Secara refleks Olivia berdiri dari kursi. Matanya tertuju pada pria berusia empat puluh tahunan yang sedang berjalan ke arahnya.
Wajahnya terlihat dingin. Sorot matanya begitu tajam. Seperti seekor binatang buas yang sedang mengincar mangsanya.
“Siapa kamu?” tanya Olivia.
Aura pria itu semakin menekannya dan muncul senyum samar darinya. Olivia mengepalkan kedua tangannya untuk tidak memperlihatkan jika dirinya tidak takut.
“Jangan mendekat!” ucap Olivia.
Dia semakin merasa tekanan dari pria itu. Hingga dia kembali terduduk di atas kursi. Dia melihat pria itu menyeringai. Pria itu menyimpan kedua tangannya di sisi kursi. Membuat Olivia merasa tertekan.
“Siapa kamu? Apa aku berbuat kesalahan padamu?” tanya Olivia.
Suaranya sedikit bergetar. Namun, dia masih bisa memperlihatkan keberaniannya.
“Begitu sulit untuk membawamu ke sini,” ucap pria itu. Dengan nada dingin.
“Siapa kamu? Apa maumu?”
“Kamu ingin balas dendam?” jawab pria itu dengan nada dingin.
“Pada siapa? Padamu?”
Olivia sama sekali tidak mengenali pria yang ada di depannya. Sehingga tidak mungkin dia sedang bermasalah dengannya. Dia kembali merasakan tekanan yang diberikan pria itu. Namun, dia tidak akan memberikan apa yang diinginkan olehnya yaitu ketakutan.
Pria itu menarik sebuah kursi lalu duduk tepat di hadapan Olivia. Dia masih menatapnya dengan tajam. Seraya tidak ingin melepaskan mangsanya.
“Kamu ingin balas dendam pada ibu tirimu?” tanya pria itu datar.
“Ibu tiriku?”
“Iya,” jawab singkat pria itu.
Olivia menatap pria yang ada di depannya. Sekarang dia kembali teringat dengan nama seseorang yang disebutkan oleh orang yang menculiknya.
“Nolan. Itu kamu bukan?” tanya Olivia.
“Tepat. Aku adalah Nolan Raymond.”
Olivia menatap Nolan dengan saksama. Kali ini dia tidak merasakan tekanan yang begitu kuat.
“Kamu mengenal ibu tiriku?”
“Itu tidak penting. Sekarang aku tanya padamu apakah kamu mau balas dendam padanya?” jawab Nolan.
“Bagiku itu penting jika ada kaitannya dengan ibu tiriku!”
Olivia melihat Nolan tersenyum dingin. Namun, dia masih bisa bersikap tenang. Meski dia masih ditekan dengan aura yang membuatnya ingin segera pergi.
“Bekerja samalah denganku. Aku akan membantumu menghancurkan wanita itu. Serta bisa mengembalikan hak-hakmu yang sudah diambil olehnya. Termasuk harta peninggalan ibumu,” Nolan kembali berkata.
“Kamu ingin kerja sama denganku untuk balas dendam pada ibu tiriku. Akan tetapi, yang kamu lakukan padaku ini adalah sebuah penculikan!”
“Katakan saja kamu mau terima tawaranku atau tidak?” sambung Nolan. Dengan dinginnya.
Rasa kesal dalam benak Olivia mulai muncul. Dia tidak paham dengan pria yang ada di depannya itu. Hanya untuk mengajaknya kerja sama tetapi sudah menculiknya. Dia terus saja menatap pria yang ada di depannya. Dia tidak peduli dengan tatapan dingin Nolan.
“Apa kamu mantan kekasihnya? Atau mantan suaminya?” Olivia langsung bertanya. Setelah pertanyaan itu muncul di dalam benaknya.
“Tidak kusangkak kamu pintar juga. Bagaimana? Apakah kamu bersedia untuk bekerja sama denganku?”
“Tidak mau!”
Olivia menjawab dengan tegas. Dia masih kesal dengan Nolan yang sudah menculiknya. Dia tidak bisa percaya begitu saja dengan pria yang ada di depannya. Bisa saja jika Nolan adalah salah satu orang Miranda yang sengaja menjebaknya.
Dia memperlihatkan dengan jelas penolakannya. Dia juga melihat rasa kesal dari sorot mata Nolan. Namun, sama sekali tidak peduli akan hal itu.
“Kamu yakin?” tanya Nolan. Dengan nada sedikit kesal.
“Iya. Aku yakin!”
“Kalau begitu kamu tetap di sini! Dan pikirkan tentang kerja sama ini,” ujar Nolan.
“Apa? Setelah kamu menculik aku sekarang kamu ingin menawanku?! Apa kamu tidak waras?!”
“Iya. Karena aku tidak suka dengan penolakan. Maka nikmati saja,” jawab Nolan. Lalu dia berdiri dan berjalan ke luar dari dalam kamar.
“Dasar pria tua menyebalkan! Kamu tidak bisa menyekapku di sini!”
Olivia terus saja mengumpat Nolan, suaranya terdengar hingga ke luar. Beberapa pengawal dan pelayan mendengarnya. Namun, Nolan sama sekali tidak peduli akan hal itu. Pria itu terus saja berjalan dengan rasa kesal di dalam benaknya.
Dia tidak merasa lelah meluapkan semua rasa kesalnya pada pria itu. Meski dia tahu semua yang dikatakan olehnya tidak akan didengar oleh pria itu.
“Sungguh menyebalkan! Kenapa yang ada kaitannya dengan Miranda selalu membuatku sial!” rutuknya. Sembari menghela napas panjang.
Sudah tiga puluh menit berlalu. Sekarang dia sudah tenang dan duduk di atas sebuah ranjang. Dia pun mulai memikirkan cara untuk keluar dari sekapan Nolan.
Matanya tertuju pada pintu. Dia melihat seorang pelayan wanita yang berjalan masuk. Dia juga melihat sebuah ponsel di tangan pelayan wanita itu.
“Nona, Tuan Nolan menyuruh saya untuk menyerahkan ini,” ucap sang pelayan. Sembari menyodorkan ponsel itu pada Olivia, setelah itu dia pergi.
Sebelum pelayan itu menutup pintunya. Olivia langsung berlari dan dia mendorong sang pelayan.
“Maafkan aku,” ujar Olivia. Sembari berlari.
“Nona, jangan lakukan itu! Anda akan mendapatkan masalah besar!” teriak pelayan wanita itu. Sembari berdiri setelah tadi terjatuh karena didorong Olivia.
Olivia mengabaikan semua yang diteriakkan oleh pelayan wanita itu. Karena saat ini yang ada di dalam benaknya hanya pergi dari rumah Nolan. Teriakkan pelayan itu terdengar oleh beberapa pengawal yang ada di dalam rumah.
Dia melihat dua orang pria yang sudah menghadangnya. Dia sama sekali tidak merasa takut dengan mereka. Dia pun langsung menghindar dari setiap serangan mereka. Hingga akhirnya dia berhasil melumpuhkan mereka.
“Hanya ini kemampuan para pengawal, Nolan.”
“Nona, sebaiknya jangan mengacau lagi!” ujar seorang pengawal. Sembari berdiri.
Pengawal itu kembali menyerang Olivia. Dia berniat untuk melumpuhkannya. Dia sama sekali tidak tahu jika wanita yang sedang dihadapinya menguasai seni bela diri.
Olivia dengan mudah kembali menghindar dari serangan pengawal itu. Dia pun akhirnya berhasil melumpuhkannya hingga tidak bisa berdiri lagi. Tanpa membuang waktu dia kembali berlari ke luar rumah. Dia melihat sudah ada empat orang pria yang menghadangnya.
"Tangkap wanita itu!” perintah seorang pria.
“Tidak semudah itu kalian bisa menangkap aku. Maju kalian!”
Olivia tersenyum tipis. Dia memberikan sebuah tanda pada mereka semua untuk maju menyerangnya. Dia pun mulai memprovokasi mereka semua dan itu memang sengaja dilakukan olehnya.
Sehingga dia tidak menyadari jika saat ini Nolan sudah ada di dekatnya. Pria itu sedang memperhatikan semua gerak-gerik wanita yang memang sudah menjadi targetnya.
“Menarik. Aku ingin tahu sampai di mana kemampuannya menghadapi para pengawal yang sudah terlatih,” gumam Nolan. Dan itu terdengar jelas oleh pria yang ada di sampingnya.
“Dia seperti kucing liar,” sambung pria yang ada di samping Nolan. Dia tidak lain adalah asisten sekaligus orang kepercayaan Nolan.
Olivia mendengar apa yang dikatakan oleh asisten Nolan. Hatinya semakin kesal saja karena dia sama sekali tidak suka jika ada yang menyebutnya seperti binatang liar.
“Aku bisa lebih liar dari ini!” tukas Olivia. Sembari menangkis serangan para pengawal Nolan.
Dia berniat menyerang asisten Nolan karena sudah membuatnya kesal. Namun, tiga orang pria langsung menyerangnya bersamaan. Mereka bertiga berhasil memukul mundur Olivia.
Olivia tidak menyerah begitu saja. Dia kembali berdiri tegap. Dia pun kembali menyerang mereka bertiga. Satu per satu dari mereka bertiga akhirnya berhasil dijatuhkan.
“Jadilah kucing yang manis. Maka aku akan memberikan semua yang kamu inginkan,” ucap Nolan. Dengan nada kesal karena melihat pengawalnya bisa dikalahkan dengan mudahnya.
“Aku bukan binatang peliharaanmu yang bisa kamu kurung! Jangan harap aku mau bekerja sama denganmu! Kamu pria tua menyebalkan!” pekik Olivia. Dengan nada kesal.
Olivia melihat seorang pria bermotor yang berhenti di depannya. Tanpa berpikir panjang dia menarik pria itu turun dari motornya. Saat dia hendak menjalankan motornya, pria itu mencengkeram tangannya.
“Aku pinjam motormu!” ujar Olivia. Lalu dia menendang pria itu hingga tersungkur di atas tanah.
“Mengapa kalian diam saja?! Cepat kejar dia!” pekik sang asisten. Dia merasa kesal karena melihat para pengawal yang sudah terlatih kalah oleh seorang wanita.
Olivia berhasil ke luar dari sekapan Nolan. Dia terus memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Di dalam benaknya saat ini adalah galeri peninggalan ibunya. Dia pun langsung menuju ke sana. Dia melihat ke belakang. Ada dua mobil yang mengikutinya dan dia yakin jika mereka adalah para pengawal Nolan. Dia pun menambahkan kecepatan motornya hingga melesat menjauh dari mereka. “Tidak semudah itu kalian bisa menangkapku,” gumam Olivia. Dengan mudahnya dia berhasil melepaskan diri dari pengejaran mereka. Dia masuk ke sebuah lorong bawah jembatan. Dia berhenti sejenak untuk memastikan tidak ada yang mengikutinya lagi. “Aku rasa sudah aman.” Olivia pun kembali menjalankan motornya. Berselang tidak begitu lama dia sudah hampir dekat dengan galeri miliknya. Tidak jauh dari sana dia melihat kepulan asap di atas langit. Dia juga melihat ada beberapa mobil pemadam kebakaran yang sedang melaju ke arah kepulan asap itu. “Tidak. Ini tidak mungkin,” gumam Olivia. Dia menarik pedal gas motor
“Aku ingin galeri ibuku kembali seperti semula,” Olivia menjawab. Olivia pun menambahkan beberapa poin yang baru terpikirkan olehnya. Menurutnya semua itu bisa lebih menguntungkan dan bisa melindunginya. Dia menatap pria yang ada di depannya. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Nolan dengan semua keinginan yang harus dipenuhi. “Baiklah. Aku setuju dengan keinginanmu. Untuk galerimu dalam satu bulan ke depan kamu akan melihatnya seperti semula.” Hanya itu yang diinginkan saat ini. Meski dia tahu jika lukisan terakhir sang ibu tidak bisa terselamatkan. Dia pun membubuhi dokumen itu dengan tanda tangannya. “Aku sudah menyiapkan sebuah apartemen untukmu,” Nolan kembali berkata. Setelah dia melihat Olivia menandatangani surat perjanjian kerja sama mereka. “Aku tidak memerlukan itu.” “Jangan menolaknya! Kamu sekarang adalah rekan bisnisku. Dan aku tidak akan membiarkan rekan bisnis pentingku menjadi gelandangan,” sambung Nolan. Olivia melihat Nolan berdiri dan meninggalka
“Lain kali buatlah hal yang wajar untuk membawaku pergi!” Olivia kembali berkata. Dengan nada kesal pada pria yang ada di sampingnya. “Apa terasa sakit?” tanya orang yang baru saja menarik masuk Olivia ke dalam mobilnya. “Tidak.” “Menangislah! Jika kamu ingin menangis,” sambung orang itu. Sembari menyentuh pipi Olivia yang memerah. “Tuan Nolan, tidak perlu mencemaskan aku.” Olivia berkata lalu menepis tangan pria itu yang menyentuh pipinya. Dia memang masih merasakan panas di pipinya tetapi rasa sakitnya tidak terasa karena kekecewaannya terhadap sang ayah. “Ian, kita pergi dari sini!” perintah Nolan pada sang asisten. Mobil pun melaju meninggalkan perusahaan. Olivia masih merasa kesal dengan yang dilakukan oleh Nolan. “Mengapa kamu ada di perusahaan ayahku? Apa kamu menyimpan pelacak di tubuhku?!” tanya Olivia. Dia penasaran bagaimana pria itu bisa tahu posisinya saat ini. “Temani aku ke pesta malam ini.” “Dalam perjanjian tidak ada kewajiban bagiku untuk menerima per
Olivia berusaha melepaskan diri. Dia menyikut perut orang yang membekapnya. Terdengar erangan kesakitan dari orang itu. Dia pun berhasil melepaskan diri dan membalikkan tubuhnya. Rasa kesalnya semakin besar saat melihat pria yang ada di depannya. Dia pun langsung menyerang pria itu. Yang tidak lain adalah Nolan. “Dengarkan penjelasanku!” ucap Nolan. Sembari menangkis atau menghindari serangan Olivia. “Kamu penipu! Aku tidak ingin mendengar penjelasan busukmu itu!” “Wanita keras kepala!” timpal Nolan dengan nada kesal. Nolan pun akhirnya berhasil menangkap tangan kanan Olivia. Sekarang dia kembali memegang tangan kiri Olivia. Dia mendorong tubuh Olivia ke belakang. Hingga menempel ke tembok. “Diam. Aku ingin bicara!” ucap Nolan. Dengan nada sedikit menekan serta menepatkan kedua tangan Olivia ke atas dan menempel ke dinding. Olivia menatap dengan kesal pria yang ada di hadapannya. Dia sungguh bodoh karena percaya padanya. Serta mau bekerja sama untuk membalas dendam pada Miran
Olivia akhirnya memejamkan kedua matanya. Setelah dia merasakan kehangatan dan rasa aman yang diberikan oleh Nolan kepadanya. Sedangkan Nolan masih terbangun, hingga akhirnya lampu kamar menyala. Dia menatap wajah Olivia yang terlihat cantik saat tertidur dan tidak terlihat mengesalkan saat terbangun. “Kamu selalu membuatku kehilangan kesabaran,” ucap Nolan. Lalu dia turun dari atas ranjang secara perlahan. Nolan ke luar dari dalam kamarnya dan langsung menuju ke ruang kerjanya. Dia sudah ada di dalam ruang kerjanya dan melihat sang asisten yang sudah menunggunya. “Apa kamu sudah mengumpulkan apa yang aku inginkan?” tanya Nolan. Pada sang asisten. “Sudah. Semuanya ada di sini.” Nolan mengambil tablet yang diberikan oleh Ian kepadanya. Dia membuka sebuah data. Di mana semua itu adalah hal yang ada kaitannya dengan bisnis yang sedang dijalankan oleh Miranda. “Bagus. Sekarang lakukan semua rencananya,” Nola kembali berkata. Setelah dia membaca semua informasi. “Baiklah.” “
Olivia terpaku. Saat dia hampir saja tertabrak oleh sebuah mobil. Untung saja mobil itu membanting setir ke arah kanan. Sehingga dirinya bisa terhindar dari kecelakaan. “Apa kamu sudah tidak waras, hah?!” bentak Nolan. Sembari memegang tangan Olivia. Olivia masih tetap diam. Dia akhirnya terkulai lemas dan terduduk di atas trotoar. Dia juga melihat ke arah mobil yang tadi hendak menabraknya sekarang menabrak sebuah pohon besar. Kilas balik sebuah kecelakaan di masa lalu kembali muncul. Dalam kecelakaan itu yang mengakibatkan ibunya kritis di rumah sakit. Dia pun kembali teringat jika saat itu ayahnya lebih memilih bersama dengan Miranda. “Semuanya salahku. Maafkan aku ibu ....” Air mata Olivia keluar. Dia sudah tidak bisa membendungnya lagi. Rasa bersalah dan kesal campur aduk di dalam hatinya. Membuat dendamnya semakin besar kepada Miranda. Nolan terdiam. Dia melihat wanita yang keras kepala dan bisa menghadapi para pengawalnya. Terlihat seperti wanita biasanya yang lemah.
Olivia melihat ke arah sang ayah yang sudah ada di dekat Miranda. Dia tersenyum tipis saat melihat raut wajah ibu tirinya. “Jelaskan padaku, Miranda!” ucap Leon pada istrinya. Dengan nada sedikit menginterogasi. “Mengapa diam? Bukankah tadi begitu bersemangat ingin bicara dengan, Nolan?” sambung Olivia. Dengan nada memancing. Sekarang dia memiliki kesempatan untuk memberikan sedikit pelajaran pada ibu tirinya. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh ayahnya dengan wanita yang ada di depannya itu. “Aku ada bisnis dengannya,” jawab Miranda. “Bisnis? Apa kamu lupa saat ini ada di mana?” tanya Leon pada istrinya. “Aku tahu.” “Apa pantas kamu berbicara bisnis di tempat duka?” Leon kembali melayangkan pertanyaan pada istrinya. Olivia mendengarkan semua penjelasan Miranda. Menurutnya itu hanya sebuah pembelaan. Dia pun melirik ke arah Nolan untuk tahu bagaimana reaksinya. Namun, dia sama sekali tidak melihat raut wajah yang kesal atau terkejut. Masih tetap saja dingin dan
“Nolan, jawab aku!” Panggilan Nolan terputus. Dia pun langsung menarik kopernya ke luar dari dalam kamar. Sebuah mobil berhenti tepat di depan pintu masuk ke rumahnya. Dia mengenali mobil itu. Dia pun langsung masuk ke dalam mobil itu. “Angel, cepat pergi dari sini!” ucap Olivia pada sang sahabat. “Kita mau ke mana?” “Nolan, dalam masalah,” jawab Olivia. Sembari memasang sabuk pengamannya. Angel pun menjalankan mobilnya. Meski dia tidak tahu tujuannya saat ini. Di pertengahan jalan dia semakin bingung tujuannya. “Ke mana aku harus membawamu?” tanya Angel pada sahabatnya. “Sebentar.” Olivia menghubungi seseorang yang tidak lain adalah Ian. Dia mendapatkan nomor itu karena Nolan yang memberikannya. Dia mendengar suara dering nada sambung. Akan tetapi, Ian tidak mengangkat teleponnya. “Angel, berhenti!” perintah Olivia. Saat dia melihat Nolan dan Ian yang baru memasuki mobil. Angel pun langsung berhenti di pinggir jalan. Dia tidak paham mengapa sang sahabat memint