Share

7. Panti Asuhan

Alvaro menghembuskan napas kasar. Bunyi ban berdecit nyaring bersamaan dengan Alvaro menepikan mobil yang sedang dikemudikannya.

Alvaro mengambil napas dalam beberapa kali sebelum menjawab Orlando.

["Aku ada perlu sebentar, Kek. Beri aku waktu beberapa jam. Aku sudah cukup dewasa untuk mengatasi semua permasalahanku. " ]

[ "Baik. Kamu pewaris Bintang Terang Group. Jangan bertingkah kekanak-kanakan." ]

Orlando memutuskan sambungan. Alvaro diam dan berpikir.

'Kenapa Kakek berkata seperti itu? Apa Saskia yang mengadu? Keterlaluan!'

Alvaro berbicara sendiri. Dalam hatinya mulai muncul rasa tidak suka terhadap Saskia.

Alvaro lupa, Orlando mempunyai intuisi yang tajam dalam menganalisa situasi. Orlando melihat rambut Saskia basah di pagi hari. Itu sesuatu yang baru, namun tidak hanya rambutnya yang basah melainkan matanya juga. Lalu Alvaro pergi begitu saja tanpa alasan yang jelas. Semua itu cukup bagi Orlando untuk mengetahui ada yang tidak beres di antara keduanya.

Alvaro melanjutkan perjalanannya ke sebuah panti asuhan di pinggir kota.

Kepala panti menemuinya, seorang wanita menjelang usia 50-an.

"Nak Alvaro, apa kabar? Ibu sudah lama tidak melihatmu," sapa Bu Atik dengan senyum cerah di bibirnya.

"Aku baik Bu, Alhamdulillah. " Alvaro meletakkan bawaannya di ruang Bu Atik. Alvaro membawa beberapa kardus susu dan makanan untuk anak-anak panti. Selain itu, Alvaro juga merupakan donatur tetap panti asuhan itu.

Pertama kali Alvaro datang ke panti ini lima tahun yang lalu atas perintah sang ayah di saat-saat terakhir hidupnya. Ayahnya meminta Alvaro untuk mencari adiknya, akan tetapi Alvaro belum berhasil menemukannya. Sang adik telah pergi dari panti bertahun-tahun sebelumnya dan tidak pernah kembali.

Kunjungan Alvaro ke panti membuat Alvaro jatuh hati pada anak-anak kecil yang mengerubunginya dengan binar di mata masing-masing. Alvaro merasa trenyuh melihat mereka.

Sedari kecil Alvaro yang merupakan anak tunggal terbiasa hidup enak dengan fasilitas yang serba tersedia. Kakek Orlando dan ibunya selalu menuruti semua keinginannya. Kadang-kadang Djendro marah kepada Maureen karena terlalu memanjakan Alvaro.

Kondisi anak-anak panti yang berbanding terbalik dengannya menarik simpatinya. Terbersit rasa bersalah dalam hatinya mengingat sang adik tidak bisa merasakan fasilitas yang sama dengannya karena adiknya harus tumbuh besar di panti itu.

"Bagaimana kabar Okta?" Alvaro menanyakan Okta, seorang bocah berusia tiga tahun yang menderita leukimia. Orangtua Okta meninggalkan Okta di sebuah saung di tengah sawah. Okta ditemukan penduduk sekitar karena bayi itu menangis kencang. Saat itu tubuhnya digigiti semut.

"Alhamdulillah baik, Nak. Dia sudah bisa berlarian dengan saudara-saudaranya. Makannya pun sudah lahap dan jarang demam. Berat badannya naik cukup bagus," sahut Bu Atik. "Apa Nak Al mau bertemu Okta?"

Alvaro mengangguk. Bu Atik memanggil seseorang untuk membawa Okta yang baru saja bangun tidur.

"Assalamu'alaikum. "

Suara renyah seseorang membuat Alvaro menengok ke arah pintu.

"Wa alaikumussalam," sahut Bu Atik dan Alvaro berbarengan.

Seorang gadis manis berkerudung hijau memasuki ruangan sambil menggendong Okta. Dia menyerahkan Okta ke dalam gendongan Bu Atik. Pandangannya menyapu wajah tampan Alvaro sekilas, lalu segera menunduk.

Baru kali itu Hanifah melihat sosok lelaki dengan wajah nyaris sempurna seperti Alvaro. Walaupun usianya sudah 35 tahun, akan tetapi raganya masih seperti berusia 25 tahun.

"Hanifah, tolong bawakan teh hangat dan cemilan untuk tamu kita," pinta Bu Atik kepada gadis manis itu.

"Baik, Bu," sahut sang gadis lalu mengundurkan diri.

Alvaro mengikuti setiap gerakan Hanifah walaupun Hanifah selalu menundukkan kepala. Tingkah lakunya sangat sopan.

"Siapa dia?" tanya Alvaro setelah Hanifah berlalu.

"Hanifah, dia baru pulang dari pondok. Ayahnya pergi saat dia masih bayi, sedangkan ibunya meninggal delapan tahun yang lalu. Sejak itulah dia berada di sini, dan mendapat kesempatan untuk mondok sejak enam tahun yang lalu. Dia 18 tahun sekarang," jawab Bu Atik.

"Ooh, pantas baru kali ini aku melihatnya," kata Alvaro. Alvaro menghampiri Okta dan menggendongnya.

Balita itu mengulurkan tangan menyentuh wajah tampan Alvaro sambil tertawa riang.

Alvaro ikut tertawa melihat keceriaan Okta. Keruwetan pikirannya sedikit terobati mendengar celoteh Okta yang berada di pangkuannya. Alvaro telah membiayai pengobatan Okta selama tiga tahun. Bocah lelaki berkulit bersih itu telah menarik simpatinya sejak Alvaro pertama kali melihatnya dalam kondisi kurus kering.

"Nak Al, sebelumnya Ibu minta maaf, akan tetapi Ibu ingin meminta tolong." Tiba-tiba Bu Atik angkat bicara setelah beberapa saat hanya memperhatikan Alvaro yang bercanda bersama Okta.

Alvaro yang sedang menatap Okta sambil tersenyum, mengalihkan pandangannya kepada Bu Atik.

"Katakan saja, Bu," kata Alvaro ramah.

"Ibu mau minta tolong tentang Hanifah. Hanifah sudah mempunyai ijazah kesetaraan SMA dan sedang mencari pekerjaan. Apakah Nak Al bisa memberinya pekerjaan? Dia anak yang cerdas, Nak. Dia ingin melanjutkan kuliah. Kami berharap setelah bekerja beberapa waktu, Hanifah bisa kuliah. Bisa juga bekerja sambil kuliah, atau dengan beasiswa." Bu Atik menatap Alvaro dengan tatapan memohon.

Sebenarnya Bu Atik merasa malu meminta pertolongan kepada Alvaro yang sudah banyak menolong panti. Namun mencari pekerjaan dengan ijazah kesetaraan SMA sangat sulit jika tanpa relasi sedangkan Hanifah ingin segera bekerja. Cita-citanya selain melanjutkan kuliah adalah membantu panti.

Panti tidak bisa terus menggantungkan operasional pada donatur. Donatur datang dan pergi bergantian, walaupun sampai saat ini Tuhan mencukupkan segalanya, namun Hanifah ingin berusaha lebih.

"Bisa, Bu. Aku akan memberinya pekerjaan di kantorku, asalkan dia tidak pilih-pilih pekerjaan," kata Alvaro segera.

"Alhamdulillah," ucap Bu Atik lega. "Hanifah gadis yang baik. Dia terbiasa bekerja keras. Dia tak akan rewel mengenai pekerjaan," kata Bu Atik meyakinkan.

Hanifah masuk membawa nampan yang berisi dua gelas teh hangat dan kue. Diletakkannya nampan itu di atas meja.

"Hanifah, tolong bawa Okta. Ibu dan Nak Al ada yang perlu dibicarakan," pinta Bu Atik.

Hanifah mendekati Alvaro dan mengulurkan tangan untuk mengambil Okta dari pangkuan Alvaro.

Saat itulah tak sengaja tangan Hanifah bersentuhan dengan tangan Alvaro.

Wajah gadis manis itu langsung merona. Tanpa menatap Alvaro, dibawanya Okta keluar ruangan.

Alvaro hanya memandangi wajah Hanifah yang bersemu merah itu, akan tetapi pikirannya melayang pada wajah yang juga bersemu merah tadi malam, yaitu wajah cantik istrinya yang telah ternoda.

"Kira-kira kapan Hanifah bisa mulai bekerja, Nak?" Pertanyaan Bu Atik membuyarkan lamunan Alvaro.

"Segera, Bu. Aku akan berbicara kepada bagian HRD untuk memberi Hanifah pekerjaan yang paling sesuai. Akan kukabari Ibu secepatnya," sahut Alvaro. "Nanti Hanifah bisa tinggal di rumahku, Bu."

"Masyaa Allah, Alhamdulillah. Nak Al baik sekali," kata Bu Atik, terlihat sangat bersyukur.

Alvaro tersenyum. Dia senang bisa membantu anak panti untuk memperoleh pekerjaan. Wajah manis dan teduh Hanifah tergambar di benaknya begitu saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status