MasukMobil melaju tenang di bawah langit sore yang mulai berwarna jingga. Suara musik lembut dari radio mengisi keheningan di antara mereka. Arga mengemudi dengan satu tangan di setir, sementara tangan lainnya sesekali berpindah untuk menggenggam tangan Kanara di kursi sebelah.“Bagaimana, lelah?” tanya Arga tanpa menoleh.“Sedikit,” jawab Kanara pelan. “Tapi aku senang. Setiap kali mendengar detak jantungnya, rasanya seperti baru pertama kali.”Arga tersenyum kecil. “Itu juga jadi bagian favoritku.” Ia melirik ke arah Kanara. “Kau mau mampir ke suatu tempat? Atau ingin makan sesuatu?”Kanara berpikir sejenak, matanya menatap jalanan yang mulai ramai. “Aku ingin es krim. Yang dingin dan manis.”Arga terkekeh. “Baik, Nyonya Kanara. Kita cari kedai es krim setelah ini.”“Jangan kedai yang ramai,” tambah Kanara cepat. “Aku tidak ingin banyak orang menatapku.”“Kenapa harus peduli pada pandangan orang lain?” gumam Arga lembut.Kanara tidak menjawab. Ia hanya tersenyum samar, lalu iseng membuka
Arga baru saja memarkir mobil di depan rumah ketika pintu utama terbuka.Kanara keluar bersama Naomi dengan tas kecil di tangan, langkahnya pelan namun mantap. Udara siang yang hangat menyambut mereka di halaman depan.“Seharusnya kau tidak perlu buru-buru pulang,” ucap Kanara saat Arga menghampirinya. “Aku bisa pergi diantar sopir, bahkan Naomi juga sudah siap menemaniku.”Arga hanya tersenyum kecil. Ia membuka pintu mobil untuk istrinya, menunduk sedikit saat memastikan kepala Kanara tidak terbentur. Setelah Kanara duduk, Arga membungkukkan badan untuk menata sabuk pengamannya.“Waktu dan hidupku untukmu, Kanara,” katanya tenang. “Tidak ada istilah sibuk, karena kau adalah prioritasku.”Kanara mengerling, menatapnya dengan senyum geli. “Kau sering sekali bicara manis akhir-akhir ini.”Arga mengangkat alis, pura-pura tersinggung. “Kau pikir aku tidak sungguh-sungguh?”Ia menutup pintu penumpang dan bergegas ke sisi kemudi. Setelah duduk, ia menoleh pada Kanara yang sedang merapikan r
Suara dering telepon baru saja berhenti ketika Kanara masuk membawa secangkir kopi ke ruang kerja Arga.Aroma kopi bercampur dengan udara siang yang terperangkap di ruangan itu, tapi suasananya terasa tegang.Arga berdiri di depan jendela, punggungnya menghadap pintu. Salah satu tangannya menekan kening, sementara tangan lainnya masih memegang ponsel. Napasnya berat. Telepon dari Athalla barusan membuat pikirannya berputar tanpa arah.Kasus ayah mertuanya semakin aneh. Terlalu banyak celah, terlalu banyak kejanggalan untuk disebut spontan.Kanara melangkah mendekat, meletakkan cangkir di meja. Pandangannya tertuju pada tumpukan berkas di atas meja kerja Arga. Tapi bukan laporan pekerjaan seperti biasanya, melainkan foto-foto TKP, rekaman hasil visum, dan salinan berita acara dari lapas.“Arga …” panggil Kanara pelan.Arga menoleh. Tatapannya sedikit terkejut, tapi berusaha tenang. Ia segera menyimpan ponselnya.“Kau belum istirahat?” tanyanya, mencoba mengalihkan.Kanara menggeleng, l
Cahaya siang menembus kaca jendela, Athalla menatap tumpukan berkas di mejanya. Di antara laporan dan foto-foto TKP, ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Terlalu banyak kejanggalan dalam kematian ayah Kanara.Versi resmi dari lapas menyebut ‘Korban meninggal akibat pengeroyokan spontan selama kegiatan kerja sosial di luar lapas.’Terlalu rapi.Terlalu dangkal.Athalla tidak mudah percaya pada laporan yang terasa terlalu bersih.Athalla sudah cukup lama bekerja di kejaksaan untuk tahu. Tidak ada kekerasan di balik jeruji yang benar-benar ‘spontan’.Ia bersandar di kursinya, mengetuk-ngetuk pena ke meja. Instingnya menolak berhenti di kesimpulan yang disodorkan begitu mudah.Kejadian ini seperti sudah disiapkan.Tanpa menunggu lebih lama, Athalla memutuskan untuk turun langsung.*Beberapa jam kemudian, ia sudah berada di kantor lapas.“Saya ingin melihat rekaman CCTV,” ucapnya tegas sambil menyerahkan surat permintaan resmi.“Termasuk siapa saja yang berinteraksi dengan para pelaku se
Langit mendung sore itu seolah ikut berkabung. Angin lembut berhembus, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan wangi bunga tabur. Ayah Kanara dimakamkan tepat di samping pusara mendiang istrinya. Seolah takdir memberi kesempatan bagi mereka untuk kembali berdampingan setelah sekian lama terpisah oleh waktu dan penyesalan. Kanara menunduk di depan nisan itu, tangan mungilnya menaburkan bunga perlahan, seakan takut mengganggu ketenangan orang yang kini terbaring di bawah sana. Air matanya sudah kering sejak tadi, hanya menyisakan sembab di sudut mata. Kali ini, ia tidak ingin terlihat rapuh. Ia sudah menangis cukup banyak. Tatapannya jatuh pada foto ayahnya di atas batu nisan basah itu. Wajah yang dulu keras dan penuh marah, kini hanya tinggal kenangan diam dalam bingkai kecil. Kanara menghembuskan nafas panjang, pelan namun berat. "Semoga Ibu menyambutmu di sana," ucapnya lirih, sebelum menunduk memberi penghormatan terakhir. Arga berdiri di sampingnya, tidak ber
Langkah Kanara goyah, tapi ia tetap maju perlahan, mendekati tempat tidur itu. Setiap langkah terasa berat. Seolah jarak yang hanya beberapa meter itu memakan seluruh tenaga yang tersisa di tubuhnya.Beberapa hari lalu, ia masih melihat ayahnya tersenyum. Sehat. Duduk di ruang kunjungan penjara, memandangi Kanara sambil menyuap potongan kecil makanan kesukaannya.“Ayah senang sekali kau bawakan ini,” begitu katanya waktu itu, dengan senyum lebar yang selalu menenangkan.Tapi hari ini, senyum itu lenyap. Wajah yang sama kini tampak pucat, tertutup oksigen mask, dikelilingi selang dan suara monoton alat medis yang membuat dada Kanara sesak.Ia menelan ludah susah payah, mencoba menahan gejolak yang tiba-tiba naik ke tenggorokan.Beberapa hali belakangan, Kanara memang tak sempat menjenguk karena kandungannya semakin besar dan tubuhnya cepat lelah. Tapi ia tak pernah abai. Setiap hari ia memastikan makanan dikirim ke penjara, memastikan ayahnya makan dengan baik.Dan kini, semua itu seol







