Laura tertegun, memandang lurus jauh ke depan jendela dapur, tatapannya terpaku pada pasangan di taman. Reve dengan setelan jasnya yang sempurna, dan Shara yang berjalan anggun dengan gaya seperti putri bangsawan dalam dongeng. Tanpa sadar, ia menunduk, memandangi sepatu lusuhnya yang sudah usang dan penuh noda. Sebuah perbandingan yang menyakitkan.
Ingatan malam-malam kemarin bersama Reve tiba-tiba saja melintas pikirannya. “Sebenarnya aku ini apa bagimu?” bisiknya pada diri sendiri.Melihat Reve yang tertawa lepas bersama Shara. Meski suaranya tak terdengar, Laura bisa merasakan kebahagiaan tuannya saat itu.Tiba-tiba, sentuhan di bahunya membuatnya tersentak. Merry, pelayan dapur lainnya, berdiri di sampingnya dengan wajah khawatir.“Laura. Apa yang kau lakukan? Jarimu berdarah.”Laura menatap jari telunjuknya yang tergores pisau. Darah menetes ke talenan, bercampur dengan irisan wortel yang baru saja dipotongnArgo berdiri di hadapannya. Laura seketika mengembuskan napas, lega. Ia pikir ‘orang itu’ yang mengetuk pintu.“Kau sudah selesai?” tanyanya.“Sudah,” jawab Laura pelan.“Cepat siapkan makan malamnya. Aku akan membantumu.”“Terima kasih,” Laura mengucapkannya dengan tulus.“Ya.” Namun, dalam hatinya, Argo tetap merasa iba pada gadis itu.Laura bersama beberapa pelayan segera mengatur menu makan malam di meja. Menyalakan lilin dan menuangkan sampanye terbaik di gelas. Laura yang semula sudah mengambil langkah untuk kembali ke dapur, seketika berdiri membeku saat suara Reve memanggilnya, memecah sunyi di ruang makan mewah itu. Memotong gemerisik sendok garpu dan alunan musik klasik yang lembut.Semua mata para pelayan lain tertuju padanya, sementara Shara duduk dengan senyum lembut di samping Reve, tak mengerti dan memahami sama sekali aura ketidaknyamanan di antara mereka saat itu.
Laura tertegun, memandang lurus jauh ke depan jendela dapur, tatapannya terpaku pada pasangan di taman. Reve dengan setelan jasnya yang sempurna, dan Shara yang berjalan anggun dengan gaya seperti putri bangsawan dalam dongeng. Tanpa sadar, ia menunduk, memandangi sepatu lusuhnya yang sudah usang dan penuh noda. Sebuah perbandingan yang menyakitkan.Ingatan malam-malam kemarin bersama Reve tiba-tiba saja melintas pikirannya. “Sebenarnya aku ini apa bagimu?” bisiknya pada diri sendiri.Melihat Reve yang tertawa lepas bersama Shara. Meski suaranya tak terdengar, Laura bisa merasakan kebahagiaan tuannya saat itu.Tiba-tiba, sentuhan di bahunya membuatnya tersentak. Merry, pelayan dapur lainnya, berdiri di sampingnya dengan wajah khawatir.“Laura. Apa yang kau lakukan? Jarimu berdarah.”Laura menatap jari telunjuknya yang tergores pisau. Darah menetes ke talenan, bercampur dengan irisan wortel yang baru saja dipotongn
Tangan Reve meremas dan menarik rambut Laura, memaksanya menengadah. Sakit dan nikmat bercampur menjadi satu, menciptakan badai sensasi yang membuat Laura limbung. Meski jiwanya berteriak menolak, tubuhnya mulai merespons dengan cara yang membuatnya malu. Desahan pendek lolos dari bibirnya yang tergigit. Mendengar suara rendah Laura itu, Reve bergerak semakin liar. Gerakannya menjadi lebih dalam dan teratur, seolah ingin membuktikan bahwa di balik semua penolakan, tubuh Laura juga memang menginginkannya. Air mata Laura mengalir deras, bercampur dengan keringat dan uap air yang panas, tetapi dia tak lagi melawan. Dia hanya bisa pasrah, membiarkan gelombang sensasi itu menerpa, sementara hatinya hancur berkeping-keping. “Lihat, kau memang milikku,” gumam Reve, suaranya penuh kemenangan dan keputusasaan.Dan di saat itu, Laura menutup mata, menyerah pada kontradiksi yang menghancurkannya antara rasa sakit yang menusuk dan kenikmatan yang tak
Argo terkejut, tetapi segera mengubah rute laju mobilnya. Reve menutup matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam kelelahan dan konflik batin. Alasan yang ia berikan pada Shara memang mulia. Namun alasan sebenarnya adalah, d ia tidak bisa membayangkan berbagi ranjang dengan siapapun saat pikiran dan hatinya masih dipenuhi oleh Laura.Mobil yang dikemudian Argo berbelok ke rumah megah itu, berhenti di garasi. Reve buru-buru keluar dari mobil. Tanpa mengucapkan kata-kata apa pun, ia meninggalkan Argo yang masih kebingungan dengan sikap tuannya yang tampak berbeda.Lorong yang sunyi itu terasa begitu panjang dan dingin. Reve berdiri di depan kamar Laura. Kamar di sisi dapur. Kamarnya yang sederhana, terlihat tanpa cahaya.Reve bertanya dalam hati bagaimana Laura akan menatapnya setelah malam itu. Namun, aroma sabun cuci yang biasa melekat pada Laura masih tersisa, membuatnya yakin jika Laura berada di dalam kamarnya.Dengan tubuh
Usai makan siang bersama itu, Shara mengajak Reve menuju butik untuk memilih gaun pernikahan mereka. Butik pernikahan yang eksklusif terasa sunyi meski dipenuhi gaun-gaun mewah yang berkilauan di bawah lampu kristal. Shara dengan semangat memilih-milih koleksi gaun pengantin, sementara Reve berdiri di dekat pintu, tangannya berada di saku celana.“Reve, Sayang, lihat yang ini!” seru Shara sambil mengangkat gaun berenda payet yang memantulkan cahaya. “Desainer gaun ini khusus terbang dari Paris kemarin. Apa menurutmu ini cocok untukku?”Reve mengangguk tanpa antusiasme, matanya kosong. “Ya, bagus. Pakai itu saja.” Shara mengerutkan kening, meletakkan gaun itu dengan sedikit kesal. “Kau bahkan tidak melihatnya, Reve. Ini penting bagiku. Bagi kita. Karena ini untuk pernikahan kita.”Dia mendekati Reve, tangannya yang halus meraih lengan Reve. Shara mencoba menenangkan dengan bertanya dalam nada lembut. “Ada apa? Kau sudah aneh se
Reve memasang dasinya sedangkan Laura masih sibuk mendandani anak perempuan mereka.“Sudah selesai belum? Ayah harus segera ke kantor,” kata Reve.“Tunggu, Ayah. Ibu sedang membuat kepang di rambutku,” gadis kecil yang usianya empat tahun lima bulan itu protes.Laura tertawa. “Tunggu sebentar lagi, Ayah. Michelle tidak akan lama.”°°°Senyum masih mengembang di bibir Reve saat matanya terbuka. Untuk beberapa detik, ia masih merasakan kehangatan imajiner dari adegan mimpi yang baru saja dialaminya itu. Tawa Laura yang jernih, tangan kecil anak perempuan mereka yang memegangi jarinya, dan perasaan menjadi keluarga yang utuh.Namun kemudian, realitas kembali menghentakkan mimpinya ke dasar.Kamar hotelnya yang mewah terasa sunyi dan dingin. Tidak ada Laura yang sedang mengepang rambut putri mereka. Tidak ada Michelle—putri mereka yang cerewet memprotes. Hanya kesendirian yang menusuk, dan