“Karena Anda menyetujui perjanjian ini, maka pernikahan akan diadakan satu minggu dari sekarang.”
Kelly terpaku di tempat. Pernikahan? Ia melamar kerja di perusahaan ini. Dan surat yang ditandatanganinya barusan adalah surat perjanjian kerja.
"T-tunggu dulu, Pak--"
Namun sayang, sebelum ia bertanya lebih lanjut, pengacara perusahaan yang barusan bicara padanya telah keluar dari ruangan.
Dengan tubuh gemetar, wanita cantik berkulit putih bersih itu membuka kembali lembaran kertas yang tadi ia setujui.
Matanya terbelalak saat membaca satu pasal yang bertuliskan bahwa ia akan dinikahkan dengan cucu pemilik perusahaan.
Gadis berusia 25 tahun itu sangat terkejut. Ia yang memutuskan keluar negeri karena ingin bekerja dan membanggakan keluarga, justru terjebak dalam pernikahan dadakan.
Bayangan rumitnya pernikahan dengan sang cucu konglomerat seketika membuat kepalanya pusing.
"Bagaimana bisa?!" teriak Kelly sebelum akhirnya jatuh pingsan.
Kesadaran wanita itu baru pulih satu jam berikutnya. Sayup-sayup, Kelly mengerjapkan mata. Ia bernapas lega ketika mendapati dirinya masih berada di ruangan yang sama.
“Syukurlah kamu baik-baik saja.”
Seorang wanita berusia senja nampak tersenyum lega ke arah Kelly yang tengah menatapnya. Di sisi wanita tua itu, seorang lelaki tampan yang berdiri dengan kedua tangan terlipat di perut datar, menatapnya dingin.
Dengan tertatih, gadis itu mencoba bangun dari posisinya saat ini. "Ah, maafkan saya, Nyonya--"
“Kenalkan, namaku, Eliza. Salah satu pemilik perusahaan Richmont.” Wanita yang tampak elagan itu menjulurkan tangan.
Kelly mengangguk sekilas, membalas uluran tangan tersebut. "Kelly,” katanya singkat dan lemah.
“Itu, cucuku, Brandon." Eliza menoleh pada lelaki yang berdiri dengan wajah datar di belakangnya. "Dialah calon suamimu.”
Seketika, Kelly kembali teringat kejadian yang membuatnya pingsan. Dia menatap Brandon, calon suami dadakannya yang tampak begitu marah dengan rencana perjodohan ini.
“Granny yakin mau menikahkanku dengan remaja ini?" komentar Brandon disertai dengusan sinis.
“Umurnya dua puluh lima. Mungkin karena wajahnya imut jadi terlihat masih seperti remaja.” Eliza bicara pada cucunya dengan seringai aneh di wajah.
Meski kesal sebab dikatai gadis remaja, Kelly kali ini setuju pada Brandon.
Dengan berani, gadis itu menyuarakan penolakannya. “Maaf, Nyonya Eliza. Aku pun tidak mau menikah."
Wajah Nyonya Eliza yang berwibara kemudian tersenyum pada Kelly. “Nak, bukankah kamu sudah menyetujui perjanjian itu? Dalam perjanjian, jika kamu menolak, kami bisa menuntutmu.”
‘Degh.’
Kelly menahan napas mendengar pernyataan Eliza.
"Tapi, Granny... Aku bahkan tidak kenal dia."
Namun, lagi-lagi, ucapan Brandon hanya dianggap angin lalu oleh Eliza.
“Kalau begitu, antar Kelly pulang ke apartemannya, sekalian kalian saling mengenal satu sama lain,” titah Eliza membuat Brandon tak bisa berkutik. "Dan kamu, Kelly... Perjanjian yang sudah disetujui tidak bisa dibatalkan, atau... Kamu akan mendapatkan kerugian besar."
Setelahnya, sosok nenek yang masih terlihat cantik di usianya itu melenggang pergi.
Embusan napas panjang dan raut kefrustrasian tampak di wajah Kelly. Tanpa kata, ia bangkit dan meraih tasnya. “Tidak usah mengantarku. Aku bisa pulang sendiri,” ucapnya pelan pada Brandon.
Brandon mendengus kasar. “Aku juga malas mengantar wanita aneh sepertimu, tetapi Granny sudah memerintah dan aku harus menurutinya.”
Setelahnya, lelaki itu memimpin jalan, meninggalkan Kelly yang mengerutkan dahi di belakang.
Tak ingin jadi pusat perhatian, Kelly pun terpaksa mengikuti langkah lelaki itu tanpa kata.
Mereka masuk ke dalam lift khusus direktur yang langsung keluar di tempat parkir, di mana mobil pribadi Brandon berada.
“Kamu pasti membutuhkan banyak uang, sampai berani menjual diri." Dalam perjalanan, Brandon berkata ketus. "Berapa uang yang Granny tawarkan padamu?”
Tersinggung, Kelly membelalakkan mata ke samping. “Enak saja aku menjual diri.” Ia mendengus kesal. “Aku menandatangani berkas, yang ternyata berisi tentang perjanjian pernikahan! Siapa yang sangka, perusahaan besar bisa menjebak calon pegawainya?”
Brandon menaikkan sudut bibirnya. “Menandatangani berkas tanpa membaca? Apa kamu bodoh?”
Wajah Kelly merah hingga ke telinga. Tak terima dikatakan bodoh, Kelly membalik tubuh ke samping dan menatap berang lelaki yang sedang menyetir itu.
Namun Kelly malah tertegun sejenak. Sial. Ia baru menyadari dari jarak dekat, lelaki itu terlihat sangat tampan. Tubuh lelaki itu juga begitu harum parfum yang belum pernah ia temukan sebelumnya.
Dua kriteria lelaki impiannya ada pada Brandon, tampan dan harum. Sadar tak seharusnya terjerat pada pesona lelaki itu, ia pun mencari-cari sisi buruk Brandon.
Kelly menatap telinga pria itu yang tersemat sebuah anting. Bagus. Ada alasan untuk tidak menyukainya meski ia sangat tampan dan wangi. Ia tidak menyukai lelaki bertindik.
“Kenapa kamu menatapku tanpa berkedip?” sentak Brandon saat Kelly hanya terpaku.
“Ka-kamu ...." Jantung Kelly berdegup kencang. Ia memutar pandangannya kembali menjadi lurus. "Kamu juga bodoh karena mau saja dinikahkan dengan wanita yang tidak kamu kenal sama sekali.”
Brandon mengumpat kasar. “Sial! Beraninya kamu mengataiku bodoh?!”
Kelly tersentak mendengar nada tinggi tersebut. Setiap kata yang keluar dari bibir Brandon benar-benar melukai hatinya.
“Kamu yang lebih dulu menghinaku. Aku hanya membela diri.”
Setelahnya, ada jeda keheningan beberapa saat. Melihat Brandon yang sangat berapi-api, Kelly semakin tidak ingin terjebak dengan lelaki itu.
Mesku mungkin pernikahan ini adalah pernikahan kontrak, tetap saja ia agaknya tidak sanggup bila harus mendengar ocehan menggores hati Brandon setiap hari.
“Pasti ada yang bisa kita lakukan untuk membatalkan pernikahan ini.Kelly memijat keningnya. "Atau aku kabur saja ke luar negeri?”
Lelaki tampan itu malah meledakkan tawanya. “Keluarga kami sangat berpengaruh di sini. Usahamu hanya akan sia-sia.”
“Lalu, bagaimana ini?” gumam Kelly. Sekarang, ia sedikit panik mengetahui keluarga Richmont yang menjebaknya punya banyak kuasa. “Lagi pula, kenapa Nyonya Eliza memintaku menikahimu?”
“Tanya sendiri pada Granny. Itu juga kalau kamu berani.”
Rasanya percuma bicara pada mahluk menyebalkan di sampingnya ini.
Kelly berpikir keras sambil menatap jalanan melalui jendela di sampingnya. Apa ia harus meminta pertolongan pada keluarganya? Ia yakin, keluarganya yang juga berpengaruh itu pasti bisa dengan mudah melepaskan ia dari jerat pernikahan ini.
Namun, Kelly menggelengkan kepalanya ketika mengingat kondisi daddy-nya yang memiliki penyakit jantung. Mendengar berita ini mungkin akan membahayakan nyawa sang Daddy.
Tidak kehabisan akal, Kelly kembali memutar idenya untuk mencari penolakan yang mungkin bisa diterima keluarga Richmont.
Hingga sebuah ide gila pun tercetus dari bibirnya.
"Brandon, aku tidak bisa menikahimu. " Ia menatap ke arah lelaki itu. Jantung Kelly kembali melonjak, berbanding terbalik dengan ekspresi lelaki itu yang masih datar. “Itu karena... aku sedang hamil!”
Arsen, Reno dan Mimi saat ini telah berusia tiga tahun. Orang-orang yang belum mengenal mereka selalu berpikir bahwa hanya Arsen dan Reno yang merupakan anak kembar, sementara Mimi adalah adik bungsu mereka. Perbedaan ketiganya memang semakin terlihat.“Aku mau punya anak perempuan lagi.” Kelly berkata sambil menatap Mimi yang sedang duduk di pangkuan Brandon sambil menggambar.“Aku tidak mau. Mimi saja sudah cukup.” Dengan keras kepala, Brandon menggeleng.Masalah ini belum selesai sampai bertahun-tahun. Kelly masih menginginkan memiliki anak lagi sementara Brandon yang merasa tak tega istrinya hamil dan melahirkan menolak mentah-mentah kemauan Kelly.“Aku akan bilang Mommy Florence untuk mencuri benihmu dan memasukkan ke rahimku.” Kelly berkata ketus.“Aku akan minta Mommy Keyna diam-diam memberimu suntikan KB.” Brandon menyahut tak kalah sengit.Mereka terdiam saat Mimi tiba-tiba menatap orang tuanya bergantian.“Mimi mau bilang grandpa, mommy dan daddy berantem lagi.” Mulut mungil
Kelly dan Brandon menoleh cepat. Frederix, Sacha, Louis serta pasangan mereka berkumpul tak jauh dari tempat Kelly dan Brandon berdiri.Spontan, Kelly langsung terisak. Wanita itu berlari masuk ke dalam dekapan kakak sulungnya, Frederix. Selama beberapa saat Frederix, Sacha dan Louis juga memeluk adik bungsu mereka.Brandon membuang pandangan. Keluarga Dalton selalu saja membuatnya terharu dengan kebersamaan dan kasih sayang mereka.“Maafkan aku, ya, Kak. Mommy dan Daddy jadi pergi.” Kelly sesunggukan di dada Frederix.“Hehe. Kami pernah meninggalkan daddy sendirian. Sekarang, kami jadi tau bagimana rasanya ditinggalkan.”“Tapi, kami rela. Mommy dan daddy sudah cukup menemani kami hingga memiliki anak-anak yang mulai besar.”“Sekarang, waktunya mommy dan daddy menemani keluargamu berkembang dan bertumbuh.”Mendengar pernyataan Frederix, Sacha dan Louis, Kelly menghentikan tangisnya. Meskipun Brandon bilang, keluarga Dalton dapat kapan saja berkunjung, tetap saja Kelly tau, jadwal kaka
Kelly menatap suaminya yang terdiam memandang foto tersebut. Ia jadi ikut mengamatinya. Foto kebersamaan Kelly dan Marc remaja.Di foto, Kelly terlihat kalem, sementara Marc bergaya tengil dan menggoda Kelly.“Apa kamu seperti melihat masa depan Mimi dan Reno?” tebak Kelly.Cepat, Brandon menggeleng. “Jangan! Kamu tau aku tidak suka melihatmu ribut dengan Marc.”Senyum terukir di wajah Kelly. Ia akan memastikan putra-putrinya saling menyayangi. Meski ia tau Marc juga menyayanginya dengan versi lelaki itu sendiri.Selama berada di mansion William, Kelly mengenalkan anak-anaknya dengan lingkungan sekitar. Setiap hari mereka bermain di taman, berenang atau ke aviary. Reno terlihat yang paling menikmati kegiatan outdoor.“Mimi kepanasan, Babe. Bawa masuk saja.” Brandon tak tega melihat wajah Mimi yang putih jadi kemerahan.Hingga Arsen dan Mimi masuk bersama suster mereka, Reno masih asyik bermain bubble di taman. Brandon menemani putranya sementara Kelly menyusui Arsen dan Mimi.“Sudah m
Tentu saja Kelly tidak menolak tawaran Brandon. Apalagi, ia tidak enak jika mengandalkan Mommy Florence dan Daddy Donald mengingat Kak Dheena sebentar lagi akan melahirkan.“Beneran Uncle Rich juga mau hadir di wisudaku?” Marc memandang Brandon tak percaya.“Nggak boleh?” Brandon balas bertanya.Marc mengangguk tegas. “Boleh! Boleh banget!”Universitas tempat Marc belajar akan geger jika mereka tau seorang triyulner akan hadir untuk mendukungnya. Lelaki muda itu berteriak kesenangan dan memberitahu seluruh keluarga.“Lho, apa benar yang diucapkan Marc? Kalian mau ke negara Kelly?” Mommy Florence tergopoh datang menghampiri.Kelly jadi merasa tak enak hati karena merencanakan ini secara mendadak. Ia langsung berdiri dan merangkul mommy mertuanya.“Nggak papa kan, Mom? Nanti sebelum Kak Dheena melahirkan aku pulang.” Kelly berjanji.“Waahh... kami akan sangat kangen pada Arsen, Reno dan Mimi.” Daddy Donald jadi ikut melow.“Cuma satu minggu, Mom, Dad.” Brandon menimpali. “Semoga Kak Dhe
Brandon terduduk dan merebut benda pipih itu dari tangan Kelly. Matanya menatap tanpa berkedip pada permukaan benda. Lalu, menatap sang istri yang juga sedang memandangnya.“Garis satu? Kamu tidak hamil?”“Nggak.” Kelly menggeleng.“Huuffftt.” Brandon kembali merebahkan diri ke ranjang sambil mengembuskan napas panjang penuh kelegaan.Kelly terkekeh dan memangku wajah dengan tangannya. “Seneng banget kelihatannya aku nggak hamil lagi.”Tubuh Brandon menyamping menghadap sang istri. Tangannya mengusap sayang wajah Kelly.“Bukan begitu. Aku akan senang kamu hamil lagi. Masalahnya, si kembar tiga masih bayi. Kondisi kamu pasca melahirkan juga belum stabil.”“Aku sudah baik-baik saja, kok. Cuma pura-pura nggak stabil.” Kelly tergelak.“Jahat!”“Hahahaha!” Kelly kembali tergelak dan sibuk menghindari tangan Brandon yang mengelitiki pinggangnya. “Sudah, Brad! Ampun!”Brandon memang berhenti. Ia menindih tubuh Kelly dan menatap wajah cantik di bawahnya. Tiba-tiba, dahi Brandon berkerut.“Kena
“Ini ruangan untukmu.” Kelly tersenyum pada sang suami. Tangannya menghapus cepat air mata yang jatuh ke pipi.Kelly merapatkan tubuh pada Brandon yang berdiri kaku di tengah ruangan. Sadar, suaminya masih tercengang mendapati kejutan darinya, Kelly menangkup wajah tampan Brandon.“Terima kasih untuk kesabaranmu selama ini. Aku tau kamu masih berjuang untuk berada di antara keramaian keluargaku. Di mansion ini, bahkan kamar kita bukan lagi tempat privatemu.”Setelah melahirkan dan kembali ke mansion, Kelly menyadari bahwa mansion Brandon tidak pernah sepi. Keluarganya selalu datang berbondong-bondong, bahkan menginap.“Aku tidak keberatan, Babe.” Brandon berkata pelan.“Aku tau.” Kelly menatap mata Brandon dalam-dalam. “Tapi, aku mau menjadi istri pengertian yang paham kalau sesekali, suaminya butuh kesunyian.”Brandon mengangkat kedua alisnya sedikit. Ia kembali mengamati sekitar. Berusaha mencerna bagaimana ruangan ini bisa ada.“Aku belajar dari ahlinya.” Kelly berkata seolah menja
Brandon tidak langsung menjawab. Ia tau pasti ada seseorang yang memposting keberadaannya di supermarket barusan.“Belanja.” Brandon menjawab singkat.“Kamu tau? Aku sedang sibuk memblokir berita tentang si kembar tiga. Sekarang aku harus menghapus lagi foto-fotomu di supermarket.” Ian terdengar mengeluh.“Ya sudah. Tidak perlu dihapus. Biarkan saja.”Hening sejenak. Brandon tau sahabatnya pasti sedang mengerutkan kening karena bingung dengan pernyataannya barusan.“Yakin?”“Apa ada yang aneh dengan foto-foto itu?”“Tidak juga.”“Foto-foto si kembar?”“Buram. Tapi terlihat wajah.”“Tidak perlu juga kamu take down. Minggu depan, Granny Eliza juga akan mengumumkan kelahiran kembar tiga ke media kok.”Brandon menutup komunikasi setelah Ian mengerti. Ia merasa sudah tidak penting lagi mengurusi media sosial. Sudah saatnya ia pasrah jika oang-orang penasaran pada keluarganya.“Kenapa, Brad? Kelly bertanya saat naik ke ranjang.“Ian lapor ada yang posting foto-foto kita barusan juga foto-fo
"Kenapa kamu ngadu-ngadu pada Daddy kalau aku sering kesal padamu?" Kelly memberengut pada Brandon."Aku hanya minta nasehat, Babe." Brandon menjawab lemah. Ada sedikit rasa penyesalan sekarang. "Please, jangan marah. Maafkan aku."Kelly menghela napas panjang. Kalau Brandon sampai minta nasehat pada Daddy, itu memang artinya ia cukup frustasi pada sikapnya.Kepala Kelly akhirnya mengangguk. Ia berbalik badan untuk pergi dari kamar, namun Brandon memegang lengannya."Babe." Tanpa banyak bicara, Brandon memeluk erat istrinya.Hanya sejenak, karena Kelly mendorong dada suaminya dengan kencang. "Dadaku sakit kamu peluk begitu.""Maaf." Sekali lagi, Brandon memohon."Aku mau ke ruang bayi." Kelly berucap datar."Tapi kamu baru dari sana, Babe.""Memang kenapa?""Aku... aku juga butuh kamu."Kelly mendengus pelan. "Sudah kubilang aku sedang tidak ingin ada di dekatmu."Brandon memejamkan mata sejenak lalu berkata, " Tolong katakan apa salahku.""Aku sudah bilang ini bukan salahmu. Aku hany
Demi melihat istrinya senang, Brandon mulai belajar menggendong bayi. Perawat memberi Brandon bayi Arsen yang terlihat paling tenang. Meski begitu, Brandon hanya memegangnya selama tiga detik.“Sudah, Sust. Tanganku mulai gemetaran.”Kelly yang sedang menggendong Reno menggeleng samar. Meski begitu, paling tidak, Brandon mencoba. Reno telah tidur di dekapan Kelly.“Sayang, pangku Reno sebentar.” Kelly meletakkan bantal besar di pangkuan Brandon dan membaringkan Reno di atas bantal tersebut. “Aku mau pipis dan ganti pembalut.”Dengan kaku, Brandon duduk menatap putranya. Ia sama sekali tidak berani bergerak karena takut membangunkan Reno. Tapi, jarinya perlahan mengelus pipir Reno.Brandon tersenyum merasakan betapa halus kulit bayinya. Lama-kelamaan, Brandon mengelus rambut halus Reno, jari-jari tangan dan kaki.“Hatchii!” Tiba-tiba, Brandon bersin. Detik berikutnya, Reno tersentak dan menjerit.“Babe!” teriak Brandon kalut. “Babe, Reno bangun!"“Sebentar, sayang. Aku belum selesai.”