Kanara bersandar di sofa dengan buku terbuka di tangannya, tapi matanya tidak benar-benar membaca. Sesekali ia menguap, tubuhnya terasa lebih lelah dari biasanya meski tidak melakukan apa pun yang berat. Tangannya refleks menyentuh perutnya yang masih rata, seolah mencari jawaban dari kegelisahan yang sejak beberapa hari ini menghantuinya.“Telat seminggu…” gumamnya lirih. Ia menutup mata, mencoba menepis rasa khawatir. “Mungkin hanya karena stres.”Tapi pikirannya tak bisa dibohongi. Tubuhnya sendiri memberi tanda, cepat lelah, sering tertidur mendadak, dan mual ringan yang datang tiba-tiba. Ia tahu, ada kemungkinan lain di balik semua itu.Saat keluar belanja tadi, tanpa sadar ia membeli testpack. Benda kecil itu kini tergeletak di meja, menunggu keberanian yang belum ia kumpulkan. Kanara menatapnya lama, lalu menghela nafas panjang.“Aku belum siap untuk tahu…” bisiknya. Ada rasa takut yang begitu nyata. Bukan hanya karena kemungkinan dirinya hamil, tapi juga bayangan masa lalu. Ia
Kanara masih berdiri menatap pintu yang baru saja menelan sosok Arga. Helaan napasnya berat, seolah pagi itu masih menyisakan bayangan semalam.Ingatannya melayang kembali ke saat ia memapah Arga ke kamar. Tubuh pria itu hampir tak berdaya ketika ia rebahkan di atas kasur. Dengan hati-hati, Kanara duduk di tepi ranjang, tangannya mulai melepas kancing kemeja Arga satu per satu.“Kau pasti tidak nyaman tidur begini,” gumamnya lirih, seolah bicara pada diri sendiri. Ia berniat mengganti pakaian kerja Arga dengan kaos tipis, meski tahu lelaki itu terbiasa tidur tanpa baju.Namun, jemarinya terhenti di pertengahan. Sebuah genggaman hangat menahan pergelangan tangannya. Kanara terkejut menoleh. Arga menatapnya dengan mata redup, mabuk, tapi tatapannya tetap terasa menusuk.“Kenapa kau lakukan ini?” suara Arga serak, samar, ambigu.Kanara menelan ludah, mencoba tenang. “Aku hanya ingin membantumu… kau akan tidur lebih nyaman dengan pakaian lain.”Ia tahu, apapun jawabannya tak akan benar-be
Hari-hari berlalu sejak insiden di hotel. Kanara dan Arga kembali ke apartemen, namun suasana di antara mereka dingin. Beberapa hari terakhir, Arga jarang pulang. Entah benar-benar sibuk dengan pekerjaan atau sengaja menghindari Kanara, perempuan itu tidak tahu. Yang jelas, kegelisahan terus menumpuk di dadanya.Kadang Kanara berpikir, apa Arga sedang mempertimbangkan untuk kembali ke Sandrina? Atau mungkin… akhirnya meninggalkannya? Entah kenapa, ketakutan itu justru membuat dadanya terasa sesak. Ia tak bisa membedakan, apakah khawatir rencananya gagal atau karena ia benar-benar takut kehilangan Arga.Malam itu, suara pintu elektronik apartemen berulang kali berbunyi, menandakan ada yang berusaha memasukkan kode sandi. Kanara yang setengah terlelap di kamar langsung terjaga. Ia duduk, meraih jubah tidurnya, lalu berjalan ke arah monitor pintu.Arga.Kening Kanara berkerut. Lelaki itu berdiri terhuyung di depan pintu, dasi longgar, kemeja berantakan, jas hanya tersampir di lengan. Dar
Di balik pintu kamar mandi, Kanara sudah mengenakan bathrobe putih. Rambutnya masih lembap, ia mengeringkannya perlahan dengan handuk. Suara samar percakapan di luar kamar sempat terdengar. Kanara tahu, jika dia ingin aman, seharusnya ia diam. Tapi justru itu yang tidak dia lakukan.Sandrina harus melihatnya. Harus tahu bahwa Arga, tunangannya, ada bersama dirinya.Dengan langkah santai, Kanara keluar, seolah tak menyadari kehadiran orang lain. Aura segar selepas mandi menempel di tubuhnya, dan itu saja sudah cukup untuk memancing ledakan.Arga menoleh, tubuhnya menegang begitu melihat Kanara muncul. Suasana menjadi lebih berat saat Sandrina mengikuti arah pandangannya. Dari balik bahu Arga, ia melihat Kanara berdiri dengan bathrobe, wajah segar setelah mandi.Mata Sandrina membelalak. Ia tidak perlu bertanya untuk memahami apa yang baru saja terjadi di kamar itu.“Sandrina ..”Arga mencoba menahan, tapi terlambat.Sandrina mendorong tubuh Arga dengan kasar hingga ia sedikit terhuyung,
Kanara menunduk, pura-pura sibuk meratakan busa di air agar tidak perlu menatap Arga terlalu lama.Arga tersenyum tipis melihat Kanara yang jelas salah tingkah. Air memercik ketika ia tiba-tiba menarik tubuh Kanara mendekat. Sentuhan basah kulit mereka saling menempel, membuat Kanara refleks menahan nafas. Arga merunduk, mengecup bahu Kanara yang basah, meninggalkan sensasi hangat yang kontras dengan air.Kanara mengernyit kecil, mencoba menutupi debar jantungnya. “Apa semalam masih belum cukup bagimu?” suaranya terdengar setengah menantang, setengah gugup.Arga menoleh, matanya menatap dalam. “Denganmu, tidak akan pernah cukup. Kau selalu membuatku candu.”Kalimat itu membuat Kanara terdiam sejenak. Ia melepaskan diri dari dekapan Arga, memberi sedikit jarak agar bisa menatap wajah pria itu dengan jelas. “Berapa banyak perempuan yang sudah mendengar kalimat seperti itu darimu?” tanyanya lirih, tapi nada sinisnya tidak bisa disembunyikan.Arga tidak segera menjawab. Ia hanya melingkar
Selesai makan, pegawai hotel datang membereskan meja. Kanara hanya duduk diam di sofa, memperhatikan ruangan kembali rapi. Setelah mereka pergi, Arga sudah kembali larut pada tablet di tangannya, jemarinya cepat bergerak membuka laporan, mengirim instruksi.Kanara bersandar, menatapnya lama. Ini benar-benar perjalanan bisnis, bukan seperti yang ia bayangkan. Ada penyesalan kecil muncul, mengikuti Arga ke sini justru membuatnya menyadari betapa dirinya tidak memiliki kesibukan apa-apa, sementara pria itu sepenuhnya tenggelam dalam pekerjaannya.Arga yang sibuk terlihat berbeda. Wajahnya serius, sorot matanya fokus, aura seorang pemimpin besar jelas terpancar. Berbeda jauh dari Arga yang biasa menyambutnya di apartemen dengan senyum santai.Dengan langkah malas, Kanara mendekat. Ia merebahkan kepala di atas paha Arga, memaksa pria itu berhenti sejenak. Arga sempat menoleh, senyum tipis muncul di bibirnya, tangannya mengusap singkat rambut Kanara sebelum kembali menatap layar.“Kau sungg