Setelan baru karya tangan desainer ternama dan tampilan rambut klimis sempurna membuat penampilan Davian menyala luar biasa pagi ini. Dekorasi mewah dan tamu undangan yang berasal dari kalangan atas, Davian pikir dia tidak akan punya kesempatan berada dalam pesta mewah seperti ini. Tapi lihat? Justru kali ini dialah pemeran utamanya. Lelaki itu berdiri dengan percaya diri. Memperhatikan satu per satu tamu undangan yang nampak memandangnya lalu berhenti pada kedua orang tuanya yang duduk dengan tenang di bangku paling depan. Memberikan senyum terbaik meskipun dia tahu apa yang tengah dirasakan oleh mereka. Menahan sesak di dadanya, Davian tahu kedua orang tuanya itu berusaha keras memaksakan senyum. Telinga siapa yang tidak gatal? Ayah dan ibunya mati-matian menahan diri di tengah pesta megah yang sebenarnya justru menginjak-injak harga diri keluarga mereka. Omongan-omongan buruk para tamu telah sampai ke telinga keduanya. Terang saja, belum rela putra semata wayangnya menikahi
"Siapa tuh bule? Anak baru?" Mario baru saja bergabung duduk tepat disebelah Sagara yang memperhatikan secara seksama tawa Natalia terukir ketika ia berbincang dengan orang asing. Mereka baru saja kembali dari tugas luar dan kini memutuskan untuk makan di cafetaria perusahaan. Tepat kala ia menemukan Natalia Xaviera duduk berdua tengah makan bersama laki-laki lain yang tidak Sagara kenali. Siapa dia? Client? Tapi ada lanyard perusahaan yang juga tergantung di lehernya. Sup dalam mangkok kalah panas dari hatinya. Sagara merasakan panas merayap naik ke ulu hati. Hampir membakarnya hingga wajah dan kepala. Jelas sekali bahwa Sagara tengah berusaha menekan rasa cemburunya. "Oliv! Makan disini aja!" Sagara tak terganggu akan kehadiran tiga orang wanita muda yang dia ketahui merupakan staf junior di divisi sebelah. Mulai terbiasa dan memahami makna dari tindakan Mario setelah telinganya menangkap nada kepo dari kalimat sahabatnya itu.Terang saja! Mario mengundang mereka untuk mengo
"Sam tinggal sama kita aja, gimana?"Suara sang mama terdengar begitu nyaring di telinga Natalia. Wanita itu hanya bisa mengaduk-aduk makanannya tak berselera. Netranya memang hanya fokus memandang daging dan sayur dihadapannya, namun sama sekali tidak ada suapan yang masuk ke dalam mulutnya. Setelah sekian lama, Natalia akhirnya kembali duduk disini lagi. Merasakan dinginnya meja makan panjang yang amat berjarak antar satu sama lainnya. Hanya ada lima orang yang duduk disana dengan tenang. Bahkan percakapan yang terjalin pun terkesan kering. Padahal katanya ini acara penyambutan, lho!"Nggak, ma! Sam mau tinggal di apart aja sendiri!" Bantah lelaki usia 25 tahun yang baru saja kembali ke Indonesia itu. Samuel boleh punya wajah pekat khas bule, namun entah mengapa logatnya terdengar sangat medok ketika ia bicara dengan bahasa.Airanata Xaviera melirik putrinya dengan tampang ketus, "pasti kamu kan yang pengaruhin Samuel supaya nggak pulang ke rumah?"Di mata Aira, putrinya selalu di
Davian melemparkan pakaian mahalnya sembarangan. Wajah lelaki itu benar-benar merah sekarang. Penampilan rapinya sudah tak tersisa, lelaki itu tidak bisa menyembunyikan kemarahan yang mengelilinginya sekarang. "Sialan!" Umpatan demi umpatan meluncur terus dari bibirnya. Lelaki itu hampir menghancurkan seisi kamar kalau saja dia tidak mendengar suara mobil lain yang kini memasuki pekarangan. Tidak bisa, Davian belum bisa bertindak sejauh itu sekarang. "Semua kepemilikan Ibu Viona sudah dibekukan. Ibu sudah tidak memiliki hak lagi terhadap perusahaan." Kalimat itu terus menggema di kepalanya. Sial, bagaimana bisa hak milik Viona justru dibekukan? Apa yang Viona miliki selama ini ternyata justru belum resmi menjadi miliknya? Jadi apakah pernikahan ini akan sia-sia dan hanya akan merugikan Davian? Dia menikahi janda yang ternyata kaya karena harta titipan saja? Viona memasuki kamar mereka dengan wajah masam. Wanita itu tidak jauh berbeda darinya. Kacau dan syok saat mendengar ke
"Lia! Tunggu!" Natalia yang tadinya hampir meraih pintu mobil kini kembali berbalik badan. Menemukan sang nenek berjalan tergopoh kearahnya, tentu saja Natalia tidak bisa tidak menghampiri. Angin malam tidak baik untuk kesehatan, apalagi untuk sang nenek yang nekat keluar tanpa syal ataupun pakaian hangat lainnya. Mobil yang mengantar Samuel sudah beranjak lebih dulu menuju apartmen yang katanya sudah dibelinya lebih dulu. Ada beberapa orang penjaga dan kepercayaan keluarga Xavier yang mengawasi. Tentu saja karena mereka tidak akan membiarkan Samuel berada dalam bahaya kali ini. "Besok malam datang, ya!" Sang nenek menyerahkan kartu nama yang berisi alamat dan nomor telepon disana dengan senyuman teduhnya. Natalia menghela nafasnya lelah, upaya perjodohan lagi. "Nenek, Lia kan sudah bilang tidak mau dijodoh-jodohkan!" Tolak Natalia halus. Nenek Natalia menggeleng, "sekali ini saja. Tolong temui dia besok! Setidaknya, kalau kalian memang tidak berjodoh, kamu akan menemukan se
"Sudah makan?" Perjalanan dari minimarket menuju kediaman Natalia seharusnya hanya memakan waktu lima menit. Namun dengan kecepatan yang justru sengaja Sagara lambatkan dan keheningan yang menguar, Natalia hampir berpikir bahwa dia berada dalam mobil selama lebih dari tiga puluh menit. Tak hanya itu, Natalia memang merasa tidak nyaman setelah hantaman perasaan aneh yang menderanya di minimarket tadi. Wanita itu sesungguhnya hanya ingin cepat-cepat membenamkan dirinya di bawah guyuran shower untuk menjernihkan pikirannya yang terlanjur tidak waras. Berada dalam satu mobil bersama Sagara jelas sama sekali tidak membantu. Nyerinya masih terasa. Ingatan bahwa gadis lain dengan santai menyentuh Sagara membuatnya terbakar amarah. Natalia berdehem tak nyaman saat Sagara secara terang-terangan melirik kearahnya. "Kenapa?" Tanya Natalia pada akhirnya. Sagara melepaskan satu tawa sinis pendek, "tidak dengar pertanyaanku?" Jurus yang membuat Natalia entah mengapa kembali berdesir aneh.
Its all about Samuel, iya kan?Secara sederhana Natalia dapat artikan bahwa brondongnya ini tengah cemburu pada Smauel. Pria bule yang cukup menggegerkan kantor dan apalagi secara terang-terangan duduk bersamanya di kantin. Jadi rupanya Sagara merisaukan hal ini?Pantas saja sikapnya agak sedikit berbeda hari ini. Katakanlah dia egois, tapi entah mengapa ada perasaan senang yang membuncah ketika mendengar secara langsung bahwa brondong kesayangannya itu tengah cemburu. Dia suka melihat Sagara cemburu. Padahal dia sendiri juga sebenarnya sangat terganggu dan mudah cemburu terhadap kehadiran gadis lain yang hinggap dekat dengan Sagara. Sayangnya dia tidak bisa mengatakannya segamblang Sagara. Natalia tidak mau menyakiti pria muda dihadapannya itu lebih jauh dari ini."Kamu bahkan pulang bersamanya tadi," tambah Sagara lagi. Natalia kembali pada senyuman miring kecilnya, ternyata Sagara bahkan melihatnya tadi? Padahal mereka sudah memastikan untuk keluar kantor dengan aman sepulang k
"Masih magang kok sudah berani terlambat? Anak magang zaman sekarang memang selalu seenaknya, ya?"Sindiran keras dari lelaki parubaya dibelakangnya berusaha diabaikan Sagara. Lelaki itu hanya tersenyum kecil sembari mengangguk sopan sebagai tanggapan. Telinganya panas—begitupula hatinya yang sudah teramat geram. Apa yang bisa dia lakukan sekarang hanyalah mengabaikan sindiran- sindiran pedas yang kalau dia ladeni bisa berpotensi mengoyak jejak karirnya. Untuk saat ini, biarkan saja lelaki tua yang masih memandanginya dari atas sampai bawah itu menggonggong sendirian.Tag nama yang tergantung di lanyard miliknya jelas menerangkan statusnya sebagai anak magang di perusahaan ini. Juga penampilannya dengan kemeja flanel dan jeans hitam yang nampak kasual—kontras dengan kebanyakan karyawan yang tampil klimis. Bagian ini jelas bukan sebuah kesalahan, baik karyawan tetap ataupun karyawan megang di divisi fototografi memang berpenampilan sepertinya, kok.Tangannya sibuk membenahi backpack hi