"Rasa kopinya kok beda ya? Ini merk-nya baru?"
Nilam kaget. "E— enggak kok Pak. Kopinya sama seperti yang Bapak kasih tadi," terang perempuan cantik itu dengan wajah panik. Ia takut rasa kopi buatannya tidak enak. "Masa sih?" Jean terlihat sangsi. "Emangnya kenapa Pak?" "Soalnya, rasa kopi ini lebih enak dibandingkan sebelumnya. Aromanya juga lebih harum. Makanya aku pikir kopi ini beda merk sama yang sebelumnya." Nilam mengusap dada lega. Dia pikir, Jean tidak suka dengan kopi yang ia buat. "Duh, Bapak bikin saya kaget aja. Kirain tadi kopinya nggak enak." Melihat wajah lega Nilam, membuat senyum kecil Jean terkembang. "Sama. Aku juga kaget karena rasa kopinya lebih enak dibandingin pas buat sendiri." Nilam mengulum senyum. "Makasih Pak." "Ya udah, kamu lanjutin masaknya." "Baik Pak. Saya permisi." Pria dengan bahu kokoh itu melihat Nilam yang berjalan meninggalkan tempat kerjanya. Batinnya menggumam, 'Bahkan, Elisha aja nggak bisa bikin kopi seenak buatannya.' Jean menggeleng. "Ah, aku aja udah lupa gimana rasa kopi buatannya." * "Malem Mas." Jean menengadahkan kepalanya. Sosok Jean yang tak pernah lepas dari laptop kesayangannya itu, melihat ke arah jam tangannya sebelum melihat ke arah Sang istri. Sekarang hampir pukul 11 malam. Dan dengan santainya, Elisha baru pulang. "Kok kamu belum tidur? Nungguin aku ya?" tanya perempuan berkulit putih itu sambil memeluk bahu kokoh suaminya dari belakang. "Hm. Ya gitu deh," jawab Jena sekenanya. "Oh iya Mas. Gimana? ART-nya udah sampai ke sini?" "Udah." "Udah kamu interview?" "Udah. Tapi cuma profil dia aja. Yang lainnya nggak aku tanyain." Elisha menganggukkan kepalanya. "Sekarang dia di mana?" "Udah tidur mungkin. Kan udah mau tengah malam juga." Wanita cantik yang masih mengenakan blouse dan rok sepan itu mengerucutkan bibirnya. Padahal banyak petuah yang sudah dia siapkan untuk sang ART baru, agar bisa kerja dengan baik di rumah ini. Tapi karena memang hari sudah malam, jadi ia tidak bisa menyalakan siapapun. "Kalau gitu, aku ke dalam dulu ya Mas. Mau mandi. Gerah banget soalnya." "Iya udah sana!" * Hampir pukul 12 malam ketika Jean masuk ke kamarnya. Dia baru saja menyelesaikan deadlinenya hari ini dan bermaksud untuk istirahat. Namun saat melihat istrinya sedang terlelap hanya mengenakan gaun tidur, membuat hasratnya sebagai pria jadi tergugah. Dengan perlahan ia mendekati Elisha. Memeluk pinggulnya dari belakang sambil mengecupi pipi wanita cantik tersebut. "Sha..." panggil pria tampan itu, dengan suara berbisik. Mencoba untuk membangunkan istrinya. "Sha, bangun dong! Mas pengen nih." "Besok aja ya Mas, aku— capek banget nih." Elisha menepis tangan Sang suami di pundaknya. Dia benar-benar sangat mengantuk. "Ayolah Sha, satu ronde aja." Ia berusaha membujuk perempuan itu. Berharap istrinya mau diajak kerja sama. Namun bukannya mengikuti apa yang ia inginkan, malah suara dengkuran Elisha yang ia dengar. Haah— Pria itu mengusap wajahnya dengan gusar. Istrinya benar-benar tidak bisa diandalkan. Padahal mereka sangat jarang untuk bercinta, tapi sekalinya ia ingin, Elisha malah menolak dirinya. Terpaksa ia harus tidur dengan miliknya yang masih mengeras, walaupun itu tidak membuat Jean merasa nyaman. *** Seperti biasa pukul 05.00 pagi, Elisha akan bangun dari tidurnya. Ia mengulet. Mencoba merenggangkan otot tubuhnya yang terasa pegal. Namun ketika pandangan matanya tertuju ke arah sang suami ia jadi ingat satu hal, penolakannya semalam. Mendadak Elisha dihantui rasa bersalah, sebab ia tidak bisa memuaskan keinginan suaminya dalam hal ranjang. "Maaf ya, Mas. Kemarin aku udah nolak kamu. Tapi aku beneran capek banget, jadi aku harap kamu bisa ngerti." Elisha mengusap rambut hitam suaminya. Tak lupa memberikan kecupan hangat di dahi sang suami. Sungguh dia jadi merasa berdosa karena hal semalam. Tapi, sekarang bukan waktu yang tepat untuk merasa menyesal atau apapun itu. Karena ia harus segera mandi, dan bersiap untuk pergi ke kantor karena ada rapat pagi ini. Begitu ia siap dengan pakaian rapi dan bersih, juga make up dan rambut yang digulung di belakang tengkuk, wanita itu pun keluar dari kamarnya. Bersiap untuk membangunkan Qila. "Syaqilaaa... Ayo ba—" Elisha tidak sempat melanjutkan ucapannya, karena dibuat kaget oleh kehadiran seorang wanita muda, yang sibuk mengepang rambut anaknya. "Kamu— siapa?" Perempuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah Nilam langsung berdiri dengan sopan, menyambut kedatangan si nyonya besar. "Pagi Nyonya. Perkenalkan saya Nilam." "Nilam? Ahh—" Elisha baru ingat, jika kemarin ART yang dia pesan di penyalur sudah mulai bekerja di rumahnya. "Maaf aku lupa. Aku pikir kamu siapa tadi." Nilam tersenyum kecil. "Iya Bu, nggak apa. Kan kita juga baru pertama ketemu." Elisha menganggukkan kepalanya dan mulai mendekati anaknya. "Pagi Qila." "Pagi Ma," sambut sang anak dengan wajah sumringah. "Liat Ma, Mbak Nilam ngepang rambut Qila lho. Bagus banget." Elisha tersenyum bahagia melihat wajah ceria anaknya. "Wah, iya... Anak Mama jadi makin cantik deh." Bocah berusia 7 tahun itu nyengir lebar. Senang sekali dapat pujian demikian. "Oh iya. Mama mau bicara ama Mbak Nilam dulu boleh?" tanya Elisha. Yang dibalas dengan anggukan setuju oleh sang anak. Begitu Qila sudah pergi keluar Nilam langsung mendekati majikannya ini. "Nilam, sebenarnya kerja kamu di sini nggak banyak kok. Kamu cuma perlu masak ama bersih-bersih aja. Soal Qila, biar saya ama Papanya yang urus." Nilam hanya menundukkan kepalanya sebagai rasa sopan ketika Elisha berbicara. "Trus, selama tiga bulan ini, kamu masih dalam masa training. Soalnya saya mau tau gimana kinerja kamu. Nanti kalau training-nya udah selesai dan saya cocok sama pekerjaan kamu, gajinya pasti bakal saya naikkan kok. Gimana? Kamu nggak keberatan kan?" Nilam menggeleng. "Enggak kok Bu. Saya nggak masalah. Malah ini bisa jadi motivasi buat saya biar kerja lebih bagus, dan Ibu— jadi cocok buat terima saya." "Tapi, kamu ini masih muda banget lho? Beneran kamu mau kerja kasar kayak gini?" "Yah, gimana lagi Bu. Nyari kerja jaman sekarang kan susah banget, jadi selagi itu halal, kerjaan apa aja ya bakal saya ambil." Elisha tersenyum kagum dengan cara berpikir Nilam yang cukup dewasa. "Bagus deh kalau gitu." "Ya udah, sekarang kamu pergi ke dapur dan sahabat sarapan buat kami ya!" perintah Elisha. "Mau sarapan apa Bu?" "Yang simpel aja sih. Nasi goreng juga boleh. Pakai telur mata sapi ya. Telurnya setengah matang untuk Bapak, saya sama Qila minta yang mateng." Elisha menjelaskan semua yang harus Nilam lakukan dalam satu tarikan nafas. "Dan sama satu lagi, moga kamu betah kerja di sini."Setelah mampir ke warung sate favorit mereka—Jean dan Nilam pun pulang dengan perut kenyang. Perjalanan pulang dimulai dengan celotehan Nilam mengenai rasa bumbu sate yang gak pernah berubah.Namun, kebahagiaan itu mulai diuji ketika mobil mereka berhenti total di jalan utama. Lampu merah? Bukan. Kecelakaan? Nggak juga. Tapi lalu lintas seperti membeku tanpa alasan jelas alias MACET tanpa sebab."Ini kenapa sih? Kenapa gerak sama sekali dari tadi?" keluh Nilam sambil menyandarkan kepala ke jok.Jean melirik kaca spion. “Mungkin ada penutupan jalan. Atau ada Presiden yang lewat…” candanya.“Nyebelin." Nilam melipat tangannya di dada. "Aku udah capek banget, ini punggung udah gak bisa diajak kompromi. Pengen rebahan," keluh Nilam.Jean tertawa kecil. "Sabar, Sayang... Namanya juga Jakarta."Nilam hanya mendengus, tangan memainkan jendela mobil naik-turun, lalu mengambil ponselnya, scroll sebentar, lalu bosan lagi. “Aku tuh benci banget ama kemacetan kayak gini. Buang-buang waktu."Jean
"Aku suapin ya? Ayo aaa..."Jean memundurkan kepalanya. Bukannya mau nolak. Tapi, Nilam sendiri kan belum makan. "Kamu gak makan juga?""Aku makan habis kamu," balas perencanaan itu dengan alis berkerut. Agak dongkol karena Jean gak langsung buka mulut.Jean terkekeh kecil melihat ulah istrinya. “Aku berasa kayak bocah."“Bukan bocah Pak Jean sayang,” sahut Nilam sambil menyendokkan potongan ayam dan nasi ke arah mulut Jean. "Ini namanya win-win solution. Otak kerja, mulut pun kerja. Ya kan?”Menghela nafas, pria itu pun membalas, "Oke deh. Terserah kamu aja sayangku." Jean membuka mulutnya dengan patuh. “Enak,” komentarnya sambil mengangguk. “Ayamnya empuk banget.”“Ya iyalah, masak istri hebat kamu pilih makanan sembarangan?” Nilam tersenyum bangga.Di sela-sela suapan dan suara keyboard yang masih sesekali diketik Jean, suasana jadi terasa hangat. Bukan hanya karena makanan, tapi karena kebersamaan itu sendiri—meski sebentar, tapi penuh makna.“Omong-omong, Qila sekarang lagi apa y
Udara masih sangat sejuk saat keluarga kecil itu bersiap. Matahari baru saja muncul dari balik bukit, menyebarkan cahaya hangat ke halaman rumah Bu Mala. Burung-burung terdengar bersahut-sahutan, seolah ikut menyemangati hari pertama Qila di sekolah barunya.Qila mengenakan seragam barunya—kemeja putih bersih dan rok kotak-kotak merah yang masih terlihat kaku. Rambutnya dikepang rapi dua sisi dan dihias jepit rambut pink, dan sepasang sepatu barunya berkilau di bawah sinar pagi.Di punggungnya, tas biru muda yang kemarin ia pilih dengan semangat tampak pas melekat, siap menemani petualangan barunya.“Deg-degan nggak, Sayang?” tanya Jean sambil membetulkan kerah baju Qila.“Sedikit,” jawab Qila jujur, “Tapi aku juga gak sabar pengen cepet-cepet ketemu temen baru!”Jean tersenyum, lalu mencium kening putrinya. “Itu semangat yang bagus."Mereka berangkat bersama dengan mobil, Bu Mala ikut mengantar. Di sepanjang perjalanan, Qila sibuk membolak-balik jadwal sekolahnya sambil sesekali bert
Jean tersenyum kecil, lalu mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Qila. Ia mengangkat satu jari, seolah menyampaikan aturan penting. “Papa setuju kamu ikut program itu, Qila… asal— kamu pilih salah satu dari dua syarat ini,” ucapnya dengan nada tegas tapi penuh kasih. Qila menatap ayahnya dengan mata membulat penasaran, menanti lanjutannya dengan penuh semangat. “Satu,” Jean mengangkat jari telunjuknya, “kamu harus dijemput dan diantar setiap hari oleh Papa, atau kalau Papa nggak bisa, Pak Surya yang antar." Qila sempat mengangguk kecil, mencoba membayangkan hari-harinya di tempat baru dengan Papa atau Pak Surya menjemputnya. Tapi sebelum dia sempat menjawab, Jean mengangkat jari kedua. “Dua... kalau kamu harus nginep di sana, maka Mama atau Oma akan ikut tinggal nemenin kamu di sana selama program itu berlangsung. Minimal sampai kamu betul-betul nyaman.” Wajah Qila langsung berbinar. “Beneran, Pa?” serunya. "Jadi Papa ngijinin Qila pergi dengan syarat itu?" Jean menganggu
Setelah Qila tertidur lelap, ditemani boneka kelinci pink dan selimut bergambar karakter kartun kesayangannya, Nilam menutup pintu kamar pelan-pelan. Ia berjalan menuju kamar utama, namun tak menemukan Jean di dalam. Lampu tidur menyala temaram, menambah kesan sepi di ruangan itu. Suara angin malam terdengar samar dari arah balkon. Nilam melangkah ke sana, dan benar saja—Jean sedang berdiri membelakangi pintu, kedua tangannya bersandar di pagar balkon, menatap langit yang malam itu bertabur bintang. Tanpa berkata-kata, Nilam mendekat lalu memeluk punggung suaminya dengan lembut. Jean sedikit tersentak, lalu tersenyum tipis dan menyentuh tangan Nilam yang melingkar di perutnya. “Ngapain ngelamun di sini?” bisik Nilam, suaranya pelan, nyaris seperti angin. "Udaranya dingin banget loh." Jean diam sebentar sebelum menjawab, “Aku kepikiran soal Qila…” Nilam memiringkan wajahnya, menempelkan pipi ke punggung Jean. “Masih soal program pertukaran pelajar itu?” Jean mengangguk pelan. “Iy
Sore telah berganti malam ketika Nilam, Jean dan Qila berkumpul di apartemen baru mereka. Apartemen yang terletak di pusat kota itu terasa hangat dengan aroma masakan yang khas: semur ayam, sayur asem, dan sambal goreng kentang yang selalu jadi favorit Nilam sejak kecil.Di ruang makan, Qila sudah duduk manis sambil mengaduk-aduk nasi di piringnya. Rambutnya di kepang dua dan diberi jepit lucu berbentuk apel. Terdapat boneka kelinci pink yang mengisi kursi kosong di sebelahnya.“Qila sayang, kamu mau tambah?" tanya Nilam disertai dengan senyum lembutnya.“Enggak deh Ma. Udah kenyang.""Kamu sayang?" Pandangan Nilam bergulir ke arah Jean yang juga makan dengan begitu lahap di hadapan."Boleh deh. Dikit aja tapi."Dengan segera, Nilam bangkit dari duduknya mengambilkan nasi dan lauk sesuai permintaan sang suami. "Segini cukup?""Cukup sayang. Makasih," balas Jean seraya mengambil alih piring di tangan istrinya.Mereka kembali makan bersama, obrolan ringan mengalir di sela makan malam ya