LOGINKeesokan harinya, di klinik yang sepi sebelum jam praktik dimulai, Reve bercerita tentang undangan Argo dan keinginannya untuk mengajak Laura. Dylan mendengarkan sambil membersihkan kacamatanya, wajahnya lebih serius dari biasanya.
“Kau bisa ajak dia pergi,” ujar Dylan, meletakkan kacamatanya, “tapi hanya jika dia benar-benar mau. Bukan karena kau memaksanya, atau memanfaatkan kelemahannya.” Nada suaranya tegas, penuh peringatan. Reve menyunggingkan senyum getir. “Wah, kau jadi semakin protektif padanya. Apa ini efek menjadi ‘dokter yang baik’?” Dylan menatapnya langsung. “Aku menganggapnya seperti adikku sendiri sekarang. Dan sebagai kakak, aku tidak akan mengizinkanmu atau siapa pun mengganggu ketenangannya lagi.” “Begitu, ya?” Reve menyeringai, namun ada kekhawatiran di matanya. Dia mendekat dan tiba-tiba membungkuk dengan dramatis, tangan terlipat seolah memohon. “Kalau begitu, restuilah aku, Kakak!Udara di klinik Dylan terasa berat, penuh dengan ketegangan . Reve masih berdiri di sana, menatap Laura yang memegang kartu ATM itu seolah-olah itu adalah kunci dari takdir yang akan mereka jalani selanjutnya.Pertanyaannya menggantung di antara mereka, sederhana namun sarat makna. “Jadi,” ucap Reve, suaranya bergetar penuh harap dan keraguan, “Kau menerimaku? Bukan hanya uangku, tapi ... aku. Dengan semua masa laluku yang berantakan, dengan segala kekuranganku?”Laura memandangi kartu di tangannya, lalu menatap langsung ke mata Reve yang penuh kecemasan. Di sana, dia tidak melihat lagi pria arogan yang dulu mengendalikannya. Yang dia lihat adalah seorang pria yang rapuh, yang telah berjuang untuk berubah, dan yang dengan polos menyerahkan seluruh tabungan hidupnya sebagai bukti niatnya.Laura tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia melangkah mendekat, hingga hanya berjarak lima jengkal dari tempat Reve berdiri.“Uang ini,” bisik Laura, mengangkat kartu itu, “hanya sebuah alat. Yang
Keesokan paginya, sinar matahari menyirami taman belakang rumah Madam Letisha. Laura duduk di bangku kayu, secangkir teh chamomile di tangannya masih penuh, belum disesap sedikitpun. Wajahnya diliputi kerutan kecemasan.Madam Letisha duduk di sampingnya, dengan tenang merajut sambil sesekali melirik Laura.“Aku bingung, Madam,” keluh Laura akhirnya, suaranya lirih dan penuh keraguan.Madam Letisha melirik, “apa yang membuatmu bingung?”“Aku bingung dengan Reve."Madam Letisha tidak langsung menjawab. Jarum rajutannya terus bergerak ritmis sebelum dia berhenti dan menatap Laura dengan bijak. “Cinta itu bukan soal benar atau salah, Nak. Tapi soal pilihan dan konsekuensi.”Wanita tua itu meletakkan rajutannya. “Reve ... dia seperti anggur tua. Rasanya kuat, bisa memabukkan, dan setelahnya seringkali meninggalkan sakit kepala.” Analoginya membuat Laura tersenyum kecut. “Tapi ada juga yang menemukan kesen
Keesokan harinya, di klinik yang sepi sebelum jam praktik dimulai, Reve bercerita tentang undangan Argo dan keinginannya untuk mengajak Laura. Dylan mendengarkan sambil membersihkan kacamatanya, wajahnya lebih serius dari biasanya. “Kau bisa ajak dia pergi,” ujar Dylan, meletakkan kacamatanya, “tapi hanya jika dia benar-benar mau. Bukan karena kau memaksanya, atau memanfaatkan kelemahannya.” Nada suaranya tegas, penuh peringatan. Reve menyunggingkan senyum getir. “Wah, kau jadi semakin protektif padanya. Apa ini efek menjadi ‘dokter yang baik’?” Dylan menatapnya langsung. “Aku menganggapnya seperti adikku sendiri sekarang. Dan sebagai kakak, aku tidak akan mengizinkanmu atau siapa pun mengganggu ketenangannya lagi.” “Begitu, ya?” Reve menyeringai, namun ada kekhawatiran di matanya. Dia mendekat dan tiba-tiba membungkuk dengan dramatis, tangan terlipat seolah memohon. “Kalau begitu, restuilah aku, Kakak!
Lampu temaram di ruang tamu menerangi profil wajah Laura yang masih pucat. Reve tetap duduk di lantai di samping sofa, punggungnya bersandar pada bingkai kayu. Hujan di luar telah reda menjadi rintik-rintik, menciptakan irama yang menenangkan.“Tidurlah,” bisik Reve sekali lagi, suaranya serendah embun malam. “Aku di sini. Aku tidak akan pergi.”Laura terlalu lelah untuk membuka mata atau menyahut. Tubuhnya masih lunglai oleh efek obat dan rasa sakit yang baru saja mereda. Namun dalam kabur kesadarannya, dia mendengar suara Reve. Dia tahu Reve masih ada di sana.“Terima kasih,” bisik Reve tiba-tiba.Suaranya lebih dalam, sarat dengan emosi yang tak terbaca, “karena kau sudah menjaga dirimu untukku.”Di dalam benaknya yang lemah, Laura ingin memprotes. ‘Bukan untukmu. Aku melakukannya untuk diriku sendiri!’Namun tak satu pun kata yang bisa diucapkannya. Hanya sebuah desahan lemah yang keluar.
Kedai kopi sederhana itu ramai oleh obrolan pelanggan dan aroma biji kopi sangrai. Reve, dengan apron hijau, baru saja mengantarkan pesanan ketika pandangannya tertumbuk pada sosok familiar yang berdiri di dekat pintu.Argo.Pria itu tampak lebih tua, lebih berisi, dengan ketenangan yang tidak dia miliki dulu.“Bagaimana kabar Anda, Reve?” sapa Argo, suaranya formal namun tidak memancarkan aura bermusuhan.Reve membersihkan tangannya di apron. “Tidak usah terlalu formal. Aku bukan tuanmu lagi,” ujarnya, mencairkan suasana. “Dan kau juga sama sekali bukan sopir pribadiku.”Argo tersenyum kecil. “Maaf. Kebiasaan. Semuanya adalah bagian dari pekerjaan saya waktu itu.”“Tidak masalah,” Reve mengibaskan tangan. “Kau melakukan pekerjaanmu dengan baik. Sangat baik, malah.”Ada jeda yang singkat, lalu Argo bertanya, suaranya lebih rendah, “Bagaimana kabar Laura?”Reve mendecak, se
James hanya tertawa pelan. Pria itu mengetahui kelemahan Reve.“Oh, hanya menyelesaikan beberapa urusan keluarga yang belum tuntas,” jawab James santai, meski Reve tahu, setiap katanya memiliki arti lain.“Ayah kita mungkin sudah tiada karena bunuh diri di penjara. Tapi warisannya ... masih banyak yang harus diatur. Termasuk urusanmu dengan wanita itu.” Matanya melirik ke arah toko bunga.“Namanya Laura, ‘kan? Dia masih cantik sama seperti lima tahun lalu.”Reve mengepalkan tangannya. Semua kemajuan yang telah dia capai, semua kedamaian yang dia rasakan, seakan menguap di hadapan James. Dia adalah perwujudan dari masa lalunya yang paling kelam, sebuah pengingat bahwa dia tidak akan pernah bisa benar-benar lepas dari cengkeraman keluarganya.“Jangan sentuh dia!” geram Reve, suaranya rendah dan penuh peringatan.James tertawa, suara yang dingin dan tanpa emosi. “Itu tergantung padamu, Kakak.”







