Ella tentu tidak akan membuang-buang waktu lagi. Ia segera berlari ke luar gerbang yang menjulang tinggi itu. Dugaannya benar, rumah ini berada di dalam hutan. Hutan dengan tumbuhan besar serta liar dan sangat gelap, padahal hari belum malam. Ella juga bisa mendengar suara air.
Apa itu air terjun, sungai, laut atau apa? Entahlah dirinya tidak tertarik. Ia juga baru menyadari jika kakinya tidak memakai alas apa pun. Namun, Ella tidak perduli, ia terus berlari ke depan. Tiba-tiba terdengar suara geraman dalam dan mengendus. Suaranya bukan suara manusia. Sekarang suaranya makin dekat. Ketakutan Ella sudah tidak bisa dibendung. Ia harus terus berlari walau tubuhnya lemas. Tapi lari ke mana? Ia bahkan tidak tahu seberapa jauh lagi agar bertemu keramaian. Setelah berpikir dalam waktu yang sangat singkat, Ella memutuskan mencari sumber air. Ia berlari sekencang mungkin dan akhirnya bertemu dengan air. Akan tetapi, sumber air ini berbeda dengan bayangannya. Selain di tengah hutan ternyata rumah Alexander berada di atas tebing tinggi dan di bawah ada laut yang sangat luas dan pastinya dalam. Ella memutuskan berbalik badan. Namun, suara geraman itu semakin dekat lalu terlihat seekor babi hutan yang sangat besar. Babi tersebut sudah melihat matanya jadi rasanya mustahil untuk lari kecuali terjun ke bawah air. Pilihan hanya dua yaitu, mati diserang babi hutan atau mati tenggelam. Dengan tangan gemetar, Ella mengarahkan pistol ke arah babinya. Ia menekan pelatuk pistol seperti yang diajarkan oleh Alexander. Dor ...! Tembakan itu berhasil membuat babinya tersungkur. Sesaat, Ella tersenyum lega. Tapi tidak lama kemudian, suara geraman itu terdengar lagi bahkan lebih berat dan keras. Mata Ella membesar ketika menyaksikan babinya bangun kembali. Pelurunya sudah habis. Pistolnya jatuh dari tangan Ella begitu saja. Ia berjalan mundur bersamaan dengan babinya yang semakin maju. Orang-orang bilang harus tetap tenang dalam segala kondisi, tapi bagaimana caranya agar ia tetap tenang saat ini? Situasinya membuat Ella benar-benar menuju kematian, hanya caranya yang berbeda. "AKKHH," teriak Ella saat kakinya ampir terjatuh. Ia menoleh ke belakang, yang di mana dirinya sudah melihat jurang tinggi itu. Ia sudah benar-benar tamat. Ella menutup mata agar tidak melihat bagaimana caranya ia meninggal dengan sadis. "Maafkan aku, ibu, ayah, Josh-" Dor ...! Suara tembakan itu membuat Ella terkejut, ia membuka kembali matanya untuk melihat siapa yang menembak dan apa yang tertembak, karena ia tidak merasa tubuhnya sakit terkena peluru. Matanya terbuka secara perlahan, dan melihat Alexander memegang pistol sedang berjalan ke arah dirinya. Ella juga melihat babi hutan itu sudah berbaring di tanah dengan darah yang bercucuran. "Kau lebih lemah dari yang kukira," kata Alexander sudah di hadapan Ella. Ella membuang muka, air mata mulai turun membasahi pipinya. Nyawanya sudah di ujung tanduk dan pria ini dengan santai meremehkannya. Alexander melihat wanita di depannya ini sedang menangis tapi ia tidak berniat mengusap air mata itu karena sudah tahu Ella pasti akan menepis. Pandangannya turun ke bawah kaki Ella yang sudah berdarah dan kotor. Tanpa meminta izin, Alexander menggendong tubuh Ella. "Turunkan aku!" "Apa kau yakin akan bisa melanjutkan pelarianmu dengan kondisi tubuh selemah ini? Jarak untuk bertemu jalan raya masih jauh dan masih banyak binatang berbahaya di sekitar sini." Ella diam tak bergeming. Tubuhnya memang masih terkejut dengan apa yang barusan terjadi. Alexander menggendong Ella sampai ke dalam mansion. "Bawakan kotak obat ke kamar," pintanya pada pelayan. Ia mendudukkan Ella di ujung ranjang. Alexander sendiri yang membersihkan luka kaki tersebut. Ada tanah, kaca, ranting pohon, dan batu-batu kecil. Ella terus menggigit bibir selama Alexander mengobatinya agar tidak mengeluarkan suara kesakitan. "Berlari hanya dengan memakai piyama tanpa ada alas kaki, lain kali lihat kondisimu dulu sebelum kabur. Sok berani padahal malah membuat kakimu sakit," ledek Alexander selesai mengobati. "Aku seperti ini karenamu. Kenapa kau malah membawa diriku ke rumahmu?" "Pertama, ini bukan sekedar rumah. Ini adalah mansion milikku." "Aku tidak perduli. Cepat antar aku kembali ke tempat semalam." "Semalam kau di club dan club itu milikku. Mau ke sana lagi?" "Arrgghh sialan, seharusnya aku tidak usah ikut," kesal Ella. "Salah. Kejadian semalam tidak berpengaruh besar. Kesalahan fatalmu adalah memilih pergi ke Italia." "Semua orang bebas ingin ke mana saja. Lagi pula memang sepenting apa dirimu di sini, hah?" "Kau akan tahu itu setelah tinggal bersamaku." "Apa? Aku sama sekali tidak mau tinggal bersamamu!" "Dan aku tidak sedang meminta izin pada siapa pun." "Kau tidak bisa melakukan tindakan seenaknya pada. Kau ak-" Toktoktok ....! Ketukan pintu memotong perdebatan mereka. Alexander membuka pintu dan menutupnya kembali. Ada nampan di tangannya. "Makanlah, kau belum sarapan." Alexander menaruh nampan berisi buah, dada ayam, sandwich tuna, dan air putih di samping Ella. Ella menatap makanannya tanpa nafsu, malah membuatnya semakin pusing. Ia sudah tidak tahan lagi. Ella membuang nampan tersebut ke lantai, membuat makanan berserakan. Walau kakinya masih sakit, Ella tetap ingin pergi dari tempat ini. Ia bangun berniat akan pergi. Namun, baru dua langkah, Alexander dengan mudah membanting tubuh wanita itu ke ranjang. Ella meringis atas tindakan Alexander yang kasar "Kau sangat keras kepala!" Alexander naik ke atas tubuh Ella. Ia menahan kedua tangan wanita itu dengan tangannya sendiri lalu menaruhnya di atas kepala Ella. "Aku sudah memberikan kesempatan untuk pergi tapi kau malah menyia-nyiakan kesempatannya dan aku tidak suka memberikan kesempatan kedua pada siapa pun." "KELUARKAN AKU DARI SINI!" "Jadi kau sangat ingin keluar ya?" Tangan Alexander meremas kedua payudara milik Ella secara bergantian. "Ini sedikit lebih besar padahal kamu seorang Ballerina. Apa sekarang harus kuanggap kamu sebagai seorang wanita dewasa bukan perempuan kecil lagi?" "Singkirkan tangan kotormu itu, bajingan!" Ella terus mencoba memberontak tapi tetap tidak bisa. Tubuh Alexander terlalu besar dibandingkan dirinya. Alexander mulai melumat bibir Ella dengan kasar, namun, wanita itu tidak membuka mulutnya. Lalu Alexander menggigit bibir bawah Ella membuatnya membuka mulut. Meskipun begitu, Ella tetap tidak mengikuti gerakan Alexander, yang berhasil membuat pria itu menghentikan ciumannya. Ia menatap tajam mata lawannya yang sudah mengeluarkan air mata. Sialan, membuat suasananya berantakan. Alexander tidak pernah ditolak oleh wanita mana pun, bahkan para jalang bersedia membuka pahanya kapan saja. "Jangan menangis! Ikuti aku atau kau akan mendapatkan lebih banyak masalah!" Alexander kembali mencium bibir ranum tersebut dengan gerakan sesukanya. Terserah pada dirinya yang ingin bermain kasar atau lembut, yang pasti wanita yang ia tiduri harus mengikuti keinginannya agar bisa merasa puas. Mulut Ella terus mengikuti permainan kasar Alexander, bersamaan dengan air mata yang terus mengalir semakin deras. Ia merasa tangan Alexander mulai masuk ke dalam celana dalamnya. Jari-jari itu mulai bermain di bawah sana. Ciuman Alexander turun ke leher Ella, membuat bercak merah. Jari-jarinya bermain di surga dunia, ia jadi tidak sabar memasukkan dirinya di dalam sana. Bagaimana rasanya? Apakah akan berbeda dari sebelumnya? Ella menutup mulutnya rapat-rapat selama sentuhan Alexander memanjakan tubuhnya. Ia tidak ingin mengeluarkan desahan untuk Alexander. Namun, saat Ella sebentar lagi mencapai klimaks, tiba-tiba jari dan ciuman pria itu berhenti. Alexander menjauhkan jarak mereka. Ia berjalan ke arah laci dan mengambil borgol. Dengan cepat Alexander meraih tangan Ella lalu memborgolnya di ranjang. "Jangan! Tolong jangan lakukan itu!" pinta Ella. Alexander tentu tidak akan menuruti omongan Ella. Ia pergi menutup pintu kamar dengan membawa kunci borgol. Meninggalkan Ella sendirian di kamar dengan keadaan menangis, pakaiannya berantakan dan sekarang tangannya sakit karena borgol."Apa kau pegawai baru di sini?" tanya seorang pria, matanya mengikuti setiap gerak Ella."Iya," jawab Ella, meletakkan bir di atas meja yang dihuni empat pria. "Selamat menikmati." Ia berniat pergi setelah tugasnya selesai."Hei, tunggu dulu," cegat salah satu dari mereka. Tangannya menggenggam tangan Ella. Jari-jari itu menyentuh lembut namun menyebalkan bagi yang menerima sentuhan. "Duduklah di sini, kita akan memberimu tip banyak.""Tidak perlu, Tuan," jawab Ella dengan suara bergetar, mencoba melepaskan cengkraman itu. Ketakutan mulai merayap, tatapan mereka membuat tubuhnya membeku. "Aku harus kembali bekerja.""Melayani kami juga tugasmu, bukan? Jadi tinggallah di sini.""Tidak! Tolong lepaskan!"Tiba-tiba, pria lain menarik pinggangnya, membuat tubuh Ella mendarat di paha orang asing itu. Tawa kasar mereka mulai bergema, mengejek. "Kau seksi sekali, Nona. Bermainlah sebentar dengan kami.""Tidak!" Ella memberontak, akan tetapi, tangan pria tak sopan itu mengunci tubuhnya. Pani
Casino Royale adalah simbol kemewahan, keserakahan, dan rahasia gelap yang dimiliki keluarga Hoffa. Malam ini, putra kedua Reagan hadir, setelan jas tuxedo melengkapi penampilannya dengan sempurna.Setiap langkah Alexander penuh percaya diri, tak ada ketakutan, tak ada keraguan. Mata panjangnya menelisik setiap sudut, menangkap para pengunjung yang larut dalam kesenangan mereka, serta klien-klien yang berlebihan dalam memamerkan kekayaan. Ia tidak tergoda, meski tindakan beberapa pria menjijikkan itu memaksa alisnya sedikit terangkat.Lift membawanya ke lantai paling atas, ke dunia manusia-manusia yang haus kekuasaan, tempat yang bahkan tidak layak disebut manusia. Di sana, wanita-wanita berpakaian minim menghibur enam pria tua dan gemuk yang tertawa lepas di meja poker."Tuan kecil, akhirnya sampai juga," ledek Bartolomei, seorang pria tua berambut putih, suaranya dipenuhi ejekan, disertai tawa kasar teman-temannya."Tuan kecil? Dia bahkan berani mempermalukan Ayahnya karena melangga
"Argh, apa-apaan kau ini," desis Chloe, menyingkirkan tangan Francesco dari wajahnya.Sejenak, rahang Francesco menegang. Tangannya yang ditolak mengepal, namun ia cepat menguasai diri. Senyuman samar segera muncul di bibirnya. "Aku hanya ingin membantumu.""Mengajakku minum memang membantu. Tapi barusan itu tidak. Kau bukan berniat menolong, kau ... menyukaiku.""Iya," jawabnya tenang. "Apa itu salah?"Chloe terdiam, lalu terkekeh kecil. "Tentu saja salah. Aku ini masih tunangan adikmu. Apa kau benar-benar ingin mengkhianatinya? Kau ingin menyalakan api drama keluarga? Ugh, terlalu merepotkan.""Pertunangan kalian sudah di ujung tanduk. Jadi apa lagi yang perlu dipertahankan?""Ujung tanduk bukan berarti mati!" Chloe menekankan kata-katanya. "Dengar, aku memang cantik. Tapi itu bukan alasanmu untuk menaruh perasaan padaku. Jangan memperumit keadaan. Kita ... hanya main-main."Francesco menyipitkan mata. "Aku punya rencana. Kita bisa mengembalikan keadaan, dan-""Mengembalikan? Lalu a
"Kau serius, Alexander?" tanya Reagan lagi."Ya. Dia hanya seorang wanita. Aku tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan besar hanya karena dirinya.""Dan jika suatu hari kau masih menemuinya?""Aku akan menjauhinya. Tidak ada alasan bagiku untuk kembali pada sesuatu yang hanya akan melemahkanku."Reagan mengisap rokoknya dalam-dalam, bara merahnya memercik singkat. "Tidak ada salahnya berjaga-jaga. Maka dengar ini, nyawanya akan berada di tanganku saja, karena kau berbuat bodoh untuk kedua kalinya."Alexander menegang. "Apa maksudmu?""Aku akan melenyapkannya," kata Reagan datar, seolah kalimat itu tak lebih dari keputusan bisnis biasa. "Setuju?"Alexander terdiam. Suara detak jantungnya sendiri terasa memekakkan telinga, sementara pikirannya dipenuhi riuh akan kesepakatan mendadak ini."Apa lagi yang harus kau pikirkan?" Reagan menekan suaranya, melihat putranya tampak ragu-ragu untuk pertanyaan mudah. "Nikahi tunanganmu, dan jauhi wanita yang tidak memberi keuntungan. Masalah cinta,
"Tidak. Aku tidak pernah menggunakan perasaan padamu."Ucapan itu sederhana, namun bagi Ella rasanya seperti pisau yang menusuk jantungnya berkali-kali. "Jadi ... kamu sadar perasaanmu ada pada Chloe?""Chloe?" Alexander tersenyum tipis, penuh keremehan. "Aku tidak memiliki perasaan apa pun padanya."Alis Ella berkerut. "Lalu sebenarnya apa yang kamu inginkan, Alexander?""Aku hanya menginginkan kekuasaan. Bukankah sudah kukatakan itu?"Ella terdiam. Telinganya panas, kepalanya berdenyut. Ternyata orang-orang yang gila akan kekuasaan bukan hanya tokoh dalam drama yang biasa dirinya tonton. Tapi kini, ia berhadapan langsung dengan wujudnya. "Jadi kenapa kau menarik aku dan Chloe ke dalam permainanmu?""Seru. Ini menyenangkan hidupku."Wajah Ella berubah pucat. "Kau ... kau bajingan sampah! Memanfaatkan wanita, apa kau pikir itu membuatmu terlihat hebat?"Alexander mendekat, jemarinya mengelus lembut pipi Ella, kontras dengan kata-katanya yang dingin. "Tidak. Tapi hidup ini ... selalu d
"Kau tidak berhak!""Kenapa tidak?!" balas Chloe dengan mata berkilat marah. "Aku adalah putri keluarga Landtsov. Aku bisa singkirkan jalang itu dengan mudah. Jangan remehkan diriku, Alexander!"Alexander tersenyum tipis. "Baiklah," ucapnya tenang. "Coba lakukan semampumu." Pria itu pun berbalik, melangkah keluar kamar tanpa menoleh sedikitpun."Alexander! Kau mau ke mana?" Chloe menyusul, tumit sepatunya menghantam lantai marmer dengan nada tak sabar.Tak ada jawaban."Alexander! BERHENTI!" Suaranya semakin meninggi, pecah bersama amarah yang menelan habis akalnya. "Katakan padaku apa kekuranganku! Apa yang kulakukan salah?!"Langkah Alexander tetap tak goyah. Tubuhnya kaku, dingin, tegap, seolah Chloe hanyalah bisikan samar yang tertiup angin malam. Hingga akhirnya, pintu lift terbuka. Alexander masuk ke dalamnya, dengan wajah tetap datar serta membisu.Kaki Chloe terhenti tanpa bisa melangkah lagi. Air matanya bergetar di pelupuk, jemarinya mengepal hingga pucat. "Alexander, kembal