Keesokan paginya, Kanara tetap pergi bekerja seperti biasa. Meski kepalanya terasa berat, tubuhnya nyeri di beberapa bagian, namun dia memaksakan diri. Entah karena kurang tidur, atau karena tubuhnya benar-benar remuk, efek berdiri terlalu lama di bawah pancuran air pagi tadi, ditambah kelelahan fisik dan batin yang belum juga reda.Sepanjang shift, Kanara berusaha terlihat baik-baik saja. Menyembunyikan rasa sakit di balik senyum tipis dan sapaan profesional. Tapi tubuhnya mulai goyah, matanya mengabur sesekali, dan pikirannya melayang ke mana-mana.Begitu jam kerja selesai, Kanara bergegas keluar dari kafe. Dia berniat langsung ke rumah sakit, ingin memastikan kondisi ibunya. Tapi langkahnya terhenti begitu saja saat mendapati seseorang berdiri di dekat mobil hitam yang terparkir di halaman kafe.Arga.Kanara mematung sejenak. Ia tidak menyangka akan melihat pria itu lagi hari ini. Kanara memutuskan untuk berjalan melewati Arga tanpa menyapa, tanpa menoleh. Tapi Arga tak tinggal di
Hari masih gelap saat Kanara terbangun. Langit di luar jendela belum menunjukkan tanda-tanda fajar, hanya samar-samar cahaya lampu kota yang memantul di dinding apartemen.Dia membuka mata perlahan, tubuhnya masih terbaring di atas ranjang luas dengan seprai putih bersih. Ruangan itu terlalu asing, terlalu sunyi, dan terlalu dingin untuk disebut nyaman.Dia tidak tahu pasti, apakah dirinya tertidur karena lelah atau karena pingsan. Kepalanya berat, tubuhnya remuk, nyeri menusuk di bagian-bagian yang sebelumnya bahkan tidak pernah dia rasakan.Samar, ingatan semalam kembali berputar di kepalanya. Sesuatu yang tak pernah dia bayangkan akan dia alami. Sesuatu yang… jauh dari semua cerita manis yang pernah dia dengar tentang malam pertama, tentang rasa cinta, tentang kehangatan.Yang dia rasakan hanyalah luka. Dan kehancuran.Kanara memutar kepalanya, menatap bahu polos Arga yang masih terlelap di sampingnya. Napas pria itu tenang, seolah tak ada beban apa pun yang dia tinggalkan di hati
Kanara menelan ludah, tenggorokannya kering. Ada tekanan di dadanya yang membuat napasnya terasa berat. Dengan gerakan kaku, ia bangkit dari ranjang. Bathrobe yang longgar di bahunya melorot perlahan hingga jatuh ke lantai tanpa suara. Ia tidak berusaha mengambilnya kembali.Demi Ibu… hanya untuk Ibu, batinnya.Arga menatapnya dalam diam. Sudut bibirnya terangkat sedikit. Ia tahu, ia menang malam ini. Ia berhasil menggoyahkan pertahanan terakhir Kanara.Perlahan, Kanara melangkah mendekat. Kepalanya sedikit tertunduk, jemari yang bergetar mulai membuka kancing kemeja Arga satu per satu. Arga hanya diam, matanya mengikuti setiap gerak Kanara, seolah menunggu tanda terakhir dari keraguannya.Saat kancing terakhir terlepas, Kanara perlahan duduk di pangkuan Arga di atas ranjang. Tubuhnya kaku, napasnya belum stabil. Namun, ia memberanikan diri memajukan wajahnya. Ia menempelkan bibirnya ke bibir Arga, seperti meniru apa yang Arga lakukan sebelumnya. Hati-hati, penuh rasa asing, tapi tak
Sentuhan Arga semakin dalam, jarak di antara mereka hampir menghilang. Nafas Kanara memburu, tubuhnya menegang namun tidak bergerak. Hatinya berteriak menolak, tapi otot-ototnya kaku, tak mampu mendorong pergi.Cengkraman di pinggangnya menguat. Arga menunduk, bibirnya kembali mendekat. Kanara menahan napas, matanya terpejam rapat, menunggu momen itu lewat begitu saja.Namun suara getaran ponsel memecah keheningan. Samar, tapi cukup jelas berasal dari saku celana Arga.Arga mengabaikannya, jemarinya tetap bertahan di bathrobe Kanara, siap menariknya lagi. Getaran kedua menyusul, lebih lama dari sebelumnya. Arga masih tidak bergeming.Getaran ketiga akhirnya membuatnya mendecak pelan. Dia melepaskan Kanara, melangkah ke meja, lalu merogoh ponsel dari saku celananya.“Tidak usah kemana-mana,” ucapnya singkat, sebelum menggeser ikon hijau di layar ponselnya dan mengangkat panggilan.Kanara berdiri mematung, dada naik-turun cepat. Napasnya masih berat, bukan hanya karena ketegangan barusa
Kanara melangkah keluar dari kamar mandi, tubuhnya dibalut bathrobe putih yang sudah tersedia di sana. Bahan kain itu hangat, tapi tetap saja tidak mampu meredam dinginnya perasaan di dalam dadanya.Di ruang tengah, Arga sudah menunggunya.Pria itu duduk santai di sofa, satu tangan memegang gelas tinggi berisi wine merah, sesekali dia menyesapnya perlahan. Botol wine masih terbuka di atas meja kaca, menciptakan kontras tajam dengan suasana tegang yang memenuhi ruangan.Tatapan mata Arga bergerak menelusuri tubuh Kanara, dari kepala hingga kaki. Ada kilatan puas di sana, seperti pemilik yang baru saja menerima barang pesanannya."Kemari," ucap Arga, nada suaranya tenang tapi tegas, tak memberi ruang untuk penolakan.Di depannya, sudah tersedia gelas kedua, setengah penuh berisi wine merah pekat. Arga menggeser gelas itu ke arah Kanara, isyarat halus tapi jelas.Kanara menatap gelas itu, lalu menatap Arga."Aku tidak minum alkohol," ucapnya singkat, suaranya sedikit serak, ada penolakan
Sesampainya di unit apartemen, Arga menekan sandi pintu dengan santai. Bunyi klik terdengar sebelum pintu terbuka perlahan, memperlihatkan interior mewah dengan pencahayaan temaram.Kanara berdiri terpaku di ambang pintu, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Jantungnya berdetak tidak beraturan, rasa takut menyelusup, tapi dia menahannya mati-matian.Memperlihatkan ketakutan atau kelemahan di hadapan Arga hanya akan membuatnya semakin kehilangan harga diri. Meski, dia sadar… sebagian besar harga diri itu sudah terkubur sejak notifikasi transferan Arga masuk ke layar ponselnya.Arga sudah lebih dulu masuk, langkahnya santai, seperti pria yang baru saja tiba di rumah usai bekerja. Dia melepas dasi dari leher, melemparkannya sembarangan ke sofa. Lalu, satu per satu kancing kemejanya dia buka perlahan, memperlihatkan tubuhnya yang terlatih.Tatapan Arga terarah ke Kanara yang masih berdiri di depan pintu, ragu melangkah.“Kenapa diam saja di situ? Masuk,” ucap Arga, suaranya tenang tapi