Sequel 2 Novel 'Tante, Mau kan jadi mamaku?' (Judul Sebelumnya OTW Beken) Sebelumnya hidupku baik-baik saja. Aman, tentram, damai dan terkendali. Meskipun aku bekerja sebagai publik figur di dunia entertainment. Tetapi aku tidak pernah mencari sensasi agar viral, atau pun terkena gosip miring hingga menjadi headline di akun lambe-lambean. Hingga akhirnya aku bertemu dengan Thalita Eugenie Alexander. Seorang gadis cilik yang tiba-tiba menarikku ke meja kasir dan ingin membeliku. Lah, dia kira aku ciki atau permen kapas? Seenaknya saja mau dibeli. Namun, berawal dari kejadian itu, hidupku pun mulai kacau setelahnya. Kehadiran Tita dan ayahnya, Aksa Malvino Alexander, si duren sawit berbuntut dua. Perlahan membuat aku mendadak virall. Apalagi, dengan status si duda yang ternyata bukan orang biasa. Makin menjadi saja gosip yang menimpaku setiap harinya. Membuat aku muak, dan ingin sekali resign dari dunia entertainment yang kugeluti. Masalah lainnya adalah, si duda selain narsis parah, juga sangat pemaksa sekali. Aku harus ekstra keras memutar otak dalam menolak lamaran gilanya. "Saya heran, kok ada wanita bodoh seperti kamu?" Heh? Maksudnya? "Padahal ada berlian di depan mata. Bukannya diambil dan disimpan, malah di tolak. Waras kamu?" What the hell! "Saya juga heran sama Bapak. Sudah tahu ditolak, masih aja gigih maksa. Kayak gak ada cewek lain aja diluaran sana. Kenapa? Situ kurang laku, ya?" Nah, kan. Emang enak dibalikin? Pokoknya, lo jual, gue borong, Bang!
view more*Happy Reading*
"Tita mau beli Tante ini sekalian ya, Pah. Boleh, kan?"
Hah?!
Seketika, aku pun hanya bisa melongo di tempatku, mendengar permintaan seorang bocah perempuan yang tadi tiba-tiba saja menarik lenganku ke arah kasir, saat aku sedang melihat-lihat deretan jam di toko ini.
Aku tidak mengenal anak itu sama sekali. Melihatnya pun, baru hari ini. Lalu kenapa tiba-tiba dia ingin membeliku? Dia yang tidak bisa membedakan antara manusia dan benda bernama jam, atau ... memang aku ini yang mirip jam?
Yang benar saja. Aku ini model, loh! Masa disamakan dengan benda bulat berdetak begitu?
"Boleh kan, Pah? Yah?"
Aku hanya bisa menggaruk belakang leher yang sebenarnya tidak gatal. Saat lagi-lagi anak kecil itu menatap bapaknya dengan tatapan memelas, dan menanyakan hal aneh itu.
'Eh, bener kan dia bapaknya. 'Pah' itu berarti Papah, kan? Bukan Opah apalagi sampah. Ck, gak mungkin banget. Orang ganteng gitu kok bentukannya. Beneran jadi sampah juga pasti banyak yang mungut itu, mah. Gak perlu didaur ulang dan bisa langsung di pajang. Udah cocok banget pokoknya.'
Kini aku malah membatin tentang pria yang dipanggil 'Papa' oleh anak itu. Tanpa sadar terpesona pada wajahnya yang maskulin, dan tatapannya yang sangat meneduhkan.
Mendengar tanya anaknya, si Papa pun--Duh, maksud aku si papanya anak-anak--Eh, kok jadi papanya anak-anak, sih? Papanya tuh bocah! Astaga!
'Gusti ... kenapa jadi belibet gini omonganku? Tuh cowok hot banget, sih. Kan, aku jadi gak Fokus. Aduh ... aduh, bisa jongkok dikit gak sih, Pa? Gantengnya Papa kelewatan tinggi, tahu. Kan, jadi gak bisa fokus!'
Okeh, lupakan! Sepertinya aku mulai error gara-gara pria ganteng itu. Pokoknya, pria itu lalu berdehem sejenak sebelum melirik aku dan anaknya bergantian.
"Sayang, jangan gitu, dong. Tantenya bukan mainan. Mana bisa dibeli?"
'Ya ampun ... suaranya! Seksi banget! Kupingku Auto istighfar jadinya. Pokoknya jangan sampai aku khilaf dan malah lumer di dadanya minta beneran di bawa pulang. Aduh! Jaga image, Nur! Jual mahal dikitlah biar dikata elegant!'
Aku pun sekuat tenaga menahan diri agar tetap tenang di tempatku. Meski sudah sangat tidak fokus dengan keberadaan pria yang sangat menggoda iman itu.
Bukan aku murahan. Tetapi, bagaimana lagi? Meski aku terkesan cuek selama ini. Aku tetaplah wanita normal. Dan tentu saja, sebagai seorang wanita, aku juga suka melihat pria-pria tampan seperti bapaknya bocah itu. Aku tidak mau munafik.
"Tapi Tita suka, Pa. Tantenya cantik. Tita mau Tante ini aja yang gantiin mama, Pa. Dede bayi juga pasti suka punya mama baru kayak Tante."
Tunggu!
Mama baru? Dede bayi?
Mengerjap pelan, aku pun memaksa otakku mencerna ucapan bocah yang bernama Tita itu, secepat yang aku bisa.
'Gusti ... ini maksudnya apa? Si Papa maksudnya Duda, gitu? Udah Punya anak dua dan ... Ya ampun, jangan bilang nasibku akan seperti Intan.'
Nggak! Nggak! Nggak! Aku gak mau Nikah sama Duda! Buy one get three lagi, ya kan? Astaga! Kayak gak ada cowok single nganggur aja. Tuhan, jangan iseng, dong.
"Tapi--"
"Ekhem!" Tak ingin hanya berpangku tangan melihat si papa membujuk anaknya. Aku pun sengaja berdeham cukup keras, agar mendapat sedikit atensi mereka. Bagaimana pun, Ini juga menyangkut masa depanku, ya kan? Aku harus buka suara.
Tentu saja, keinginanku terkabul. Sedetik setelah aku berdehem. Anak dan bapak itu pun menoleh ke arahku. Membuat mataku pun tak sengaja bersirobok dengan mata si Papa dan ... 'Gantengnya ....'
'Fokus, Nur! Ingat buy one get three!' batinku pun berseru mengingatkan.
Benar. Aku gak boleh jatuh ke pesona si Papa, yang sialnya memang hot-nya minta di ajak bikin anak. Menyebalkan! Kenapa sih, cowok ganteng seperti ini selalu bekas orang?
"Sayang, Maaf, ya? Kayaknya Tante gak bisa memenuhi keinginan kamu barusan, buat jadi mama baru kamu dan dede bayi." Akhirnya aku ingat tujuanku berdehem tadi.
"Kenapa?" Bocah itu pun kembali bertanya dengan penasaran.
"Karena ...." Aku menggantung kalimatku, mencari alasan logis secepatnya sebagai jawaban. Sebab aku tidak mungkin jujur untuk alasan yang sebenarnya.
"Karena Tante udah punya tunangan," jawabku asal, mengikuti ide random yang melintas begitu saja di otak.
Tidak tanggung-tanggung. Demi meyakinkan bocah itu, aku pun mengangkat tangan kiriku, dan menunjukan sebuah cincin polos yang tersemat di jari manisku.
Sebenarnya, tidak ada yang istimewa dengan cincin itu. Hanya sebuah cincin mainan, hadiah dari ciki lima ribu yang dibawa si Nur (Nyonya Ammar) ke toko tempo hari. Karena lucu, dan seperti cincin emas putih sungguhan. Aku pakai aja. Siapa sangka, ternyata tuh cincin lumayan berguna hari ini?
Tolong ingatkan aku untuk membelikan hadiah buat kembaran aku itu, ya?
"Tante punya tunangan?" Bocah itu meminta konfirmasi lagi, yang langsung aku sambut dengan anggukan riang.
"Udah mau nikah?"
"Iya."
"Kapan?"
Eh? Kapan, ya? Kapan aku nikah? Maunya sih besok, tapi ... gebetan aja aku gak punya, gimana bisa menikah, coba? Haduh ....
"Minggu depan." Terlanjur berbohong. Maka sekalian aja tenggelam, ya kan? Toh, aku yakin. Setelah ini juga kami gak akan ketemu lagi. Jadi ya ... santai saja.
Mendengar jawabanku barusan, bocah itu pun mengerjap perlahan, sebelum kemudian menunduk sedih. Membuat aku sebenarnya tidak tega. Tapi ... mau bagaimana lagi?
Aku gak jelek-jelek amat sampai harus dapetin duda. Duda buntut satu sih, gak masalah. Nah ini, buntutnya sudah dua. Yang satu masih bayi lagi. Aku yakin gak bakal sanggup. Jadi, aku terpaksa harus kejam.
"Gitu ya? Ya udah deh. Tita cari mama lain aja."
Untungnya lagi bocah itu tidak sama seperti Si Bella. Karena kalau tuh bocah setipe dengan anak tirinya Intan. Yakin aku dia gak akan menerima begitu aja situasi ini, dan ... jawabannya pasti menyebalkan. Tahu sendiri bagaimana Bella. 'Bikin emosi' sudah jadi sifat permanennya.
Bocah itu akhirnya melepaskan tanganku, dan beringsut ke arah si Papa. 'Aduh, ini lidah gak bisa di kondisikan. Keenakan manggil Papa. Kayak pas aja gitu buat dijadiin panggilan sayang.'
Pria itu lalu merendahkan diri demi bisa menyambut putrinya. Menggendongnya segera dan membelai rambut indah Tita dengan tangannya yang bebas. Kok, aku iri, ya?
"Maaf kalau Tita sudah mengganggu waktu kamu," ucap pria itu lagi, menatapku teduh.
"Gak papa. Gak ganggu, kok. Cuma kaget aja tiba-tiba ada yang narik." Aku pun berusaha menjawab seramah mungkin.
Aku harus jaga image sebagai publik figur, kan?
"Iya, Tita memang--"
"Ekhem! Maaf ganggu. Tapi ... Dev, udah waktunya pergi."
Aku pun mendesah kecewa diam-diam. Saat Lika, asistenku tiba-tiba muncul dan menyela omongan si Papa begitu saja. Lebih dari itu, dia juga mengingatkan jadwal pekerjaan yang tidak bisa aku abaikan. Jadinya, mau tidak mau kami harus berpisah.
"Tante?" Belum sempat aku mencapai pintu toko, Tita memanggilku kembali.
"Ya?" sahutku refleks, menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya kembali.
"Kalau Nikahnya batal, bilang, ya? Tita masih mengharapkan Tante sampai bulan depan."
*Happy Reading*"Ada elu, Nur? Kapan pulang? Betah banget lo di negeri orang? Eh, gue ngomong begini lo masih ngarti, kagak?" celoteh Mak Kanjeng, saat menemukan aku di Rumah Nurbaeti. Nanti sore akan ada acara perayaan ulang tahun Arshaka, anaknya Nurbaeti. Makanya aku ceritanya sedang bantu-bantu di sini, gaes. Mumpung aku sedang di Indonesia. Mendengar celotehan Mak Kanjeng. Aku nyengir saja. Lalu menghampirinya dan mencium punggung tangannya dengan hormat. "Ngerti dong, Mak. Bahasa betawi kan udah mendarah daging di Nur. Yee kan? Lagian Nur kan nikahnya sama orang Indo juga. Jadi sekalipun tinggal di luar negeri. Kami tetep menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian.""Owh ... gitu." Mak Kanjeng bergumam. "Syukur dah kalau gitu. Jadi gue gak usah buka kamus kalau ngomong sama lo. Soalnya gue pan gak ngerti bahas bule. Taunya yess sama no, doang. Eh, sama money dah gue juga tahu."Dasar Mak Kanjeng. Kalau soal cuan aja. Mau pake bahasa apa pun ngerti aja. Dasar emak-emak. "I
*Happy Reading*"Bang, kayaknya kamu harus mulai miara tuyul, deh.""Tuyul? Buat apa?""Buat tambah-tambah penghasilan biar bisa beli pabrik celana dalam. Aku capek loh beli banyak bisa seminggu sekali. Kamu robekin terus," omelku, seraya memungut kain segitiga yang tadi Aaron robek saat percintaan. Menunjukannya pada pria itu yang kini malah tertawa terbahak di tempatnya."Maaf, Sayang." Aaron menarik pinggangku posesif. "Habisnya tadi udah gak tahan." Dia mencium pipiku dengan mesra. Hilih! Alesan saja. Perasaan mau slow motion atau grasak-grusuk motion pun. Tetap aja memang dia mah sukanya robekin celana aku. Bikin aku keabisan semvak mulu!"Turunin CD gak sampai dua jam loh, Bang.""Tetep lama buat aku, Sayang. Namanya udah gak tahan gimana, sih? Aku gak mau buang satu detik pun buat merasakan kamu, sayang.""Hih! Otakmu itu emang isinya nana nina mulu kalau sama aku." Aku mencibirnya dengan kesal."Emang!" Aaron tak menampik. "Kalau liat kamu, otak aku emang auto pengen ngungkep
*Happy Reading*"Ya! Cukup untuk hari ini. Terima kasih dan see u tomorrow."Akhirnya hari ini berakhir. Aku mendesah lega kemudian segera merenggangkan tubuh sejenak demi untuk meredakan lelah yang menggelayuti tubuh. "Dev?" Celine, asistenku menghampiri seraya menyerahkan ponselku. "Aaron sejak tadi menghubungi," beritahunya, kemudian membuka botol kemasan yang dibawanya untukku. Senyumku pun langsung terurai lebar."Thanks, Celine." Aku menerima minuman darinya dengan senang hati, seraya mengecek ponsel. Ada lima panggilan tak terjawab dari Aaron. Sepuluh chat dari orang yang sama. Sisanya spam operator dan chat-chat dari sahabat, keluarga, dan beberapa nomor baru yang ingin memakai jasaku untuk produk mereka. Ya! Sebulan setelah menikah. Aku memang sudah kembali ke depan kamera. Menjadi model seperti sebelumnya, sekaligus menjadi Brand ambasador prodak kecantikan milik Aika. Mengabaikan nomor-nomor yang mencoba menjalin bisnis, yang pastinya sudah mendapat auto replay untuk
*Happy Reading*"Ya ampun. Beneran gak bisa berenti nangis, ya? Udahan kenapa, Yang? Kasian loh mata kamu." Aaron kembali memberikanku sehelai tissu kering, saat lagi-lagi air mataku mengalir tanpa bisa ku tahan. "Aku juga maunya berenti, Bang. Capek tahu, nangis kayak gini terus. Capek juga benerin riasannya. Tapi ... tapi ... mau gimana lagi. Aku masih gak percaya sama semua yang terjadi. Aku terharu parah. Kamu sih, ngasih kejutannya gak kira-kira! Kan aku ... aku ....""Nah? Nah? Kan? Minum dulu, minum dulu." Aaron lalu memberikan aku sebuah minum di botol. "Udah tahu suara hampir ilang. Masih aja ngomel," tambahnya disela kegiatan membantu aku minum lewat sedotan. "Aku gak ngomel, Abang!" Aku melayangkan protes dengan suara yang sebenarnya udah sengau. Kebanyakan nangis tadi bersama Intan dan Nurbaeti. "Lalu?""Menyuarakan kekesalan sama Abang aja.""Lah? Jadi, gak suka nih sama kejutan dari aku?" tuduh Aaron."Sukalah! Ya kali!" Aku menyahut cepat."Terus?""Gak ada terus-ter
*Happy Reading*Aku sudah siap! Sudah cantik sekali dengan gaun mahal yang Aika bawa, serta riasan sempurna hasil tangan MUA profesional yang juga Aika bawa. Pokoknya, aku sudah siap muncul menghipnotis semua tamu undangan malam ini. Akan tetapi, sayang mempelaiku tak kunjung datang menjemput. Meski ini sudah tiga jam berlalu sejak kepergiannya. Sang mempelai pria masih belum diketahui rimbanya. Membuat aku harus menunggu dengan hati gusar luar biasa. "Ck, ke mana, sih? Perasaan tadi bilangnya gak nyampe dua jam. Tapi ini kok malah gak muncul-muncul? Mana sekarang gak ada yang aktif lagi nomor-nomornya. Minta diuleg emang nih para pria berbiji."Lihat saja! Bahkan Aika yang awalnya santai, kini mulai emosi dan ngomel-ngomel pada ponselnya. Pun Papa yang sudah tidak bisa duduk tenang di tempatnya. Sementara para ibu-ibu, terlihat saling merangkul untuk saling menguatkan.Tolong jangan ditanya bagaimana kondisiku. Karena meski tampilanku sudah cetar membahana mengalahkan ratu sejagad.
*Happy Reading*Seperti yang sudah-sudah. Setelah puas menangis, aku tertidur. Akan tetapi tidak lama. Karena tiga puluh menit kemudian, bunda membangunkanku dan menyuruh bersiap untuk resepsi pernikahan yang akan segera di mulai. Entahlah. Aku gak tahu lagi harus bilang apa sekarang. Aku bingung harus sedih atau senang menerima pernikahan ini. Di satu sisi, tentu saja aku senang. Akhirnya bisa menikah dan melepas masa lajangku dengan pria sebaik Aaron. Akan tetapi di sisi lainnya. Aku juga sedih karena harus menikah secepat ini, tanpa kehadiran sahabat-sahabatku, juga merasakan euforia pranikah seperti mereka. Dari mulai lamaran, menunggu ijab kabul, dan pusing mengurusi pesta pernikahan. Aku kehilangan semua momen itu. Bagaimana tidak. Seingatku aku hanya pingsan seharian, pas bangun semua udah jadi aja. Rasanya kayak ... gimana, ya? Pokoknya aku gak merasakan euforia apa pun dalam pernikahan ini. Meski aku tahu dan mengerti pasti kenapa harus begini jalannya. Tetap saja, rasanya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments