LOGINLorong menuju kamar itu sunyi, bagai menyimpan rapat-rapat sebuah rahasia yang terpendam berabad-abad. Reve berhenti di depan pintu kayu mahogany yang berat, ukirannya rumit dan gelap. Dengan sebuah kunci antik yang dikeluarkan dari saku celananya, dia membuka kunci iitu.
Bunyi kunci diputar bergema di keheningan, seolah membuka segel waktu yang telah lama tertutup. Reve mendorong pintu itu perlahan. Udara yang keluar terasa berbeda. Dingin dan sarat dengan beban masa lalu.Caleb, yang berdiri setengah langkah di belakangnya, merasakan perubahan atmosfer itu. Namun, apa yang dilihatnya saat Reve membuka pintu sepenuhnya, justru membuatnya terpana dan melupakan sejenak nuansa suram yang melingkupinya.Dinding kamar yang luas itu dipenuhi lukisan. Bukan lukisan biasa, melainkan karya-karya yang membuat napas Caleb sesaat tercekat. Ada goresan ekspresionis yang penuh amarah, ada potret realisme yang detailnya memukau, dan di sudut lain, ada aliMatahari sore mulai merendah, menyinari toko bunga Madam Letisha dengan cahaya keemasan. Reve baru saja memarkir motornya di depan toko bunga milik wanita tua itu. Dan dengan langkah cepat, ia menghampiri Laura yang sedang menyiram tanaman. Tanpa banyak bicara, Reve merangkul pinggang Laura dari belakang, menaruh dagunya di pundaknya.Laura tersenyum, mencondongkan tubuhnya ke belakang, menyandar pada dada Reve yang kokoh. Tangannya yang memegang penyiram tanaman turun, membiarkan Reve mengambil alih. Reve dengan lembut menyelesaikan penyiraman, lalu mencium pelipis Laura dengan lembut.Madam Letisha, yang mengamati dari balik jendela toko, mengangguk pelan. Sebuah senyum lega dan bahagia mengembang di wajahnya yang berkerut. Matanya yang tajam menyipit, menyaksikan bagaimana Reve dengan natural mengambil alih tas Laura, membukakan helm untuknya, dan dengan hati-hati mengikatkan tali helm di bawah dagu Laura.“Dulu,” gumam Madam Letisha pada
Klinik Dylan baru saja dibuka, udara pagi yang segar masih bercampur dengan aroma disinfektan. Reve memarkir motornya dengan lancar di tempat biasa, dan saat ia melepas helm, sebuah senyum lebar masih terpancar jelas di wajahnya, menghangatkan sisa-sisa embun di dinginnya pagi.Dylan bersandar di ambang pintu, tangan kanannya masuk ke saku jubah putihnya, mengamati Reve yang mendekat dengan tatapan penuh selidik. Sebuah senyum kecil yang memahami muncul di sudut bibirnya. “Aura pengantin baru memang selalu berseri-seri, ya?” godanya, suaranya ringan.Reve hanya menggeleng sambil tertawa pelan, matanya yang biasanya tajam kini terlihat lembut. Ia menepuk bahu Dylan dengan akrab. “Semoga kau segera menyusul, Bro!”Dylan berpura-pura menghela napas panjang, bahunya turun sedikit. “Ya. Tapi sepertinya aku belum menemukan orang yang tepat,” keluhnya, meski matanya masih berbinar.Reve membuka pintu kaca klinik untuk mereka berdua, b
Uap hangat terus mengepul, membungkus mereka dalam kabut hangat yang intim. Reve masih duduk di belakang Laura, tubuhnya membentuk benteng yang hangat. Setelah membasuh busa dari punggung Laura, tangannya yang masih basah dan hangat mulai menjelajah lebih jauh.Kedua tangan Reve yang besar perlahan bergerak dari pinggang Laura, menyusuri lekuk samping tubuhnya yang basah. Jari-jarinya yang panjang meraba tulang rusuknya yang halus, merasakan setiap tarikan napas Laura yang semakin dalam.Perlahan, telapak tangannya yang terbuka naik lebih tinggi, hingga ujung jari-jarinya menyentuh bagian samping payudara Laura. Kulitnya yang halus dan basah terasa seperti sutra di bawah sentuhannya. Laura menarik napas tajam namun pendek, tubuhnya sedikit bergerak di pangkuan Reve.Kedua ibu jari Reve kemudian dengan sengaja menyapu lembut melintasi puncak payudaranya, menyentuh putingnya yang sudah mengeras akibat suhu udara dan sentuhan darinya. Sebuah ge
Di bawah cahaya lilin yang temaram, tubuh Laura bagai terlepas dari kendali. Setiap ototnya menegang, menari mengikuti irama jari Reve yang semakin menjadi. Kasur berderit lembut menahan gerakan mereka. Keringat membasahi pelipis Laura, rambutnya menempel di dahi yang berkerut. Bibirnya yang merah terbuka, mengeluarkan desahan-desahan pendek yang putus-putus. “Tolong ... hentikan ... aku tidak sanggup …” Reve hanya tersenyum, senyum kecil penuh kendali. Matanya yang gelap tak lepas dari wajah Laura yang tersiksa kenikmatan. “Kau mau apa, Sayang?” bisiknya, sementara jari tengahnya terus bergerak memutar dengan tekanan sempurna tepat di titik paling sensitif. Laura menggeleng liar, tangannya mencengkram lengan Reve. “Langsung saja ... Reve ... tolong …” “Ulangi,” desaknya. Napas Reve membelai telinga Laura. “Aku suka mendengar suaramu seperti ini.”
Malam itu, dunia mereka hanya berada di dalam tenda kecil. Di dalam tenda yang hangat iy, udara terasa pekat oleh desahan dan erangan yang tak lagi terbendung. Lampu tempel masih setia menemani, menerangi tubuh mereka yang berkilat oleh keringat, bagai dua pahatan yang hidup dalam cahaya keemasan.Punggung Reve menegang bagai tali busur yang ditarik hingga puncak. Urat-urat di leher dan lengannya menonjol, menahan gelombang kenikmatan yang menyapu seluruh tubuhnya. Sebuah erangan dalam, serak, dan tak terbendung keluar dari bibirnya, menggetarkan udara di antara mereka.Badannya seluruhnya bergetar hebat, diikuti oleh gemetar yang sama pada tubuh Laura di bawahnya. Kuku-kuku Laura tanpa sadar mencengkeram bahu Reve, meninggalkan jejak kemerahan di kulitnya yang berkeringat.Saat gelombang itu perlahan mereda, Reve terjatuh lemas di atas tubuh Laura, napasnya tersengal-sengal memburu. Dada mereka yang basah saling beradu, denyut jantung merek
Malam yang sejuk di tepi danau, diterangi cahaya bulan purnama dan api unggun yang berkobar. Bunyi jangkrik dan desisan ikan yang dibakar menciptakan suasana alam yang nyaman. Reve duduk di atas tikar, merangkul Laura dari belakang.Dagunya bersandar di sisi bahu Laura, menikmati kehangatan tubuhnya dan pemandangan bulan yang memantul di permukaan air.Saat angin malam berhembus lebih kencang, Laura menggigil. Reve segera menyadarinya.“Kau kedinginan, Sayang?” tanyanya, suara rendahnya bergema dekat telinga Laura.“Iya,” jawab Laura, suaranya gemetar.Tanpa pikir panjang, Reve membuka resleting jaket Laura. Namun alih-alih menutupnya kembali, tangannya justru menyusup ke dalam baju Laura, telapak tangannya yang hangat langsung menempel di kulit perutnya.Laura terkesiap. “Reve—!”Namun Reve tidak berhenti. Tangannya dengan lancar bergerak naik, menjelajahi setiap lekuk tubuh Laura yang







