“Aku ingin galeri ibuku kembali seperti semula,” Olivia menjawab.
Olivia pun menambahkan beberapa poin yang baru terpikirkan olehnya. Menurutnya semua itu bisa lebih menguntungkan dan bisa melindunginya.
Dia menatap pria yang ada di depannya. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Nolan dengan semua keinginan yang harus dipenuhi.
“Baiklah. Aku setuju dengan keinginanmu. Untuk galerimu dalam satu bulan ke depan kamu akan melihatnya seperti semula.”
Hanya itu yang diinginkan saat ini. Meski dia tahu jika lukisan terakhir sang ibu tidak bisa terselamatkan. Dia pun membubuhi dokumen itu dengan tanda tangannya.
“Aku sudah menyiapkan sebuah apartemen untukmu,” Nolan kembali berkata. Setelah dia melihat Olivia menandatangani surat perjanjian kerja sama mereka.
“Aku tidak memerlukan itu.”
“Jangan menolaknya! Kamu sekarang adalah rekan bisnisku. Dan aku tidak akan membiarkan rekan bisnis pentingku menjadi gelandangan,” sambung Nolan.
Olivia melihat Nolan berdiri dan meninggalkan gazebo. Tanpa mengucapkan kata-kata lagi padanya.
Dia pun tidak bisa menolaknya lagi. Saat ini dirinya juga belum tahu akan tinggal di mana. Setelah pengusiran yang dilakukan ibu tirinya dan galerinya yang terbakar. Dia juga tidak bisa merepotkan sahabatnya yang saat ini sedang menghadapi masalah juga.
“Nona, semua hal yang Anda perlukan ada di sana,” ucap seorang pria. Dengan penuh hormat. Dia tidak lain asisten Nolan sembari menyerahkan sebuah amplop.
Sebelum Olivia mengucapkan terima kasih, pria itu pergi meninggalkannya. Dia menarik napas panjang lalu berdiri dan berjalan ke luar. Dia menghentikan langkahnya saat sudah berada di depan pintu ke luar.
“Bagaimana caraku ke sana?” gumamnya.
Saat ini dia sama sekali tidak memiliki uang satu sen pun. Motornya pun entah ada di mana. Matanya tertuju pada seorang pria yang membawa sebuah motor. Dia melihat dengan jelas jika itu adalah motor miliknya.
“Nona, ini motor Anda,” ucap pria itu. Setelah berhenti tepat di hadapan Olivia.
“Terima kasih.”
Olivia pun mengenakan helmnya dan menjalankan motornya ke luar dari area rumah Nolan. Dia langsung menuju apartemen yang sudah disediakan oleh pria itu untuknya.
Dia tidak menyadari jika di dalam salah satu mobil yang terparkir di area halaman rumah Nolan memperhatikannya. Dia merasa jika Olivia membuat rasa penasaran di dalam dirinya semakin besar.
“Tuan, apakah semuanya pantas?” tanya sang asisten.
“Ian, lakukan saja sesuai dengan rencana yang sudah aku buat,” jawab Nolan.
“Baik, Tuan.”
Mobil pun berjalan meninggalkan rumah dan langsung menuju perusahaan. Masih banyak hal yang harus dikerjakan olehnya. Nolan merasa jika satu per satu rencananya berjalan dengan sempurna.
Di sisi lain Olivia menghentikan motornya. Dia mengambil ponselnya yang bergetar. Dia melihat nama sang ayah di layar ponselnya lalu mengangkat teleponnya setelah melepaskan helmnya.
“Halo.”
Olivia mendengarkan perkataan sang ayah yang memintanya untuk datang ke perusahaan. Ada yang ingin sampaikan oleh sang ayah kepada Olivia secara langsung.
“Baiklah. Aku akan ke sana.”
Dia berkata pada sang ayah lalu memutuskan sambungan teleponnya. Dia kembali menjalankan motornya dan langsung menuju perusahaan sang ayah.
Tidak berselang lama, dia tiba di sebuah bangunan pencakar langit. Dia langsung menuju ruang kerja sang ayah.
“Ayah ...,” panggil Olivia. Setelah dia masuk ke dalam ruang kerja ayahnya.
Dia melihat sang ayah yang berdiri lalu mendekat ke arahnya. Dia bisa melihat dengan jelas rasa kesal dari sorot matanya.
Sang ayah melayangkan sebuah tamparan kepada putrinya lalu berkata, “Sampai kapan kamu akan membuat ulah? Apakah aku harus mati dulu?!”
“Apa lagi yang aku lakukan?” tanya Olivia. Sembari memegang pipi kanannya yang terkena tamparan sang ayah.
“Ayah tidak mengira kamu sanggup membakar galeri itu. Hanya karena kesal aku sudah mengusirmu.”
“Mengapa, Ayah menuduhku? Apa istri kesayangan Ayah yang mengatakannya?”
“Jangan membawanya dalam pembicaraan kita saat ini! Dia tidak ada kaitannya!”
Olivia tersenyum sedih. Dia tahu jika sang ayah tidak akan percaya dengan penjelasan yang akan diberikan olehnya. Sebab sang ayah hanya akan percaya pada Miranda seorang.
“Apakah ada hal lain yang ingin ayah sampaikan lagi padaku?” tanya Olivia. Dengan nada dingin.
“Kamu ....”
“Aku pergi. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi karena bagimu aku hanya putri pembangkang.”
Olivia menyela sang ayah lalu dia pergi meninggalkan ruang kerja ayahnya. Dia tidak mengira jika ayahnya akan menyalahkannya atas kebakaran galeri itu.
Padahal ayahnya tahu jika Olivia sangat menyayangi dan melindungi galeri itu. Hanya galeri itu yang merupakan peninggalan ibunya dan belum dikuasai oleh ibu tirinya.
“Berhenti, Olivia!” pekik sang ayah. Saat melihat putrinya berlalu begitu saja.
“Untuk apa lagi, Ayah?! Apakah aku begitu buruk di matamu? Sehingga kamu menuduhku sudah membakar galeri kesayangan ibuku?”
“Kamu!”
“Setiap hal buruk yang terjadi hanya aku yang salah. Semuanya salahku! Dan yang benar hanya istrimu itu! Bahkan Ayah menuduhku ingin menghabisi istrimu itu. Apakah aku sekejam itu, Ayah?! Dan Ayah juga tahu betapa penting galeri itu untuk aku, ‘kan? Apakah aku sanggup membakarnya?”
Olivia sudah muak dengan ayahnya. Dia pun sudah tidak bisa menahan dirinya lagi. Dia meluapkan semua rasa kecewa yang ada di dalam hatinya.
“Cukup, Olivia!” bentak sang ayah. Dia sudah merasa kesal dengan perkataan putrinya itu dan menamparnya dengan cukup keras.
“Tampar! Tampar terus aku, Ayah! Hanya itu yang bisa Ayah lakukan selain mengusirku! Atau habisi saja aku agar Ayah puas!”
Sang ayah terpaku mendengar perkataan Olivia. Dia hendak mendekat ke arah sang putri. Namun, Olivia langsung berlari ke luar dengan air matanya.
“Aku selalu salah di matamu ayah.”
Gumam Olivia sembari menghapus air matanya. Dia tidak akan membiarkan air matanya menjadi kelemahannya lagi. Sekarang dia sendirian dan akan menghadapi semuanya.
“Aku putri ibuku dan aku bukan wanita lemah. Kita lihat saja nanti!” Olivia kembali berkata. Dengan mempercepat langkahnya.
Dia berhenti saat di depan lift. Kedua matanya membola saat melihat seorang wanita yang hendak ke luar dari dalam lift.
“Putri tiriku tersayang ... apakah kamu menangis?” tanya wanita itu. Yang tidak lain adalah ibu tirinya.
“Nikmati saja kemenanganmu ini. Dan bersiaplah untuk kehancuranmu!”
Olivia langsung masuk ke dalam lift. Dia mengabaikan ibu tirinya itu. Saat ini dia harus segera pergi dan tidak ingin membuat keributan lagi.
Dia menghentikan langkahnya saat sudah ada di dekat motornya. Namun, ada tangan seseorang yang menarik tangannya. Hingga dia masuk ke dalam sebuah mobil.
“Kamu! Apa salahku padamu?! Mengapa kamu selalu melakukan ini padaku?!” tukas Olivia. Dengan kesal setelah melihat siapa orang yang menariknya masuk ke dalam mobil.
“Lain kali buatlah hal yang wajar untuk membawaku pergi!” Olivia kembali berkata. Dengan nada kesal pada pria yang ada di sampingnya. “Apa terasa sakit?” tanya orang yang baru saja menarik masuk Olivia ke dalam mobilnya. “Tidak.” “Menangislah! Jika kamu ingin menangis,” sambung orang itu. Sembari menyentuh pipi Olivia yang memerah. “Tuan Nolan, tidak perlu mencemaskan aku.” Olivia berkata lalu menepis tangan pria itu yang menyentuh pipinya. Dia memang masih merasakan panas di pipinya tetapi rasa sakitnya tidak terasa karena kekecewaannya terhadap sang ayah. “Ian, kita pergi dari sini!” perintah Nolan pada sang asisten. Mobil pun melaju meninggalkan perusahaan. Olivia masih merasa kesal dengan yang dilakukan oleh Nolan. “Mengapa kamu ada di perusahaan ayahku? Apa kamu menyimpan pelacak di tubuhku?!” tanya Olivia. Dia penasaran bagaimana pria itu bisa tahu posisinya saat ini. “Temani aku ke pesta malam ini.” “Dalam perjanjian tidak ada kewajiban bagiku untuk menerima per
Olivia berusaha melepaskan diri. Dia menyikut perut orang yang membekapnya. Terdengar erangan kesakitan dari orang itu. Dia pun berhasil melepaskan diri dan membalikkan tubuhnya. Rasa kesalnya semakin besar saat melihat pria yang ada di depannya. Dia pun langsung menyerang pria itu. Yang tidak lain adalah Nolan. “Dengarkan penjelasanku!” ucap Nolan. Sembari menangkis atau menghindari serangan Olivia. “Kamu penipu! Aku tidak ingin mendengar penjelasan busukmu itu!” “Wanita keras kepala!” timpal Nolan dengan nada kesal. Nolan pun akhirnya berhasil menangkap tangan kanan Olivia. Sekarang dia kembali memegang tangan kiri Olivia. Dia mendorong tubuh Olivia ke belakang. Hingga menempel ke tembok. “Diam. Aku ingin bicara!” ucap Nolan. Dengan nada sedikit menekan serta menepatkan kedua tangan Olivia ke atas dan menempel ke dinding. Olivia menatap dengan kesal pria yang ada di hadapannya. Dia sungguh bodoh karena percaya padanya. Serta mau bekerja sama untuk membalas dendam pada Miran
Olivia akhirnya memejamkan kedua matanya. Setelah dia merasakan kehangatan dan rasa aman yang diberikan oleh Nolan kepadanya. Sedangkan Nolan masih terbangun, hingga akhirnya lampu kamar menyala. Dia menatap wajah Olivia yang terlihat cantik saat tertidur dan tidak terlihat mengesalkan saat terbangun. “Kamu selalu membuatku kehilangan kesabaran,” ucap Nolan. Lalu dia turun dari atas ranjang secara perlahan. Nolan ke luar dari dalam kamarnya dan langsung menuju ke ruang kerjanya. Dia sudah ada di dalam ruang kerjanya dan melihat sang asisten yang sudah menunggunya. “Apa kamu sudah mengumpulkan apa yang aku inginkan?” tanya Nolan. Pada sang asisten. “Sudah. Semuanya ada di sini.” Nolan mengambil tablet yang diberikan oleh Ian kepadanya. Dia membuka sebuah data. Di mana semua itu adalah hal yang ada kaitannya dengan bisnis yang sedang dijalankan oleh Miranda. “Bagus. Sekarang lakukan semua rencananya,” Nola kembali berkata. Setelah dia membaca semua informasi. “Baiklah.” “
Olivia terpaku. Saat dia hampir saja tertabrak oleh sebuah mobil. Untung saja mobil itu membanting setir ke arah kanan. Sehingga dirinya bisa terhindar dari kecelakaan. “Apa kamu sudah tidak waras, hah?!” bentak Nolan. Sembari memegang tangan Olivia. Olivia masih tetap diam. Dia akhirnya terkulai lemas dan terduduk di atas trotoar. Dia juga melihat ke arah mobil yang tadi hendak menabraknya sekarang menabrak sebuah pohon besar. Kilas balik sebuah kecelakaan di masa lalu kembali muncul. Dalam kecelakaan itu yang mengakibatkan ibunya kritis di rumah sakit. Dia pun kembali teringat jika saat itu ayahnya lebih memilih bersama dengan Miranda. “Semuanya salahku. Maafkan aku ibu ....” Air mata Olivia keluar. Dia sudah tidak bisa membendungnya lagi. Rasa bersalah dan kesal campur aduk di dalam hatinya. Membuat dendamnya semakin besar kepada Miranda. Nolan terdiam. Dia melihat wanita yang keras kepala dan bisa menghadapi para pengawalnya. Terlihat seperti wanita biasanya yang lemah.
Olivia melihat ke arah sang ayah yang sudah ada di dekat Miranda. Dia tersenyum tipis saat melihat raut wajah ibu tirinya. “Jelaskan padaku, Miranda!” ucap Leon pada istrinya. Dengan nada sedikit menginterogasi. “Mengapa diam? Bukankah tadi begitu bersemangat ingin bicara dengan, Nolan?” sambung Olivia. Dengan nada memancing. Sekarang dia memiliki kesempatan untuk memberikan sedikit pelajaran pada ibu tirinya. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh ayahnya dengan wanita yang ada di depannya itu. “Aku ada bisnis dengannya,” jawab Miranda. “Bisnis? Apa kamu lupa saat ini ada di mana?” tanya Leon pada istrinya. “Aku tahu.” “Apa pantas kamu berbicara bisnis di tempat duka?” Leon kembali melayangkan pertanyaan pada istrinya. Olivia mendengarkan semua penjelasan Miranda. Menurutnya itu hanya sebuah pembelaan. Dia pun melirik ke arah Nolan untuk tahu bagaimana reaksinya. Namun, dia sama sekali tidak melihat raut wajah yang kesal atau terkejut. Masih tetap saja dingin dan
“Nolan, jawab aku!” Panggilan Nolan terputus. Dia pun langsung menarik kopernya ke luar dari dalam kamar. Sebuah mobil berhenti tepat di depan pintu masuk ke rumahnya. Dia mengenali mobil itu. Dia pun langsung masuk ke dalam mobil itu. “Angel, cepat pergi dari sini!” ucap Olivia pada sang sahabat. “Kita mau ke mana?” “Nolan, dalam masalah,” jawab Olivia. Sembari memasang sabuk pengamannya. Angel pun menjalankan mobilnya. Meski dia tidak tahu tujuannya saat ini. Di pertengahan jalan dia semakin bingung tujuannya. “Ke mana aku harus membawamu?” tanya Angel pada sahabatnya. “Sebentar.” Olivia menghubungi seseorang yang tidak lain adalah Ian. Dia mendapatkan nomor itu karena Nolan yang memberikannya. Dia mendengar suara dering nada sambung. Akan tetapi, Ian tidak mengangkat teleponnya. “Angel, berhenti!” perintah Olivia. Saat dia melihat Nolan dan Ian yang baru memasuki mobil. Angel pun langsung berhenti di pinggir jalan. Dia tidak paham mengapa sang sahabat memint
Secara refleks Olivia menyikut perut pria itu. Dia pun membalikkan tubuhnya dan menatap pria itu. “Kamu ada di sini?” tanya Olivia. Sembari menatapnya dengan tajam. “Jangan begitu kejam padaku.” “Salahkan dirimu sendiri yang langsung memeluk aku dari belakang!” timpal Olivia. Dengan nada datar. “Kamu tidak berubah,” sambung pria itu. Sembari terkekeh. Olivia melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah waktunya untuk pergi menghadiri meeting kali ini. “Eiji, aku harus pergi. Nanti kita sambung lagi,” Olivia berkata. Lalu dia berjalan meninggalkan pria itu. “Tunggu, Olivia! Apakah nomor ponselmu masih sama seperti dulu?” teriak Eiji. “Masih.” Setelah mengatakan itu. Dia masuk ke dalam sebuah taksi. Dia pun mengatakan tujuannya pada sang sopir. Saat di perjalanan, dia mendapatkan pesan dari Eiji. Pria itu mengajaknya bertemu jika sudah menyelesaikan pekerjaannya. Akan tetapi, dia tidak membalas pesan pria itu karena dia sudah tiba di tempat tujuann
“Kamu selalu mengujiku, Olivia,” ujar Nolan. Lalu dia kembali mengecup bibirnya. Olivia berusaha untuk melepaskan kedua tangannya. Namun, tidak bisa karena Nolan mencengkeramnya dengan kuat. ‘Ada apa ini? Mengapa terasa berbeda?’ batin Olivia. Olivia membalas kecupan Nolan yang mendadak begitu lembut. Dia memejamkan kedua matanya dan menikmatinya. Seketika dia membuka kedua matanya. saat merasakan tangan Nolan yang menyelusup ke dalam pakaiannya. “Jangan,” ucap Olivia. Dengan nada lirih. Olivia sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi, meski otaknya menolak. Akan tetapi, tubuhnya menginginkan hal yang lebih gila lagi. “Kamu menolak. Namun, tubuhmu tidak,” bisik Nolan. Lalu dia menggigit dengan lembut daun telinga Olivia dan melepaskan tangannya. Nolan menggendongnya. Dia pun menghempaskan tubuh Olivia ke atas ranjang. Olivia menatap Nolan. Hasrat di dalam dirinya semakin menggebu. Dia melihat Nolan yang melepaskan kemejanya lalu kembali mengecupnya. “Tidak. Jangan di s