pelan, nyaris seperti angin. "Udaranya dingin banget loh." Jean diam sebentar sebelum menjawab, “Aku kepikiran soal Qila…” Nilam memiringkan wajahnya, menempelkan pipi ke punggung Jean. “Masih soal program pertukaran pelajar itu?” Jean mengangguk pelan. “Iy
Sore telah berganti malam ketika Nilam, Jean dan Qila berkumpul di apartemen baru mereka. Apartemen yang terletak di pusat kota itu terasa hangat dengan aroma masakan yang khas: semur ayam, sayur asem, dan sambal goreng kentang yang selalu jadi favorit Nilam sejak kecil.Di ruang makan, Qila sudah duduk manis sambil mengaduk-aduk nasi di piringnya. Rambutnya di kepang dua dan diberi jepit lucu berbentuk apel. Terdapat boneka kelinci pink yang mengisi kursi kosong di sebelahnya.“Qila sayang, kamu mau tambah?" tanya Nilam disertai dengan senyum lembutnya.“Enggak deh Ma. Udah kenyang.""Kamu sayang?" Pandangan Nilam bergulir ke arah Jean yang juga makan dengan begitu lahap di hadapan."Boleh deh. Dikit aja tapi."Dengan segera, Nilam bangkit dari duduknya mengambilkan nasi dan lauk sesuai permintaan sang suami. "Segini cukup?""Cukup sayang. Makasih," balas Jean seraya mengambil alih piring di tangan istrinya.Mereka kembali makan bersama, obrolan ringan mengalir di sela makan malam ya
Dikta memperlambat langkahnya. Instingnya menuntunnya untuk berhenti.“Butuh bantuan, Pak?” tanyanya sopan.Lelaki berjas dengan rambut beruban yang ditata rapi meski sedikit acak karena angin—menoleh cepat. “Kamu ngerti mesin mobil?”“Sedikit. Boleh saya coba lihat?” tawar Dikta.Lelaki itu mengangguk dan minggir memberi ruang. Dikta menggulung lengan bajunya, lalu menunduk memeriksa bagian dalam mesin. Tak butuh waktu lama sebelum ia menemukan selang bahan bakar yang lepas.“Ini longgar, Pak. Harusnya bisa nyala setelah dipasang dan dikencengin,” katanya, lalu mengambil obeng kecil dari rak alat darurat di dalam mobil dan mulai bekerja.Setelah lima menit, ia mengangguk. “Coba nyalakan, Pak.”Lelaki itu masuk ke dalam mobil, memutar kunci—dan suara mesin pun menyala.“Wah! Beneran bisa! Hebat juga kamu!” serunya sambil turun dan menutup kap mesin.Dikta hanya tersenyum tipis, menepuk tangannya yang kotor. “Cuma kebetulan, Pak.”Mata lelaki itu menatap Dikta dengan saksama. “Omong-om