Alvaro menghembuskan napas kasar. Bunyi ban berdecit nyaring bersamaan dengan Alvaro menepikan mobil yang sedang dikemudikannya.
Alvaro mengambil napas dalam beberapa kali sebelum menjawab Orlando.["Aku ada perlu sebentar, Kek. Beri aku waktu beberapa jam. Aku sudah cukup dewasa untuk mengatasi semua permasalahanku. " ][ "Baik. Kamu pewaris Bintang Terang Group. Jangan bertingkah kekanak-kanakan." ]Orlando memutuskan sambungan. Alvaro diam dan berpikir.'Kenapa Kakek berkata seperti itu? Apa Saskia yang mengadu? Keterlaluan!'Alvaro berbicara sendiri. Dalam hatinya mulai muncul rasa tidak suka terhadap Saskia.Alvaro lupa, Orlando mempunyai intuisi yang tajam dalam menganalisa situasi. Orlando melihat rambut Saskia basah di pagi hari. Itu sesuatu yang baru, namun tidak hanya rambutnya yang basah melainkan matanya juga. Lalu Alvaro pergi begitu saja tanpa alasan yang jelas. Semua itu cukup bagi Orlando untuk mengetahui ada yang tidak beres di antara keduanya.Alvaro melanjutkan perjalanannya ke sebuah panti asuhan di pinggir kota.Kepala panti menemuinya, seorang wanita menjelang usia 50-an."Nak Alvaro, apa kabar? Ibu sudah lama tidak melihatmu," sapa Bu Atik dengan senyum cerah di bibirnya."Aku baik Bu, Alhamdulillah. " Alvaro meletakkan bawaannya di ruang Bu Atik. Alvaro membawa beberapa kardus susu dan makanan untuk anak-anak panti. Selain itu, Alvaro juga merupakan donatur tetap panti asuhan itu.Pertama kali Alvaro datang ke panti ini lima tahun yang lalu atas perintah sang ayah di saat-saat terakhir hidupnya. Ayahnya meminta Alvaro untuk mencari adiknya, akan tetapi Alvaro belum berhasil menemukannya. Sang adik telah pergi dari panti bertahun-tahun sebelumnya dan tidak pernah kembali.Kunjungan Alvaro ke panti membuat Alvaro jatuh hati pada anak-anak kecil yang mengerubunginya dengan binar di mata masing-masing. Alvaro merasa trenyuh melihat mereka.Sedari kecil Alvaro yang merupakan anak tunggal terbiasa hidup enak dengan fasilitas yang serba tersedia. Kakek Orlando dan ibunya selalu menuruti semua keinginannya. Kadang-kadang Djendro marah kepada Maureen karena terlalu memanjakan Alvaro.Kondisi anak-anak panti yang berbanding terbalik dengannya menarik simpatinya. Terbersit rasa bersalah dalam hatinya mengingat sang adik tidak bisa merasakan fasilitas yang sama dengannya karena adiknya harus tumbuh besar di panti itu."Bagaimana kabar Okta?" Alvaro menanyakan Okta, seorang bocah berusia tiga tahun yang menderita leukimia. Orangtua Okta meninggalkan Okta di sebuah saung di tengah sawah. Okta ditemukan penduduk sekitar karena bayi itu menangis kencang. Saat itu tubuhnya digigiti semut."Alhamdulillah baik, Nak. Dia sudah bisa berlarian dengan saudara-saudaranya. Makannya pun sudah lahap dan jarang demam. Berat badannya naik cukup bagus," sahut Bu Atik. "Apa Nak Al mau bertemu Okta?"Alvaro mengangguk. Bu Atik memanggil seseorang untuk membawa Okta yang baru saja bangun tidur."Assalamu'alaikum. "Suara renyah seseorang membuat Alvaro menengok ke arah pintu."Wa alaikumussalam," sahut Bu Atik dan Alvaro berbarengan.Seorang gadis manis berkerudung hijau memasuki ruangan sambil menggendong Okta. Dia menyerahkan Okta ke dalam gendongan Bu Atik. Pandangannya menyapu wajah tampan Alvaro sekilas, lalu segera menunduk.Baru kali itu Hanifah melihat sosok lelaki dengan wajah nyaris sempurna seperti Alvaro. Walaupun usianya sudah 35 tahun, akan tetapi raganya masih seperti berusia 25 tahun."Hanifah, tolong bawakan teh hangat dan cemilan untuk tamu kita," pinta Bu Atik kepada gadis manis itu."Baik, Bu," sahut sang gadis lalu mengundurkan diri.Alvaro mengikuti setiap gerakan Hanifah walaupun Hanifah selalu menundukkan kepala. Tingkah lakunya sangat sopan."Siapa dia?" tanya Alvaro setelah Hanifah berlalu."Hanifah, dia baru pulang dari pondok. Ayahnya pergi saat dia masih bayi, sedangkan ibunya meninggal delapan tahun yang lalu. Sejak itulah dia berada di sini, dan mendapat kesempatan untuk mondok sejak enam tahun yang lalu. Dia 18 tahun sekarang," jawab Bu Atik."Ooh, pantas baru kali ini aku melihatnya," kata Alvaro. Alvaro menghampiri Okta dan menggendongnya.Balita itu mengulurkan tangan menyentuh wajah tampan Alvaro sambil tertawa riang.Alvaro ikut tertawa melihat keceriaan Okta. Keruwetan pikirannya sedikit terobati mendengar celoteh Okta yang berada di pangkuannya. Alvaro telah membiayai pengobatan Okta selama tiga tahun. Bocah lelaki berkulit bersih itu telah menarik simpatinya sejak Alvaro pertama kali melihatnya dalam kondisi kurus kering."Nak Al, sebelumnya Ibu minta maaf, akan tetapi Ibu ingin meminta tolong." Tiba-tiba Bu Atik angkat bicara setelah beberapa saat hanya memperhatikan Alvaro yang bercanda bersama Okta.Alvaro yang sedang menatap Okta sambil tersenyum, mengalihkan pandangannya kepada Bu Atik."Katakan saja, Bu," kata Alvaro ramah."Ibu mau minta tolong tentang Hanifah. Hanifah sudah mempunyai ijazah kesetaraan SMA dan sedang mencari pekerjaan. Apakah Nak Al bisa memberinya pekerjaan? Dia anak yang cerdas, Nak. Dia ingin melanjutkan kuliah. Kami berharap setelah bekerja beberapa waktu, Hanifah bisa kuliah. Bisa juga bekerja sambil kuliah, atau dengan beasiswa." Bu Atik menatap Alvaro dengan tatapan memohon.Sebenarnya Bu Atik merasa malu meminta pertolongan kepada Alvaro yang sudah banyak menolong panti. Namun mencari pekerjaan dengan ijazah kesetaraan SMA sangat sulit jika tanpa relasi sedangkan Hanifah ingin segera bekerja. Cita-citanya selain melanjutkan kuliah adalah membantu panti.Panti tidak bisa terus menggantungkan operasional pada donatur. Donatur datang dan pergi bergantian, walaupun sampai saat ini Tuhan mencukupkan segalanya, namun Hanifah ingin berusaha lebih."Bisa, Bu. Aku akan memberinya pekerjaan di kantorku, asalkan dia tidak pilih-pilih pekerjaan," kata Alvaro segera."Alhamdulillah," ucap Bu Atik lega. "Hanifah gadis yang baik. Dia terbiasa bekerja keras. Dia tak akan rewel mengenai pekerjaan," kata Bu Atik meyakinkan.Hanifah masuk membawa nampan yang berisi dua gelas teh hangat dan kue. Diletakkannya nampan itu di atas meja."Hanifah, tolong bawa Okta. Ibu dan Nak Al ada yang perlu dibicarakan," pinta Bu Atik.Hanifah mendekati Alvaro dan mengulurkan tangan untuk mengambil Okta dari pangkuan Alvaro.Saat itulah tak sengaja tangan Hanifah bersentuhan dengan tangan Alvaro.Wajah gadis manis itu langsung merona. Tanpa menatap Alvaro, dibawanya Okta keluar ruangan.Alvaro hanya memandangi wajah Hanifah yang bersemu merah itu, akan tetapi pikirannya melayang pada wajah yang juga bersemu merah tadi malam, yaitu wajah cantik istrinya yang telah ternoda."Kira-kira kapan Hanifah bisa mulai bekerja, Nak?" Pertanyaan Bu Atik membuyarkan lamunan Alvaro."Segera, Bu. Aku akan berbicara kepada bagian HRD untuk memberi Hanifah pekerjaan yang paling sesuai. Akan kukabari Ibu secepatnya," sahut Alvaro. "Nanti Hanifah bisa tinggal di rumahku, Bu.""Masyaa Allah, Alhamdulillah. Nak Al baik sekali," kata Bu Atik, terlihat sangat bersyukur.Alvaro tersenyum. Dia senang bisa membantu anak panti untuk memperoleh pekerjaan. Wajah manis dan teduh Hanifah tergambar di benaknya begitu saja.Alvaro berdehem sambil menarik kursi di seberang Andry, lalu duduk."Apa yang kamu lakukan?" tanya Alvaro."Aku menu*uk perut ba*ingan yang mencelakai Saskia. Aku akan bertanggungjawab.""Apa kamu sudah mempertimbangkannya dengan baik? Aku akan mengirim pengacara terhebat di negara ini untuk membebaskanmu.""Aku tak memerlukannya. Pengacaraku akan membereskan semuanya. Kamu tak perlu ikut campur," tolak Andry tanpa ekspresi."Kamu keras kepala," kata Alvaro."Pergi. Jaga Saskia dan keponakanku baik-baik." Kali ini Andry berkata sambil memandang lurus pada manik biru Alvaro.Di bawah lampu ruangan yang tidak terlalu Terang, Alvaro melihat kalau mata Andry memerah dan kedua sudutnya basah. Andry membuang muka, menghindari tatapan Alvaro.Terdengar ketukan di pintu, menadakan waktunya telah habis. Alvaro berdiri, memindai sekali lagi adiknya yang akan mendekam lama di penjara. Andry masih membuang muka ke arah lain."Jaga dirimu baik-baik. Kami akan mengunjungimu," ucap Alvaro.Andry Tak
Alvaro berpikir keras setelah menerima laporan dari Sega. Pria yang mengaku bernama Bramantyo luka parah, apakah karena tertembak olehnya atau anak buahnya? Namun Alvaro tak melihat ceceran darah saat mengejar dua sosok yang melarikan diri ke belakang pondok. Jika Bramantyo tertembak, maka pasti ada jejak darahnya. Hmm ... aneh."Pil, apa kamu melihat orang lain selain kita di sekitar pondok? Drone Sega fokus pada kedatangan polisi dan mencari jalan keluar bagi kita. Dia tidak melihat ada yang lain." Alvaro menegur Pil yang sedang mengemudi."Hanya Tuan dan kedua orang itu yang saya lihat keluar dari pintu belakang. Saya dan anak buah lainnya keluar dari pintu depan. Saya tidak melihat orang lain, Tuan," sahut Pil yakin.Alvaro dan para pengawalnya sampai di rumah menjelang Subuh. Anak buah Pil sudah dilatih untuk tidak membuka mulut jika tertangkap. Mereka akan bilang kalau mereka diajak oleh Ketua geng yang berhasil melarikan diri. Mereka juga tidak membawa identitas diri. Kecuali a
Sega menerbangkan dronenya di ketinggian, di atas mobil yang hampir sampai di pondok.Seorang pria keluar dari dalam mobil. Sega memperbesar dan mengambil foto wajah pria itu. Seperti yang telah diduga Alvaro, wajah pria bernama Bramantyo lah yang muncul. Jadi benar, Bernard dan Bramantyo adalah orang yang sama. Sega segera mengirimkan hasil fotonya kepada Alvaro.Dua orang lelaki menyambut Bernard. Sega mengenalinya salah satunya. Dia Monte, karyawan yang pergi saat terjadi kebakaran di rumah Alvaro yang lama. Rupanya Monte lah pengkhianat yang membiarkan Bernard masuk ke dalam rumah!Sega kembali mengambil foto dan mengirimkannya pada Alvaro. Sega melihat lelaki yang bersama Bernard dan Monte menatap ke arah dronenya yang terbang di kegelapan malam. Sega segera meninggikan dronenya dan menyembunyikannnya di balik pepohonan sambil berharap agar lelaki yang tampak waspada itu tidak curiga. Jika musuh tahu kedatangan mereka, akan semakin sulit bagi Alvaro untuk meraih kemenangan karena
Atas permintaan Saskia, Alvaro mengantar Saskia melihat bayi-bayi mereka yang masih berada di inkubator. Alvaro mendorong kursi roda Saskia sampai di depan jendela besar ruang PICU, lalu berdiri di samping sang istri sambil berulang kali meliriknya. Alvaro sangat penasaran dengan reaksi Saskia.Saskia menatap kedua bayinya dengan mimik yang berubah-ubah. Kadang dia mengerutkan kening, kadang wajahnya kosong, kadang pula menggelengkan kepala, di waktu lain dia menggigit bibirnya sendiri.Melihat itu, diam-diam Alvaro menghembuskan napas panjang. Sepertinya Saskia belum mengingat Mimi dan Mimo."Ma, kita kembali ke kamar, yuk. Sebentar lagi jadwal visit dokter." Alvaro mengingatkan."Pa ... aku ... aku ... tak bisa mengingat anak-anak. Kurasa aku gila." Saskia mendongak kepada Alvaro. Air mata menganak sungai di pipinya yang pucat.Alvaro berjongkok di hadapan Saskia, lalu menggenggam kedua tangan istrinya."Mama hanya perlu istirahat. Jangan memaksakan diri, oke?" kata Alvaro lembut. S
"Sasi ... Sayang, kembalilah. Aku ingin membesarkan anak-anak kita bersama," ucap Alvaro sambil membelai rambut tebal Saskia. Suaranya serak dan air matanya tak bisa ditahannya lagi. Alvaro membiarkan air mata itu mengalir. Dia sudah tak peduli lagi pada rasa malu karena menangis. Dia tak pernah membiarkan orang lain melihatnya menangis, tetapi saat ini dia tak peduli. Bahkan kehadiran keluarga Saskia di belakangnya pun tak membuatnya berhenti menangisi sang istri.Ibunya Saskia dan Hendra berdiri diam, keduanya juga sibuk dengan air mata masing-masing. Sega dan Miranda sudah pulang karena Sega harus melakukan banyak pekerjaan.Alvaro mengangkat jemari Saskia yang ada dalam genggamannya lalu mengecupnya lama. Mata Alvaro terpejam rapat dan bulir bening terus mengalir di wajah tampannya."Jangan pergi, Sasi. Masih banyak yang ingin aku lakukan bersamamu. Hanya bersamamu aku bisa melakukan banyak hal yang tadinya tidak terpikir olehku. Kamulah Bintang paling terang yang pernah hadir di
Langkah tiga orang pria berderap ramai, menuju ke sebuah kamar yang pintunya tertutup rapat. Dua dari mereka berhenti di depan pintu yang menghalangi, sedangkan satu orang yang paling tampan bergegas masuk ke ruang rawat inap."Sasi!" Teriakan pria itu membangunkan Alvaro yang tertidur kelelahan sambil menggenggam tangan istrinya. Belum sempat Alvaro bangkit, Andry sudah berdiri di sebelahnya. Kedua tangan Andry bertumpu pada sisi ranjang Saskia. Dia memperhatikan Saskia dengan seksama, lalu menoleh pada Alvaro. Wajahnya berang."Apa ini? Kenapa kamu tidak bisa melindunginya?!" maki Andry pada sang kakak yang sudah berdiri dari kursinya.Biasanya Alvaro tidak akan menanggapi nada tinggi seperti itu, namun kali ini kelelahan hatinya sudah sampai pada puncaknya."Kamu yang menyebabkan semua ini terjadi! Berkacalah sebelum menyalahkan orang lain!" bentak Alvaro dingin."Aku?! Aku ada di luar negeri, ribuan kilometer jauhnya! Bagaimana bisa semua ini kesalahanku?" sangkal Andry."Jangan b