"Aku tidak apa-apa, Inara. asalkan kamu tidak terluka, akupun akan baik-baik saja. Berhentilah mengkhawatirkanku. Aku akan berusaha untuk terus melindungimu."
"Jangan, tidak boleh seperti ini."
"Kenapa?"
"Nanti kamu sakit lagi," sahut Inara.
Harshil justru terkekeh mendengar sekaligus melihat wajah Inara yang tampak begitu khawatir.
"Aku lapar, Inara. Bisakah aku menikmati masakanmu?" tanya Harshil.
Inara mendongak, bibirnya melengkungkan sebuah senyuman. "Iya, aku masak dulu sebentar, Mas," ucap wanita itu seraya mengurai pelukan suaminya.
Harshil mengangguk. Meneguk teh manis buatan Inara yang sudah dingin. Sementara di dapur, Inara memasak bahan seadanya. Nasi plus omelette dengan isian sosis serta potongan daun bawang, lalu sambal bawang ia sajikan untuk menu sarapan, yang mudah dan juga praktis.
Lalu, lontong isi dan gorengan yang memang sengaja ia sisakan di rumah untuk suaminya masih bertengger manis
Siang hari yang terik mendadak mendung, titik-titik air hujan itu turun begitu saja walau di ujung barat sana ada sinar mentari yang memancar.Rasanya ia ingin sekali menjenguk ke makam kakeknya, andai saja kondisinya tak begini. Ia pun tak tahu entah sampai kapan dia akan bersembunyi."Mas, sudah dong sedihnya. Kamu harus tetap kuat. Air mata takkan mengubah apapun. Kita berdoa saja untuk kebaikan bersama."Harshil mengangguk. Sejak kecelakaan itu, ia memang menjadi pribadi yang pesimis. Seolah duka selalu menyelimutinya."Kita fokus dengan apa yang ada di hadapan kita sekarang. Mulai semuanya dari bawah."Harshil mengangguk lagi, meraih pipi istrinya dan dibelainya dengan pelan. "Iya, terima kasih ya. Kamu benar-benar penguatku sekarang.""Gimana kakimu, Mas? Apa masih terasa nyeri.""Ya, sedikit. Kadang masih terasa nyeri.""Pelan-pelan, nanti juga akan cepat sembuh, Mas.""Ini semua berkat bantuan dan d
Suara adzan subuh berkumandang, gegas mereka melaksanakan salat subuh berjamaah. Seperti rutinitas sebelumnya, Inara dan Harshil tetap berjualan pagi, menjemput rezeki yang halal dan berkah. Meskipun harus menahan kantuk luar biasa, tapi kini keduanya sudah mulai terbiasa. Harshil pun bisa mulai bisa membantu Inara membuat adonan atau kadang kala dia yang membungkus jajanan ke dalam plastik maupun mika. Memang mereka membungkusnya satu persatu agar makanan itu higienis tidak terkontaminasi oleh debu."Apa doamu hari ini, Inara?" tanya Harshil ingin tahu. Pria itu terlihat lebih tampan saat memakai sarung, baju koko dan juga peci."Seperti biasanya Mas, memohon ampunan, meminta kesehatan dan rezeki yang berkah, jualan laris, terus--""Terus apa?""Semoga hubungan kita langgeng sampai maut memisahkan," sahutnya sambil tersenyum simpul. Inara melepas mukenanya dan kembali melipat dan menggantungnya di dinding.Harshil tersenyum saat
Inara dan Harshil saling berpandangan."Pak, kami beneran menemukan bayi--""Hei dengerin ya mbak, mas, satu bulan kami menerima lebih dari lima laporan tentang penemuan bayi yang sengaja dibuang oleh orang tuanya. Dan yang terakhir itu sepasang remaja SMA, ternyata bayi itu anak mereka sendiri, mereka tak mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya hingga membuat laporan palsu. Kali ini kami tidak ingin tertipu, sudah sana bawa saja bayi itu. Kalian urus baik-baik, kerja yang bener, beri makan anak yang bener, jangan cuma hobi melakukan tapi gak mau tanggung jawab. Ckckck! Dasar anak muda zaman sekarang kelakuan dah kayak binatang! Kucing aja mau merawat anaknya sendiri lah ini malah mau ditinggalin! Mau dibuang, kelakuan macam apa itu? Gak usah sok berkedok lewat penampilan yang seperti ini!"Tangan Harshil mengepal erat mendengar hinaan dari petugas itu tanpa peduli untuk menyelidikinya lebih dulu."Mas, sudah ayo kita pulang saja!" Inara menahan t
Harshil menghela nafasnya dalam-dalam. Sesekali melirik ke arah Inara yang begitu antusias dengan kehadiran si bayi."Heran, apa kata dunia, kita saja belum malam pertama tapi dah punya bayi!" celetuk Harshil kesal.Inara menoleh melihat wajah suaminya yang begitu kesal. Dia tertawa ringan."Mas, jangan begitulah. Kasihan anak ini lucu banget lho.""Nanti malam aku tidur dimana kalau ada dia?""Ya disinilah, kita bertiga, dedek bayi yang di tengah-tengah.""Ah enggak! Aku keberatan.""Lho kenapa?""Ya, karena nanti aku gak bisa memelukmu dengan leluasa. Cckk!" Harshil merajuk seperti anak kecil.Inara tersenyum menghampirinya yang merasa kesal. Harshil yang tengah duduk di dekat pintu segera memalingkan wajah."Hhmmm, suamiku lagi ngambek nih ceritanya?" Inara duduk di hadapannya."Baru sebentar saja, perhatianmu sudah teralihkan.""Haha Mas, kamu lucu sekali kalau lagi ngambek."H
Inara mencebik kesal. Ah suaminya itu memang tak mudah ditebak. Inara bangkit menuju dapur meninggalkan sang suami yang masih tertawa."Dasar, bisa-bisanya dia--""Eheeemm! Jangan menggerutu di belakangku, Sayang!""Mas kamu kok kesini? Cepat sana temani dedek bayi lagi. Kasihan sendirian.""Aku lagi ingin bersamamu," sahutnya cuek.Inara terdiam. Sementara Harshil menghela nafas panjang. "Inara, apa kau tahu, aku merasa terganggu dengan kehadirannya."Inara terdiam. Apakah salah kalau dia merawat anak itu? Anak yang tidak tahu asal usulnya dari mana. Dia melirik sekilas menatap ke arah Harshil yang masih saja tak setuju dengan keputusannya."Aku tak ingin kebersamaan dan perhatianmu terbagi, Inara. Kita bawa saja anak itu ke panti asuhan ya."Hening, yang terdengar hanya suara pisau dan talenan yang beradu. Inara masih sibuk mengiris bumbu untuk makan siang. Sementara mulutnya terdiam walaupun telinga
'Lila? Duh, gawat! Apa yang harus kulakukan?'"Harshil, kamu sedang ngapain di sini? Terus siapa bayi itu?"Harshil masih terdiam, kalau dia pergi dari sana, Lila pasti akan menguntitnya."Hei, kenapa ditanya diam saja?"Lila makin mendekat, melihat bayi yang ada dalam pangkuannya. Raut wajahnya berubah gusar."Mas?!" Panggilan Inara mengagetkan mereka."Siapa kamu?" tanya Lila dengan nada jutek.Inara menaruh keranjang itu di dekat kakinya. "Maaf ya Mbak, harusnya saya yang bertanya, siapa kamu dekat-dekat dengan suami saya?""Suami?" Lila mengerutkan kening memperhatikan sejenak penampilan Inara dari atas ke bawah. Lila bergantian memandang ke arah Harshil, memastikan kalau dia tak salah mengenali orang.Sementara Inara mendekat ke arah Harshil, membuat Lila memundurkan langkah."Mas, apa Savrina nangis?" tanya Inara. Dia meraih bayi itu dan menggendongnya."Ya sayang, tadi dia nan
"Aku juga ingin menjadi baik seperti kamu. Selama ini kamu yang sudah mengajarkan banyak hal, termasuk tentang keikhlasan. Aku jadi makin jatuh cinta padamu, Inara."Inara hanya mengangguk saja. Kepalanya memang benar-benar terasa penat.Mereka salat subuh berjamaah. Saat Inara hendak melipat dan menggantung kembali mukena itu, tiba-tiba ia lunglai, tubuhnya merosot, seketika Harshil meraihnya dalam dekapan."Astaghfirullah Inara ...!" pekik Harshil panik.Ia langsung membopong tubuh sang istri kembali ke tempat tidur."Inara! Inara!" panggilnya. Diperiksanya berulang kali kening sang istri. Panas, sementara tangan dan kakinya begitu dingin."Kamu kenapa, Sayang? Bangunlah, jangan sakit!" Cemas dalam nada bicaranya. Ia menyelimuti tubuh sang istri dengan selimut seadanya. Diciuminya berkali-kali kening dan pipinya. Harshil mengompres kening Inara, memijat kakinya yang terasa dingin. Mengambil minyak kayu putih
Pramudya menelepon seseorang anak buahnya yang lihai menjadi penguntit."Hallo, kau ikuti kemanapun Ettan pergi. Beritahu aku laporannya.""Baik, Bos. Selain itu apa yang harus saya oakukan?" sahut suara di seberang telepon."Ikuti saja dan laporkan perkembangannya. Saya akan berikan perintah menyusul.""Siap, bereees bos!"***Mobil yang dikendarai Andre sudah berbelok ke halaman rumah besar nan megah itu. Mereka semua turun. Sementara Ettan mengikuti langkah Sandra."Wah, Ettan kembali, dimana Harshil?" tanya Diandra."Diandra, jangan ganggu Ettan. Biar dia ikut Tante," pungkas Sandra."Ish ish, sok berkuasa banget sih! Aku kan cuma ingin tahu kondisi Harshil gimana!" gerutu Diandra kesal.Ettan mengikuti langkah Sandra. "Ini kunci mobilnya, kamu bawa Harshil ke