LOGINSelimut menutupi tubuh Ella dari ujung kaki sampai leher. Ini sudah tengah malam dan dirinya mulai mengantuk tapi matanya tidak bisa terpejam.
Kejadian di kolam piranha terus terbayang jelas di otaknya. Bagaimana teriakan wanita itu sampai bau darahnya masih membekas, ia ingat jelas. Apa lagi saat dia meminta tolong kepada dirinya tapi Ella tidak bisa melakukan apa pun. Ia hanya diam membeku seperti orang bodoh. Walau tidak menyentuh korban tapi orang yang melihat pembunuhan tanpa membantu tetaplah pembunuh, ia sama saja dengan pria brengsek itu. Siapa sebenarnya Alexander? Dia sangat menakutkan. Ella juga tidak tahu sampai kapan dirinya akan hidup sebab bisa kapan saja Alexander melakukan hal serupa pada dirinya. Bahkan mungkin lebih kejam. Rencana awal Ella yang ingin melakukan pendidikan lebih lanjut di Italia agar bisa menjadi seorang Ballerina profesional, telah hangus. Ia hanya ingin membuat kedua orangnya dapat melihat putri satu-satunya tampil sempurna di panggung Ballet. Jika mengingat keluarga, Ella jadi rindu pada ayah, ibu, dan kedua kakaknya. Seharusnya sejak awal, ia memilih menerima beasiswa di Sydney, Australia daripada beasiswa di kampusnya saat ini. Rasanya Ella ingin memutar waktu. Pasti menyenangkan bisa latihan Ballet, menghabiskan waktu bersama teman-temannya, dan pastinya ia masih bisa bertemu kedua orang tuanya. "Dasar Ella bodoh," geramnya pada diri sendiri. Terdengar suara pintu terbuka, Ella segera menutup mata tanpa menengok siapa yang masuk. Siapa pun itu, ia tidak ingin berurusan. Ella merasa orang itu naik ke ranjangnya, semakin mendekat lalu sebuah tangan besar melingkar di pinggangnya. "Kamu sudah tidur?" bisik Alexander tepat di telinga Ella. Suara berat itu membuat Ella merinding tapi ia tidak ingin membuka mata. Alexander yang merasa tidak mendapatkan respon apa-apa, ikut memejamkan mata. Namun, tangannya belum mau diam. Tangan Alexander yang awalnya berada di pinggang beralih meraba kemaluan Ella yang masih tertutup celana, lalu beralih masuk ke dalam baju wanita itu. Meremas dua gundukan dadanya secara bergantian. Ella yang mendapatkan perlakuan itu, memendamkan wajahnya di bantal agar melampiaskan hasrat yang begitu nikmat dari tangan Alexander. Tangan Alexander berhenti begitu saja sebelum semuanya selesai. Ia mengecup telinga Ella yang berubah menjadi warna merah dan akhirnya benar-benar memejamkan mata. Keesokkan paginya, Ella bangun tidur sendirian di ranjang. Entah sejak kapan Alexander pergi dari kamarnya, ia tidak peduli. Mungkin pergi bekerja. Ella mandi terlebih dahulu sebelum pergi ke bawah untuk sarapan. Perutnya tidak terlalu lapar tapi ia akan tetap turun ke bawah agar bisa melihat-lihat seluruh mansion ini. Siapa tahu menemukan jalan keluar. "Nona ingin makan apa?" tanya pelayan menghampiri Ella yang baru sampai di meja makan. "Aku akan makan yang sudah disiapkan saja." Ella duduk di depan meja yang sudah disediakan banyak makanan. "Apa Alexander sudah pergi bekerja?" "Tuan ada di rumah, tapi sudah sarapan." "Baiklah," ucap Ella. Dari sekian banyak makanan, ia mengambil roti dan selai. Sejak kejadian kemarin, Ella takut melakukan apa pun di mansion Alexander, termasuk memilih makanan. Setelah selesai sarapan, Ella pergi mengelilingi seluruh ruangan di lantai bawah mansion. Walau merasa tidak nyaman karena setiap sudut mansion ini selalu ada pria-pria berpakaian hitam bahkan di halaman luar lebih banyak, seperti mereka menjaga tempat ini dengan ketat Namun, tiba-tiba ada sebuah tangan yang mendarat di pundaknya. Ella menengok ke belakang ada seorang pria tua yang sedang tersenyum kepadanya. "Dari tadi aku melihat anda seperti sedang mencari sesuatu. Ada yang bisa dibantu, Nona?" tanya pria itu. "Emmm aku sedang melihat-lihat mansion ini." "Kalau begitu aku bisa membantu. Sudah lama diriku tinggal di sini jadi tahu di mana saja tempatnya." "Baiklah, tapi siapa nama anda?" "Perkenalkan namaku Benjamin Tomassi, Nona bisa memanggilku Ben atau apa pun senyamannya," jawab Ben. "Anda terlihat berbeda dengan pria lainnya di sini." "Maksud anda apa yang berbeda?" "Pria di sini bertubuh besar dan menyeramkan, sedangkan anda terlihat ramah." "Anda benar, fisikku memang sudah tua dan posisiku tidak sama dengan mereka. Aku kepala pelayan mansion ini." "Sedangkan mereka apa? Mereka berani menyimpan senjata dalam pakaiannya. Apa mereka semua bodyguard Alexander?" "Bisa dikatakan begitu. Tugas mereka adalah menjaga Tuan." "Tapi apa perlu sebanyak itu?" "Ini hanya sedikit, jumlah sebenarnya lebih banyak." "Wow bahkan warga sipil bisa memiliki lebih banyak pengawal daripada presiden." Ben tertawa kecil, perkataan Ella berhasil mengenai humornya yang tinggi. "Tuan memang warga sipil tapi di keluarga ini, Tuan orang penting." "Yang kudengar bisnis Alexander bergerak di bidang property. Apa bisnisnya begitu besar? Atau dia punya pekerjaan lain?" "Itu benar, Tuan pewaris perusahaan milik keluarga Hoffa." Ceklek ...! Pintu di samping mereka terbuka membuat pembicaraan Ben dan Ella terhenti. Ella menoleh, melihat Alexander dan seorang wanita asing keluar secara bersamaan. "Ternyata ada mainan baru di sini," kata wanita itu. Dia memperhatikan Ella dari ujung kaki sampai ujung kepala. "Tapi pelacur satu ini terlihat berbeda. Apa seleramu berubah, Alexander?" "Aku bukan pelacur," sanggah Ella cepat. "Benarkah? Lalu apa?" "Aku dikur-" "Pergilah, Alice!" potong Alexander. "Kau galak sekali dengan adikmu sendiri. Biasanya kau galak dengan pelacur yang masih tinggal di sini setelah melayanimu. Tapi sekarang kau membela wanita bayaran." "Sudah kubilang, aku bukan wanita bayaran!" tegas Ella. "Lalu apa? Kau bukan pacar atau tunangan saudaraku." "Saudaramu itu seorang bajingan, dia membawaku secara pak-" Alexander menarik lengan Alice segera menjauh dari Ella. Bukan takut rahasianya terbongkar, hanya saja ia memang tidak suka keluarganya mencampuri urusan pribadinya. Setelah mengusir paksa adiknya keluar, Alexander kembali menemui Ella dan Ben. "Anda bisa pergi." "Baik, Tuan," jawab Ben lalu pergi. "Kamu sudah makan?" "Sudah." Ella melanjutkan perjalanannya untuk melihat seisi mansion. "Kamu tertarik dengan mansionku tenyata." Alexander mengintili Ella dari belakang. "Sedikit." "Jika kamu pikir akan menemukan jalan keluar, hilangkan saja pikiran dan niatmu itu. Tapi jika hanya ingin melihat-lihat, akan kutunjukkan. Ikuti aku." Ella sempat ragu ketika melihat punggung Alexander yang akan memimpin. Seperdetik kemudian, keduanya pergi bersama melihat-lihat isi mansion. Alexander mengajak Ella melihat kolam ikan Piranha, kolam renang, ruang gym, dan ruang billiard. Namun, itu hanya sebagian karena Alexander tidak memberitahu Ella semua isi mansion tersebut. "Ini tempat terakhir yang akan aku tunjukkan. Sudah puas?" tanya Alexander. Mereka sedang berada di ruang gym. Ella mengangguk, ia melihat alat-alat gym yang besar dan lengkap. "Pantas saja para penjaga di sini bertubuh besar," celetuk Ella. "Ya, orang yang bekerja sama denganku harus mempunyai ketahanan fisik dan mental yang kuat. Aku tidak menerima orang yang lemah, yang hanya akan menyusahkan. Seperti dirimu," ejek Alexander. "Tapi jika kamu menilai tempat ini adalah tempat olahraga mereka, itu salah. Ini hanya tempat untuk diriku." "Begitu," jawab Ella malas. "Kamu tidak memuji otot tubuhku?" "Tidak." "Padahal saat di Australia, kamu bilang tubuh sangat sempurna, bahkan milikku ... mau melihatnya lagi?"Pagi itu, kuliah dimulai seperti biasa. Ella sudah kembali ke kelas, berusaha bersikap normal seolah malam sebelumnya tidak ada apa-apa. Kepalanya masih sedikit berat, tapi ia memaksakan diri. Setelah kelas teori selesai, para mahasiswa dipanggil ke studio latihan untuk evaluasi pentas kemarin malam. Semua berkumpul, termasuk Ella yang tidak ikut tampil. Ia tetap berdiri di barisan belakang seperti biasanya. Beberapa pelatih mulai berbicara panjang dan yang lain fokus mendengarkan. Namun, baru beberapa detik evaluasi ini, rasa mual itu datang menghampirinya lagi. Ella mengerjap, satu tangan otomatis meraih perutnya. Tubuhnya menegang. "Tidak! Jangan sekarang!" batinnya. Gagal! Gelombang itu naik begitu cepat hingga ia nyaris memekik. Ella menutup mulutnya, matanya membesar. Tanpa menunggu izin siapa pun, ia langsung berbalik dan berlari ke luar studio. Ternyata Chloe diam-diam menyadari kepergian wanita itu. Lalu kakinya mundur perlahan ke belakang. Dan sekarang ia b
Taksi berhenti tepat di depan gedung. Ella baru sempat membayar, lalu hampir tersandung saking terburu-burunya turun. Udara malam menyambutnya dengan dingin yang menusuk tulang. Dalam hati, Ella memaki dirinya sendiri karena entah mengapa kepalanya tiba-tiba pusing. Ia merogoh tasnya cepat, mengeluarkan surat masuk khusus mahasiswa jurusan tari. Itu adalah tiket gratis yang hanya diberikan oleh pelatih bagi yang terdaftar dalam kelas pertunjukan kampus. Ella menyodorkannya pada petugas. Setelah memeriksa cepat, pegawai itu mengangguk dan mempersilakan masuk. Lampu auditorium meredup. Hampir semua kursi telah terisi. Penonton duduk dengan tubuh tegak, terdiam menikmati adegan yang sedang berlangsung. Ella mencari celah kursi kosong di tengah. Untunglah ada satu kursi kosong. Ia berlari kecil menyelinap masuk, lalu duduk. Namun bukannya bisa bernapas lega dan menikmati pertunjukan, Ella justru sibuk menengok ke kanan, kiri, dan ke belakang. Tidak ada Alexander. Firasatnya
Ella menggeser tubuhnya ke samping, turun dari pangkuan Alexander. "Angkatlah."Alexander beranjak, berdiri beberapa langkah agak jauh dari Ella. Wanita itu menatap punggung yang terlihat kokoh itu. Ada perasaan sedih, sebab tahu momen-momen mereka akan segera berakhir. Segala kebiasaan kecil yang selama ini membuatnya nyaman, dipeluk saat tidur, dicium saat baru membuka mata, mencicipi masakan Alexander, atau sekedar berdiam di depan perapian sambil berpelukan. Semua akan kembali seperti yang seharusnya. Berpura-pura sudah saling melupakan.Alexander menempelkan ponsel ke telinganya. "Ada apa?""Aku ingin kamu pulang!""Aku masih di Monaco. Urusannya belum selesai.""Aku tidak bertanya atau meminta. Aku menyuruhmu.""Tapi-""Aku tidak peduli! Pokoknya hari ini atau besok kamu sudah harus kembali."Alexander mengembuskan napas berat, rahangnya mengencang. Ia menoleh sedikit, melirik ke arah Ella yang masih duduk diam di kursi kayu. "Baiklah, aku akan mengusahakan secepatnya pulang."
Hari itu, lebih tepatnya hari kelima sejak mereka tinggal bersama di tempat kecil tersebut. Dan pagi terasa lebih lembut dari hari-hari sebelumnya. Di kursi kayu yang diletakkan di depan rumah, di tengah hamparan rumput hijau yang masih basah oleh embun, Ella duduk di pangkuan Alexander. Posisi favorit terbaru mereka. Ella membelakangi Alexander, tubuhnya bersandar nyaman ke dadanya, sementara kedua lengan pria itu melingkari pinggangnya. Keduanya menghadap sungai yang mengalir tenang, dikelilingi pepohonan rimbun yang sesekali berbisik ketika angin berembus. "Aku tidak menyangka orang sepertimu memiliki selera seperti ini," kata Ella. Alexander menoleh kearahnya. Alisnya terangkat tipis. "Apa maksudmu, orang sepertiku?" "Orang yang tidak memiliki selera baik." "Apa?" Alexander tersenyum sambil menggeleng. "Memang menurutmu, seleraku bagaimana?" "Yang membosankan."
Alexander langsung menarik wajah Ella dan menghajar bibirnya dengan ciuman yang begitu menekan, bak orang kelaparan. Sampai punggung Ella kembali menghantam dinding.Tangan besar itu naik ke rahang, memaksanya menengadah lebih tinggi. Ia mencium Ella sampai jemari wanita itu mencengkeram bahunya hanya untuk tetap berdiri. Tak ada ruang udara yang memisahkan mereka.Napas Alexander akhirnya pecah, memaksa ciuman itu terputus.Tangan besar itu turun, lalu menarik pakaian Ella dari tubuhnya. Gerakannya cepat dan tergesa, sampai terdengar suara kain robek. Bukan bermaksud kasar, tapi karena ia tidak mau ada apa pun menghalangi pandangannya.Ia ingin melihat Ella apa adanya, tanpa batas.Begitu pakaian terakhir terlepas, pupil mata Alexander membesar, napasnya terhenti sesaat. Air shower yang menetes di tubuh Ella membuat kulitnya berkilau bak pahatan hidup. Dan untuk seribu kalinya malam itu, Alexander kehilangan kata-kata.Kemudian, tangannya terangkat menyapu rambut basah Ella ke belak
Tangan Alexander memutar keran shower. Detik berikutnya, air hangat langsung jatuh deras dari atas kepala. Tidak ada yang sempat melepas pakaian. Mereka berdua berdiri tepat di bawah pancuran, membiarkan air menyiram tubuh mereka begitu saja.Ella mendongak sedikit, rambutnya yang basah menempel di pipi. Alexander menatapnya tanpa berkedip, dengan air yang turun dari rahang, ke leher, ke dada, dan ke perut. Pria ini sungguh wujud sempurna dari keseksian, tanpa harus berusaha keras. "Aku ingin ..." Ella meraih kerah kemeja Alexander, menariknya sedikit. "Kita berciuman lagi sebentar, sebelum mandi.""Tentu. Dengan senang hati." Air hangat membasahi bibir mereka saat Alexander menekannya lebih dalam, menelusuri mulut Ella dengan gerakan lambat yang membuat kaki wanita itu hampir lemas. Air terus jatuh di antara mereka, memberatkan pakaian mereka. Tapi ciuman itu membuat segalanya terasa lebih panas daripada air yang menyentuh kulit.Ella mundur tanpa sadar karena tekanan tubuh Alexand







