Olivia berhasil ke luar dari sekapan Nolan. Dia terus memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Di dalam benaknya saat ini adalah galeri peninggalan ibunya. Dia pun langsung menuju ke sana.
Dia melihat ke belakang. Ada dua mobil yang mengikutinya dan dia yakin jika mereka adalah para pengawal Nolan. Dia pun menambahkan kecepatan motornya hingga melesat menjauh dari mereka.
“Tidak semudah itu kalian bisa menangkapku,” gumam Olivia.
Dengan mudahnya dia berhasil melepaskan diri dari pengejaran mereka. Dia masuk ke sebuah lorong bawah jembatan. Dia berhenti sejenak untuk memastikan tidak ada yang mengikutinya lagi.
“Aku rasa sudah aman.”
Olivia pun kembali menjalankan motornya. Berselang tidak begitu lama dia sudah hampir dekat dengan galeri miliknya.
Tidak jauh dari sana dia melihat kepulan asap di atas langit. Dia juga melihat ada beberapa mobil pemadam kebakaran yang sedang melaju ke arah kepulan asap itu.
“Tidak. Ini tidak mungkin,” gumam Olivia.
Dia menarik pedal gas motornya dan langsung menuju arah kepulan asap hitam itu. Dia menghentikan motornya saat melihat sebuah bangunan yang sedang dilalap api.
“Tidak! Lukisan ibu” gumam Olivia.
Dia langsung berlari ke arah bangunan yang merupakan galeri lukis peninggalan ibunya. Hanya galeri itu yang masih bisa dipertahankan olehnya dari keserakahan ibu tirinya.
“Nona, jangan bertindak gila!” ujar seorang pria. Dia adalah salah satu petugas pemadam kebakaran sembari memegang erat Olivia.
“Aku harus masuk! Cepat lepaskan aku!”
Olivia berontak. Dia berusaha melepaskan diri dari dekapan petugas pemadam kebakaran. Satu hal yang ada di benaknya saat ini adalah menyelamatkan lukisan terakhir ibunya.
“Nona, apa kamu ingin mati?!” Seorang petugas pemadam kebakaran kembali bertanya. Dengan nada kesal karena Olivia begitu keras kepala.
Olivia berhasil melepaskan diri tetapi dua orang pemadam kebakaran lainnya langsung menghalanginya. Olivia kembali berusaha melepaskan dirinya. Akan tetapi, kali ini usahanya tidak berhasil.
Dia pun terkulai lemas di atas jalanan beraspal. Sembari melihat galeri ibunya habis dilalap api. Api pun berhasil dipadamkan. Semua orang yang ada di sana satu per satu pergi. Hanya menyisakan Olivia yang masih melihat puing-puing galerinya.
Ponselnya berdering. Dia mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menghubunginya.
“Apa lagi yang kamu inginkan?” tanya Olivia. Dengan nada dingin setelah mengangkat telepon dari ibu tirinya.
Dia menggertakkan giginya dan mengepalkan tangan kirinya. Dia menahan kemarahan yang saat ini menyelimuti hatinya. Saat mendengar jika sang ibu tiri yang sudah menyuruh seseorang untuk membakar galeri miliknya.
“Miranda, mengapa kamu selalu menguji kesabaranku?” tanya Olivia.
Dia mendengar tawa sang ibu tiri yang sangat menyebalkan. Dia kembali mendengarkan ucapan wanita itu yang merasa puas dengan semua yang terjadi. Tanpa berkata lagi Olivia memutuskan sambungan teleponnya.
Olivia kembali melihat ke arah galeri ibunya. Rasa amarah dan dendam semakin besar untuk menghancurkan ibu tirinya. Dia bersumpah membuat Miranda menyesal karena sudah membuatnya menderita.
“Kamu sudah membangunkan macan yang tertidur dalam diriku. Miranda, kamu akan menerima kehancuranmu!” rutuk Olivia.
Dia kembali menaiki sepeda motor yang tadi digunakan olehnya. Di dalam benaknya hanya ada Nolan. Dan dia pun langsung menjalankan motornya menuju ke rumah pria itu.
Olivia memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Dia akhirnya tiba di rumah Nolan. Karena dia berpikir hanya pria itu yang bisa membantunya untuk membalaskan dendam pada Miranda.
“Aku ingin bertemu dengan tuan kalian!” ucap Olivia. Pada beberapa pria yang sudah mengelilinginya.
“Ikutlah denganku!” ucap seorang pria. Dia tidak lain adalah asisten Nolan.
Olivia mengikuti pria itu masuk ke dalam rumah. Dia melihat beberapa pria yang menatapnya dengan tatapan kesal. Karena ulah Olivia yang berhasil kabur sehingga mereka mendapatkan hukum dari sang tuan.
“Nona Olivia, Anda bisa bertemu dengan tuan besok pagi. Sebaiknya Anda beristirahat dulu,” ucap sang asisten.
“Tidak. Aku ingin bertemu dengannya sekarang juga!”
“Nona, apa Anda tahu jam berapa sekarang?” timpal pria itu. Sembari memperlihatkan jam yang ada di pergelangan tangannya.
“Baiklah,” jawab Olivia. Setelah dia melihat ke arah jam tangan pria itu yang menunjukkan pukul dua dini hari.
***
Alarm ponsel berbunyi. Itu membuat Olivia terbangun. Dia melihat ruangan yang berbeda dengan kamarnya. Dia pun kembali teringat dengan kejadian semalam.
Terdengar ketukan pintu. Tidak berselang lama seorang pelayan wanita masuk ke dalam kamar. Olivia melihat pelayan wanita itu sama dengan yang semalam sudah didorong olehnya.
“Nona, Tuan Nolan sudah menunggu Anda,” ucap sang pelayan sembari memberikan pakaian bersih.
“Maafkan aku atas kejadian semalam,” sambung Olivia. Pada sang pelayan dan menghentikan langkahnya.
“Di luar ada seseorang yang akan mengantar Anda bertemu dengan tuan.”
Olivia melihat pelayan itu pergi meninggalkan kamar. Saat pelayan itu ada di dekat pintu, dia kembali meminta maaf kepadanya. Pelayan itu menutup pintu kamar.
Dia melihat pakaian yang sudah ada di atas kursi. Dia pun langsung bersiap untuk menemui Nolan. Sedari semalam dia juga sudah memikirkan tentang tawaran kerja sama dengan pria itu.
“Olivia kamu pasti bisa melakukannya. Kerja sama dengan pria itu bisa menambah kekuatanmu menyerang balik, Miranda. Dan merebut yang seharusnya menjadi milikku!” gumam Olivia.
Dia membuka pintu kamar. Terlihat seorang pria yang sudah berdiri tegap. Pria itu tidak banyak bicara dan langsung membawanya untuk bertemu dengan tuannya.
Olivia mengikuti pria itu hingga akhirnya tiba di sebuah taman. Dia melihat Nolan yang tengah duduk di gazebo sembari membaca sebuah surat kabar.
“Bagaimana? Apakah kamu setuju dengan tawaranku?” tanya Nolan. Sembari melipat koran dan meletakkannya di atas kursi.
Olivia masih diam sembari berdiri. Entah mengapa keraguan muncul kembali di dalam hatinya. Karena pria itu adalah mantan kekasih sang ibu tiri.
“Apa lagi yang kamu pikirkan? Apa kebakaran semalam masih membuatmu ragu?” Nolan kembali melayangkan pertanyaan. Dengan nada dingin.
“Kamu tahu kebakaran semalam?”
“Tentu saja,” jawab Nolan singkat dan datar. “Sekarang pilihan ada di tanganmu.”
“Baik. Aku terima tawaranmu.”
“Pilihan yang tepat,” sambung Nolan.
Olivia menghela napasnya. Dia melihat Nolan memberikan tanda pada pria yang ada di belakangnya. Pria itu langsung memberikan dokumen pada Olivia.
“Bacalah dan tanda tangani surat perjanjian kerja sama kita!” ucap Nolan.
Olivia mengambil surat perjanjian itu. Dia membaca beberapa poin yang dibuat oleh Nolan. Dia melihat keuntungan yang akan diterimanya.
Poin yang dia suka adalah jika Nolan akan mendukung penuh dirinya dalam menghancurkan Miranda. Serta mengambil semua hak yang sudah direnggut darinya oleh sang ibu tiri. Tertulis juga poin-poin lainnya tetapi itu tidak masalah baginya. Karena dia sama sekali tidak memiliki perasaan pada Nolan.
“Aku setuju semuanya. Akan tetapi, aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku,” ucap Olivia.
“Apa itu?”
“Aku ingin galeri ibuku kembali seperti semula,” Olivia menjawab. Olivia pun menambahkan beberapa poin yang baru terpikirkan olehnya. Menurutnya semua itu bisa lebih menguntungkan dan bisa melindunginya. Dia menatap pria yang ada di depannya. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Nolan dengan semua keinginan yang harus dipenuhi. “Baiklah. Aku setuju dengan keinginanmu. Untuk galerimu dalam satu bulan ke depan kamu akan melihatnya seperti semula.” Hanya itu yang diinginkan saat ini. Meski dia tahu jika lukisan terakhir sang ibu tidak bisa terselamatkan. Dia pun membubuhi dokumen itu dengan tanda tangannya. “Aku sudah menyiapkan sebuah apartemen untukmu,” Nolan kembali berkata. Setelah dia melihat Olivia menandatangani surat perjanjian kerja sama mereka. “Aku tidak memerlukan itu.” “Jangan menolaknya! Kamu sekarang adalah rekan bisnisku. Dan aku tidak akan membiarkan rekan bisnis pentingku menjadi gelandangan,” sambung Nolan. Olivia melihat Nolan berdiri dan meninggalka
“Lain kali buatlah hal yang wajar untuk membawaku pergi!” Olivia kembali berkata. Dengan nada kesal pada pria yang ada di sampingnya. “Apa terasa sakit?” tanya orang yang baru saja menarik masuk Olivia ke dalam mobilnya. “Tidak.” “Menangislah! Jika kamu ingin menangis,” sambung orang itu. Sembari menyentuh pipi Olivia yang memerah. “Tuan Nolan, tidak perlu mencemaskan aku.” Olivia berkata lalu menepis tangan pria itu yang menyentuh pipinya. Dia memang masih merasakan panas di pipinya tetapi rasa sakitnya tidak terasa karena kekecewaannya terhadap sang ayah. “Ian, kita pergi dari sini!” perintah Nolan pada sang asisten. Mobil pun melaju meninggalkan perusahaan. Olivia masih merasa kesal dengan yang dilakukan oleh Nolan. “Mengapa kamu ada di perusahaan ayahku? Apa kamu menyimpan pelacak di tubuhku?!” tanya Olivia. Dia penasaran bagaimana pria itu bisa tahu posisinya saat ini. “Temani aku ke pesta malam ini.” “Dalam perjanjian tidak ada kewajiban bagiku untuk menerima per
Olivia berusaha melepaskan diri. Dia menyikut perut orang yang membekapnya. Terdengar erangan kesakitan dari orang itu. Dia pun berhasil melepaskan diri dan membalikkan tubuhnya. Rasa kesalnya semakin besar saat melihat pria yang ada di depannya. Dia pun langsung menyerang pria itu. Yang tidak lain adalah Nolan. “Dengarkan penjelasanku!” ucap Nolan. Sembari menangkis atau menghindari serangan Olivia. “Kamu penipu! Aku tidak ingin mendengar penjelasan busukmu itu!” “Wanita keras kepala!” timpal Nolan dengan nada kesal. Nolan pun akhirnya berhasil menangkap tangan kanan Olivia. Sekarang dia kembali memegang tangan kiri Olivia. Dia mendorong tubuh Olivia ke belakang. Hingga menempel ke tembok. “Diam. Aku ingin bicara!” ucap Nolan. Dengan nada sedikit menekan serta menepatkan kedua tangan Olivia ke atas dan menempel ke dinding. Olivia menatap dengan kesal pria yang ada di hadapannya. Dia sungguh bodoh karena percaya padanya. Serta mau bekerja sama untuk membalas dendam pada Miran
Olivia akhirnya memejamkan kedua matanya. Setelah dia merasakan kehangatan dan rasa aman yang diberikan oleh Nolan kepadanya. Sedangkan Nolan masih terbangun, hingga akhirnya lampu kamar menyala. Dia menatap wajah Olivia yang terlihat cantik saat tertidur dan tidak terlihat mengesalkan saat terbangun. “Kamu selalu membuatku kehilangan kesabaran,” ucap Nolan. Lalu dia turun dari atas ranjang secara perlahan. Nolan ke luar dari dalam kamarnya dan langsung menuju ke ruang kerjanya. Dia sudah ada di dalam ruang kerjanya dan melihat sang asisten yang sudah menunggunya. “Apa kamu sudah mengumpulkan apa yang aku inginkan?” tanya Nolan. Pada sang asisten. “Sudah. Semuanya ada di sini.” Nolan mengambil tablet yang diberikan oleh Ian kepadanya. Dia membuka sebuah data. Di mana semua itu adalah hal yang ada kaitannya dengan bisnis yang sedang dijalankan oleh Miranda. “Bagus. Sekarang lakukan semua rencananya,” Nola kembali berkata. Setelah dia membaca semua informasi. “Baiklah.” “
Olivia terpaku. Saat dia hampir saja tertabrak oleh sebuah mobil. Untung saja mobil itu membanting setir ke arah kanan. Sehingga dirinya bisa terhindar dari kecelakaan. “Apa kamu sudah tidak waras, hah?!” bentak Nolan. Sembari memegang tangan Olivia. Olivia masih tetap diam. Dia akhirnya terkulai lemas dan terduduk di atas trotoar. Dia juga melihat ke arah mobil yang tadi hendak menabraknya sekarang menabrak sebuah pohon besar. Kilas balik sebuah kecelakaan di masa lalu kembali muncul. Dalam kecelakaan itu yang mengakibatkan ibunya kritis di rumah sakit. Dia pun kembali teringat jika saat itu ayahnya lebih memilih bersama dengan Miranda. “Semuanya salahku. Maafkan aku ibu ....” Air mata Olivia keluar. Dia sudah tidak bisa membendungnya lagi. Rasa bersalah dan kesal campur aduk di dalam hatinya. Membuat dendamnya semakin besar kepada Miranda. Nolan terdiam. Dia melihat wanita yang keras kepala dan bisa menghadapi para pengawalnya. Terlihat seperti wanita biasanya yang lemah.
Olivia melihat ke arah sang ayah yang sudah ada di dekat Miranda. Dia tersenyum tipis saat melihat raut wajah ibu tirinya. “Jelaskan padaku, Miranda!” ucap Leon pada istrinya. Dengan nada sedikit menginterogasi. “Mengapa diam? Bukankah tadi begitu bersemangat ingin bicara dengan, Nolan?” sambung Olivia. Dengan nada memancing. Sekarang dia memiliki kesempatan untuk memberikan sedikit pelajaran pada ibu tirinya. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh ayahnya dengan wanita yang ada di depannya itu. “Aku ada bisnis dengannya,” jawab Miranda. “Bisnis? Apa kamu lupa saat ini ada di mana?” tanya Leon pada istrinya. “Aku tahu.” “Apa pantas kamu berbicara bisnis di tempat duka?” Leon kembali melayangkan pertanyaan pada istrinya. Olivia mendengarkan semua penjelasan Miranda. Menurutnya itu hanya sebuah pembelaan. Dia pun melirik ke arah Nolan untuk tahu bagaimana reaksinya. Namun, dia sama sekali tidak melihat raut wajah yang kesal atau terkejut. Masih tetap saja dingin dan
“Nolan, jawab aku!” Panggilan Nolan terputus. Dia pun langsung menarik kopernya ke luar dari dalam kamar. Sebuah mobil berhenti tepat di depan pintu masuk ke rumahnya. Dia mengenali mobil itu. Dia pun langsung masuk ke dalam mobil itu. “Angel, cepat pergi dari sini!” ucap Olivia pada sang sahabat. “Kita mau ke mana?” “Nolan, dalam masalah,” jawab Olivia. Sembari memasang sabuk pengamannya. Angel pun menjalankan mobilnya. Meski dia tidak tahu tujuannya saat ini. Di pertengahan jalan dia semakin bingung tujuannya. “Ke mana aku harus membawamu?” tanya Angel pada sahabatnya. “Sebentar.” Olivia menghubungi seseorang yang tidak lain adalah Ian. Dia mendapatkan nomor itu karena Nolan yang memberikannya. Dia mendengar suara dering nada sambung. Akan tetapi, Ian tidak mengangkat teleponnya. “Angel, berhenti!” perintah Olivia. Saat dia melihat Nolan dan Ian yang baru memasuki mobil. Angel pun langsung berhenti di pinggir jalan. Dia tidak paham mengapa sang sahabat memint
Secara refleks Olivia menyikut perut pria itu. Dia pun membalikkan tubuhnya dan menatap pria itu. “Kamu ada di sini?” tanya Olivia. Sembari menatapnya dengan tajam. “Jangan begitu kejam padaku.” “Salahkan dirimu sendiri yang langsung memeluk aku dari belakang!” timpal Olivia. Dengan nada datar. “Kamu tidak berubah,” sambung pria itu. Sembari terkekeh. Olivia melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah waktunya untuk pergi menghadiri meeting kali ini. “Eiji, aku harus pergi. Nanti kita sambung lagi,” Olivia berkata. Lalu dia berjalan meninggalkan pria itu. “Tunggu, Olivia! Apakah nomor ponselmu masih sama seperti dulu?” teriak Eiji. “Masih.” Setelah mengatakan itu. Dia masuk ke dalam sebuah taksi. Dia pun mengatakan tujuannya pada sang sopir. Saat di perjalanan, dia mendapatkan pesan dari Eiji. Pria itu mengajaknya bertemu jika sudah menyelesaikan pekerjaannya. Akan tetapi, dia tidak membalas pesan pria itu karena dia sudah tiba di tempat tujuann