Baru hari pertama sudah party. Akhirnya Sagara membuktikan sendiri motto hidup khas anak- anak muda hedon ibukota. Belajar, bekerja lalu pelariannya berpesta pora. Oh astaga! Mereka baru saja diterima magang, namun jalan yang dipilih untuk menjalin keakraban adalah justru dengan open table? Budaya dari mana ini?
Sagara mengiyakan ajakan sesama rekan magangnya untuk makan malam bersama. Katanya mereka hanya akan makan malam di salah satu resto dekat kantor sebagai bentuk ucapan selamat karena telah diterima magang dan sekaligus mengakrabkan diri. Jadilah sepuluh orang muda mudi itu beriringan masuk menikmati makan malam dengan menyenangkan.
Namun Sagara tidak pernah tahu bahwa akan ada acara lanjutan setelahnya. Dia tidak pernah tahu bahwa acara makan malam yang tadinya diisi riuh tawa kini berubah jadi gemerlap malam berisik ditemani belasan botol alkohol berjejer rapi diatas meja.
Entah sudah berapa botol yang tandas tak bersisa. Sagara hanya bisa mengamati dan berusaha bersosialisasi tanpa harus dicemari oleh cairan laknat tersebut.
Sagara bukan peminum handal. Dia harus mengakui bahwa toleransi alkoholnya cukup rendah. Maka dari itu ia berusaha kuat untuk tidak mencicip sedikitpun minuman dengan kadar alkohol tinggi itu. Berkali- kali Sagara menolak saat rekannya menawarkan minum padanya. Jujur ia tidak bisa begitu keras pada mereka, namun Sagara juga tidak mau mempertaruhkan dirinya sebagai resiko apabila nantinya ia menenggak cairan tersebut.
Melirik jam pemberian sang mama yang bertengger di tangan kirinya, Sagara tahu ia tidak bisa berlama- lama disini. Meskipun tadi ia sudah mengirim pesan dan mendapatkan izin dari Natalia, Sagara tidak boleh sampai menyeleweng. Apalagi setelah menyadari bahwa teman- temannya sudah mulai gila sekarang.
Sagara mendekati Mario yang duduk diseberangnya.
"Yo, gue balik aja, ya!" Pamit Sagara dengan sedikit berteriak di telinga Mario.
Mario merangkul bahunya dan justru menggeleng pelan, "masih sore, Gar! Mau kemana sih lo buru- buru? Banci aja belum mangkal!" Balasan yang sama sekali tak dapat Sagara pahami letak korelasinya. Mario mode sadar cukup cerewet dan banyak bicara. Tapi Mario mode mabuk lebih parah lagi, omongannya sudah semakin melantur.
"Gue kan numpang tinggal sama keluarga jauh. Gak enak kalo pulangnya kemaleman apalagi karena minum- minum," elak Sagara.
Mario membulatkan bibirnya lalu sedetik kemudian mengangguk paham. Namun bukannya melepaskan Sagara, lelaki itu justru memanggil Claudia—rekan magang sekaligus penggagas utama pesta malam ini. Entah kenapa Sagara justru punya firasat buruk soal ini.
"Beb! Ini nih si Sagara mau balik duluan! Gimana?"
Claudia melirik Sagara. Gadis itu menggeleng pelan, "emang mau kemana sih, Gar? Besok kan kita mulai masuknya di project siang. Lo gak perlu dateng pagi- pagi buta," cecar Claudia.
Memang benar. Sagara jelas tidak bisa beralasan bahwa mereka harus tidur lebih awal supaya bisa bangun pagi dan bekerja dengan baik besok. Tapi apapun itu, Sagara tahu dia harus segera keluar darisini. Maka dia gunakan lagi alasan jujurnya seperti apa yang dia sampaikan pada Mario.
Claudia merengut sebal namun sepertinya gadis itu tak berniat untuk kekeh mencegah Sagara. Gadis itu melirik gelas bagian Sagara yang masih penuh tak tersentuh.
"Oke! Lo boleh balik duluan, tapi setidaknya lo harus habisin ini dulu!"
Sagara hampir melotot usai Claudia menyodorkan segelas minuman yang entah apapun namanya tapi jelas beralkohol. Beberapa rekan dibelakangnya juga turut menyoraki Sagara agar segera menandaskan bagiannya.
"The bill's on me! Lo nggak menghargai gue sebagai rekan seperjuangan lo kalau nggak minum bagian yang memang semua rata harus minum. Lo nggak kasian sama gue? Susah- susah gue traktir tapi malah nggak dihargai?"
Sagara bisa saja berdalih bahwa sejak awal pun dia tidak meminta Claudia untuk membeli atau bahkan membayar semua malam ini. Namun mendebat gadis itu sepertinya hanya akan membuat tiket pulangnya semakin menjauh. Maka mau tak mau, pada akhirnya Sagara menenggak habis cairan dalam gelas kecil tersebut.
Baiklah, hanya satu gelas kecil harusnya tidak masalah.
Meraih gelasnya kasar dan habis dalam satu kali tenggak, Sagara bahkan menunjukkan bahwa tak ada setetespun yang tersisa dari gelasnya. Setelah aneka sorakan riuh ramai itu, pada akhirnya lelaki dua puluh tiga tahun itu bisa keluar dari ruangan itu.
Sagara buru- buru memesan ojek online agar bisa segera sampai rumah tepat waktu. Seingatnya, perjalanan dari kantor menuju rumah akan memakan waktu tiga puluh menit apabila tidak diserang kemacetan.
Meski hanya satu gelas kecil, Sagara benci mengakui bahwa sepertinya efek alkohol telah bekerja padanya, dia mulai merasakan pening sekarang. Rasa tak nyaman di tubuhnya menjalar cukup cepat. Sagara bahkan harus memicing untuk memastikan bahwa plat kendaraan yang mendekat kearahnya sudah sesuai dengan nomor yang tertera di aplikasi hijaunya.
"Sesuai aplikasi ya, pak!"
Begitu masuk ke dalam mobil, Sagara menutup matanya pelan. Berupaya mengusir pening dan reaksi aneh dalam tubuhnya. Sedikit merutuk di sela kesadarannya—mencemooh diri sendiri akibat rendahnya toleransi alkohol yang dia miliki. Saat ini, satu- satunya hal yang bisa dia lakukan adalah memejamkan matanya yang semakin berat dengan harapan pening itu bisa segera sirna.
Kelanjutan dunianya tak Sagara ingat sama sekali. Kegelapan itu menelan kesadarannya tanpa ampun. Tak ada kemilau bunga mimpi ataupun pergerakan yang dia ingat. Mahasiswa semester akhir itu merasa hanya tidur lelap sebentar sebelum akhirnya menemukan bahwa fisiknya tiba- tiba sudah terbaring nyaman di ranjang, bukan lagi kursi penumpang.
Lelaki itu berkedip pelan tiga kali berusaha menajamkan penglihatannya. Sistem pada tubuhnya perlahan mulai bekerja dan membuatnya menyadari keganjilan yang mendera. Cahaya, aroma, dan lingkungan ini sedikit asing baginya. Bagaimana dia bisa sampai disini?
Pikirannya semrawut, perlu waktu sepuluh detik baginya untuk kembali menyadari bahwa ini bahkan bukanlah kamarnya.
Belum usai menelan overthinking, Sagara melotot saat menemukan presensi wanita yang keluar dari kamar mandi dengan mengenakan sesuatu yang bahkan sama sekali tak dapat Sagara kategorikan sebagai seperangkat pakaian layak.
Wajah itu mulai jelas dalam penglihatannya, netra Sagara membulat. Astaga! Sedang apa Bu Natalia disini?! Apakah wanita itu menemukannya dalam kondisi mabuk semalam?
"Sudah bangun?"
Natalia menatapnya datar. Wanita itu berjalan mendekat lalu duduk di tepi ranjang—mengunci pandang pada Sagara yang nampak jelas raut paniknya.
Sagara mundur ketika wanita usia tiga puluhan itu mencondongkan tubuh kearahnya. Semerbak wangi floral memenuhi penciuman Sagara. Lelaki itu mati- matian berusaha menjaga pandangan agar tidak berpikiran tidak senonoh. Namun pandangan datar Natalia yang menghunus seolah mempunyai kekuatan yang lebih dari cukup untuk mengintimidasinya. Ditambah lagi, Sagara jadi merinding karena jemari lentik nan dingin itu tanpa gentar menyentuh dada telanjangnya.
Apalagi ini? Sagara bahkan baru sadar bahwa kini dalam kondisi bertelanjang dada?
Lidahnya kelu, Sagara kacau balau namun tak bisa berkutik sekarang.
Senyum tipis terbit di sudut bibir pemilik nama Xaviera itu. Apalagi ketika jemari dinginnya merambat naik untuk menyentuh dagu Sagara.
"Saya nggak mau mendengar alasan klise. Kamu nggak bisa pura- pura melupakan apa yang sudah terjadi semalam!"
Sagara dan Natalia sampai di taman kota setelah berkendara dari rumah kediaman keluarga besar Xavier. Padahal tadi mengatakan ingin segera pulang karena lelah ingin istirahat, namun ternyata dua insan itu justru berlabuh di sebuah taman kota dekat perumahan Natalia. Ini pukul sepuluh malam, Sagara tidak punya alasan khusus untuk membelokkan mobil dan berhenti disini padahal rumah Natalia hanya sekitar sepuluh menit lagi.Sejujurnya, Sagara hanya berusaha untuk memperbaiki mood sang kekasih yang sepertinya hampir murka. Meskipun Natalia hanya diam saja—justru lebih menakutkan karena dia diam saja. Lelaki itu percaya bahwa dirinya tak sepenuhnya salah, hanya saja perlu cukup usaha untuk menenangkan titisan naga api bertopeng cantik yang akan siap menyembur kapan saja itu. Keduanya berjalan menyusuri taman yang meskipun gelap namun masih punya cukup cahaya dari lampu-lampu taman yang diletakkan di banyak sudut. Pemerintah kota cukup murah hati rupanya, mereka mungkin mendengarkan aspira
Natalia melongo saat menemukan sang kekasih sudah berdiri di depan lobby kantornya dengan santai. Dia memeriksa kembali penanda waktu yang melingkar di tangannya, benar kok ini jam 5 sore waktu setempat. Wanita itu berjalan pelan mendekati pria yang sibuk dengan ponselnya itu, bersandar di tembok pilar. Memastikan lebih dekat bahwa benar dia tidak salah lihat si tampan yang berada dihadapannya itu. “Kenapa kamu disini?” Pertanyaan Natalia membuyarkan kegabutan Sagara. Laki-laki itu tersenyum dengan sumringah saat menemukan Natalia sudah berada dihadapannya dengan tampang kebingungan.Alih-alih langsung menjawab, Sagara lebih memilih untuk langsung merebut tas file yg Natalia bawa. Juga mengamit lengan wanita itu untuk membawanya ke parkiran. Tentu saja pemandangan manis itu tidak luput dari perhatian pegawai lainnya yang juga berada di lobby.Natalia menahan Sagara dengan menarik sisi belakang jasnya.“Tunggu! Kamu belum menjawab pertanyaanku!”Tentu saja, siapa yang mau mengekor b
Kendaraan roda empat berwarna hitam semi glossy itu berhenti tepat di depan pintu masuk utama Xavier Group. Sagara yang berada di kursi kemudi menghentikannya dengan stabil. Menoleh kearah kekasihnya yang kini duduk disampingnya sudah lengkap dengan tampilan kerjanya yang menawan.Natalia meliriknya dengan senyum masam, "Kamu tidak perlu repot-repot mengantarku begini padahal," ujarnya sebal setelah kalah adu argumen saat di parkiran rumah tadi. Sagara ngotot minta mengantarnya ke kantor sebelum dia kembali ke kotanya. Suatu tindakan yang menurut Natalia sangat buang-buang waktu mengingat arah kantor dan juga arah bandara sangat berbanding terbalik. Jelas Sagara harus putar arah lagi nantinya.Mendengar keluhan dari sang kekasih, Sagara hanya bisa tersenyum tipis. Dia mendaratkan tangan lebarnya untuk menyentuh puncak kepala Natalia, memberinya sebuah belaian sayang penuh perhatian."Kamu yakin bisa bekerja hari ini?"Pertanyaan yang sia-sia karena mereka sudah berada di depan pintu
Suara ketik yang mengalun lembut merayap memasuki pendengaran Natalia. Wanita itu perlahan membuka matanya—rasa kantuk sudah mulai sirna berkat cahaya tipis yang turut menembus jendela. Natalia melirik bagian sisi kanannya, menemukan lelaki dengan kaos polos bersandar sembari serius memandangi laptop di pangkuannya. Jari jemari laki-laki itu menari lincah diatas keyboard. Rambut acak-acakan dan tampilan paginya yang super fokus itu nampak sangat seksi di mata Natalia sekarang.Semalam saat Natalia menyarankan sebuah tidur yang berkualitas, wanita itu benar-benar berupaya mewujudkannya dengan serius. Benar-benar tidur yang nyaman dengan sebuah pelukan sepanjang malam yang dia harap bisa merecharge kembali energi mereka berdua setelah bekerja keras seharian.Natalia melirik jam dinding, pukul enam lebih tiga puluh menit di pagi hari. Sebenarnya sudah cukup siang namun mereka masih punya cukup waktu untuk tidur sebelum mulai bersiap beraktivitas hari ini. Tapi lihat? Bahkan sepagi ini sa
Saat cincin itu melingkar di jari manisnya, Natalia merasakan sensasi hangat yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Matanya membelalak sejenak, tercengang oleh kejutan yang tak terduga. Dalam keheningan penuh emosi itu, Sagara menatapnya dalam-dalam, bibirnya tersenyum penuh arti."Aku tahu orang tua kita bahkan sudah curi start lebih dulu. Tapi tentu tidak adil jika kita yang katanya sudah terlalu matang ini hanya mengikuti arahan. Aku rasa aku tetap perlu melamarmu secara langsung," bubuh Sagara sembari menatapnya lembut. Tubuh Natalia kaku di pangkuan Sagara. Wanita itu masih menatap cincin dan Sagara secara bergantian. Apalagi sentuhan lembut Sagara pada jemarinya turut membuat wanita itu menghangat dalam hati. “Natalia,” kata Sagara dengan suara lembut namun penuh keyakinan, “aku sudah memikirkan ini sejak lama. Kamu adalah segalanya bagiku, dan aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Maukah kamu menikah denganku?”Natalia dipenuhi oleh campur aduk perasaan—kebah
Natalia membuka matanya dengan paksa saat mendengar nada dering yang mengganggu pertapaannya di bath tub. Wanita itu hanya bisa melirik ponsel yang teronggok di meja wastafel tersebut tanpa berniat mengambilnya. Dia menghela nafasnya malas. Daripada harus buru-buru mengangkat panggilan, Natalia lebih memilih untuk menghentikan aktivitas berendamnya yang sudah berjalan selama kurang lebih lima belas menit.Sebenarnya, dia pun merutuk pada diri sendiri. Kalau tahu tak akan menerima panggilan atau memegang ponsel, kenapa juga dia harus membawanya ke kamar mandi?Secara bertahap dan perlahan, Natalia menarik handuk mandinya lalu keluar dari bath tub. Aroma flowery menyeruak sebab malam ini dia memilih wewangian itu untuk menenangkan pikirannya setelah lelah bergelut dengan pekerjaan.Usai memanjakan diri, barulah Natalia mengambil ponselnya. Sedikit terkejut dengan mata setengah melotot saat melihat nama pemanggil dan membaca pesan yang pemilik nomor itu kirimkan padanya. 'Aku ada di dep
Sagara mengusap sudut bibirnya yang belepotan bekas pewarna merah milik Natalia. Tersenyum miring saat mengingat memori singkat keduanya yang baru saja terjadi lagi. Dia bersandar pada tembok di rooftop, entah apakah kejadian tadi diantara mereka bisa membuka jenis hubungan baru buat keduanya.Satu kali lagi Sagara membenahi tatanan dasinya yang sedikit berantakan sebab diacak Natalia tadi. Lelaki itu juga memasang kembali jasnya yang sudah dikembalikan oleh wanita yang dengan wajah memerah buru-buru turun meninggalkannya sendirian disini. Pada akhirnya, Sagara turun dengan perasaan yang lebih lega daripada sebelumnya. Bibirnya terus mengulas senyuman tipis sepanjang perjalanannya menuju ballroom pesta. Pesta yang mendadak dan secara terpaksa dia hindari ternyata memberinya sebuah kesempatan luar biasa. Seperti yang Natalia katakan tadi padanya, sangat tidak sopan kalau Sagara meninggalkan pesta tanpa memberikan selamat kepada sepasang mempelai yang menghelat acara ini. Maka Sagara
"Mbak Lia dimana?" Gisela menggendong sang putri yang mulai mengantuk setelah hampir dua jam berada di pesta pernikahan. Putri kecil itu menggeliat hampir tantrum dan mulai merengek sehingga dia dan Samuel siaga untuk segera meninggalkan kursi mereka. Samuel menggeleng, laki-laki itu mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru ruangan berusaha menemukan keberadaan sang kakak yang tiba-tiba saja menghilang setelah tadi mengucapkan selamat pada mempelai. "Sam, udah mau balik?" Tanya Darius yang menyambanginya setelah tamu-tamu mulai sibuk sendiri. Samuel mengangguk, "Iya nih, Kasihan Cia udah mulai ngantuk. Saya pamit ya Pak Darius, sekali lagi semoga pernikahannya langgeng dan bahagia," ucap Samuel dengan hormat.Laki-laki itu mengangguk dengan sedikit senyumannya. Melihat Samuel yang nampak kebingungan, Samuel kembali menerbitkan senyuman tipisnya."Natalia? Dia bawa mobil sendiri, kan?" Terka Darius yang sepertinya langsung paham kekhawatiran Samuel.Mendengar nama kakaknya disebu
Cengkraman pada pinggang ramping Natalia mengerat. Wanita itu berkedip dua kali dalam paniknya. Tatapan laki-laki dihadapannya itu masih sama tajamnya seperti dahulu. Hanya saja, Natalia dapat merasakan aura yang lebih dingin meradiasi darinya. Sesuatu yang jarang sekali Sagara Adinata kuarkan dahulu.Dengan kesadaran penuh, Natalia kembali pada posisinya. Berdiri tegap membenahi helaian gaunnya yang sudah sedikit berubah tatanannya. Debaran jantungnya menggila entah karena hampir mencederai kepalanya sendiri atau karena bertemu lagi dengan laki-laki masa lalunya. Presensi yang sebenarnya tak pernah absen dari pikirannya."Apa yang sedang kamu lakukan disini?" Tanya Natalia dingin. Wanita itu membuang tatapannya kearah lain. Dua tangannya secara refleks memeluk lengannya yang terekspos akibat potongan off shoulder tersebut.Sagara tak melepaskan pandangannya dari detail gesture kecil seperti itu. Tangannya secara otomatis membuka kancing jasnya dan melepas kain tebal tersebut."Mengha