Suasana meriah tampak memenuhi restoran daging milik keluarga Bristol. Dekorasi sederhana namun hangat menghiasi sudut ruangan, menyambut kepulangan putri kesayangan mereka.
Begitu Eva Bristol, gadis cantik bermata coklat melangkah turun dari mobil, suara terompet kecil langsung terdengar, mengiringi langkahnya memasuki restoran.
"Tarraa! Selamat datang, putri kecil Ayah,” sambut hangat Adam Bristol, pria paruh baya dengan senyum bangga. Di sampingnya berdiri Liliy, sang istri, yang juga tak kuasa menyembunyikan kebahagiaan di wajahnya.
Melihat sambutan itu, Eva tersenyum bahagia. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas ternama di London, kini ia kembali ke kampung halaman dengan tekad menjadi wanita karier yang ia impikan.
“Terima kasih, Ayah... Ibu,” ucap Eva, memeluk kedua orangtuanya dengan erat.
Tak jauh dari mereka, Bryan Winston sahabat dekat Eva sejak kecil tersenyum ikut merasakan kebahagiaan gadis itu. Namun senyum Bryan tak hanya sekadar senyum sahabat; ada tatapan lembut penuh arti yang tertuju pada Eva. Dan Eva tidak pernah menyadari hal itu, sama seperti Bryan yang tidak pernah peka dengan perasaannya.
Tuan Adam menyadari tatapan itu dan langsung berdeham pelan. “Ehem... Kalian berdua tadi kan sudah cukup lama di mobil. Sekarang makanlah yang banyak. Dan, Bryan, bantu Om sebentar, ya?”
Bryan sempat tersentak, menyadari lamunannya buyar seketika. “Iya, Om,” sahutnya sedikit gugup, menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal.
Eva yang memperhatikan gelagat Bryan hanya menahan senyum. Ia pun berpamitan sebentar pada ibunya. “Bu, aku menyusul sebentar ya, mau kirim pesan ke teman kampus.”
Liliy hanya mengangguk dan membalas lembut, "Iya, jangan lama. Ini kan pestanya kamu.”
“Iya, Bu,” jawab Eva singkat, lalu beranjak dengan ponsel di tangan.
Di sudut ruangan, suara ketikan keyboard terdengar pelan namun cepat. Ekspresi Eva tampak murung. Ia baru saja kembali ke kota Levita, tapi kekasihnya belum juga memberi kabar. Sudah beberapa pesan ia kirimkan, namun belum satu pun mendapat balasan.
“Kenapa dia tidak juga membalas," gumam Eva lirih, menggigit ujung kukunya yang tampak sudah pendek. Perasaan cemas dan kecewa perlahan menyelimuti hatinya.
Sementara itu, Bryan yang sedang membantu memindahkan botol-botol kosong diam-diam memperhatikan Eva dari kejauhan. Tatapannya menelisik, seolah memahami kegelisahan sahabatnya itu.
“Kalau sudah selesai, ayo makan bareng Om dan Tante di sana,” suara Tuan Adam yang tiba-tiba muncul dari belakang membuat Bryan sedikit terkejut.
“O-oh, iya Om,” jawab Bryan, buru-buru mengalihkan pandangan.
Tuan Adam menepuk bahunya ringan. “Baiklah, Om ke meja dulu ya.”
Begitu Bryan menoleh kembali ke sudut tempat Eva berada, ia mendapati gadis itu telah pergi.
Sementara itu, dengan perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan, Eva diam-diam meninggalkan pesta. Langkahnya membawanya ke tempat kos sang kekasih, berharap mendapat sedikit kejelasan dari sikap dingin pria itu belakangan ini.Namun, baru sampai di depan pintu, Langkah Adelia terhenti saat mendengar suara kekasihnya, ia tidak mungkin salah mengenali suara yang familiar itu.
“Sayang, hari ini kekasihmu katanya akan pulang, kenapa kamu nggak jemput, katanya kamu cinta banget sama dia,” suara itu terdengar menggoda dan akrab, menusuk telinga Eva
Disusul jawaban yang tak kalah menyakitkan. “Ah, nggak usah. Lagi pula mana mungkin aku mencintainya, wajah dingin tanpa ekspresi itu membuat pria mana pun tidak akan bernafsu padanya."
Tawa si wanita terdengar lebih keras, penuh ejekan. “Ih, jahat banget, kamu ini,” ucapnya sambil tertawa genit.
Ucapan dan suara-suara itu menghantam dada Eva seperti palu godam. Tangannya mulai berkeringat, dan tubuhnya sedikit bergetar menahan emosi. Akan tetapi sebagian dirinya menolak percaya, bahwa ucapan tersebut keluar dari pria yang dicintainya selama lebih dari satu tahun itu.
Tak mampu lagi menahan amarah, Eva mendorong pintu dengan keras hingga engselnya nyaris copot. Entah dari mana datangnya tenaga itu, tapi amarah yang membuncah seolah memberinya kekuatan lebih. Namun saat Adelia melongok ke dalam ruangan kakinya sontak melemas. Di sana Juan kekasih yang di cintainya sedang bercumbu mesra dengan wanita lain.
“Dasar brengsek!” teriak Eva lantang. Suaranya menggema memenuhi kamar sempit itu, membuat sepasang kekasih gelap yang tengah larut dalam gairah seketika panik dan terlonjak kaget.
“E-Eva?!” seru pria itu tergagap, buru-buru menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
“Aku bisa jelaskan! Ini semua nggak seperti yang kamu bayangkan,” ucapnya tergesa, mencoba mendekati Eva.Namun Eva segera mundur dua langkah, tatapannya penuh jijik. “Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu.”
Nafasnya berat menahan marah. “Aku benar-benar percaya kamu, dan kamu balas semuanya dengan cara sehina ini? Aku kira kamu setia, ternyata kamu cuma sampah!”
Ucapan itu menusuk. Pria itu tak terima dan balas membentak, “Kurang ajar! Dasar wanita!” Tangannya terangkat, hendak memukul Eva dalam luapan emosinya.
Namun sebelum sempat menyentuhnya, sebuah tangan lain datang menepis dengan keras. Bryan muncul entah dari mana, dengan sorot mata tajam penuh perlindungan. Tanpa pikir panjang, ia langsung melayangkan pukulan telak ke wajah pria itu, membuatnya terhuyung jatuh ke lantai.
“Laki-laki sejati nggak akan pernah mengangkat tangan pada perempuan,” ucap Bryan dingin, tinjunya masih mengepal kuat.
Eva tertegun. Matanya membelalak saat melihat Bryan berdiri di hadapannya, seperti tameng hidup yang tak pernah ia minta, tapi selalu ada di saat paling dibutuhkan.
“Bryan…” ucapnya lirih, nyaris tak percaya pria itu datang tepat waktu.
Pria itu bangkit dari lantai setelah menerima pukulan dari Bryan. Alih-alih meminta maaf, ia justru memutar balik keadaan dan mencoba memojokkan Eva.
“Haha… jangan-jangan kamu juga selingkuh di belakangku, ya?” tudingnya sinis, pandangannya bergeser ke arah Bryan yang berdiri melindungi Eva.
Eva tercengang, hatinya makin terluka oleh tuduhan tak berdasar itu. “Kau menuduhku? Padahal jelas-jelas kau sendiri yang berselingkuh! Dasar pengecut!” balas Eva dengan suara gemetar menahan emosi.
“Udahlah, ngaku aja. Kita sama-sama kesepian, bukan? Jadi jangan sok bersih,” ucap pria itu enteng, seolah tak merasa bersalah sedikit pun. Ia mendekat dengan sikap yang membuat bulu kuduk Eva berdiri.
Bryan segera melangkah ke depan, menahan pria itu dengan sorot mata tajam. “Coba dekati Eva satu langkah lagi, dan kali ini bukan wajahmu yang aku hajar,” ucap Bryan tegas, suaranya rendah namun jelas mengandung ancaman.
Pria itu pun mengurungkan niatnya. Bryan segera membawa Eva pergi dari tempat itu dan menjauhkannya.
Malam itu, mereka duduk di sebuah bar kecil di hotel. Dua botol whisky menemani keheningan yang menyelimuti mereka. Wajah Eva tampak merah, mata sembab dan lelah setelah menangis cukup lama.
“Jangan terus-terusan nangis… Masih banyak pria yang lebih pantas untuk kamu,” kata Bryan berusaha menghibur, meski ekspresinya terlihat kikuk dan sedikit kaku.
Mendengar itu, Eva justru tersedu kembali. “Ugh… kenapa kamu malah ngomong gitu… Aku jadi makin sedih,” ucapnya pilu, lalu kembali menuangkan minuman ke gelas kecilnya.
Bryan tampak canggung melihat Eva dalam kondisi seperti itu. Ia meraih gelasnya, mencoba menghentikannya. “Udah, jangan minum lagi. Aku bisa dimarahin Om sama Tante nanti,” katanya sambil merebut gelas dari tangan Eva. Tanpa sengaja, minuman itu tumpah dan membasahi bagian depan gaun putih yang Eva kenakan.
Bryan menelan ludah, tubuhnya menegang saat melihat kain tipis itu menjadi transparan. Cairan emas itu meresap tepat di area dada, membuatnya sulit mengalihkan pandangan.
Eva yang sudah mulai kehilangan kesadaran, justru menatap Bryan dengan pandangan sayu. Lalu, tanpa peringatan, ia menarik Bryan dan menciumnya singkat namun mengejutkan.
“E-Eva… apa yang kamu lakukan?” tanya Bryan panik, berusaha menahan diri agar tak terbawa suasana.Namun ciuman itu tidak berhenti di situ. Eva memeluknya erat, tubuhnya bersandar lemah sambil menggumam, “Sakit, Rian… Hatiku sakit… Aku cuma butuh pelukan.”
Bryan diam. Dalam benaknya, perasaan sebagai sahabat dan pria yang diam-diam mencintainya bertabrakan. Ia tak tahu harus bersikap seperti apa. Namun yang pasti, malam itu segalanya berubah.
Keduanya akhirnya berpindah ke kamar hotel. Bryan yang gugup, memesan satu kamar untuk mereka berdua. Eva terbaring lemah, dan Bryan berlutut di sampingnya, mencoba menyadarkannya.
“Eva, hey… kamu harus sadar,” ucap Bryan lembut, mengusap wajah Eva.
Namun Eva justru menarik kerah bajunya, membuat mereka berdua jatuh ke atas kasur, tubuh mereka saling bertindihan. Nafas Bryan tercekat, tubuhnya menegang. Ia berusaha menahan diri, namun ketika Eva menyentuh dadanya dan bergumam, “Aku mau ini…” hatinya goyah.
Bryan menggenggam tangan Eva. “Kalau ini terjadi… jangan salahkan aku,” bisiknya. Ia tahu, garis persahabatan mereka telah mulai pudar malam itu, dan saat kesadaran kembali esok pagi, segalanya tak akan pernah sama lagi.
Akankah hubungan mereka tetap seperti dulu?
Bryan berdiri tegak di altar, jas hitamnya terpasang sempurna, namun getar halus di ujung jarinya tak bisa ia sembunyikan. Ruangan penuh cahaya itu dihiasi deretan bunga lili dan mawar putih yang semerbak, berpadu dengan denting piano yang mengalun lembut, seolah menenangkan sekaligus menegangkan setiap jiwa yang hadir.Hari itu seharusnya menjadi momen paling bahagia, hari di mana ia dan Eva akhirnya mengucapkan janji suci. Keputusan yang dipercepat, setelah Bryan berhasil meyakinkan Eva untuk menutup telinga dari rumor, dan memilih tetap melangkah bersamanya.“Tenanglah… jangan gugup,” batinnya bergumam, sembari membetulkan dasi pita yang terasa semakin menyesakkan lehernya. Tatapan tamu undangan, dari sanak keluarga hingga sahabat-sahabat terdekat, tertuju penuh harap pada dirinya. Ada yang tersenyum tulus, ada pula yang hanya berbisik penuh tanda tanya.Lalu, pintu besar itu terbuka. Cahaya matahari yang menembus kaca berwarna-warni gereja
Setelah melihat foto vulgar yang mirip dengan Eva, dada Bryan seakan diremas. Ia bergegas menyusul Eva, hatinya diliputi kebingungan.Setibanya di rumah, ia menekan bel berkali-kali, namun tak ada jawaban. Nama Eva ia seru berulang, tetap saja hening. Rasa panik merayapi tubuhnya, hingga sebuah ingatan terlintas begitu saja. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju tempat itu.Dugaan Bryan ternyata tepat. Eva duduk terpaku di bangku kayu taman bermain, wajahnya tertunduk, bahunya bergetar menahan tangis. Hari yang seharusnya penuh kebahagiaan, justru menyisakan luka dalam hatinya.Langkah Bryan perlahan terhenti di hadapannya. Dengan suara pelan ia berkata, “Eva… apa karena ini kamu tidak ingin bercerita padaku?”Eva tersentak, buru-buru mengangkat wajahnya. Matanya yang sembab menatap Bryan penuh keterkejutan. “Kamu… bagaimana bisa kamu tau aku ada disini,” bisiknya lirih.“Jawab saja, Eva. Aku tidak ingin
“Bryan!” seru Eva, matanya terbelalak lega ketika suara yang sangat ia kenal terdengar tepat di hadapannya.Nyonya Lea segera menarik tangannya, wajahnya masam. “Hei, Nak, sebaiknya kau jangan ikut campur. Perempuan ini memang pantas mendapat tamparan!” ujarnya ketus, menatap lelaki itu tanpa menyadari bahwa dialah calon suami Eva.Sorot mata Bryan menajam, rahangnya mengeras mendengar penghinaan itu. “Berani sekali kau mengangkat tangan padanya. Memangnya kau siapa hingga bisa memperlakukan calon istri saya dengan cara seperti itu?!” suaranya dingin menusuk.Nyonya Lea sempat terkejut, namun segera tersenyum miring penuh kelicikan. “Oh, jadi kau laki-laki malang itu?” sindirnya tajam. “Dengar baik-baik, Nak. Wanita ini tidak pantas bersanding denganmu. Dia kotor, sok suci, dan hanya akan mempermalukanmu!”Tubuh Eva bergetar hebat. Air mata mulai memenuhi pelupuknya, bukan karena hinaan, tapi kar
Keduanya bergegas menuju ruangan itu, raut wajah Eva tampak makin gusar setelah mendengar suara keras dari dalam.“Ibu… jangan-jangan ayah,” gumam Eva pelan, tatapannya penuh was-was pada ibunya yang juga terlihat cemas.“Hus, jangan asal bicara. Mana mungkin ayahmu sampai memukul Bryan,” sahut sang ibu, meski nada suaranya terdengar sama khawatirnya.Tak sanggup menahan rasa penasaran, Eva langsung menarik daun pintu dengan agak keras. Namun, begitu pintu terbuka, keduanya justru terpaku kaget, ayahnya dan Bryan ternyata tengah duduk berhadapan sambil serius memainkan papan catur.“Ayah!!” teriak Eva spontan, wajahnya pucat, seolah-olah baru saja menyelamatkan Bryan dari sesuatu yang berbahaya.Tuan Adam terlonjak kaget, bidak catur di tangannya hampir jatuh. “Eva? Kenapa kamu masuk begitu saja?” tanyanya bingung melihat putrinya dan istrinya menatapnya dengan wajah panik.Sementara itu
“Aku menerima pernikahan ini... bukan karena aku mencintaimu,” ucap Eva akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup untuk membuat hati Bryan terasa tergores.Bryan menatapnya lekat, sorot matanya berubah, namun ia tetap tenang. Eva memberanikan diri menatap sahabatnya itu, yang kini berada di ambang harapan dan luka.“Tapi... aku harap kamu bisa mengerti,” lanjut Eva, mencoba jujur pada akhirnya.Bryan mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang jelas terpancar dari sorot matanya. “Tidak apa-apa,” katanya dengan suara pelan, lalu menarik napas dalam. “Tapi… ada satu hal lagi yang ingin aku tahu. Aku harap kamu bisa jujur kali ini.”Eva menatapnya dengan bingung. Ia tidak menduga bahwa Bryan akan bersikap setenang ini. Bukannya lega, justru ada rasa sesak yang tumbuh di dadanya. Apakah ia terlalu menyakitinya, atau Bryan justru menahan kecewa?“Jujur tentang apa?&rdq
Setelah mendengar suara Eva di telepon yang terdengar seperti menerima lamarannya, Bryan tidak bisa diam. Ia pun dengan cepat menemui Eva, meskipun ada rasa bahagia, namun bercampur dengan kegelisahan, tanpa sadar ia sudah berdiri di depan pintu rumah gadis itu. Dadanya berdebar kencang, dan darahnya berdesir naik ke kepala, membakar setiap pikirannya dengan tanda tanya.Ia menekan bel dengan tangan yang sedikit berkeringat, menelan ludah sembari berharap dirinya tak salah dengar. Namun, harapan itu mendadak berubah getir saat pintu terbuka.Eva berdiri di ambang pintu dengan mata sembab dan wajah sendu. Senyum yang sempat menghiasi wajah Bryan langsung pudar, berganti kecemasan yang mendalam.“Apa yang terjadi, Eva? Matamu... kamu habis menangis?” tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.Eva buru-buru memalingkan wajah, menyembunyikan air mata yang masih menggantung di ujung bulu matanya. “Aku... aku baik-baik saja,” ujarnya pelan,