*Happy Reading*"Ya! Cukup untuk hari ini. Terima kasih dan see u tomorrow."Akhirnya hari ini berakhir. Aku mendesah lega kemudian segera merenggangkan tubuh sejenak demi untuk meredakan lelah yang menggelayuti tubuh. "Dev?" Celine, asistenku menghampiri seraya menyerahkan ponselku. "Aaron sejak tadi menghubungi," beritahunya, kemudian membuka botol kemasan yang dibawanya untukku. Senyumku pun langsung terurai lebar."Thanks, Celine." Aku menerima minuman darinya dengan senang hati, seraya mengecek ponsel. Ada lima panggilan tak terjawab dari Aaron. Sepuluh chat dari orang yang sama. Sisanya spam operator dan chat-chat dari sahabat, keluarga, dan beberapa nomor baru yang ingin memakai jasaku untuk produk mereka. Ya! Sebulan setelah menikah. Aku memang sudah kembali ke depan kamera. Menjadi model seperti sebelumnya, sekaligus menjadi Brand ambasador prodak kecantikan milik Aika. Mengabaikan nomor-nomor yang mencoba menjalin bisnis, yang pastinya sudah mendapat auto replay untuk
*Happy Reading*"Bang, kayaknya kamu harus mulai miara tuyul, deh.""Tuyul? Buat apa?""Buat tambah-tambah penghasilan biar bisa beli pabrik celana dalam. Aku capek loh beli banyak bisa seminggu sekali. Kamu robekin terus," omelku, seraya memungut kain segitiga yang tadi Aaron robek saat percintaan. Menunjukannya pada pria itu yang kini malah tertawa terbahak di tempatnya."Maaf, Sayang." Aaron menarik pinggangku posesif. "Habisnya tadi udah gak tahan." Dia mencium pipiku dengan mesra. Hilih! Alesan saja. Perasaan mau slow motion atau grasak-grusuk motion pun. Tetap aja memang dia mah sukanya robekin celana aku. Bikin aku keabisan semvak mulu!"Turunin CD gak sampai dua jam loh, Bang.""Tetep lama buat aku, Sayang. Namanya udah gak tahan gimana, sih? Aku gak mau buang satu detik pun buat merasakan kamu, sayang.""Hih! Otakmu itu emang isinya nana nina mulu kalau sama aku." Aku mencibirnya dengan kesal."Emang!" Aaron tak menampik. "Kalau liat kamu, otak aku emang auto pengen ngungkep
*Happy Reading*"Ada elu, Nur? Kapan pulang? Betah banget lo di negeri orang? Eh, gue ngomong begini lo masih ngarti, kagak?" celoteh Mak Kanjeng, saat menemukan aku di Rumah Nurbaeti. Nanti sore akan ada acara perayaan ulang tahun Arshaka, anaknya Nurbaeti. Makanya aku ceritanya sedang bantu-bantu di sini, gaes. Mumpung aku sedang di Indonesia. Mendengar celotehan Mak Kanjeng. Aku nyengir saja. Lalu menghampirinya dan mencium punggung tangannya dengan hormat. "Ngerti dong, Mak. Bahasa betawi kan udah mendarah daging di Nur. Yee kan? Lagian Nur kan nikahnya sama orang Indo juga. Jadi sekalipun tinggal di luar negeri. Kami tetep menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian.""Owh ... gitu." Mak Kanjeng bergumam. "Syukur dah kalau gitu. Jadi gue gak usah buka kamus kalau ngomong sama lo. Soalnya gue pan gak ngerti bahas bule. Taunya yess sama no, doang. Eh, sama money dah gue juga tahu."Dasar Mak Kanjeng. Kalau soal cuan aja. Mau pake bahasa apa pun ngerti aja. Dasar emak-emak. "I
*Happy Reading*"Tita mau beli Tante ini sekalian ya, Pah. Boleh, kan?"Hah?!Seketika, aku pun hanya bisa melongo di tempatku, mendengar permintaan seorang bocah perempuan yang tadi tiba-tiba saja menarik lenganku ke arah kasir, saat aku sedang melihat-lihat deretan jam di toko ini.Aku tidak mengenal anak itu sama sekali. Melihatnya pun, baru hari ini. Lalu kenapa tiba-tiba dia ingin membeliku? Dia yang tidak bisa membedakan antara manusia dan benda bernama jam, atau ... memang aku ini yang mirip jam?Yang benar saja. Aku ini model, loh! Masa disamakan dengan benda bulat berdetak begitu?"Boleh kan, Pah? Yah?"Aku hanya bisa menggaruk belakang leher yang sebenarnya tidak gatal. Saat lagi-lagi anak kecil itu menatap bapaknya dengan tatapan memelas, dan menanyakan hal aneh itu.'Eh, bener kan dia bapaknya. 'Pah' itu berarti Papah, kan? Bukan Opah apalagi sampah. Ck, gak mungkin banget. Orang ganteng gitu kok bentukannya.
*Happy Reading*"Apa?! Dibatalkan?" seruku dengan lantang, saat pagi itu mendapat kabar dari Lika tentang salah satu kontrak kerjaku, yang sudah terjadwal dari dua bulan yang lalu, namun tiba-tiba dibatalkan secara sepihak oleh sponsor.Astaga. Ini masih pagi, loh. Tapi kenapa sudah ada kabar buruk seperti ini saja. Mood-ku langsung anjlok seketika."Bukan hanya itu, Dev. Kita juga kena denda gede banget dan diminta bayar secepatnya sama mereka. Soalnya, katanya kita sudah melakukan pembohongan data diri."Hah?! Apa pula itu? Mereka yang membatalkan kontrak, mereka juga yang kini minta denda. Gila! Di sini kan aku yang dirugikan, kenapa aku pula yang harus keluar uang banyak? Otak mereka di mana, sih?"Ya ampun, Lik. Kok bisa kayak gini, sih? Ini gimana ceritanya, coba? Kenapa kita bisa kena tuduhan itu? Emang pas adain kerja sama lo ngapain?" tanyaku kemudian, meminta penjelasan lebih detail pada Lika yang memang biasa mengurusi hal ini.
*Happy Reading*"Jadi Bapak yang sudah membatalkan kontrak secara sepihak, bahkan menuntut saya dengan denda besar?"Seperti dugaan, ternyata kekacauan hari ini, ulah si papa yang seenaknya menuduh aku menyalahi kontrak yang sudah dibuat. Hanya karena ucapanku tempo hari pada Tita yang mengaku akan menikah segera.Memang sih, dalam kontrak itu, aku diharuskan masih singel, dan dilarang menikah sebelum kontrak berakhir. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang menyalahi aturan. Hanya saja, kebohonganku tempo hari yang membuat si papa seenaknya membatalkan kontrak, dan ... memang sepertinya pria ini sedang kurang kerjaan."Saya hanya melakukan apa yang sudah seharunya saya lakukan pada artis nakal seperti kamu," jawabnya acuh, seraya menatap aku intens dari balik meja di ruangan Mbak Laras yang akhirnya kami pinjam untuk diskusi berdua saja.Akan tetapi, kalian dengar sendiri bagaimana jawabannya barusan, kan? Dia memang sepertinya ingin cari ga
*Happy Reading* Menanggapi pernyataan Pak Aksa aku pun memutar mata jengah, seraya menyandarkan diri dengan kasar pada sandaran kursi. "Saya juga heran sama Bapak. Sudah tahu ditolak, masih aja gigih maksa. Kek gak ada cewek lain aja diluaran sana. Kenapa? Situ kurang laku?" balasku dengan berani, membuat mata Pak Aksa melotot horor setelahnya. 'Nah, kan? Emang enak di balikin! Pokoknya, lo jual gue borong, Bang!' "Kamu jangan sembarangan, ya! Gini-gini yang ingin jadi istri saya banyak!" Akhirnya dia pun marah. Namun, aku sudah tidak perduli. Karena aku sudah malas berurusan dengan pria pemaksa seperti dia. "Ya, kalau gitu. Kenapa Bapak gak pilih wanita-wanita itu aja? Kenapa harus maksa saya, yang jelas-jelas nolak?" "Karena Tita hanya mau kamu!" "That's the poin!" sahutku cepat, menjentikan jari dengan keras, sebelum menunjuk wajahnya. "Dari awal saya sudah bisa menebak niat bapak sebenarnya apa,
*Happy Reading*"Ba-cot.""Bha ... bha ....""Bukan Baba, tapi Ba-cot!""Bha ... bha ... bha ...""Ck, bukan baba, Quen. Tapi ba-cot. Ayo! Kamu pasti bisa! Ba-cot. Ba-cot, Ba--"Pletak!"Akh" Aku sontak mengaduh kesakitan saat tiba-tiba sebuah sendok makan melayang ke kepalaku dari arah samping."Sakit, bego! Rambut gue abis di blicing ini. Sembarangan aja lo cium sendok bekas makan. Kan kotor!" Tidak lupa, aku pun memberikan hardikan keras, pada pelaku yang saat ini sudah berkacak pinggang dengan mata melotot. Intan, siapa lagi? Di antara kami bertiga, kan, yang udah jadi emak-emak dia doang."Lagi lo rese! Ngajarin anak gue yang ngadi-ngadi!" tukasnya tak kalah sengit."Ngadi-ngadi apa, sih? Orang gue cuma ngajarin dia ngomong. Masa gak boleh. Ya Quen?" sahutku santay, kembali melirik Quenee, yang sedang mengoceh tak jelas.Saat ini, aku memang sedang berkunjung ke tempat Intan, di tengah jadwal k