LOGINAlexander menatap jendela kamarnya yang menampilkan pohon-pohon besar nan sepi. Pandangannya beralih ke dua jemari yang masih basah. Setelah kembali dari kamar Ella, Alexander memang belum mencuci tangan atau sekedar mengelap.
Dengan penuh kesadaran, Alexander memasukkan jarinya ke mulutnya sendiri. Mengemut cairan tersebut sampai habis. "Rasanya masih sama. Manis seperti madu," cakapnya sendiri. Tapi dalam hitungan detik ia merasa marah lagi. Alexander membanting barang-barang di kamarnya. "AKKKHH SIALAN." Alexander meremas rambutnya sendiri, sekarang ia merasa frustasi karena hasratnya tidak berhasil di puaskan. Ia terus mendengar suara tangis Ella selama dirinya bermain. Itulah alasan Alexander tiba-tiba pergi sebelum permainannya selesai. Ia tidak suka mendengar suara tangis saat sedang bercinta, hal itu membuatnya seperti melakukan pemerkosaan. Alexander mengambil ponsel untuk menghubungi Lionello. "Bawakan seorang jalang ke sini!" *** Bunyi burung hantu membuat Ella membuka matanya perlahan. Hal yang pertama ia lihat adalah tangannya yang masih diborgol. Dadanya langsung terasa sesak tapi ia tidak berniat menangis lagi. Lagi pula jika menangis, Alexander tidak akan melepaskannya. Sejak pagi sampai malam, Ella terus menangis membuat tenaganya terkuras banyak. Mungkin diserang babi hutan lebih baik daripada kembali lagi ke tempat ini. Ia bahkan tidak tahu alasan pria itu melakukan semuanya. Ella hanya ingin berkuliah selama di Italia karena mendapatkan beasiswa. Kenapa hidupnya malah kacau? Ceklek ...! Pintu kamar terbuka, Alexander dan tiga orang pelayan masuk. Satu pelayan membawa makanan dan duanya membawa baju yang sangat banyak. Mereka meletakkan makanan di laci samping ranjang dan mereka juga membereskan makanan yang sempat dibuang asal oleh Ella. Setelahnya mereka keluar dan menyisakan Alexander dan Ella. "Bagaimana rasanya di sini? Nyaman?" tanya Alexander lembut tanpa merasa bersalah. Ia duduk di pinggir ranjang dekat Ella. "Tolong lepaskan borgolnya." "Kenapa aku harus melepaskannya?" "Tanganku sudah sangat kesakitan." "Itu karena kamu terlalu banyak bergerak, jangan salahkan borgolnya." "Sebenarnya apa salahku?" "Kenapa kamu memberikan pertanyaan itu? Memang aku pernah mengatakan bahwa kamu bersalah?" "Kalau begitu, apa alasanmu melakukan ini?" "Aku melakukan apa?" Ella sungguh dibuat tercengang dengan ucapan Alexander yang benar-benar manusia tidak punya hati. "Kau sungguh tidak tahu?" "Tidak." "Baiklah lupakan saja. Aku juga akan melupakan semua ini, aku tidak akan melaporkan kepada siapa pun tentang apa yang telah kau lakukan padaku, jadi tolong lepaskan aku. Kau tidak perlu takut mendapatkan berita buruk yang bisa membuat nama perusahaanmu jadi jelek," jelas Ella. Alexander tertawa. "Apa maksudmu, Nona? Melaporkanku? Memang apa yang akan kamu laporkan? Kamu bicara seolah aku telah menyakitimu." "Kau ... kau sungguh orang yang tidak tahu malu. Penculikan dan pemerkosaan, kau tidak merasa?" "Jadi itu yang mau kamu laporkan," Alexander mengangguk mengerti. Tangannya mengelus pipi lembut Ella. "Aku tidak menculikmu, kamu ada pada tempat yang seharusnya dan aku juga tidak memperkosamu. Buktinya semalam aku tidak memasukkan milikku." "Kau psikopat gila, Alexander!" "Aku tidak akan gila jika tidak dibuat gila. Semua itu tergantung pada orang yang sedang kuhadapi." Alexander mengambil nampan dari atas laci, menaruhnya di dekat Ella. "Aku telah memberikan makanan enak untukmu, apa kamu tetap menyebutku sebagai psikopat? Makanlah dan jangan membuangnya lagi. Jangan membuatku marah," perintah Alexander. Ia bangun dari duduknya berniat akan pergi. Namun, Ella menahan tangan Alexander. "Ka ... kamu mau ke mana?" "Makan ke bawah." "Kenapa tidak mengajakku? Kenapa malah menyuruhku makan di kamar? Aku juga ingin makan di sana." "Aku tahu yang terbaik untukmu, jadi tetaplah makan di sini." "Tidak mau, aku tidak mau." "Di depanmu sudah ada banyak makanan lezat." "Ya, tapi suasana juga berpengaruh pada selera makanku," balas Ella cepat. "Aku mohon." Alexander mendekatkan bibirnya ke telinga Ella, lalu berbisik, "Jika kamu kabur, dagingmu yang akan menjadi sarapanku." Ia mengambil kunci borgol dari kantong celana dan membukanya. Begitu borgol terlepas, ia bisa melihat betapa merahnya lengan wanita itu. Kemudian, keduanya pergi menuju meja makan. Kemarin Ella memang sudah melihat bagaimana besarnya mansion ini tapi sekarang ia baru sadar bahwa tempatnya lebih besar dari yang Ella kira. Bahkan mereka turun ke bawah menggunakan lift, pantas saja kemarin Alexander mengejar dirinya sangat cepat. Meja makannya sangat besar, ada banyak makanan di atasnya. Ella sampai bingung memilihnya, ia ingin memakan semua yang disediakan tapi sebagai Ballerina Ella harus menjaga berat badannya. "Dari pagi tidak ada yang masuk dalam perutmu. Makanlah yang kamu inginkan." Ella mengambil omelet. Melihat makanannya sambil tersenyum. "Alexander," panggil seorang wanita. Ella yang baru akan memasukkan makanannya ke mulut, berhenti. Ia menoleh ke arah sumber suara. Garpunya ia taruh kembali ke piring, dirinya menjadi fokus kepada wanita yang sedang bergelayut di tubuh Alexander. Dia hanya memakai kemeja putih menerawang tanpa bawahan, Ella bisa melihat celana dalam wanita itu dan dadanya tidak memakai bra. "Pergilah!" usir Alexander menepis kasar tubuh wanita itu. "Kenapa kamu kasar sekali? Apa kamu lupa dengan apa yang terjadi pagi tadi? Akan kuingatkan lagi, kamu bergerak sangat liar di atasku. Kita juga melakukannya sangat lama, padahal matahari masih bersinar terang. Kamu bahkan minta lagi saat siang." "Kubilang pergi saat aku sudah tidak membutuhkan pelayananmu!" tekan Alexander menatap tajam wanita bayaran tersebut. "Iya. Tapi tubuhku sangat lemas sampai pingsan jadi tidak kuat untuk pulang." "Dari sekian banyaknya orang di sini, kenapa tidak ada yang berani membuang jalang ini ke tengah jalan saja!" marah Alexander pada anak buahnya. Membuat para pengawalnya terdiam menunduk. "Ucapanmu sangat kasar." Tangan wanita itu mengelus bahu Alexander. "Jika aku di sini, diriku bisa menghiburmu kapan pun di tempat yang sesepi ini." "Jadi kau yakin bisa menghiburku sekarang juga?" "Ya, tentu. Ak- AAKKHH" Alexander langsung menarik lengan wanita itu dengan kasar. Ella terkejut akan tindakan kasar Alexander yang tiba-tiba. Bahkan Alexander bukan membawa tapi menyeret. Ella mengikuti Alexander dari belakang yang entah akan membawa wanita itu ke mana. Mereka sampai di tempat yang terdapat sebuah kolam. Kolam itu lumayan besar, cocok digunakan untuk berenang tapi warna air kolamnya sama sekali tidak jernih. "AAA JANGAN JANGAN," teriak wanita itu saat Alexander membawanya ke tepi kolam. "Kenapa jangan? Kau bilang bisa menghiburku? Dan inilah hiburanku, Piranha." "Aku minta maaf, aku akan pergi dari sini sekarang juga. Biarkan aku pergi, Alexander." "Jangan menyebut namaku, jalang! Kau membuat namaku jadi jelek." "Baiklah, aku minta maaf. Tolong maafkan aku." Alexander meronggo kantong celana mengambil sesuatu, ternyata itu adalah pisau kecil tapi sangat tajam. "Kau tahu, ikan Piranha tidak menyerang manusia jika tidak ada darah." "Tolong jangan lakukan itu. Maafkan aku." Alexander segera menyayat lengan wanita itu cukup panjang membuat darah segar mulai keluar. "Sudah terlanjur. Bagaimana ini? Ikan-ikan ini juga sudah tidak diberi makan dua hari, pasti mereka senang diberi santapan besar." "Tolong biarkan aku pergi." Dengan air mata di wajahnya, wanita itu melihat ke arah Ella. "Hei tolong aku." "Dia tidak bisa menolongmu, mungkin dia juga akan bernasib sama jika membatah diriku," ucap Alexander melirik Ella yang masih diam tak berkutik. "Mari kita jangan membuang waktu untuk acara hiburannya." Byyuurr ...! Ella membulatkan matanya dan tangannya langsung menutup mulut yang terbuka karena terkejut bahkan ia merasa takut. Tanpa rasa bersalah Alexander melempar wanita itu ke dalam kolam yang dipenuhi ikan Piranha. Warna kolam berubah menjadi warna merah. Wanita itu masih hidup, dia menjerit meminta pertolongan. Namun, tidak ada yang menolongnya termasuk Ella. Alexander melangkahkan kakinya ke arah Ella bersamaan dengan Ella yang ikut mundur. Tangan Alexander langsung meraih pinggang Ella, menghilangkan jarak mereka. "Ini hanya menjadi peringatan bahwa kau harus menurutiku!"Mobil melesat dalam gelap, ban menggumam di aspal basah. Sementara kepalanya terus mencaci dirinya sendiri. Kenapa begitu lengah dan tolol terhadap setiap tanda yang terbuang?Ia bersumpah pihak mana pun yang terlibat, semuanya runtuh, dengan tangannya sendiri. Alexander akhirnya tiba di depan gedung apartemen. Tak ada pihak kepolisian. Bagus. Semuanya tenang seperti biasa.Ia langsung menuju lantai atas. Begitu sampai, tanpa mengetuk, jemarinya menekan cepat password-nya.Teresa yang duduk di sofa tersentak mendengar pintu dibuka. Matanya sayu tapi penuh lega. "Oh syukurlah kau datang."Alexander tak menjawab. Pandangannya menyapu setiap sudut ruangan, mulai dari meja, lantai, dapur, balkon. Semua tampak rapi, tak meninggalkan jejak.Ia melangkah ke kamar, membuka setiap pintu, setiap celah, mencari sesuatu yang mungkin bersembunyi di sana. Teresa mengikutinya dari belakang sambil terus menggenggam tangannya yang bergetar. "Sudah kucek semuanya ... dan Ella tidak ada.""Apa kau tid
"Siapa?" "Aku Teresa. Tetangga Ella dan ... dan sekarang aku tidak melihatnya."Alexander tak menjawab. Hening. Hanya suara napasnya yang terdengar lewat sambungan. "Apa maksudnya? Hilang?""Dia tidak ada di tempatnya! Apartemennya kosong! Ponsel tergeletak di lantai begitu saja. Apa kau sangat bodoh, hah?" Suara di sebrang terdengar meninggi, frustasi, sekaligus takut. Lalu berganti menjadi isakan. "Aku tidak tahu harus bagaimana. Tolong temukan dia."Alexander diam. Satu tangan bertumpu di pagar balkon, sementara jemari lainnya menggenggam ponsel begitu kuat sampai kuku jemarinya memutih. "Kapan terakhir kau melihat Ella?""Sudah lama. Aku baru pulang dari luar kota. Dan ... dan saat tiba, aku ... aku tidak melihatnya. Ini sangat membingungkan.""Jadi sekarang kau berada di dalam apartemennya, begitu?""Iya." "Apakah ada orang lain?""Tidak ada. Hanya ada aku dan anjingku."Alexander memejamkan mata sejenak, rahangnya mengeras. Memikirkan siapa dan langkah apa yang harus dilakukan
Alexander melangkah masuk ke kamar setelah memastikan Chloe di ruang sebelah belum juga siap berangkat. Entah apa yang membuat wanita itu begitu lama, yang jelas waktu terus berjalan dan kesabarannya mulai menipis.Ia berdiri di depan cermin, sekali lagi merapikan dasi kupu-kupu yang sudah terpasang sempurna di leher kemeja hitamnya. Jasnya masih tergantung di sandaran kursi. Alexander menghela napas pelan, menggeleng kecil, berusaha menahan diri untuk tidak mengomel.Drrtt ...!Alexander langsung menoleh kearah ranjang dengan kening yang berkerut. Ponsel? Bukankah tadi ia meninggalkannya di ruang tamu?Pria itu mengambil benda tersebut, menatap layar yang menyala. Sebuah nama muncul di sana, Evan.Namun Alexander langsung tahu siapa sebenarnya di balik nama itu.Ella.Sebelum mengangkat panggilannya, ia menengok ke arah pintu yang tertutup rapat. Aman. Lalu jarinya terangkat hendak menekan tombol hijau di layar. Tapi sebelum sempat menekan ...Toktoktok ...!Suara ketukan lembut di p
Wanita itu terdiam sejenak, mencerna situasi dengan cepat. Lalu segera mengangkat Miu ke pelukannya dan berbalik. Dengan napas tersengal dan langkah tergesa, Ella berlari sekuat tenaga menuju unitnya. Pria itu jelas ikut berlari mengejarnya. Tapi Ella tetap fokus ke tujuannya tanpa berhenti sebentar pun. Dengan jantung berdebar liar, ia hampir tersandung saat berhenti di depan pintu unitnya. Napasnya memburu, tangan gemetar sambil menekan angka-angka di keypad. "Ayo ... ayo ... cepat ..."Bip ...!Bunyi kunci digital terdengar. Lampu kecil di panel berubah hijau. Ia menarik napas lega sepersekian detik sebelum menoleh sekilas ke samping.Pria itu sudah sangat dekat, hampir menjangkaunya. Tatapan matanya liar, penuh amarah.Ella langsung mendorong pintu, masuk ke dalam, dan berusaha menutupnya secepat mungkin. Tapi sebelum benar-benar rapat ...Brak ...!Sebuah kaki menahan celah pintu itu."AAAAA DASAR JALANG! BUKA PINTUNYA!" teriak pria itu dari luar, kesakitan.Ella menggertakkan
Layar televisi di ruang tamu terus menyala, menyorot cahaya redup yang berkedip di dinding apartemen itu. Suaranya lirih, hanya gumaman penyiar berita yang bercampur dengan denting hujan di luar jendela."Pihak berwenang telah mengonfirmasi adanya kerusuhan di dalam Blok C Penjara Santa Malvina, Milan. Belum diketahui jumlah pasti tahanan yang melarikan diri, namun sumber internal menyebutkan sedikitnya dua puluh orang berhasil kabur dalam aksi terkoordinasi yang terjadi sekitar pukul sebelas malam waktu setempat ..."Ella menggeliat pelan di sofa. Udara dingin menusuk kulitnya yang terbuka di balik pakaian tipis. Rambut cokelatnya kusut, sebagian menutupi pipi yang masih lelah. Suara penyiar yang terus bergema di latar membuat matanya perlahan terbuka.Cahaya dari layar TV menyorot wajahnya. Ia menyipit, mencoba fokus pada gambar yang berganti-ganti di layar, ada barisan polisi, lampu sirine, kawat berduri, dan helikopter yang berputar di atas penjara."Dalam insiden tersebut, salah
Pukul 11:00 PM, lampu-lampu di blok penjara sebagian sudah padam. Suasana hening memeluk setiap sel, terdengar hanya napas berat para tahanan yang telah terlelap di tempat masing-masing. Berbeda dengan empat orang di sel khusus itu, yang masih terjaga, merencanakan permainan mereka dengan penuh ketelitian dan antisipasi.Ruggero menoleh kanan-kiri, mengamati setiap kemungkinan langkah kaki yang bisa terdengar kapan saja. "Tidak ada orang," ucapnya membalikkan tubuh menghadap rekan lainnya. "Bagus," sahut Ettore. "Ini jam pergantian shift penjaga. Jika kita gunakan waktu ini dengan tepat, rencana kita bisa berjalan hampir tanpa hambatan."Ettore memegang pensil mekanik itu lebih dekat ke wajahnya. Kemudian menekan ujungnya hingga bagian kecil di dalamnya muncul, sebuah potongan logam tipis, hampir seperti jarum, yang berkilau samar di remang lampu. Lalu ia menyodorkan potongan itu ke arah Tano. "Lakukan tanpa kesalahan. Benda kecil itu hanya ada satu.""Tenang saja, kakak. Kau tahu se







