Lelah berkutat dengan keraguan sendiri setelah berprasangka bahwa sang hakim mungkin tengah berbohong akhirnya membuat Harger menyerah. Dia menelan ludah kasar sambil memperhatikan sang hakim lekat – lekat.
“Baiklah, katakan apa yang kau maksud dan apa isi di dalamnya?”“Cukup mengejutkan ternyata kau tidak tahu apa pun mengenai kontribusi burukmu terhadap Inggirs.” Untuk sesaat sang hakim menyeringai tipis, kemudian mulai melanjutkan. “Sekarang katakan kau berasal dari mana?”Pertanyaan yang sama pernah dilontarkan sang hakim. Harger pikir dia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Atau akan segera dideportasi kembali ke negara asal dalam waktu dekat.“Aku—lahir dari ibuku yang berasal dari Rumania dan ayahku adalah pria Irlandia.”“Rumania?” Kening sang hakim berkerut heran. “Artinya kau bisa berbahasa Roman?”“Tidak. Tentu saja tidak.”Harger mengerti untuk alasan apa sang hakim mempertanyakan hal tersebut. Bahasa Roman memiliki sedikit kemiripan atau serumpun dengan bahasa Italia. Akan tetapi dia sungguh tidak bisa menggunakan bahasa tersebut, karena memiliki kewarganegaraan yang berbeda.“Kau tinggal di Irlandia?”“Bukan.” Harger menggeleng penuh penyesalan, dan itu mungkin dorongan besar mengapa sang hakim mulai mendesaknya.“Buatlah ini menjadi mudah, Signorina.”Nada menuntut itu persis seperti diburu sesuatu. Sang hakim sedang menegaskan kalau percakapan mereka adalah pembicaraan yang benar – benar serius, sehingga sekali lagi Harger menyerah.“Aku—sejak kecil aku tinggal di panti asuhan di Skotlandia.”“Ini plot twist yang kau berikan padaku?”“Ada yang salah?” tanya Harger mulai tidak sabar.“Tidak. Bagaimana dengan orang tuamu?”“Meninggal karena kecelakaan pesawat.”Harger mengembuskan napas kasar. Memahami setiap kata – kata sang hakim mengandung makna eksplisit untuk mengulik kehidupan pribadinya. Dia begitu ingin meledak, tapi berusaha mengenyahkan amarah yang tidak biasa.“Sekarang katakan apa maksudmu mengenai kontribusi burukku terhadap Inggris?”“Aku mendapat informasi bahwa benda curianmu merupakan panel penyimpanan berisi salinan data yang diambil dari fasilitas keamanan komputer milik Pemerintah Inggris yang disimpan di Italia. Tidak tahu apa isi di dalamnya.”“Dan sayang sekali orang kepercayaanku tidak bisa mengakses. Ini bisa disebut dengan istilah kotak hitam. Digunakan pemerintah Inggris untuk mengangkut rahasia nasional.”“Lalu kaitannya denganku?”“Kau bahkan tidak tahu benda apa yang sudah kau ambil, artinya kau mencuri untuk seseorang. Apa aku benar?” tanya sang hakim tepat sasaran. Namun bagian terburuknya Harger mengangguk samar untuk kemudian menarik pria yang begitu serius kembali bersuara.“Jika kau menyerahkan ini kepada siapa pun itu. Secara tidak langsung kau akan melibatkan Perdana Menteri Inggris. Ada dua enkripsi yang membutuhkan retina dan sidik jari milik Perdana Menteri agar bisa masuk atau mengakses ke dalam kotak hitam. Mereka yang berhasil akan mendapatkan apa pun yang berkaitan dengan ini, atau mungkin akan menggunakan kewenangan secara gila.” Sang hakim berdecak sambil mengedikkan bahu.“Aku anggap begitu, karena orang kepercayaanku mengatakan bahwa siapa pun yang mencuri ini sedang mendukung aksi teroris.”Ini berita buruk. Sesuatu yang menjadi harapan Harger sebelumnya, mendadak sangat mengerikan untuk diperhatikan di tangan sang hakim.“Tapi aku bukan teroris,” bantah Harger sedikit demi sedikit mulai mengerti. Dia benar – benar akan menjadi kontribusi yang buruk, jika melakukan pertemuan besok siang.“Sekarang aku harus bagaimana?” Sorot mata Harger fokus mengulik kebenaran dari pria tersebut. Tidak ada respons yang lebih krusial, selain sang hakim tidak begitu menanggapi permasalahan yang Harger hadapi.“Signore ....”“Kau bisa memanggilku Deu. Kembalikan dompetku.”Harger melotot, ingin sekali menguliti tubuh sang hakim. Tetapi gelagak petir mengalihkan perhatiannya. Hujan deras turun secara mendadak, seolah mendukung situasi di sana. Situasi Harger yang luar biasa dipenuhi kabut gelisah. Dia menyadari Deu tampak memperhatikan butiran air yang mendesak ke bawah dengan ekspresi wajah tenang. Meski begitu, Harger berusaha tidak dikalahkan oleh ketakutan sendiri. Mereka sedang menghadapi masalah baru.“Sepertinya kau tidak akan bisa pulang karena aku tak punya mantel.”“Jika kau segera mengembalikan dompetku. Aku bisa pergi sebelum hujan semakin lebat.”Harger mengerti, Deu seharusnya bisa lari dengan cepat melewati lorong kecil di rumah sewanya untuk mencapai mobil yang terparkir di pinggir jalan berukuran lebih luas.“Kembalikan dompetku sekarang. Aku tahu kau cemas, tapi tidak perlu khawatir mengenai hal barusan. Aku akan mengurusnya dan memastikan barang curianmu kembali ke tempat di mana benda itu berasal.”Pasokan udara seakan berlomba – lomba memenuhi dada Harger. Setelah menerima berita baik dari seorang hakim tampan. Dia segera mengulurkan lengan di hadapan Deu.“Kau yakin kalau aku bisa mempercayakan masalah ini padamu?”“Ya.”“Tapi kenapa kau mau membantuku?”Pertanyaan Harger tidak digubris sang hakim. Situasi lantas berubah ketika dompet dalam genggaman Harger telah berpindah tangan. Deu sedang memeriksa isi di dalam. Tidak ada yang berkurang. Itu benar. Dan Harger terus mengamati langkah hakim tersebut saat menderap menuju pintu depan.“Kau bisa berteduh sampai hujan reda. Aku tidak keberatan. Lagipula ini masih sore ....”Senyum Harger tipis usai menawarkan tumpangan. Deu tidak segera merespons, kelihatan sedang berpikir, walau kemudian setuju untuk menunggu sampai hujan reda.Tidak ada yang akan menyangka ternyata hujan disertai badai bertahan hingga jam makan malam tiba. Harger sempat mengalami kesulitan ketika memikirkan apa yang pantas dihidangkan kepada tamu tak diundang seperti sang hakim.“Makanan di rumahku hanya seadanya.”Dia menghampiri pria yang sedang menonton televisi di ruang tamu. Menyerahkan sepiring pasta dengan telur goreng sebagai pelengkap. Tapi sang hakim masih memperhatikan pemberitaan yang disiarkan secara langsung. Ntah karena sibuk mengamati wajah cantik presenter atau karena itu adalah berita yang serius.“Apa kau juga tidak keberatan jika aku bermalam di sini?”Baru saat itu sang hakim mulai menyentuh makanan di atas meja. Menatap Harger yang sedikit mengangkat sebelah alis ... heran.“Pohon besar tumbang di sepertiga jalan Holk, menyebabkan sebagian akses lalu lintas ditutup. Dan jika aku pulang lewat jalan pintas itu akan sangat melelahkan.”Harger mengerti. “Maksudmu karena jauh?”Anggukan sang hakim membuat bahunya mengedik. “Well, aku tidak keberatan, tapi kamarku hanya satu. Kau yakin untuk tidur di sofa?”“Aku bisa tidur di mana saja. Terima kasih, Harger.”Untuk sesaat Harger merenungi keputusan yang dibuat setelah sang hakim mengetahui namanya. Dia tak harus memperkenalkan diri dengan identitas asli. Namun sesuatu yang telanjur tidak akan pernah bisa diubah. Bukankah Deu memanggil namanya seperti memiliki ciri khas, terutama suara sang hakim memang agak berat.“Setelah makan malam, aku akan langsung ke kamar,” ucap Harger usai suapan pasta terakhir dilumat hancur. Dan dia menelan dengan kasar.“Kau bebas menonton, tapi jangan sampai lewat tengah malam. Pemilik rumah sewa mengatakan itu padaku. Semua fasilitas di sini miliknya. Jadi aku harus mengikuti aturan.”Meskipun Deu tidak sepenuhnya merespons. Harger yakin hakim itu sangat mengerti sehingga mereka tidak akan membahas apa pun lagi setelah dia mengangkut piring dan membawa masuk ke dapur.Besok pagi Harger akan menyelesaikan pekerjaan rumah, sekaligus mencuci dua helai pakaian bekas yang dia lupakan tertumpuk di atas keranjang. Langkahnya terhenti pada satu lemari kaca di pojokan dapur. Menarik laci untuk memastikan batu berlian dan segala surat – surat penting masih berada di tempat yang sama sejak kali pertama tinggal di rumah sewa. Rob mungkin akan mengira Harger menyembunyikan sesuatu yang penting ke dalam koper. Tidak. Ternyata bahkan nyaris satu tahun menjalin hubungan tak berarti Rob akan sangat mengenalnya.Tidak. Harger tidak ingin mengambil risiko tersebut dengan mengabaikan kebutuhan sekarang. Langsung menerobos masuk hingga sebuah pemandangan tak terduga, sungguh, seolah ingin menyeretnya melangkah mundur. Dia menyaksikan sendiri sebentuk tubuh sang hakim sedang menduduki tubuh seseorang. Tangan pria itu membentuk kepala mantap, yang berulang kali dilayangkan ke wajah pria malang—terkapar—dengan keseluruhan dilimuri darah. “Deu.” Harger tidak mungkin membiarkan suaminya terlarut lama ke dalam angkara murka yang mengerikan. Berlari secepatnya hanya untuk menghentikan pria itu lewat tindakan membabi buka. Deu tidak bisa mengambil tindakan tersebut di saat – saat seperti ini, meskipun bukan hal mudah memisahkan pria yang sungguh telah meledakkan seluruh hal terpendam dalam emosi yang selama ini tertunda. “Sudah, Deu, hentikan.” Napas Harger tak kalah menggebu saat dia harus benar – benar menarik tubuh sang hakim. Untunglah setelah melewati pelbagai kesulitan, dia perlahan men
Harger mungkin menikmati masakan dari suaminya yang telah bersedia meluangkan waktu berkutat lama di dapur, tetapi dia tetap merasa ganjil ketika pria itu menolak ajakan makan bersama. Alih – alih setuju, justru Harger mendapati sang hakim berpamitan pergi—ntah akan ke mana. Dia mencoba menemukan petunjuk. Tanpa sepengetahuan sang hakim, Harger telah melakukan sesuatu tepat saat di mana pria itu beranjak ke kamar. Dia tidak bisa membiarkan rasa ingin tahu yang membludak, terus membara seperti benar – benar ingin membakarnya. Tidak akan sanggup bertahan lebih lama. Itu benar. Secara naluriah tangan Harger meletakkan garpu untuk bersinggungan di atas piring. Bisa menikmati lasagna belakangan waktu. Sekarang dia harus melakukan satu hal pas. Merogoh ponsel di saku celana. Howard. Ya, saat – saat seperti ini Harger akan sangat membutuhkan kemampuan Howard. [Ada apa menghubungiku, Lil’H?] Suara pria itu mencu
“Apa yang kau lihat, Deu?” Mereka sedang berbelanja, tetapi baru saja sang hakim membuatnya seperti bicara kepada patung. Harger tidak mengerti apa terjadi dan mengapa dia harus mendapati Deu terlihat berbeda dari mula – mula mereka memasuki pusat pembelanjaan. Ditambah kenyataan harus menatap cengkeraman tangan yang mengetat di troli bayi, itu makin meninggalkan perasaan ganjil tak tertahan. Nyaris lima bulan setelah masa – masa indah menjadi orang tua, Harger tidak pernah menyaksikan sang hakim menunjukkan sikap tak terbantahkan. Mata gelap itu mendelik tajam. Seperti sembunyi – sembunyi menyimpan sesuatu. Namun, dia sama sekali tak sanggup menggapai satu pun terhadap apa yang sedang suaminya pikirkan. Hanya sekelebat menatap ke mana arah pandang pria itu. Pun ... Harger tidak menemukan sesuatu secara spesifik, selain bahu seseorang yang telah meninggalkan tempat di mana beberapa orang berjalan keluar masuk. Tak tahan. Dia memutuskan untuk menyentuh lengan sang hakim. Pria itu
Harger meletakkan bayi kecil yang baru saja dimandikan ke keranjang. Di rumah sedang kedatangan banyak tamu. Pak Sekretaris bersama seluruh keluarga. Ada Daisy dan Mr. Thamlin. Benar – benar ramai mengagumkan. Harger tidak tahu harus berkata seperti apa bahwa dia sungguh diterima dengan sangat baik. Ada ibu mertua, saudari ipar, dan hal – hal yang sering sekali mereka perhatikan. Rasanya dia nyaris tidak diperbolehkan melakukan apa pun, bahkan meski hanya mengerjakan sesuatu di dapur, yang lagipula sang hakim akan mengajukan diri—menyelesaikan semua, kemudian mereka akan berbincang – bincang, hampir seperti berbisik agar bayi tidak terbangun. Satu hal yang tidak Harger lupakan. Charlene dan Deminti juga sudah mendatanginya, mereka tiba di Italia tanpa sepengetahuan Harger, kecuali sang hakim. Ajaibnya pria itu setuju untuk merahasiakan kenyataan tersebut sesuai permintaan Charlene, bahkan menyiapkan kejutan untuknya. Harger bahagia bahwa semua orang yang dia kenal sangat dekat,
Hari ini .... Tiba pada momen yang menegangkan. Harger tidak tahu bagaimana dia akan menghadapi proses melahirkan yang sudah berada di depan mata. Dimintai untuk berjalan – jalan lebih sering dan melakukan apa pun supaya menghadapi persalinan dengan mudah. Tetapi Harger merasa beruntung memiliki suami seperti sang hakim. Pria itu dengan sabar menemani dia berjalan ke mana pun di taman rumah sakit. Mengerjakan apa saja yang Harger sudah tak bisa lakukan setelah menghadapi perutnya yang membesar. Seperti sekarang terjadi. Harger menahan napas ketika tanpa sengaja menjatuhkan sapu tangan, kemudian sang hakim segera membungkuk, meraih benda tersebut dan menyerahkannya kembali. “Terima kasih, Yang Mulia. Aku mencintaimu.” Saat – saat seperti ini memang dibutuhkan keromantisan. Harger berpengangan erat di lengan suaminya. Mereka berjalan sangat pelan menyusuri jalan yang dibeton, tetapi Harger sedang bertelanjang kaki. Pada beberapa momen tertentu sang hakim
Senyum Harger lagi – lagi melebar saat mengamati sesuatu yang terasa indah.Garis dua ....Tadi pagi hampir tanpa sadar dia melompat girang. Melakukan tes, lalu mendapati bahwa dirinya positif hamil, itu merupakan momen tak terlupakan setelah harus menghadapi pelbagai desakan tidak nyaman belakangan ini. Keinginan untuk muntah, golakan mual, dan semua yang menghantam Harger sebagai satu kesatuan paling mengerikan—sebuah alasan serius mengapa kebutuhan – kebutuhan tersebut akhirnya meninggalkan perasaan curiga. Dia telah mengambil keputusan yang tepat dengan mengetahui kebenaran terlalu dini.Langkah Harger tentatif mendekat ke lemari pakaian. Ada sesuatu yang perlu dia lakukan sebelum memberitahu informasi ini kepada suaminya. Ya, meletakkan benda pipih di tanganya ke dalam kotak persegi panjang, lalu pelan – pelan membongkar lipatan kain di dalam rak demi mengambil sesuatu di sana. Pakaian rajut bayi buatan tangan Daisy, yang masih tersimpan utuh di sana, untuk kemudian
“Jika kau tidak pernah siap, kita tidak akan turun, Harger.”Harger mengerjap setelah beberapa saat jatuh ke dalam pemikiran usang di benaknya. Semua sudah saling memaafkan. Sesuatu yang mengikuti di belakang bahunya kan selalu mengingatkan bahwa Laea sudah tenang di mana pun wanita itu berada. Tidak ada yang akan Harger katakan. Dia menatap sang hakim dengan sudut bibir melekuk tipis. Mereka memang memutuskan untuk berziarah ke makam Laea. Banyak yang ingin Harger curahkan, meski dia mungkin tak mengeluarkan suara ke permukaan sementara sang hakim ada di sampingnya. Hanya menatap setengah kosong pada undakan tanah yang indah—terawat begitu baik, dengan rumput – rumput terpotong begitu rapi merata.Ujung tangan Harger terulur meletakkan buket mawar, kemudian menyentuh nisan atas nama saudari perempuannya. Sedikit rasa sesak seperti berusaha menumbuk jantung Harger. Berulang kali dia berusaha menarik napas pelan, dan mengembuskan ke udara, tetapi kadang – kadang matanya
“Apa yang kau pikirkan, Deu?” Harger bertanya sarat nada lambat. Hati – hati dia menyentuh punggung tangan sang hakim. Perlahan menautkan jari – jari tangan mereka, lalu meremasnya lembut. “Kau kepikiran soal adikmu? Apa yang benar – benar sudah kalian bicarakan? Aku hanya dengar beberapa, tapi yakin kau tidak akan seperti ini jika bukan karena sesuatu. Sekarang ceritakan padaku?'" Tadinya, Harger memang tak berniat mencampuri lebih banyak. Merasa tidak berhak. Namun, jika pada akhirnya Deu akan terus – terusan terpengaruh, dia tidak akan bisa menahan diri. Tidak tahu kapan sang hakim akan selesai dengan perselisihan batin yang terlihat luar biasa mencolok. Harger akan menunggu. Semenit, dua menit, hingga waktu yang berjalan seperkian saat. Cukup lama ... lalu embusan napas sang hakim terdengar kasar. “Astoria menolak perintahku untuk meninggalkan bajingan itu.” “Dengan mengakui bahwa Orion tidak pernah tahu dia hamil, aku rasa bukan
“Aku bingung bagaimana alat peledak bisa berada di kepala Orion. Memangnya seberapa kecil ukuran alat peledak itu?”Harger bicara sayup – sayup di dapur sambil memegangi senter untuk menerangi pemandangan di sekitar suaminya. Sang hakim sibuk menyiapkan lasagna menjadi potongan sama rata setelah tadi ... menyalakan kembali ke api oven, dan mereka menunggu beberapa saat.Wajah tampan itu benar – benar begitu serius. Harger mengembuskan napas cukup kasar ... ntah kapan sang hakim akan menjawab pertanyaannya.“Deu.”Harger tidak akan tahan ketika sang hakim hanya diam. Masing – masing potongan lasagna diletakkan di atas piring, yang kemudian disusun di atas nampan—akan siap dibawa ke ruang tamu. Tetapi sebelum itu, iris gelap sang hakim mendadak fokus menatap lurus ke depan, seolah sedang memikirkan sesuatu, atau mungkin telah berniat memberi Harger tanggapan.“Ukurannya sebesar kapsul obat, yang dimasukkan melalui rongga hidung dengan cara ditembak.”Seharusnya