Namanya Diva Queensha, dia sendiri gak ngerti kenapa orangtuanya ngasih nama Diva yang artinya dalam bahasa latin-hebat, dalam bahasa sejarah arti kosakatanya nunjukin penyanyi Opera wanita kelas atas. Dan Queensha diambil dari kata bahasa Inggris artinya ratu. Orangtuanya itu asli Indonesia tapi mereka membuat dia menyandang nama seberat itu.
Sewaktu Diva SD sampe SMA sering banget dibully gara nama hebat-nya itu. Siapa coba yang gak meradang? Kalau becanda its ok, tapi kalau udah main kritik. Yaampun, kayak nama situ bagus aja palingan juga gak punya arti asal buat orangtuanya.
Hari ini, hari pertama Diva di tempat kerja barunya dan... yang paling dia benci adalah perkenalan diri. Yang terlintas di otak dia adalah mereka bakal ngetawain namanya apa nggak.
"Selamat siang nama saya Diva Queensha." Dan perkenalan singkat Diva gak dapet respon, mereka pada sibuk semua. Kurang sopan banget kan, tapi untung juga sih dari pada ada yang koment tentang nama dia, kalau gak. Diva pasti gak suka.
Mungkin karena sekelilingnya mayoritas perempuan ya makanya slow respon. Meja-meja juga belum sepenuhnya terisi penghuninya.
Dia bekerja di bagian Marketing di perusahaan swasta ternama di Jakarta. Bahasa kerennya 'Marketing executive' tapi kalo nenek-nya bilang 'sales' hahaha.
"Lo namanya Diva, kan?" temen sekerja Diva manggil, mukanya ala-ala senior yang minta dihormatin gitu. Diva mengangguk dan tersenyum. "Lagi Free kan? Bisa tolong pasangin lampu. Cleaning service gak tahu pada kemana."
Diva punya sih pengamalan pasang lampu kamar pas putus. "Dimana Mbak?" tanya Diva.
"Panggil gue Nara aja. Noh di sono, yuk..." Nara berjalan menunjukkan arah. Setelah sampai Diva menghela nafas mandang lampu dengan tinggi badan dia yang kayak modelempar.
"Ada tangga?" tanya Diva.
Nara mengangguk, dia berjalan ke belakang. Tidak lama dia kembali membawa tangga lipat. "Lampunya mana?" pinta Diva lagi. Bisa dibilang Diva ini juga orangnya suka nyuruh-nyuruh. Nara bergegas mengambil bohlam dengan suara heels yang beradu dengan lantai.
Saat Diva mulai naik tangga, sedetik kemudian dia sadar. Shitt... Gue pake rok hitam pendek di atas lutut tanpa shot.
"Tenang aja gue tungguin, gak ada yang ngintip bawahan lo," suara wanita itu sepele. Sambil megangin tangga satu tangannya lagi megangin hape. Kalau aja gue bukan anak baru, Diva membatin.
Saat akhirnya Diva naik setelah melepas sepatu heels, memutar-mutar bohlam. Tiba-tiba suara orang dibawah bikin kaget. "Mau jualan paha ayam, Nona manis?" suara beratnya agak mirip Jamie Dornan, pemeran fifty shades of grey.
Kepala Diva tertunduk melihat ke bawah. Laki-laki tampan mengenakan jas biru dongker tanpa dasi. Rambut pendeknya dibiarkan berantakan tapi tetap rapi, dia dengan santainya melihat Diva. Rasanya perut Diva mual, jantungnya berdetak kencang, dan ingin muntah di muka cowok itu.
"Sorry... Matanya bisa tolong dikondisikan?" kata Diva berusaha sopan. Di pikir ini pemandangan gratis kali ya!
"Lo itu ya manjat-manjat gak sadar pakai rok, tah? Di kira kantor ini khusus perempuan." Kata cowok itu menunjuk rok Diva. Rasanya Diva ingin pingsan, si setan ini malah ceramah bukannya nyingkir.
"Tolong ya Mas... Saya mau turun." Kata Diva melotot. Dia tersenyum tipis lalu memalingkan wajahnya, Diva turun dengan cepat-cepat. Matanya mencari wanita sundel yang tadi menjaga tangganya. Saat mulut Diva terbuka ingin mengatakan sesuatu laki-laki itu mengambil bohlam dari tangan Diva lalu memasangnya.
"Sorry Diva gue tadi matiin saklar." Nara datang dengan terburu-buru. "Lho, kok jadi Liam?" katanya saat melihat pria itu turun.
"Siapa yang nyuruh Diva Queen masang lampu?" suara yang namanya Liam ini penuh sindiran, kesel banget kan. "Udah tahu namanya Diva pasti pakaiannya juga pasti feminim--"
"Mohon maaf permisi," potong Diva. Berasa banget soal sindirannya. "Kenapa pakaian saya yang yang dikomplen ya? Menurut saya baju saya gak ada masalah." Yang salah itu orang yang suruh gue bagusin lampu, gue gak bakal mau lagi disuruh gituan.
"Diva Queensha--di sini lo bisa pake baju lebih santai. Celana juga gak-papa, soalnya kalo lo tugas lapangan lebih enak geraknya daripada pake baju serba ketat kayak gitu." Ucap Liam seraya melihat
keseluruhan wanita itu, lalu dia pergi. Ini orang sok paten banget.Gue tarik deh bilang suara dia mirip Jamie Dornan, gara-gara dia hari pertama gue seperti mimpi buruk.
Nara menepuk bahu Diva pelan. "Liam Kavindra--kepala bagian kita." Nara memberitahu. "Gak usah gitu banget ngeliatnya, dia gak bakal tertarik sama lo." Nara mengangkat tangga. Sedang wajah Diva masih merah karena malu... shit! Gue pake shot pendek hitam yang cuma nutupin celana dalam gue, gak sampe paha anjir..
Dan tiga jam kemudian meeting untuk semua bagian Marketing. Diva yang notabene-nya anak baru gak dapet kursi di barisan meja depan layar tancep. Dia duduk di bangku tambahan di belakang. Saat itu Bapak Liam Kavindra mengamuk sama anggotanya. Diva aja nunduk dengan jantung mau copot apalagi yang dimarahin.
"Kalian serius gak sih mau kerja? Target kita gak pernah tembus... Kerja apa tidur kalian?" Nada itu terdengar angkuh.
Namanya boss terserah dialah mau marah kayak gimana, yang denger mah pasrah. Palingan masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Terus saja dia berteriak-teriak hingga mungkin tenggorokannya kering.
"Lihat satu titik dan fokus di situ," katanya keras. "Lakukan riset, cari ide-ide mahal--putar otak kalian."
Tiba-tiba ringtone ponsel berdering. Semua mata melihat ke arah Diva dengan pandangan menuduh. Dahi Diva semakin mengkerut --mengenal nada dering itu.
"Hallo Ree, nanti telpon gue. Gue lagi kerja ini." sahabat Diva, Renata menelpon di saat yang gak punya otak. Si galak pasti marahin Diva, takut-takut Diva melirik Liam.
"Nara lo yakin dia ini lulus interview? Bukan karena orang dalem?" Liam melihat Nara.
Diva membuka suara. "Pak, saya lulus wawancara kok. Saya juga ada buat pengalaman kerja." Katanya menegaskan.
"Panggil Liam aja, di sini nyantai gak usah terlalu formal." Ucap Liam. Untuk pertama kalinya Diva menganggap dia punya sisi baik. "Lo catet kan apa yang dari tadi gue koar-koarin?"
Susah payah Diva nelan ludah, dia hanya jadi pendengar saja dari tadi gak ada nulis. Perlahan Diva ngeluarin buku catatan, bolpoint lalu meliriknya takut-takut. "Maaf gue tadi gak nyatet." suara Diva bergetar.
Liam berdeham dengan tarikan nafas panjang lalu membuangnya.
"Umur lo berapa?"
Kening Diva langsung berkerut. "Dua puluh lima, kenapa?"
"Seenggaknya gue tahu lo bukan anak dibawah umur... yang kerja aja mesti disuruh-suruh kayak anak kecil."
Diva menunduk dengan menahan kedongkolan luar biasa. Berharap banget ada pintu Doraemon biar cepat pulang terus nangis kejer di kamar dengan tisu berserakan di lantai. Hari ini Diva bener-bener ngerasa di telanjangin sama nih cowok.
Harusnya gue jadi model aja, tinggal bergaya depan camera dapet banyak uang. Muka gue menunjang walaupun tinggi gue kurang menunjang, cuma 155 cm. Dari pada kerja di bawah tekanan orang, Diva membatin.
Tepat pukul lima Diva cepet-cepet keluar dari kantor neraka ini ke parkiran ngambil mobil. Butuh waktu kurang dari satu jam perjalanan untuk sampai ke apartemennya. Sambil jalan dia nelpon Renata--suaranya diloudspeaker.
"Kesel banget gue!"
"Kenapa sih? Baru juga lo masuk kerja nyet udah gondok aja," suara Renata meledek.
"Sumpah ya gue belum pernah ketemu sama cowok angkuh, nyebelin, dan gak punya otak kayak dia." Kata Diva dengan emosi meluap-luap.
Renata tertawa. "Va... rileks. Tarik nafas... keluarin." Diva mengikuti arahan Renata. "Dia ganteng gak? Boss lo. Orangnya gimana?"
Diva diem sambil bayangin muka Liam, ya walaupun galak mukanya tetap kelihatan charming sih. "Paket lengkap sih. All in one... Tapi gak ada otak. Baru kepala bagian sombongnya luuuuuar biasa. Amit-amit deh..."
"Kudu itu nyet... lo harus deketin dia biar posisi lo aman di tempat baru lo."
"Ngaco! Udah ah... Makin ngawur lo ngomong, gue udah nyampe nih. Gue matiin ya. Bye Re."
Setelah mengucap itu mobil Diva udah terparkir cantik. Bagi cewek semuda dia sudah punya mobil dan tempat tinggal di apartemen adalah suatu anugerah. Anugerah karena punya orangtua berduit, dia masih dikasih tunjangan hidup selama dia masih belum nikah. Walaupun dia sudah kerja tetap di kasih bulanan. Padahal yang dia butuh adalah perhatian, ya... uang juga sih. Satu lagi doa yang belum terkabulkan, Diva minta pasangan hidup pada sang Pencipta.
Diva teringat perkenalannya dengan Liam."Berdiri di situ!"Perintah Liam pada wanita berambut ikal di bawah itu, "Kamu telat 10 menit. Luar biasa sebagai anak baru. Hasil kerja kamu belum ada tapi yang kamu tunjukan adalah prestasi gak berbobot." Kata Liam dengan pongahnya.Seluruh karyawan yang berada di situ melihat Diva dengan prihatin, bakal jadi korban kemarahan boss mereka nih."Maaf Pak telat, tadi macet," jawab Diva. Ia mengangkat jam tangan tali coklatnya, melihat waktu, "Tapi kan masih 10 menit aja, ben-neran aku gak bermaksud telat, Pak." Wanita itu tergugup karena sekarang dia menjadi sorotan satu ruangan itu."Sepuluh menit aja kamu bilang? Niat jadi wanita karier gak sih? Kalau males-malesan mendingan kamu cari pria tajir terus nikah. Tunggu suami pulang di tempat tidur, simple kan." Kata Liam sangking kesalnya. Dia paling tidak suka karyawan baru suka sepele denga
"Permisi Pak, aku datang karena Rania menyuruhku ke sini. Kalau Bapak ingin menanyakan tentang pekerjaan yang kemarin, maaf belum selesai."Akhirnya Diva memaksakan diri untuk masuk ke ruang Liam."Saya ingin selesai hari ini, jadi, kerjakan sekarang di sini." Ucap Liam, Diva terpaksa menganggukkan kepalanya.Diva sadar pekerjaan ini hanya bisa selesai dengan dimentori Liam. Mereka melakukan pekerjaan dengan profesional, jika Liam berkata sesuatu. "Okeh." Hanya itu jawaban Diva tanpa melihat Liam. Diva tidak ingin terlihat sekali sangat terhina atas peninggalan Liam pada malam itu, dia terlihat biasa saja seakan ciuman itu hal lumrah.Liam menegakkan kepalanya. "Kamu kalau bicara lihat muka saya. Saya bukan pengganggu."Mereka bicara sangat profesional dengan menyembunyikan gejolak mereka masing-masing. Dengan cara saling bersikap ketus jika bicara."Mata aku ke laptop, ak
Pukul sembilan seperti kemarin. Liam dan Diva pulang belakangan, semua staf di kantor itu sudah pulang. Naasnya ban mobil Diva bocor, kakinya menendang kuat pada badan mobilnya--harinya semakin menjengkelkan. Dia tidak tahu harus minta tolong siapa. Hanya ada Liam, pria brengsek itu."Sialan!" geram Diva.Dia menelengkan kepalanya melihat apakah mobil Liam masih ada, dan tiba-tiba mobil Liam berjalan ke arahnya. Diva melambaikan tangannya agar Liam berhenti. Dia bisa melihat wajah Liam yang menahan senyum itu."Bagusin mobil aku! Ban-nya bocor aku gak bisa pulang." Ketus Diva. Liam bersimpatik dengan nada suara Liam."Kamu minta tolong apa nodong orang?" Liam bersuara di mobilnya, sedangkan Diva merengut di depan kaca mobil Liam."Kurasa karena kamu adalah atasan, harus punya tanggung jawab pada bawahannya. Apalagi suasana di sini sangat sunyi. Tapi aku lupa Bapak kan gak punya hati... "
Tumben Samira merasa bosan dengan party-nya. Biasanya dia akan membuat suasana pesta lebih hidup dengan caranya--apa pun akan dia lakukan. Samira itu ratu party. Meskipun teman-temannya sudah menari-nari karena pengaruh alkohol, Samira malah meneguk minumannya dengan tatapan kosong.Tidak ada hal di pesta itu yang membuat mood-nya jelek, namun dia malah terlihat muak dengan sekelilingnya. Dia memilih duduk di sudut sofa berwarna coklat sambil menikmati minuman berwarnanya. Suara music dan lampu yang berkedip-kedip di sertai bau aroma keringat bercampur parfum membaur di tempat itu.Namun, saat Samira ingin sendiri pria berbadan tinggi tegap datang lalu duduk di sampingnya, dia menyentuh lengan Samira sambil berbisik, "Cemberut aja muka-nya." Samira mendesah. Bram, sebenarnya pria baik, tapi rada pelit orangnya. Dia akan baik kalau ada maunya, padahal kantongnya tebal.Samira tidak menanggapi Bram
Liam terburu-buru mendatangi kantor polisi, rasanya sangat geram mendengar Samira bau alkohol di tangkap polisi. Di tambah lagi orang yang dipukul teman Samira bukanlah orang sembarangan. Jadi Liam menghubungi temannya yang berprofesi pengacara untuk meminta bantuan.Sejam kemudian, saat Liam duduk di depan meja bapak polisi. Diva datang, kedua orang itu tampak sama-sama kaget karena berada di kantor polisi. Sedangkan Genk Samira berada di kursi belakang yang menempel pada dinding."Ree, kok bisa gini sih?" Diva menghampiri Renata yang bermake-up tebal. Dia mencium aroma alkohol yang menyengat dari Renata, "Kamu minum?""Dikit." Renata tersenyum seperti orang bodoh. "Please Queen tolongin aku ya...""Giliran kayak gini kamu manggil aku Queen, tapi kalo udah kumat segala nama binatang kamu nobatin padaku." Runtuk Diva, di sebelah Renata seorang wanita menghentakkan kakinya kesal."S
Liam harus bersabar dengan sikap pongah pengacara ini, "Mereka bilang, pria itu duluan yang membuat kekacauan." Liam menjelaskan.Bram mendekat. "Pak Alister, bukannya bapak saya yang menyuruh Anda ke menyelesaikan masalah saya?" katanya karena Alister tidak menegurnya."Kamu siapa?" Alister membuka kacamatanya, lalu berucap. "Oh, kamu anak Bapak Renaldy? Saya akan menangani kasus kalian. Kebetulan Liam ini teman saya." Bram melirik Liam tidak suka. Setelah menunggu beberapa lama, Liam melirik wanita yang dari tadi menatapnya."Siapa perempuan ini?" Tanya Alister melihat wanita berbaju cream ikutan berdiri dengan mereka.Diva nyaris tergagap melihat wajah tampan Alister menatapnya, penuh kharisma dan berwibawa. Tapi juga terkesan sombong, "Aku Diva, sepupu salah satu diantara kriminal itu." Ucap Diva, menurutnya tidak ada yang salah dari ucapannya."Mereka sudah boleh pulang." Kata Alister, setelah sekertarisnya berkata sesuatu padanya.
"Kamu marah? Harusnya aku yang marah! Kamu melihat wanita lain di depanku!" Teriak Samira yang merasa diabaikan oleh Liam sedari tadi."Gila kamu! Masa liatin orang gak boleh, saya punya mata!""Tapi cara liat kamu beda!" Geram Samira, ia merasa cara menatap Liam pasa wanita itu spesial. Atau hanya perasaannya saja."Serah deh mau ngomong apa... harusnya saya yang marah." Tadinya Liam ingin menanyakan hal di kantor polisi tadi. Namun, Samira menunjukkan kecurigaannya pada mereka.Harusnya pada saat ini Liam lah yang patutnya marah kepada Samira, menurutnya. Coba bayangkan gimana marahnya Liam dengan keadaan Samira ini. Bau alkohol menyengat, di tambah lagi dia menjemputnya di kantor polisi, kantor polisi! Mending tadi tidak usah dikeluarin... di penjara saja biar jera.Samira masih saja dengan kehidupan glamornya, Liam sudah tidak tahan mending cerai saja. Di saat malam dia membut
Liam pikir dia tidak kena macet, ternyata tetap kejebak macet parah di jalan. Mood Liam masih kesal sampai sekarang, apalagi di tambang macet begini.Sampai di kantor tidak ada satupun yang dia senyumin untuk membalas sapaan mereka. Lagipun orang tahu Liam bukan orang yang suka menebar keramah- tamahan."Pagi Pak Liam." Itu suara Nara, dia baru saja masuk ke lift, "Itu dasinya berantakan... mau aku bagusin?""Ehm..." deheman Doni saat Nara ingin mendekat."Gak usah... saya sengaja biar gak sesek nafas." tolak Liam dingin, kadang Nara ini kebangetan agresif. Saat lift akan tutup, tiba-tiba perempuan super ceroboh menahan tangannya pada pintu."Ikut ya..."Hidung Liam langsung menerima aroma wangi kedatangan Diva, dia berdiri di depan sedang Liam di belakangnya. Siapa pun bisa menebak Diva tipe wanita suka ke salon, tubuhnya terawat dan wangi. Begitu saja emosi Liam yang tadinya diubun-ubun kembali tenang seperti air.Tiga hari be