"Maaa, bangun ma, jangan tidur terus..."
"Sudah Diva, jangan menangis. Mama kamu sudah bahagia di tempat yang jauh di sana. Kamu harus ikhlas, Diva."
Terlihat netra kesedihan dari wajah wanita muda itu, dia baru saja kehilangan ibunya. Tapi yang membuatnya semakin sedih adalah kelakuan ayahnya yang membawa wanita simpanannya ke rumah duka. Dengan air mata yang mengalir di pipinya, Diva memandang ayahnya penuh kebencian.
Bisa-bisanya Ayahnya membawa wanita selingkuhannya di rumah duka, dia tidak akan memaafkan ayahnya.
"I'm proud of you," ujar Renata mengelus pundak Diva lembut, "kamu harus kuat. Yang tabah ya, Va."
"Makasih Re, aku cuma punya kamu yang menguatkanku. Sedangkan yang semestinya berada di dekatku malah bersama gundiknya."
"Bahwa kebenaran yang utuh baru kamu dapatkan setelah Tante Maya meninggal. Dia menyimpan kesedihannya sendiri sampai akhir hayatnya." Sejenak Renata terdiam, merasa ngeri membayangkan hal itu terjadi padanya.
"Aku ingin membuat ikrar. Kamu jadi saksinya, bahwa aku gak akan pernah mau menjadi diposisi ibuku suatu saat nanti. Gak akan menjadi wanita yang tersakit."
"Ikrar apa itu?" Renata mengernyitkan keningnya.
"Gak ada yang tahu kehidupan ke depannya akan seperti apa, kalau hal itu terjadi dalam hidupku. Aku gak mau mengalami hal yang sama seperti ibuku."
Mendengar itu kepala Renata langsung menoleh pada Diva. Mendapatkan wajah Diva yang terlihat serius, seakan ucapannya sungguh-sungguh. Dan Diva masih tetap menatap lirih ke depannya melihat ayahnya di sebelah ibunya yang berbaring pucat seperti kapas.
Diva melihat bagaimana ayahnya memusatkan perhatian untuk wanita yang telah menghancurkan hati ibunya dan itu menyakitinya dan membuatnya sekaligus mual.
Diva memutuskan untuk kembali ke apartemennya setelah pemakaman selesai. Di sekitar halaman rumahnya bisa dilihat begitu banyak karangan bunga yang terpampang.
Malam di Jakarta tanpa bintang dan bulan. Dua bulan terakhir ini adalah musim hujan, setiap hari hujan tak henti. Seperti hati Diva yang dihujani kesedihan, tapi ia tidak ingin terlihat lemah.
🌹🌹🌹
Setiap hari ibunya masuk ke kamar tidurnya dengan ekspresi hangat yang menunjukkan penuh kasih sayang. Dan pertanyaan pertama yang keluar dari mulut ibunya adalah, "Bagaimana kabarmu hari ini, sayang?"
"Bad. Semua tidak berjalan lancar." Jawab Diva, ketika ibunya sudah duduk di ranjangnya. Diva mengerutkan kening, memegang maps berwarna coklat berisi berkasnya untuk melamar kerja.
Diva membuang nafas panjang. Dia tidak menyangka ternyata mencari pekerjaan sangatlah susah, beberapa perusahaan telah ia masukan lamaran, tapi sampai saat ini belum ada panggilan.
"Sabar sayang, mama doakan kamu cepat dapat kerja."
"You the best, Mom." Diva tersenyum pada Ibunya lalu memeluknya. Dia merasa sangat beruntung mempunyai ibu yang sangat pengertian.
"Mama hanya tidak ingin kamu menyakiti diri sendiri. Kamu harus jadi wanita kuat dan mandiri." Dia tersenyum gugup, kerutan terbentuk di tepi bibirnya. Wajahnya memerah seperti menahan sesuatu.
Diva meringkuk, menyandar di dinding. Diva memejamkan kedua matanya mengenang sosok ibunya. Hanya sebentar. Ia mengingatkan dirinya bahwa semua yang ada di dunia ini hanya sementara.
"Maa, Diva sangat merindukan mama..."
Diva menatap ke arah dinding dimana foto keluarga terpajang dengan pose tersenyum bahagia. Seorang wanita anggun berdiri di belakang kursi di sebelah pria berpakaian jas hitam, dan Diva duduk di kursi tersenyum bangga memiliki orang tua seperti mereka. Pada saat itu dia adalah anak yang paling bahagia di muka bumi ini.
Semua hal buruk yang terjadi pada ibunya sangat sempurna di simpan oleh ibunya.
Diva mengusap air matanya, "Apa mama pernah menyesali masa lalu dan mengutuk hal yang terjadi pada masa sekarang?"
....
"Tapi, bagaimana bisa mama menahan semua seorang diri? Dihianati dan dibohongi. Hidupmu berantakan, mam."
"Kalau menikah hanya pengalaman, aku gak mau hidup menahan penghianatan. Semua akan berubah jika kita diposisi yang beruntung."
Diva tersenyum seorang diri, satu kalimat yang telah ia ucapkan suatu saat akan kembali padanya.
Namanya Diva Queensha, dia sendiri gak ngerti kenapa orangtuanya ngasih nama Diva yang artinya dalam bahasa latin-hebat, dalam bahasa sejarah arti kosakatanya nunjukin penyanyi Opera wanita kelas atas. Dan Queensha diambil dari kata bahasa Inggris artinya ratu. Orangtuanya itu asli Indonesia tapi mereka membuat dia menyandang nama seberat itu.Sewaktu Diva SD sampe SMA sering banget dibully gara nama hebat-nya itu. Siapa coba yang gak meradang? Kalau becanda its ok, tapi kalau udah main kritik. Yaampun, kayak nama situ bagus aja palingan juga gak punya arti asal buat orangtuanya.Hari ini, hari pertama Diva di tempat kerja barunya dan... yang paling dia benci adalah perkenalan diri. Yang terlintas di otak dia adalah mereka bakal ngetawain namanya apa nggak."Selamat siang nama saya Diva Queensha." Dan perkenalan singkat Diva gak dapet respon, mereka pada sibuk semua. Kurang sopan banget kan, tapi
Diva teringat perkenalannya dengan Liam."Berdiri di situ!"Perintah Liam pada wanita berambut ikal di bawah itu, "Kamu telat 10 menit. Luar biasa sebagai anak baru. Hasil kerja kamu belum ada tapi yang kamu tunjukan adalah prestasi gak berbobot." Kata Liam dengan pongahnya.Seluruh karyawan yang berada di situ melihat Diva dengan prihatin, bakal jadi korban kemarahan boss mereka nih."Maaf Pak telat, tadi macet," jawab Diva. Ia mengangkat jam tangan tali coklatnya, melihat waktu, "Tapi kan masih 10 menit aja, ben-neran aku gak bermaksud telat, Pak." Wanita itu tergugup karena sekarang dia menjadi sorotan satu ruangan itu."Sepuluh menit aja kamu bilang? Niat jadi wanita karier gak sih? Kalau males-malesan mendingan kamu cari pria tajir terus nikah. Tunggu suami pulang di tempat tidur, simple kan." Kata Liam sangking kesalnya. Dia paling tidak suka karyawan baru suka sepele denga
"Permisi Pak, aku datang karena Rania menyuruhku ke sini. Kalau Bapak ingin menanyakan tentang pekerjaan yang kemarin, maaf belum selesai."Akhirnya Diva memaksakan diri untuk masuk ke ruang Liam."Saya ingin selesai hari ini, jadi, kerjakan sekarang di sini." Ucap Liam, Diva terpaksa menganggukkan kepalanya.Diva sadar pekerjaan ini hanya bisa selesai dengan dimentori Liam. Mereka melakukan pekerjaan dengan profesional, jika Liam berkata sesuatu. "Okeh." Hanya itu jawaban Diva tanpa melihat Liam. Diva tidak ingin terlihat sekali sangat terhina atas peninggalan Liam pada malam itu, dia terlihat biasa saja seakan ciuman itu hal lumrah.Liam menegakkan kepalanya. "Kamu kalau bicara lihat muka saya. Saya bukan pengganggu."Mereka bicara sangat profesional dengan menyembunyikan gejolak mereka masing-masing. Dengan cara saling bersikap ketus jika bicara."Mata aku ke laptop, ak
Pukul sembilan seperti kemarin. Liam dan Diva pulang belakangan, semua staf di kantor itu sudah pulang. Naasnya ban mobil Diva bocor, kakinya menendang kuat pada badan mobilnya--harinya semakin menjengkelkan. Dia tidak tahu harus minta tolong siapa. Hanya ada Liam, pria brengsek itu."Sialan!" geram Diva.Dia menelengkan kepalanya melihat apakah mobil Liam masih ada, dan tiba-tiba mobil Liam berjalan ke arahnya. Diva melambaikan tangannya agar Liam berhenti. Dia bisa melihat wajah Liam yang menahan senyum itu."Bagusin mobil aku! Ban-nya bocor aku gak bisa pulang." Ketus Diva. Liam bersimpatik dengan nada suara Liam."Kamu minta tolong apa nodong orang?" Liam bersuara di mobilnya, sedangkan Diva merengut di depan kaca mobil Liam."Kurasa karena kamu adalah atasan, harus punya tanggung jawab pada bawahannya. Apalagi suasana di sini sangat sunyi. Tapi aku lupa Bapak kan gak punya hati... "
Tumben Samira merasa bosan dengan party-nya. Biasanya dia akan membuat suasana pesta lebih hidup dengan caranya--apa pun akan dia lakukan. Samira itu ratu party. Meskipun teman-temannya sudah menari-nari karena pengaruh alkohol, Samira malah meneguk minumannya dengan tatapan kosong.Tidak ada hal di pesta itu yang membuat mood-nya jelek, namun dia malah terlihat muak dengan sekelilingnya. Dia memilih duduk di sudut sofa berwarna coklat sambil menikmati minuman berwarnanya. Suara music dan lampu yang berkedip-kedip di sertai bau aroma keringat bercampur parfum membaur di tempat itu.Namun, saat Samira ingin sendiri pria berbadan tinggi tegap datang lalu duduk di sampingnya, dia menyentuh lengan Samira sambil berbisik, "Cemberut aja muka-nya." Samira mendesah. Bram, sebenarnya pria baik, tapi rada pelit orangnya. Dia akan baik kalau ada maunya, padahal kantongnya tebal.Samira tidak menanggapi Bram
Liam terburu-buru mendatangi kantor polisi, rasanya sangat geram mendengar Samira bau alkohol di tangkap polisi. Di tambah lagi orang yang dipukul teman Samira bukanlah orang sembarangan. Jadi Liam menghubungi temannya yang berprofesi pengacara untuk meminta bantuan.Sejam kemudian, saat Liam duduk di depan meja bapak polisi. Diva datang, kedua orang itu tampak sama-sama kaget karena berada di kantor polisi. Sedangkan Genk Samira berada di kursi belakang yang menempel pada dinding."Ree, kok bisa gini sih?" Diva menghampiri Renata yang bermake-up tebal. Dia mencium aroma alkohol yang menyengat dari Renata, "Kamu minum?""Dikit." Renata tersenyum seperti orang bodoh. "Please Queen tolongin aku ya...""Giliran kayak gini kamu manggil aku Queen, tapi kalo udah kumat segala nama binatang kamu nobatin padaku." Runtuk Diva, di sebelah Renata seorang wanita menghentakkan kakinya kesal."S
Liam harus bersabar dengan sikap pongah pengacara ini, "Mereka bilang, pria itu duluan yang membuat kekacauan." Liam menjelaskan.Bram mendekat. "Pak Alister, bukannya bapak saya yang menyuruh Anda ke menyelesaikan masalah saya?" katanya karena Alister tidak menegurnya."Kamu siapa?" Alister membuka kacamatanya, lalu berucap. "Oh, kamu anak Bapak Renaldy? Saya akan menangani kasus kalian. Kebetulan Liam ini teman saya." Bram melirik Liam tidak suka. Setelah menunggu beberapa lama, Liam melirik wanita yang dari tadi menatapnya."Siapa perempuan ini?" Tanya Alister melihat wanita berbaju cream ikutan berdiri dengan mereka.Diva nyaris tergagap melihat wajah tampan Alister menatapnya, penuh kharisma dan berwibawa. Tapi juga terkesan sombong, "Aku Diva, sepupu salah satu diantara kriminal itu." Ucap Diva, menurutnya tidak ada yang salah dari ucapannya."Mereka sudah boleh pulang." Kata Alister, setelah sekertarisnya berkata sesuatu padanya.
"Kamu marah? Harusnya aku yang marah! Kamu melihat wanita lain di depanku!" Teriak Samira yang merasa diabaikan oleh Liam sedari tadi."Gila kamu! Masa liatin orang gak boleh, saya punya mata!""Tapi cara liat kamu beda!" Geram Samira, ia merasa cara menatap Liam pasa wanita itu spesial. Atau hanya perasaannya saja."Serah deh mau ngomong apa... harusnya saya yang marah." Tadinya Liam ingin menanyakan hal di kantor polisi tadi. Namun, Samira menunjukkan kecurigaannya pada mereka.Harusnya pada saat ini Liam lah yang patutnya marah kepada Samira, menurutnya. Coba bayangkan gimana marahnya Liam dengan keadaan Samira ini. Bau alkohol menyengat, di tambah lagi dia menjemputnya di kantor polisi, kantor polisi! Mending tadi tidak usah dikeluarin... di penjara saja biar jera.Samira masih saja dengan kehidupan glamornya, Liam sudah tidak tahan mending cerai saja. Di saat malam dia membut