*Happy Reading*Apa yang kalian harapkan? Bella adu mulut sama Reyn? Owh, kalau gitu maaf. Sepertinya kalian harus kecewa. Karena apa? Ya, karena seperti yang aku bilang di part sebelumnya. Reyn itu meski sangar dan dingin kek kulkas baru. Tetapi kalau sama anak kecil, tetap gak berkutik. Iya, benar. Herannya, si Reyn itu meski tampilannya angker kek kuburan baru. Kalau sama anak kecil itu sabar bet. Mau nemenin mereka main dan nurut aja diatur para bocah. Bahkan, kemaren diajak main barbie dan masak-masakan pun sama Tita, hayuk aja. Lah, coba itu kalian bayangkan. Tampang udah cool, tapi mainannya barbie. Lagi masak pula itu sii barbienya. Mungkin barbienya mau buka warteg kali, ya?Lain Tita, lain pula Bella. Jika Tita mainannya masih Barbie dan masak-masakan. Maka Bella setingkat di atasnya. Yaitu main ayah bunda.Beneran main papa mama. Reyn yang jadi papanya, Bella yang jadi mamanya. Nah, Tita jadi anaknya. Kesempatan banget, kan? Dengan begitu si Bella bebas gerayangin Reyn se
*Happy Reading*"Reyn pergi? Ke mana?" Tanya itu pun langsung saja hadir. Saat hari ini tidak menemukan Reyn di sekitarku, dan malah terganti oleh Tylor, anak buah Ammar. "Tuan Reyn sedang ada acara keluarga," jawab Tylor dengan sopan."Acara keluarga apa?" Bukannya aku kepo atau ingin mencampuri kehidupan Reyn. Hanya saja, bukannya sekarang aku adalah majikan Reyn. Jadi, wajar kan kalau aku ingin tahu. Lagipula, kenapa Reyn tidak pamit, sih? Ijin gitu. Atau setidaknya basa basi sebelum tiba-tiba menghilang begini. Kan, aku jadi nyariin--Eh, maksud aku. Kalau si Duda sableng itu datang lagi, gimana? Nah, jangan salah paham ya, gaes!"Maaf, tapi saya kurang tahu, nona." Jawaban Tylor tidak membantu sama sekali. Yang ada malah aku jadinya makin kepo, ya kan?Apa ... jangan-jangan Reyn mau tunangan? Atau ... nikah? Atau .... haish! Ngapa jadi mikirnya ke situ sih? Ada apa sebenarnya dengan diriku? Kenapa aku malah jadi perduli gini tentang ke beradaan Reyn? Aneh!"Kurang tahu, atau me
Beken 59*Happy Reading*Aku Muak!Sungguh!Perasaan, Malvino Alexander yang aku kenal itu seorang pengusaha. Bukan selebgram, Influencer, Tiktoker, apalagi aktor Film. Tetapi, kenapa sukanya bikin sensasi, sih?Heran aku! Gak habis pikir dan ... aneh! Parahnya, setiap sensasi yang dia buat selalu membawa serta aku. Membuat aku makin Virall dan mulai dikenal sebagai enemy publik. Padahal, salahku apa? Justru aku di sini korban, kan? Kenapa sih, malah aku yang dihujat sana-sini? Pengen nangis aku, loh. Kalau gak inget udah gede. Pasti aku udah goser-goser di lantai rumah sakit.Lebay? Biarin! Namanya juga lagi sedih. Jadi ya, tolong dimaklumin."Jadi, bagaimana tanggapan kamu soal berita terbaru dari pengusaha Aksa Malvino. Benarkah dia membatalkan pernikahannya karena lebih memilih kamu daripada calon istrinya."Menahan geram di hati akan pertanyaan si wartawan cantik, yang tidak sesuai rencana awal. Aku mencoba tetap tersenyum dan menjawab. "Aduh! Kalau itu saya gak tahu, ya? Saya
*Happy Reading*"Bagaimana Devia, apa penjelasan kamu tentang chat ancaman ini?"Mengatur napas agar tetap tenang, aku pun berusaha mempertahankan senyum, seraya memutar otak mencari alasan tepat sebagai jawaban. Okeh! Maybe this time.Menarik napas panjang sejenak. Aku mulai menatap si wartawan dengan sendu. Ekspresi wajah sengaja aku buat selelah mungkin. Seakan aku punya beban yang teramat di pundakku. "Seperti yang aku bilang di awal. Aku tuh lelah di sangkut pautkan dengan sensasi yang di timbulkan Pak Aksa. Karena apa? Karena hujatan dan ancaman bukan cuma aku dapatkan dari pesan di medsos. Tapi sampai ke pribadi. Entah dari mana mereka mendapat nomor ponselku. Jujur saja, itu sangat mengganggu. Padahal aku butuh ketenangan dalam pengobatan yang akan dijalani. Tapi kalau begini terus, apa bisa aku tenang? Mental aku bisa ikutan down lama-lama." Menarik napas panjang sekali, dan membuangnya secara perlahan. Benar-benar seperti orang yang sudah sangat lelah jiwa dan raga. Terny
*Happy Reading*"Don't like me. You will definitely get hurt."Eh? Apa aku baru saja ditolak?Satu detikDua detikTiga detik, dan ...."Ekhem!" Aku berdehem refleks demi menghilangkan hening yang tiba-tiba menyapa. "Reyn, kamu baik-baik saja di sana?""Maksudnya?" Reyn bertanya balik. "Ya ... gitu, kamu tadi lagi ngomong sama siapa?""Tentu saja kamu, Devia. Siapa lagi? Bukankah kita sedang bertelepon?" Reyn bertanya setelah beberapa saat terdiam."Aku?!" Pura-pura terkesiap. "Wah, kalau gitu fix. Di sini bukan cuma aku yang tidak fokus, tapi kamu juga!""Maksudnya?" Reyn bertanya cepat."Ya, gitu. Kamu lagi gak fokus juga, ya? Soalnya omongan kamu gak nyambung."Tidak ada jawaban dari seberang sana. Hanya hening saja. Sepertinya, Reyn sedang berpikir dan mencerna ucapanku. Karena itulah, aku memilih melanjutkan ucapanku. "Padahal tadi kita lagi ngomongin nomor telepon si pengirim ancaman, loh. Kok, kamu malah tiba-tiba bilang 'Don't like me'. Kan gak nyambung, Reyn. Apalagi, kamu
*Happy Reading*Pada akhirnya. Meski aku sudah merajuk, merayu, bahkan menangis kejer seperti anak kecil, tapi gak pake goser-goser di lantai karena masih sakit punggung. Aku tetap ditinggalkan di tempat terpencil ini. Memang sih, tidak sendirian seperti dalam bayanganku sebelumnya. Ada beberapa pelayan dan penjaga berbaju serba hitam yang menemani. Juga ... Lika sebagai teman dan asisten khususku. Ya. Entah bagaimana ceritanya hingga Lika bisa di rekrut lagi jadi asisten aku di sini. Kata gadis itu sih, Reyn sendiri yang menelpon dan meminta tolong. Nah, kalau gitu ... ngapain juga kemarenan aku mewek-mewek pisahan sama dia, kalau ujung-ujungnya ketemu lagi. Ih, mubajir dah air mataku. Untung aku bukan duyung. Kalau duyung, lebih rugi lagi. Bisa buat beli kapal pesiar air mataku kemarenan."Huh dasar medusa kang drama. Muka lo bokis banget. Playing victimnya gak natural. Belajar ekting lagi sono!"Aku hanya melirik malas pada Lika, yang saat ini mengomeli ponselnya sendiri. Gak usa
*Happy Reading*"Bisakah kamu ketuk pintu?" Reyn terdengar datar menyahuti si Nurbaeti di sana. "Ngapain? Pintunya udah kebuka ini. Lo juga ... ck! Iya-iya."Hening sesaat, lalu ....Tok ... tok ... tok ...."Tuh, udah. Jan delik kek gitu lagi. Kayak lo kurang serem aja."Astaga! Aku bisa membayangkan bagaimana menyebalkannya Nurbaeti di sana. Memang anak Mak Kanjeng dia tuh. Asli! Tak perlu diragukan lagi. Namun, aku sebenarnya lumayan salut sih sama Nurbaeti. Karena meski Reyn ini seram dan kadang galak. Nurbaeti bisa berinteraksi sesantai itu pada pria kutub tersebut. "Ada apa?" Reyn terdengar datar menanggapi Nurbaeti."Kok ada apa? Lo budek apa kek mana? Pan tadi udah gue bilang. Lo udah ditungguin di bawah. Buruan!""I see. Pergilah. Aku akan menyusul."Aku memilih menyimak saja. "Ck, barengan aja bisa, gak? Gue males nanti di suruh naik lagi manggil lo! Dikira gak capek aja turun naik di rumah nih.""Aku sedang menelepon orang.""Siapa?""Bukan urusanmu. Pergi.""Ck, pelit.
*Happy Reading* "Apa, Lik?! Lo gila, ya? Suami lo gimana, Anjir?!" Setelah sepanjang perjalanan Lika membungkam mulut dan hanya memberikanku senyum penuh arti, tiap kutanya apa yang terjadi antara dirinya dan Tylor. Akhirnya, Lika buka cerita saat kami sudah berada di tempat baru. Kali ini bukan mansion besar seperti sebelumnya. Tetapi rumah minimalis dengan lingkungan yang tetap asri. Tahu rumahnya Bella di film twiligt. Nah, rumahnya mirip itu. Okeh, mari kita skip pembahasan tentang rumah. Karena aku tidak berminat jadi sales property. Mari kembali pada Lika yang baru saja mengaku sudah melakukan ONS dengan Tylor. "Suami gue juga selingkuh kalau lo lupa." Lika menjawab acuh. "Dan gue, otw jadi janda," tambah Lika dengan jumawa. Seakan status janda itu sangat membanggakan. Mentang sekarang banyak hastag di media 'Janda makin di depan' dan 'Janda lebih menggoda'. Jadinya si Lika ini malah terinspirasi buat cepat jadi janda. Ah, jaman emang udah uedan! "Ya kan gak harus dib