Argo terkejut, tetapi segera mengubah rute laju mobilnya. Reve menutup matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam kelelahan dan konflik batin. Alasan yang ia berikan pada Shara memang mulia. Namun alasan sebenarnya adalah, d ia tidak bisa membayangkan berbagi ranjang dengan siapapun saat pikiran dan hatinya masih dipenuhi oleh Laura.
Mobil yang dikemudian Argo berbelok ke rumah megah itu, berhenti di garasi. Reve buru-buru keluar dari mobil. Tanpa mengucapkan kata-kata apa pun, ia meninggalkan Argo yang masih kebingungan dengan sikap tuannya yang tampak berbeda. Lorong yang sunyi itu terasa begitu panjang dan dingin. Reve berdiri di depan kamar Laura. Kamar di sisi dapur. Kamarnya yang sederhana, terlihat tanpa cahaya. Reve bertanya dalam hati bagaimana Laura akan menatapnya setelah malam itu. Namun, aroma sabun cuci yang biasa melekat pada Laura masih tersisa, membuatnya yakin jika Laura berada di dalam kamarnya. Dengan tubuh yang gemetar, Reve perlahan berlutut. Marmer dingin seolah menembus kain celananya, tetapi rasa sakit itu tidak ada artinya dibandingkan dengan beban di hatinya. “Maafkan aku, Laura,” bisiknya, suaranya pecah dan hancur. “Aku tahu ini sudah terlambat. Aku tahu kata-kata ini tidak ada artinya setelah semua yang kulakukan.” Dia menundukkan kepalanya, tangannya mengepal di atas paha. “Aku monster. Aku menyakitimu, memperlakukanmu seperti benda, mengabaikan perasaanmu ... dan yang paling buruk, aku tak mengerti perasaan sakit apa yang membuatku selalu ingin menghancurkanmu dengan tanganku sendiri.” Air mata Reve jatuh ke lantai, membasahi marmer yang mengkilap. “Aku tidak berharap kau memaafkanku. Aku hanya ingin kau tahu bahwa di balik semua kekejian itu, ada seorang lelaki yang begitu hancur hingga tidak tahu cara mencintai dengan benar.” Reve tetap berlutut di sana untuk waktu yang lama, kepalanya masih tertunduk, tubuhnya terguncang oleh isak tangis yang tak terbendung. Di kejauhan, jam dinding berdentang 12 kali, menandakan tengah malam, waktu ketika penyesalan terasa paling dalam dan pengampunan terasa paling mustahil. Pintu perlahan terbuka. “Bangun, Tuan. Aku sudah memaafkanmu.” Suara lembut Laura terdengar seperti melodi indah di telinga Reve. Akhirnya, Reve mengangkat wajahnya. Dia berdiri dengan langkah sedikit goyah. “Benarkah?” tanya Reve. Laura mengangguk. Reve bisa melihat mata dan hidungnya memerah. Langkah Reve mendekat, tangannya menyentuh pipi Laura. Mengusap jejak air mata di sana. “Kau habis menangis?” Laura menggeleng pelan. “Ini hanya karena mengiris bawang. Tuan tahu kalau bawang merah itu sangat perih dan—” Cup! Bibir Reve menempel sepersekian detik di bibir Laura. Membuat mata gadis itu melebar seketika. Setelahnya, lelaki itu meninggalkan kamar itu dan semua kenangan yang tersimpan di dalamnya. Namun ia tahu, malam itu, untuk pertama kalinya, ia menyadari jika Laura tidak berlari setelah melihat monster di dalam dirinya. Ia menghadapinya dan mungkin, itu adalah awal dari hubungan yang baru untuk mereka. Atau justru akhir dari segalanya. *** Jam lonceng di rumah itu baru saja berdentang enam kali. Reve berdiri di depan pintu kamar Laura, ketukan tiga kali yang ia berikan terasa berat dan penuh beban. Saat pintu terbuka, Laura berdiri di baliknya dengan wajah gugup, matanya menghindari kontak langsung. “Ya, Tuan? Anda butuh sesuatu?” suaranya tetap lembut. “Aku ingin berendam. Siapkan air hangat seperti biasa,” ujar Reve, suaranya datar namun ada getaran halus di dalamnya. “Baik, Tuan.” Laura mengangguk patuh, segera berjalan di belakang Reve menuju kamar mandi mewah milik tuannya itu. Usai kejadian semalam, Laura bingung bagaimana harus bersikap pada tuannya itu. Di satu sisi, ia mengetahui sisi lemah lelaki tampan itu. Namun di sisi lain, ia takut jika lelaki itu akan kembali menyakitinya. Memberinya hukuman tanpa ampun. “Kau masih melamun?” Suara bass Reve menyentak kesadaran Laura. “Maaf, Tuan.” Laura segera membuka keran air, mengukur suhu dengan teliti seperti yang selalu dilakukannya. Namun, tiba-tiba, suara kunci pintu mengunci membuatnya menoleh. Reve berdiri di sana, mata keabu-abuan miliknya seketika terasa dingin dan menusuk, membuat Laura membeku. Sebelum Laura bisa pergi dari sana, Reve sudah menariknya dengan kasar ke dalam bathtub yang masih terisi air. Seragamnya basah kuyup, menempel pada tubuhnya hingga pakaian dalamnya terlihat transparan. Laura terbatuk-batuk, mencoba bangkit, tetapi Reve menahannya dengan tubuhnya. “Tuan, tolong—” protes Laura, tetapi kata-katanya terpotong oleh bibir Reve yang menyergapnya dengan hasrat yang membara. Ciumannya kasar dan penuh keputusasaan, seolah mencari pelampiasan dalam kehangatan tubuh Laura. Dengan gerakan cepat, Reve membuka kancing baju Laura satu per satu, merobeknya dalam ketergesaan. Laura mencoba melawan, tetapi tangannya dengan mudah dikungkung. Air hangat yang semula menenangkan kini terasa seperti lautan yang menenggelamkannya. “Aku ingin merasakannya lagi, Laura,” bisik Reve di antara ciumannya, suaranya serak. “Seperti kemarin. Dan kemarin.” Laura menutup mata, air mata mengalir bercampur air yang memercik. Dia berhenti melawan, tubuhnya lemas di bawah berat Reve. Dalam hati, dia tahu hal itu salah. Namun, sisi terkecil dari dirinya masih menginginkan pria yang membuatnya merasa dicintai, meski hanya sebentar. Reve terus menelusuri tubuh Laura, seolah mencoba menghapus semua kenangan buruk dengan menciptakan yang baru. Namun di balik setiap sentuhan, ada rasa sakit yang tak terhindarkan bagi Laura—yang terjebak antara keinginan dan penghinaan. Namun bagi Reve, kebersamaan dengan Laura adalah hal paling masuk akal untuk lari dari kenyataan dengan cara paling menghancurkan. “Tidak, Tuan. Jangan di sana lagi,” Laura memohon, suaranya parau dan putus asa tetapi Reve seolah tak mendengar. Ia justru menghunjam lebih dalam, membuat Laura terengah-engah. “Sejak malam itu, kau sudah menjadi milikku,” bisik Reve, nafasnya berat di telinga Laura. “Tubuhmu mulai menikmatinya, Laura. Kau tak bisa berbohong padaku.” Dan di kamar mandi mewah yang dipenuhi uap itu, dua jiwa yang terluka kembali saling menyakiti, karena itulah satu-satunya bahasa cinta yang mereka kenal. ***Tangan Reve meremas dan menarik rambut Laura, memaksanya menengadah. Sakit dan nikmat bercampur menjadi satu, menciptakan badai sensasi yang membuat Laura limbung. Meski jiwanya berteriak menolak, tubuhnya mulai merespons dengan cara yang membuatnya malu. Desahan pendek lolos dari bibirnya yang tergigit. Mendengar suara rendah Laura itu, Reve bergerak semakin liar. Gerakannya menjadi lebih dalam dan teratur, seolah ingin membuktikan bahwa di balik semua penolakan, tubuh Laura juga memang menginginkannya. Air mata Laura mengalir deras, bercampur dengan keringat dan uap air yang panas, tetapi dia tak lagi melawan. Dia hanya bisa pasrah, membiarkan gelombang sensasi itu menerpa, sementara hatinya hancur berkeping-keping. “Lihat, kau memang milikku,” gumam Reve, suaranya penuh kemenangan dan keputusasaan.Dan di saat itu, Laura menutup mata, menyerah pada kontradiksi yang menghancurkannya antara rasa sakit yang menusuk dan kenikmatan yang tak
Argo terkejut, tetapi segera mengubah rute laju mobilnya. Reve menutup matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam kelelahan dan konflik batin. Alasan yang ia berikan pada Shara memang mulia. Namun alasan sebenarnya adalah, d ia tidak bisa membayangkan berbagi ranjang dengan siapapun saat pikiran dan hatinya masih dipenuhi oleh Laura.Mobil yang dikemudian Argo berbelok ke rumah megah itu, berhenti di garasi. Reve buru-buru keluar dari mobil. Tanpa mengucapkan kata-kata apa pun, ia meninggalkan Argo yang masih kebingungan dengan sikap tuannya yang tampak berbeda.Lorong yang sunyi itu terasa begitu panjang dan dingin. Reve berdiri di depan kamar Laura. Kamar di sisi dapur. Kamarnya yang sederhana, terlihat tanpa cahaya.Reve bertanya dalam hati bagaimana Laura akan menatapnya setelah malam itu. Namun, aroma sabun cuci yang biasa melekat pada Laura masih tersisa, membuatnya yakin jika Laura berada di dalam kamarnya.Dengan tubuh
Usai makan siang bersama itu, Shara mengajak Reve menuju butik untuk memilih gaun pernikahan mereka. Butik pernikahan yang eksklusif terasa sunyi meski dipenuhi gaun-gaun mewah yang berkilauan di bawah lampu kristal. Shara dengan semangat memilih-milih koleksi gaun pengantin, sementara Reve berdiri di dekat pintu, tangannya berada di saku celana.“Reve, Sayang, lihat yang ini!” seru Shara sambil mengangkat gaun berenda payet yang memantulkan cahaya. “Desainer gaun ini khusus terbang dari Paris kemarin. Apa menurutmu ini cocok untukku?”Reve mengangguk tanpa antusiasme, matanya kosong. “Ya, bagus. Pakai itu saja.” Shara mengerutkan kening, meletakkan gaun itu dengan sedikit kesal. “Kau bahkan tidak melihatnya, Reve. Ini penting bagiku. Bagi kita. Karena ini untuk pernikahan kita.”Dia mendekati Reve, tangannya yang halus meraih lengan Reve. Shara mencoba menenangkan dengan bertanya dalam nada lembut. “Ada apa? Kau sudah aneh se
Reve memasang dasinya sedangkan Laura masih sibuk mendandani anak perempuan mereka.“Sudah selesai belum? Ayah harus segera ke kantor,” kata Reve.“Tunggu, Ayah. Ibu sedang membuat kepang di rambutku,” gadis kecil yang usianya empat tahun lima bulan itu protes.Laura tertawa. “Tunggu sebentar lagi, Ayah. Michelle tidak akan lama.”°°°Senyum masih mengembang di bibir Reve saat matanya terbuka. Untuk beberapa detik, ia masih merasakan kehangatan imajiner dari adegan mimpi yang baru saja dialaminya itu. Tawa Laura yang jernih, tangan kecil anak perempuan mereka yang memegangi jarinya, dan perasaan menjadi keluarga yang utuh.Namun kemudian, realitas kembali menghentakkan mimpinya ke dasar.Kamar hotelnya yang mewah terasa sunyi dan dingin. Tidak ada Laura yang sedang mengepang rambut putri mereka. Tidak ada Michelle—putri mereka yang cerewet memprotes. Hanya kesendirian yang menusuk, dan
Kamar Laura diselimuti kegelapan yang pekat, hanya diterangi lampu tidur. Ia sengaja membuka tirai jendela kamarnya, membiarkan sinar bulan pucat yang menyelinap melalui celah dari tirai dan ventilasi jendela di sana. Laura baru saja memejamkan mata, berusaha melupakan kekerasan yang berhasil dilewatinya malam kemarin.Ketika pintu kamarnya terbuka dengan perlahan, Reve muncul seperti bayangan. Siluetnya menutupi cahaya lampu kamar yang remang-remang.Laura ingin berteriak, tetapi Reve sudah berada di atas tempat tidurnya dengan gerakan cepat yang membuat Laura semakin gemetar. Tangan Reve yang besar menutup mulut Laura, menekan dengan kuat hingga napasnya tersendat.“Jangan bersuara,” desis Reve.Suaranya serak dan gelap, seperti orang asing yang tidak dikenalnya.Dengan gerakan kasar, Reve merobek baju tidur Laura, kain flanel sederhana itu terkoyak dengan suara yang memekakkan telinga di kesunyian malam. Laura
Malam itu, setelah melewati pekerjaan yang sama, Laura membersihkan diri lalu mengganti seragam kerjanya dengan kaus dan celana yang nyaman. Ia berbaring, menyalakan televisi untuk menunggu kantuk.Layar kecil televisi tua di kamar Laura menyala, memancarkan cahaya biru yang menyinari wajahnya yang pucat. Berita pertunangan Reve dan Shara ditayangkan dengan gemerlap, foto mereka berdua tersenyum bahagia, dikelilingi oleh keluarga dan teman-teman yang setara. Laura menatap tanpa berkedip, jantungnya berdetak pelan namun terasa berat.“Mereka sangat cocok,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku yakin dia akan membawa Reve pada kebahagiaan yang layak didapatkannya.”Tiba-tiba, ketukan keras di pintu membuatnya terkejut. Suara ketukan itu tidak seperti biasanya. Berat, tidak teratur, dan disertai suara gesekan di pintu kayu. Laura membeku sesaat, tangannya masih menggenggam remote televisi erat-erat.“Siapa, ya?” Ia bertanya pada diri s