MasukLorong rumah sakit itu terasa dingin dan hening, hanya diterangi lampu neon yang menyala redup. Reve berdiri di luar ruangan Laura, tubuhnya terasa hampa setelah diusir dengan kata-kata yang menyakitkan. Dia menatap kosong ke dinding putih, rasa bersalah dan keputusasaan menggerogoti dirinya.
Dengan langkah berat, dia menemui dokter yang sedang bertugas. Dokter itu, seorang pria paruh baya dengan kacamata, melihat wajah lesu Reve. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya. Reve menarik napas dalam. “Dia …, maksud saya, pasien bernama Laura. Dia memiliki trauma masa kecil yang dalam, ya?” Dokter itu mengangguk, ekspresi wajahnya serius. “Berdasarkan reaksinya dan pemeriksaan awal, iya. Trauma itu memicu serangan panik yang sangat hebat, hingga membuat tubuhnya tidak mampu lagi dan menyebabkan syok. Kondisi fisiknya sendiri sebenarnya tidak parah, tapi secara psikologis ... dia sangat rapuh.” RevMalam itu, dunia mereka hanya berada di dalam tenda kecil. Di dalam tenda yang hangat iy, udara terasa pekat oleh desahan dan erangan yang tak lagi terbendung. Lampu tempel masih setia menemani, menerangi tubuh mereka yang berkilat oleh keringat, bagai dua pahatan yang hidup dalam cahaya keemasan.Punggung Reve menegang bagai tali busur yang ditarik hingga puncak. Urat-urat di leher dan lengannya menonjol, menahan gelombang kenikmatan yang menyapu seluruh tubuhnya. Sebuah erangan dalam, serak, dan tak terbendung keluar dari bibirnya, menggetarkan udara di antara mereka.Badannya seluruhnya bergetar hebat, diikuti oleh gemetar yang sama pada tubuh Laura di bawahnya. Kuku-kuku Laura tanpa sadar mencengkeram bahu Reve, meninggalkan jejak kemerahan di kulitnya yang berkeringat.Saat gelombang itu perlahan mereda, Reve terjatuh lemas di atas tubuh Laura, napasnya tersengal-sengal memburu. Dada mereka yang basah saling beradu, denyut jantung merek
Malam yang sejuk di tepi danau, diterangi cahaya bulan purnama dan api unggun yang berkobar. Bunyi jangkrik dan desisan ikan yang dibakar menciptakan suasana alam yang nyaman. Reve duduk di atas tikar, merangkul Laura dari belakang.Dagunya bersandar di sisi bahu Laura, menikmati kehangatan tubuhnya dan pemandangan bulan yang memantul di permukaan air.Saat angin malam berhembus lebih kencang, Laura menggigil. Reve segera menyadarinya.“Kau kedinginan, Sayang?” tanyanya, suara rendahnya bergema dekat telinga Laura.“Iya,” jawab Laura, suaranya gemetar.Tanpa pikir panjang, Reve membuka resleting jaket Laura. Namun alih-alih menutupnya kembali, tangannya justru menyusup ke dalam baju Laura, telapak tangannya yang hangat langsung menempel di kulit perutnya.Laura terkesiap. “Reve—!”Namun Reve tidak berhenti. Tangannya dengan lancar bergerak naik, menjelajahi setiap lekuk tubuh Laura yang
Udara di klinik Dylan terasa berat, penuh dengan ketegangan . Reve masih berdiri di sana, menatap Laura yang memegang kartu ATM itu seolah-olah itu adalah kunci dari takdir yang akan mereka jalani selanjutnya.Pertanyaannya menggantung di antara mereka, sederhana namun sarat makna. “Jadi,” ucap Reve, suaranya bergetar penuh harap dan keraguan, “Kau menerimaku? Bukan hanya uangku, tapi ... aku. Dengan semua masa laluku yang berantakan, dengan segala kekuranganku?”Laura memandangi kartu di tangannya, lalu menatap langsung ke mata Reve yang penuh kecemasan. Di sana, dia tidak melihat lagi pria arogan yang dulu mengendalikannya. Yang dia lihat adalah seorang pria yang rapuh, yang telah berjuang untuk berubah, dan yang dengan polos menyerahkan seluruh tabungan hidupnya sebagai bukti niatnya.Laura tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia melangkah mendekat, hingga hanya berjarak lima jengkal dari tempat Reve berdiri.“Uang ini,” bisik Laura, mengangkat kartu itu, “hanya sebuah alat. Yang
Keesokan paginya, sinar matahari menyirami taman belakang rumah Madam Letisha. Laura duduk di bangku kayu, secangkir teh chamomile di tangannya masih penuh, belum disesap sedikitpun. Wajahnya diliputi kerutan kecemasan.Madam Letisha duduk di sampingnya, dengan tenang merajut sambil sesekali melirik Laura.“Aku bingung, Madam,” keluh Laura akhirnya, suaranya lirih dan penuh keraguan.Madam Letisha melirik, “apa yang membuatmu bingung?”“Aku bingung dengan Reve."Madam Letisha tidak langsung menjawab. Jarum rajutannya terus bergerak ritmis sebelum dia berhenti dan menatap Laura dengan bijak. “Cinta itu bukan soal benar atau salah, Nak. Tapi soal pilihan dan konsekuensi.”Wanita tua itu meletakkan rajutannya. “Reve ... dia seperti anggur tua. Rasanya kuat, bisa memabukkan, dan setelahnya seringkali meninggalkan sakit kepala.” Analoginya membuat Laura tersenyum kecut. “Tapi ada juga yang menemukan kesen
Keesokan harinya, di klinik yang sepi sebelum jam praktik dimulai, Reve bercerita tentang undangan Argo dan keinginannya untuk mengajak Laura. Dylan mendengarkan sambil membersihkan kacamatanya, wajahnya lebih serius dari biasanya. “Kau bisa ajak dia pergi,” ujar Dylan, meletakkan kacamatanya, “tapi hanya jika dia benar-benar mau. Bukan karena kau memaksanya, atau memanfaatkan kelemahannya.” Nada suaranya tegas, penuh peringatan. Reve menyunggingkan senyum getir. “Wah, kau jadi semakin protektif padanya. Apa ini efek menjadi ‘dokter yang baik’?” Dylan menatapnya langsung. “Aku menganggapnya seperti adikku sendiri sekarang. Dan sebagai kakak, aku tidak akan mengizinkanmu atau siapa pun mengganggu ketenangannya lagi.” “Begitu, ya?” Reve menyeringai, namun ada kekhawatiran di matanya. Dia mendekat dan tiba-tiba membungkuk dengan dramatis, tangan terlipat seolah memohon. “Kalau begitu, restuilah aku, Kakak!
Lampu temaram di ruang tamu menerangi profil wajah Laura yang masih pucat. Reve tetap duduk di lantai di samping sofa, punggungnya bersandar pada bingkai kayu. Hujan di luar telah reda menjadi rintik-rintik, menciptakan irama yang menenangkan.“Tidurlah,” bisik Reve sekali lagi, suaranya serendah embun malam. “Aku di sini. Aku tidak akan pergi.”Laura terlalu lelah untuk membuka mata atau menyahut. Tubuhnya masih lunglai oleh efek obat dan rasa sakit yang baru saja mereda. Namun dalam kabur kesadarannya, dia mendengar suara Reve. Dia tahu Reve masih ada di sana.“Terima kasih,” bisik Reve tiba-tiba.Suaranya lebih dalam, sarat dengan emosi yang tak terbaca, “karena kau sudah menjaga dirimu untukku.”Di dalam benaknya yang lemah, Laura ingin memprotes. ‘Bukan untukmu. Aku melakukannya untuk diriku sendiri!’Namun tak satu pun kata yang bisa diucapkannya. Hanya sebuah desahan lemah yang keluar.







