Mr. Yushi berdiri terlalu dekat sekarang. Nafasnya bisa terasa di udara di antara mereka. Nilam bersandar ke dinding, wajahnya tetap tenang, tapi tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya.“Ke hotel,” ulang Yushi, senyumnya tipis, suaranya lebih rendah. “Kita bisa bicara lebih pribadi... mungkin sambil wine tasting sedikit. Lagipula, aku rasa kita sudah cukup akrab untuk—”“Pak,” potong Nilam tiba-tiba. Nadanya tajam, tenang, tapi penuh peringatan. Ia menegakkan tubuhnya dan menatap langsung ke mata pria itu.“Saya di sini untuk mewakili perusahaan. Jika Anda ingin membicarakan bisnis, saya dengan senang hati melanjutkannya di ruang rapat. Tapi kalau niat Anda berbeda, maka saya harap Anda bisa keluar dari ruangan ini sekarang.”Sorot mata Mr. Yushi menyempit. “You’re overreacting, Mrs. Nilam. It was just a suggestion.”Nilam tidak bergeming. “Ini bukan berlebihan tapi—""Kalau kamu tidak mengikuti keinginanku—" Mr Yushi menyudutkan Nilam ke dinding dan menyentuh dagunya. Memaksa istri
“Sayang…” panggil Jean pelan, suaranya agak parau.Nilam menoleh sambil membenarkan sanggulnya di cermin kecil dekat meja. “Hm?”“Kamu yakin mau gantiin aku?”Nilam tersenyum tenang. Ia menghampiri Jean, lalu duduk di sisi sofa dan menggenggam tangan suaminya. “Aku udah kerja bareng kamu cukup lama. Dan aku juga belajar dari kamu tiap hari. I got this.”Jean menatap istrinya dalam diam. Ia ingin mempercayai sepenuhnya, dan bagian dirinya memang percaya… Tapi rasa protektif sebagai suami dan pemimpin perusahaan membuatnya ragu melepaskan tanggung jawab sebesar itu begitu saja.“Aku tahu mereka bawel,” lanjut Nilam lembut, seolah bisa membaca isi hati Jean. “Dan aku juga tahu kamu biasanya paling bisa narik kepercayaan mereka dari sisi komunikasi. Tapi kali ini… kamu harus percaya aku bisa handle ini.”Jean akhirnya mengangguk pelan, menelan ludah yang terasa agak berat. “Kalau mereka mulai tanya-tanya soal timeline, kamu pakai pendekatan risk mitigation yang kita rancang minggu lalu. D
Gedung tempat Jean dan Nilam bekerja sudah mulai ramai. Pegawai lalu-lalang dengan dokumen di tangan, beberapa sibuk menyesap kopi sambil berdiskusi pelan. Suasana profesional namun hangat terasa di seluruh sudut ruangan.Seperti biasa, Nilam sibuk membuatkan suaminya secangkir kopi dan membawanya menuju ruangan direktur utama—ruangan milik suaminya. Rutinitas yang tidak pernah bisa ia lewatkan.Hari itu, Nilam mengenakan setelan pastel lembut, rambutnya disanggul rapi. Riasannya natural, membuat wajahnya terlihat segar dan elegan.Sesampainya di depan pintu, ia mengetuk pelan sebelum masuk. “Pak CEO” sapa Nilam sambil tersenyum, mencoba bersikap formal walau sudah hafal betul siapa yang ada di dalam.Jean duduk di balik meja kerjanya, tetapi tak seperti biasanya. Bahunya merosot sedikit, matanya agak sayu, dan cangkir kopi yang biasanya sudah tandas, kini terlihat masih sisa separuh.Nilam mengerutkan dahi. “Sayang?” tanyanya pelan, nada bicaranya tampak khawatir.Jean mengangkat kep
Setelah Jean menurunkan Nilam di sofa, ia sempat duduk di sampingnya sambil melepas dasi dan membuka kancing atas kemejanya. Ia menoleh ke arah istrinya yang masih rebahan dengan mata terpejam, blazer dan sepatunya saja masih belum dilepas.Dengan sabar, Jean berlutut di depan Nilam. Tangannya perlahan membuka sepatu istrinya, satu persatu. Ia mengusap lembut punggung kakinya sebelum melepas stoking yang membungkus betis jenjang itu.Nilam membuka mata pelan dan menatap suaminya yang kini sibuk membantu merapikan bajunya. "Sayang? Gak usah repot-repot. Aku bisa lepas sendiri nanti,” gumamnya setengah sadar.Jean tersenyum, lalu melepaskan kancing blazer Nilam dengan hati-hati dan menggantungnya di sandaran kursi. “Tapi aku lebih suka direpotin sama kamu daripada gak ngapa-ngapain."Nilam tertawa kecil. "Bukannya apa, kalau kamu bantuin aku terus, yang ada aku malah makin manja.""Gunanya aku nikah sama kamu kan untuk itu. Manjain kamu."Perempuan itu memperhatikan suaminya yang begitu
Setelah mampir ke warung sate favorit mereka—Jean dan Nilam pun pulang dengan perut kenyang. Perjalanan pulang dimulai dengan celotehan Nilam mengenai rasa bumbu sate yang gak pernah berubah.Namun, kebahagiaan itu mulai diuji ketika mobil mereka berhenti total di jalan utama. Lampu merah? Bukan. Kecelakaan? Nggak juga. Tapi lalu lintas seperti membeku tanpa alasan jelas alias MACET tanpa sebab."Ini kenapa sih? Kenapa gerak sama sekali dari tadi?" keluh Nilam sambil menyandarkan kepala ke jok.Jean melirik kaca spion. “Mungkin ada penutupan jalan. Atau ada Presiden yang lewat…” candanya.“Nyebelin." Nilam melipat tangannya di dada. "Aku udah capek banget, ini punggung udah gak bisa diajak kompromi. Pengen rebahan," keluh Nilam.Jean tertawa kecil. "Sabar, Sayang... Namanya juga Jakarta."Nilam hanya mendengus, tangan memainkan jendela mobil naik-turun, lalu mengambil ponselnya, scroll sebentar, lalu bosan lagi. “Aku tuh benci banget ama kemacetan kayak gini. Buang-buang waktu."Jean
"Aku suapin ya? Ayo aaa..."Jean memundurkan kepalanya. Bukannya mau nolak. Tapi, Nilam sendiri kan belum makan. "Kamu gak makan juga?""Aku makan habis kamu," balas perencanaan itu dengan alis berkerut. Agak dongkol karena Jean gak langsung buka mulut.Jean terkekeh kecil melihat ulah istrinya. “Aku berasa kayak bocah."“Bukan bocah Pak Jean sayang,” sahut Nilam sambil menyendokkan potongan ayam dan nasi ke arah mulut Jean. "Ini namanya win-win solution. Otak kerja, mulut pun kerja. Ya kan?”Menghela nafas, pria itu pun membalas, "Oke deh. Terserah kamu aja sayangku." Jean membuka mulutnya dengan patuh. “Enak,” komentarnya sambil mengangguk. “Ayamnya empuk banget.”“Ya iyalah, masak istri hebat kamu pilih makanan sembarangan?” Nilam tersenyum bangga.Di sela-sela suapan dan suara keyboard yang masih sesekali diketik Jean, suasana jadi terasa hangat. Bukan hanya karena makanan, tapi karena kebersamaan itu sendiri—meski sebentar, tapi penuh makna.“Omong-omong, Qila sekarang lagi apa y